1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaminan kesehatan bagi semua orang merupakan hak azasi manusia, dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Azasi Manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) atau Universal Independent of Human Right dicetuskan pada tanggal 10 Desember 1948 yang terdiri dari 30 pasal. Pasal 25 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Berdasarkan Deklarasi tersebut, pasca Perang Dunia II beberapa negara mengambil inisiatif untuk mengembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua penduduk atau Universal Health Coverage(UHC). Dalam sidang ke-58 tahun 2005 di Jenewa, World Health Assembly (WHA) menggaris bawahi perlunya pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin tersedianya akses masyarakatterhadap pelayanan kesehatan dan memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan.wha ke-58 mengeluarkan resolusi yang menyatakan, pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui UHC diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial.setiap negara perlu mengembangkan UHC melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial untuk menjamin pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan. Pencapaian UHC melalui mekanisme asuransi sosial perlu dilakukan agar pembiayaan kesehatan dapat dikendalikan sehingga keterjaminan pembiayaan kesehatan menjadi pasti dan
2 terus menerus tersedia yang tujuan akhirnya adalah keadilan sosial bagi seluruh penduduk dapat terwujud (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Pengakuan hak asasi warga atas kesehatan di Indonesia telah diakui melalui falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila kelima. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. Selanjutnya pada 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Presiden RI, 2004). Untuk mewujudkan komitmen global dan amanat konstitusi, Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)bagi kesehatan perorangan. JKN adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. JKN yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari sistem jaminan sosial nasional yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib. Jaminan Sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak(kementerian Kesehatan RI, 2013). Undang-Undang 40 tahun 2004 mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk JKN dilaksanakan melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan (BPJS KS) dan BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK). Berdasarkan Undang-Undang No 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, BPJS KS merupakan perubahan nama dari PT Askes (Persero) yang diimplementasikan sejak tanggal 1
3 Januari 2014 dan merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat 1 Peraturan Presiden (Perpres) No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, yang telah mengalami perubahan dengan Perpres no 111 tahun 2013, Perpres no 19 tahun 2016 dan perubahan ketiga dengan Perpres no 28 tahun 2016, Menteri Kesehatan Republik Indonesia menetapkan peraturan No. 69 Tahun 2013 tentang standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional, yang kemudian diganti dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) no 59 tahun 2014, dimana dijelaskan terkait sistem pembayaran yaitu kapitasi dan non kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama yang meliputi puskesmas, klinik swasta, dan dokter praktik. Sedangkan untuk fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (rum ah sakit) BPJS KSmelakukan pembayaran dengan Indonesia Case Base Groups (INA CBGs) atau sistem paket. Jika disuatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan kapitasi, BPJS KS diberi wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lainyang lebih berhasil guna. Berdasarkan peraturan ini, pembayaran atas layanan kesehatan dilakukan oleh BPJS KS. Pasien tidak lagi membayar secara langsung kepada dokter, klinik, atau rumah sakit. Pembayaran yang dilakukan oleh BPJS KS dilakukan secara prospektif dengan standar tarif. Tarif pembayaran ditentukan berdasarkan negosiasi oleh BPJS KS dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tariff yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Pembayaran layanan kesehatan berdasarkan tarif ini berimbas pada besarnya imbalan jasa pