BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SNI Standar Nasional Indonesia. Biodiesel. Badan Standardisasi Nasional

BAB I PENDAHULUAN. ketercukupannya, dan sangat nyata mempengaruhi kelangsungan hidup suatu

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA OKTOBER 2016

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

PROSES ETANOLISIS MINYAK SAWIT DALAM SISTEM DEEP EUTECTIC SOLVENT (DES) BERBASIS CHOLINE CHLORIDE ETILEN GLIKOL

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Biodiesel Dari Minyak Nabati

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DESKRIPSI PROSES

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4 Pembahasan Degumming

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Hasil dan Pembahasan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

lebih ramah lingkungan, dapat diperbarui (renewable), dapat terurai

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, kebutuhan masyarakat untuk mengkonsumsi bahan bakar sangat

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES

PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

Nama Kelompok : MUCHAMAD RONGGO ADITYA NRP M FIKRI FAKHRUDDIN NRP Dosen Pembimbing : Ir. IMAM SYAFRIL, MT NIP.

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Prarancangan Pabrik Biodiesel dari Biji Tembakau dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA MELALUI PROSES TRANS-ESTERIFIKASI. Pardi Satriananda ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Konsumsi Bahan Bakar Diesel Tahunan

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen

BAB I PENDAHULUAN. oksigen. Senyawa ini terkandung dalam berbagai senyawa dan campuran, mulai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. teknologi sekarang ini. Menurut catatan World Economic Review (2007), sektor

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum mengenal bahan bakar fosil, manusia sudah menggunakan biomassa

Soal Open Ended OSN PERTAMINA 2015 Bidang Kimia. Algae Merupakan Bahan Bakar Terbarukan

Pembuatan produk biodiesel dari Minyak Goreng Bekas dengan Cara Esterifikasi dan Transesterifikasi

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

Bab III Pelaksanaan Penelitian

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SLUDGE PALM OIL (SPO) SPO adalah minyak sisa yang terapung yang dipisahkan pada tahap awal ketika palm oil mill effluent (POME) dibuang ke kolam. Sejumlah minyak yang gagal diekstraksi dan dikeluarkan dari berbagai tahap pada proses penggilingan akan berakhir di kolam terbuka sebagai sludge oil berkualitar rendah. Kadar FFA pada SPO bervariasi, tergantung lamanya waktu SPO terpapar sinar matahari di kolam terbuka tersebut [11]. Jika dikaji secara teoritis, sludge oil kelapa sawit tersedia dalam jumlah yang banyak dengan kandungan FFA 33-73%. Adapun FFA dalam sludge oil adalah asam laurat, asam miristat, asam palmitat, asam oleat, dan asam stearat [12]. Tabel 2.1 menunjukkan karakteristik SPO dan Tabel 2.2 menunjukkan komposisi FFA pada SPO. Tabel 2.1 Karakteristik SPO [13] Karakteristik Nilai FFA (%) 51,64 ± 0,59 Nilai asam 113,17 ± 1,9 Nilai saponifikasi 191,92 ± 2,88 Kadar air (%) 1,00 ± 0,04 Tabel 2.2 Komposisi FFA pada SPO [13] FFA Struktur Komposisi (%) Asam kaprat C10:0 0,04 ± 0,05 Asam laurat C12:0 0,62 ± 0,82 Asam miristat C14:0 1,25 ± 0,24 Asam palmitat C16:0 42,12 ± 1,02 Asam palmitoleat C16:1 0,15 ± 0,02 Asam stearat C18:0 4,26 ± 0,07 6

Tabel 2.2 Komposisi FFA pada SPO (lanjutan) FFA Struktur Komposisi (%) Asam oleat C18:1 40,31 ± 1,03 Asam linoleat C18:2 10,49 ± 0,81 Asam α-linoleat C18:3 0,26 ± 0,16 Asam arachidat C20:0 0,43 ± 0,44 SPO berwarna coklat tua, berbau, dan berwujud padat pada suhu 25 o C. Jika disuling, SPO bisa diaplikasikan secara langsung sebagai bahan bakar boiler, bahan baku untuk memproduksi biodiesel, dan menggantikan 100% distilat palm fatty acid dalam industri pembuatan sabun [11]. Sebagai bahan baku biodiesel, SPO harus mengalami pretreatment terlebih dahulu untuk menurunkan kadar FFA, yaitu dengan esterifikasi menggunakan asam kuat kemudian dilanjutkan dengan proses transesterifikasi menggunakan basa kuat [7]. 2.2 BIODIESEL Biodiesel merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan yang saat ini mendapat perhatian yang cukup tinggi untuk menyelesaikan masalah perubahan iklim dan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil, dimana bahan bakar fosil sendiri sering mengalami ketidakstabilan harga, kelangkaan, dan merupakan polutan udara terbesar. Biodiesel menjadi begitu menarik karena mudah terurai, ramah lingkungan, tidak beracun, menghasilkan sedikit polusi di udara serta mengandung kadar sulfur yang rendah (0-24 ppm) [13]. Selain itu, biodiesel juga memiliki kadar oksigen yang tinggi dimana kadar oksigen yang tinggi tersebut menyebabkan pembakaran yang sempurna dalam mesin diesel sehingga gas buangan yang dihasilkan mengandung partikulat, karbon dioksida, karbon monoksida, dan SOx yang rendah [14]. Biodiesel dapat diproduksi secara lokal menggunakan berbagai bahan baku tergantung pada ketersediaan bahan baku tersebut di alam [14]. Bahan-bahan tersebut biasanya dikelompokkan menjadi bahan baku yang dapat dikonsumsi dan bahan baku yang tidak dapat dikonsumsi atau minyak jelantah. Dari jenis-jenis bahan baku tersebut, yang lebih dipilih untuk digunakan dalam memproduksi 7

biodiesel adalah kelompok bahan baku yang tidak dapat dikonsumsi, seperti minyak jarak, karanja, dan putranjiva. Namun, adanya permintaan yang tinggi untuk mengurangi biaya dalam menggunakan bahan baku tersebut, menyebabkan banyak peneliti yang mencari bahan baku baru yang lebih murah dan berpotensial untuk dijadikan biodiesel seperti minyak lemak sapi dan minyak jelantah, akan tetapi kedua bahan baku ini memiliki keterbatasan dalam hal kuantitas [2]. Untuk menghasilkan biodiesel, terdapat 4 metode yang dapat digunakan, yaitu penggunaan langsung dengan mencampurkan bahan baku, micro-emulsions, thermal cracking, dan transesterifikasi [15]. Namun diantara metode-metode tersebut, transesterifikasi merupakan metode yang paling umum digunakan. Dalam reaksi transesterifikasi, minyak nabati maupun lemak hewan bereaksi dengan alkohol berantai pendek seperti metanol atau etanol [1]. Selain itu, pada reaksi transesterifikasi juga menggunakan bantuan katalis untuk menghasilkan fatty acid alkyl esters (FAAE) dan gliserol sebagai produk samping [16]. Produksi biodiesel secara konvensional menggunakan katalis basa yang homogen, seperti kalium hidroksida (KOH), natrium hidroksida (NaOH) untuk mengurangi suhu reaksi. Namun dampak dari penggunaan katalis ini adalah menghasilkan produk yang dapat memicu terjadinya reaksi saponifikasi, terutama dengan adanya minyak atau lemak yang kandungan FFA nya lebih/dari/0,5%/(w/w) atau kadar airnya di atas 2% (v/v). Pretreatment dengan asam sulfat dan alkohol dapat digunakan untuk mencegah terjadinya reaksi saponifikasi, tetapi proses yang dibutuhkan menjadi lama dan mempengaruhi biaya ekonomi karena dihasilkannya limbah berupa air kotor [17]. Berbagai faktor seperti konsentrasi bahan baku dan jenis katalis yang digunakan, pemurnian reaktan, kadar FFA, suhu, waktu reaksi, perbandingan mol antara alkohol dengan minyak turut mempengaruhi yield optimum biodiesel yang dihasilkan [14]. Faktor-faktor tersebut menunjukkan karakteristik fisik dan kimia dari biodiesel yang dihasilkan serta menunjukkan kualitas dari biodiesel tersebut, sebab kualitas merupakan salah satu prasyarat yang harus dipenuhi untuk mengetahui berhasil atau tidaknya suatu teknologi dalam menghasilkan biodiesel. Kriteria utama dari kualitas biodiesel adalah tercantumnya sifat fisik dan kimia biodiesel tersebut di dalam persyaratan yang telah ditentukan oleh suatu 8

badan standar yang berwenang. Standar kualitas biodiesel selalu diperbarui seiring dengan perkembangan mesin kendaraan, standar emisi, ketersediaan bahan baku biodiesel, dan lain-lain. Standar yang mengatur kualitas biodiesel saat ini tergantung pada berbagai faktor sesuai dengan daerahnya masing-masing, termasuk standar karakteristik mesin diesel yang beredar, keunggulan jenis-jenis mesin diesel yang umum di suatu daerah tertentu, dan iklim serta cuaca pada negara atau daerah yang menggunakan biodiesel [18]. Tabel 2.3 menunjukkan beberapa badan standar biodiesel yang penting dari berbagai negara dan Tabel 2.4, 2.5, serta 2.6 menunjukkan spesifikasi biodiesel di Eropa, Amerika, dan Indonesia : Tabel 2.3 Standar biodiesel dari berbagai negara [18] Negara Spesifikasi Judul Eropa EN 14213 Heating fuels - Fatty acid methyl esters (FAME) - Requirements and test methods Eropa EN 14214 EN 14214 Automotive fuels - Fatty acid methyl esters (FAME) for diesel engines - Requirements and test methods USA ASTM D 6751 ASTM D6751-11a Standard Specification for Biodiesel Fuel Blend Stock (B100) for Middle Distillate Fuels Australia - Fuel Standard (Biodiesel) Determination 2003 Brazil ANP 42 Brazilian Biodiesel Standard (Agência Nacional do Petróleo) India IS 15607 Bio-diesel (B 100) blend stock for diesel fuel - Specification Jepang JASO M360 Automotive fuel - Fatty acid methyl ester (FAME) as blend stock Afrika Selatan SANS 1935 Automotive biodiesel fuel 9

Tabel 2.4 Spesifikasi biodiesel Eropa (European Biodiesel Standard) [18] Sifat Metode Tes Batas Minimal Maksimal Satuan Kadar Ester EN 14103 96,5 - % (m/m) Densitas pada 15 o C EN ISO 3675 EN ISO 12185 860 900 kg/m 3 Viskositas pada 40 o C EN ISO 3104 ISO 3105 3,5 5,0 mm 2 /s Titik nyala EN ISO 3679 120 - C Kadar Sulfur EN ISO 20846 EN ISO 20884-10,0 mg/kg Residu Karbon EN ISO 10370-0,30 % (m/m) Angka Setana EN ISO 5165 - - - Abu Sulfur ISO 3987-0,02 % (m/m) Kadar Air EN ISO 12937-500 mg/kg Kontaminasi Total EN 12662-24 mg/kg Korosi Kepingan Tembaga (3 jam, 50 o C) EN ISO 2160-1 kelas Stabilitas Oksidatif, 110 o C EN 14112 4,0 - jam Bilangan Asam mg EN 14104-0,5 KOH/g Bilangan Iodin EN 14111-120 g I/100 g Kadar Asam Linolenik EN 14103-12 % (m/m) Kadar FAME dengan 4 ikatan rangkap - 1 % (m/m) Kadar Metanol EN 14110-0,20 % (m/m) Kadar Monogliserida EN 14105-0,80 % (m/m) Kadar Digliserida EN 14105-0,20 % (m/m) Kadar Trigliserida EN 14105-0,20 % (m/m) Gliserin Bebas EN 14105 EN 14106-0,02 % (m/m) Total Gliserin EN 14105-0,25 % (m/m) Logam Alkali (Na + K) EN 14108 EN 14109-5,0 mg/kg Logam Alkali Tanah (Ca + Mg) EN 14538-5,0 mg/kg Kadar Fosfat EN 14107 35 10,0 mg/kg 10

Tabel 2.5 Spesifikasi biodiesel Amerika Serikat (Biodiesel Standard ASTM D6751) [18] Sifat Metode Tes Batas Minimal Maksimal Satuan Kalsium, Magnesium ppm EN 14538-5 (kombinasi) (μg/g) Titik Nyala D 93 130 130 C Kadar Metanol EN 14110-0,2 % (m/m) Air dan Pengendapan D 2709-0,05 % (v/v) Viskositas Kinematik pada 40 o C D 445 1,9 6 mm 2 /s Abu Tersulfonasi D 874-0,02 % (m/m) Sulfur S 15 Grade D 5453-0,0015 % (m/m) Sulfur S 500 Grade D 5453-0,05 % (m/m) Korosi Kepingan Tembaga D 130-3 No. Angka Setana D 613 47 - - Cloud Point D 2500 Dilaporkan C Residu Karbon, 100% D 4530-0,05 % (m/m) sampel Bilangan Asam D 664-0,05 mg KOH/g Gliserin Bebas D 6584-0,020 g I/100 g Total Gliserin D 6584-0,240 % (m/m) Kadar Posfat D 4951-0,001 % (m/m) Distilasi Suhu D 1160-360 C Atsmosferik 90% recovery Natrium/Kalium, ppm EN 14538-5 kombinasi (μg/g) Stabilitas Oksidasi EN 15751-3 jam Cold Soak Filtration (Untuk pemakaian dibawah suhu -12 o C) D 7501-360 detik 11

Tabel 2.6 Spesifikasi Biodiesel Indonesia (Standar Nasional Indonesia (SNI)) [19] Sifat Metode Tes Batas Minimal Maksimal Satuan Kadar Ester EN 14103 96,5 - % (m/m) Densitas pada 40 o C ASTM D- 1298 ASTM 850 890 kg/m 3 D-1452 Viskositas kinematik pada 40 o C ASTM D-445 2,3 6,0 mm 2 /s Titik nyala ASTM D-93 100 - C Kadar Sulfur ASTM D- 5453 ASTM D- 1266 ASTM D- - 100 mg/kg 4294 ASTM D- 2622 Residu Karbon ASTM D- 4530-0,30 % (m/m) ASTM D-189 Angka Setana ASTM D-613 ASTM D- 51 - - 6890 Abu Tersulfatkan ASTM D-874-0,02 % (m/m) Air dan Sedimen ASTM D- 2709-0,05 % (v/v) Kontaminasi Total EN 12662-24 mg/kg Korosi Kepingan Tembaga (3 jam, 50 o C) ASTM D-310-1 kelas Stabilitas Oksidasi EN 15751-360 menit Bilangan Asam mg EN 14104-0,5 KOH/g Bilangan Iodin AOCS Ca 1-25 - 115 g I/100 g Gliserin Bebas AOCS Ca 14-56 ASTM D- 6584-0,02 % (m/m) Total Gliserin AOCS Ca 14-56 ASTM D- - 0,24 % (m/m) 6584 Kadar Fosfat AOCS Ca 12-55 - 10,0 mg/kg 12

2.3 ESTERIFIKASI Esterifikasi merupakan suatu reaksi yang digunakan secara luas dalam proses industri organik. Ester dikelompokkan dalam range yang cukup luas, mulai dari kelompok alifatik hingga aromatik dengan berbagai gugus substitusi dan multifungsional. Pada umumnya, ester digunakan dalam memproduksi monomermonomer dalam bidang farmasi, serta digunakan pula sebagai pengemulsi dalam industri makanan dan kosmetik. Langkah paling sederhana dalam menghasilkan ester dengan yield yang tinggi adalah dengan esterfikasi langsung antara asam dengan alkohol dengan bantuan katalis asam. Reaksi esterifikasi biasanya berlangsung lambat dan katalis asam diperlukan untuk mempercepat reaksi tersebut. Kedua jenis katalis asam, baik katalis asam yang homogen (misalnya asam sulfat) maupun katalis asam yang heterogen (misalnya zeolit) pun dipilih untuk mempercepat reaksi tersebut. Katalis asam yang homogen memiliki beberapa kelemahan, diantaranya dapat menyebabkan tingginya volume limbah yang dihasilkan, adanya reaksi samping, dan sulit dipisahkan dari campuran. Demikian pula halnya dengan katalis heterogen yang juga memiliki beberapa kelemahan, seperti rendahnya stabilitas termal dan masalah difusi [20]. Dalam memproduksi biodiesel, reaksi esterifikasi juga memegang peranan penting, yaitu sebagai suatu proses untuk menurunkan kadar dalam minyak/lemak. Minyak dengan kadar FFA yang tinggi (>1%wt) dapat membentuk sabun selama proses transesterifikasi menggunakan katalis basa yang dapat menyebabkan berkurangnya yield biodiesel yang dihasilkan, sehingga bahan baku yang memiliki kadar FFA yang tinggi tidak cocok jika langsung mengalami reaksi transesterifikasi menggunakan katalis basa. Namun, transesterifikasi menggunakan katalis asam juga tidak diterapkan untuk bahan baku dengan kadar FFA tinggi walaupun adanya katalis asam dalam reaksi tersebut dapat mengubah FFA menjadi ester sehingga kadar FFA berkurang karena lamanya reaksi yang berlangsung. Oleh karena itu, dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, dilaporkan bahwa untuk menghasilkan biodiesel dari bahan baku minyak dengan kadar FFA tinggi akan mengalami kombinasi proses, yaitu proses esterifikasi 13

menggunakan katalis asam yang kemudian dilanjutkan dengan proses tranesterifikasi menggunakan katalis basa. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa reaksi esterifikasi sangat tergantung pada intensitas pengadukan, rasio metanol dengan minyak, jumlah katalis, temperatur dan waktu reaksi. Waktu reaksi yang lama, banyaknya jumlah bahan baku, tingginya temperatur dan kecepatan pengadukan dapat meningkatkan peforma reaksi, namun berdampak negatif pada harga produk akhir yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan perpindahan massa antara minyak dan alkohol terbatas, dimana minyak dan alkohol tidak dapat bercampur sebab rendahnya nilai kelarutan alkohol berantai pendek [21]. 2.4 TRANSESTERIFIKASI Transesterifikasi merupakan reaksi tiga tahap dimana trigliserida dikonversi menjadi digliserida, digliserida menjadi monogliserida, dan akhirnya monogliserida menjadi gliserol. Monoalkil ester dari FFA dihasilkan pada tiap tahap dalam ketiga tahap tersebut. Secara stoikiomeri, 3 mol alkohol diperlukan untuk mengkonversi 1 mol trigliserida menjadi biodiesel. Dalam skala industri, produksi biodiesel dilakukan dengan menggunakan katalis alkali dan metanol sebagai penerima acyl. Metanol digunakan secara luas karena dapat menghasilkan yield yang tinggi dan lebih ekonomis [14]. Berikut ini adalah reaksi transesterifikasi : CH 2OCOR 1 CHOCOR 2 + CH 2OCOR 3 3C 2H 5OH Catalyst R 1 COO CH 3 R 2 COO CH 3 + R 3 COO CH 3 CH 2OH CHOH CH 2OH Trigliserida etanol Fatty acid metil ester Gliserol (alkohol) (FAME) Gambar 2.1 Reaksi transesterifikasi [14] Pada umumnya, reaksi transesterifikasi dapat dikatalisis oleh asam, basa, dan enzim. Dalam beberapa proses memproduksi biodiesel, katalis basalah yang sering digunakan. Katalis basa yang paling umum digunakan adalah kalium hidroksida (KOH), natrium hidroksida (NaOH), dan kalium maupun natrium metoksida. Akan tetapi, penggunaan katalis basa dalam memproduksi biodiesel 14

memerlukan netralisasi asam dan tahap pencucian untuk menghilangkan sisa katalis dan garam dari ester yang terbentuk, sehingga menghasilkan limbah air yang cukup banyak. Selain itu, sulit untuk memisahkan katalis homogen tersebut dari gliserol. Untuk mengatasi masalah tersebut, penggunaan katalis heterogen pun lebih dipilih. Adapun alasan pemilihan katalis heterogen tersebut antara lain mudahnya dipisahkan dari ester yang terbentuk dan dapat digunakan berulangulang [22]. Selain menggunakan katalis basa dalam reaksi transesterifikasi, trasnsesterifikasi menggunakan enzim juga telah banyak digunakan. Lipase, merupakan enzim yang paling sering digunakan dalam reaksi transesterifikasi. Enzim ini juga merupakan enzim yang mampu menjadi katalis yang cukup efektif dalam mengkonversi semua FFA dalam minyak yang mengandung kadar FFA yang tinggi menjadi FAME. Ketika lipase digunakan sebagai katalis, gliserol dapat dimurnikan dengan mudah dan dengan cara yang sederhana pula, kadar air dari minyak yang digunakan juga berkurang sehingga memperkecil resiko terjadinya reaksi saponifikasi, serta yield yang dihasilkan cukup tinggi [23]. 2.5 DEEP EUTECTIC SOLVENT (DES) Deep eutectic solvent (DES) dikelompokkan sekelas dengan ionic liquids (ILs) dimana DES ini merupakan campuran dari garam kuartenari dengan logam halida (asam Lewis), garam terhidrasi, maupun hidrogen bond donor (HBD) seperti alkohol dan amida. Campuran ini membentuk sebuah campuran yang eutektik dengan titik leleh yang lebih rendah dari prekursor aslinya, sehingga campuran ini disebut sebagai DES. DES mengatasi beberapa kelemahan utama dari ILs, yaitu lebih mudah dibuat, tidak reaktif terhadap air, dan mudah terurai [23]. DES umumnya terbentuk dari 2 atau 3 komponen yang murah dan aman yang berikatan satu sama lain melalui ikatan hidrogen untuk membentuk suatu campuran yang eutektik. DES memiliki beberapa karakteristik, salah satunya berwujud cair pada suhu dibawah 150 o C. Dibandingkan dengan pelarut organik tradisional, DES tidak volatil seperti pelarut organik dan tidak mudah terbakar, sehingga mudah untuk disimpan [25]. 15

Adapun keunggulan-keunggulan dari DES yang telah disebutkan tersebut, maka DES telah banyak dimanfaatkan dalam bidang industri, misalnya untuk ekstraksi cair-cair untuk memisahkan senyawa aromatik dari naftalena, sebagai media untuk deposit logam-logam dalam bidang elektro, dan untuk memisahan gliserol yang terbentuk pada proses pembuatan biodiesel [7]. 2.6 PEMBUATAN DEEP EUTECTIC SOLVENT (DES) Secara umum, DES telah dibuat dari garam berbasis amonium atau fosfonium. Garam-garam ini digabungkan dalam rasio yang berbeda dengan berbagai jenis donor ikatan hidrogen, seperti alkohol, urea, asam karboksilat (asam oksalat, asam sitrat, asam suksinat atau asam amino), poliol (gliserol, karbohidrat), ester, eter, amida, dan garam logam terhidrasi, seperti klorida, nitrat dan asetat [24]. Namun, diantara garam-garam tersebut, choline cloride (ChCl) merupakan garam yang cukup banyak digunakan sebagai komposisi utama dalam membuat DES. Hal ini dikarenakan ChCl merupakan garam quartenari yang mudah terurai, murah, dan tidak beracun. Dalam suatu literatur dilaporkan bahwa DES berbasis ChCl-urea adalah salah satu DES yang pertama kali dibuat dan telah diaplikasikan ke berbagai bidang hingga saat ini. Pengaplikasian DES berbasis ChCl antara lain : untuk membuat polyoxometalate berbasis hybrid dan untuk persiapan pembuatan zeolit, serta telah digunakan sebagai media dalam reaksi enzimatik untuk memproduksi biodiesel [27]. Adapun proses pembuatan DES pada dasarnya adalah sebagai berikut [28] : 1. HBD dan garam ditimbang dan dimasukkan ke dalam termos (semua tindakan pencegahan harus diambil untuk mengisolasi campuran dari kelembaban udara karena higroskopisitas tinggi) 2. Pemanasan dan pengadukan dilakukan sampai terbentuk cairan berwarna (biasanya 2 jam pada 60 o C). 16

2.6.1 Choline Chloride (ChCl) Choline chloride (ChCl) dengan nama IUPAC 2-hydroxy-N,N,Ntrimethylethanaminium chlorideatau (2-hydroxyethyl) trimethylammonium chloridea dalah salah satu garam amonium yang paling luas digunakan untuk pembentukan DES karena ChCl murah dan dapat dengan mudah diambil dari biomassa [25]. ChCl berbentuk kristal putih dengan kemurnian 98%, mudah larut dalam air, etanol, aseton, dan klorofom [29]. Alasan utama ChCl menjadi sebuah garam amonium kuaterner yang bermanfaat adalah bahwa ChCl merupakan garam amonium kuaterner asimetris dengan kelompok fungsional polar. Sifat asimetris molekul tersebut akan mengurangi titik beku molekul cairan ionik, seperti halnya gugus fungsional polar. Dengan menggabungkan ChCl: urea (rasio 1:2) dihasilkan produk dengan titik beku 12 C [30]. Gambar 2.2 Struktur Choline Chloride (Hydroxyethyltrimethylammonium Chloride) [30] DES berbasis ChCl telah menarik perhatian yang cukup besar di banyak bidang, seperti elektrodeposisi, biokatalitik dan sintesis organik. Selain itu, DES ini juga telah ditemukan memiliki potensi sebagai pelarut hijau dalam penyerapan CO2 [30]. Akan tetapi, meskipun sebagian besar DES terbuat dari ChCl yang merupakan jenis ILs, DES tidak dapat dianggap sebagai ILs karena DES tidak seluruhnya terdiri dari jenis ion, DES juga dapat diperoleh dari jenis non-ionik. Selain itu, Dibandingkan dengan ILs tradisional, DES yang berasal dari ChCl memiliki banyak keuntungan, seperti (1) biaya rendah; (2) kurang reaktif dengan air; (3) pembuatannya mudah, yaitu diperoleh hanya dengan mencampurkan dua komponen, sehingga akan melewati semua masalah pemurnian dan pembuangan limbah yang umumnya ditemui pada ILs dan (4) sebagian besar dari DES adalah 17

biodegradable, biocompatible dan tidak beracun, sehingga memperkuat DES menjadi media ramah lingkungan [25]. 2.7 DEEP EUTECTIC SOLVENT (DES) DAN SLUDGE PALM OIL (SPO) DALAM.BIDANG\BIODIESEL Dalam beberapa tahun terakhir, biodiesel telah menjadi perhatian penting sebagai salah satu alternatif untuk mesin diesel [32]. Biodiesel dihasilkan dari minyak nabati atau lemak hewani dan memiliki sifat biodegradable, tidak beracun dan dapat mengurangi emisi polutan udara. Biodiesel berasal dari sumber daya terbarukan, hal ini memungkinkan biodiesel akan bersaing dengan produksi minyak bumi [5]. Secara umum, produksi biodiesel terutama melalui reaksi transesterifikasi melibatkan minyak nabati atau lemak hewan dengan metanol atau etanol dan menggunakan katalis homogen basa atau asam untuk mendapatkan mono-alkil ester [17]. DES saat ini banyak diterapkan dalam bidang sintesis biodiesel, seperti sebagai pelarut dalam penghilangan katalis dari biodiesel [15], sebagai pelarut dalam penghilangan gliserol dari biodiesel [16], sebagai media dalam reaksi enzimatik sintesis biodieseldan sebagai co-solvent dalam sintesis biodiesel [8]. Namun, penggunaan DES sebagai co-solvent untuk sinstesis biodiesel belum sepenuhnya dikenal dan dipelajari. Sebuah studi terbaru menunjukkan telah potensi DES yang berbeda, yaitu sebagai co-solventuntuk sintesis enzimatik biodiesel. Di sisi lain, pemanfaatan DES sebagai media untuk produksi biodiesel melalui katalisis kimia belum dilaporkan [8]. Hayyan dkk. [5], pada tahun 2010 melaporkan pembuatan biodiesel dari SPO secara multitahap, dimana pada tahap pretreatment, SPO diesterifikasi dengan menggunakan asam kuat p-toluenesulfonic acid (ptsa) dan dilanjutkan dengan transesterifikasi menggunakan basa kuat KOH. Dari penelitian ini, diperoleh yield biodiesel sebesar 76,62% dengan kadar ester 93% dan konversi FFA menjadi FAME sebesar 90,93%. Untuk menyempurnakan penelitian sebelumnya, maka pada tahun 2011 Hayyan dkk. [6], melaporkan pembuatan biodiesel dari SPO secara multitahap, namun tahap esterifikasi ini dilakukan dengan menggunakan asam kuat 18

trifluoromethanesulfonic acid (TFMSA) dan dilanjutkan dengan transesterifikasi menggunakan basa kuat KOH. Dari penelitian ini diperoleh hasil akhir transesterifikasi berupa yield sebesar 84% dengan kadar ester 96,7%. Shahbaz, dkk. [14], pada tahun 2011 telah melaporkan penggunaan DES menjadi pelarut dalam penghilangan katalis basa KOH dari biodiesel yang berbasis choline chloride (ChCl) dan methyltriphenylphosphoniumbromide (MTPB) sebagai garam halida organik serta gliserol, ethylene glycol dan 2,2,2- trifluoroacetamide sebagai donor ikatan hidrogen. Efisiensi penyisihan KOH ratarata masing-masing 98,59% dan 97,57% untuk DES ChCl: gliserol dan MTPB: gliserol. Hasil penelitian menunjukkan DES berpotensi digunakan sebagai pelarut untuk menghilangkan KOH dari biodiesel. Shahbaz, dkk. [16], pada tahun 2012 juga melaporkan penggunaan DES menjadi pelarut dalam penghilangan gliserol dari biodiesel yang berbasis choline chloride (ChCl) dan methyltriphenylphosphoniumbromide (MTPB) sebagai garam halida organik serta gliserol, ethylene glycol dan 2,2,2-trifluoroacetamide sebagai donor ikatan hidrogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DES berbasis gliserol sebagai ikatan donor hidrogen memiliki efisiensi removal yang lebih rendah dan DES berbasis phosphunium sebagai garam halida organik jauh lebih efisien. Penggunaan DES berbasis choline chloride dengan gliserol (1:2) juga dilaporkan sebagai cosolvent dalam sintesis biodisel dengan NaOH sebagai katalis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa FAME dapat diperoleh hingga yield 98%. Selain itu, penggunaan DES sebagai co-solvent dalam sintesis biodiesel ini memiliki kelebihan, seperti meminimalkan jumlah penggunaan pelarut volatil (metanol), mempercepat dan memudahkan pemurnian biodiesel yang diperoleh [8]. 19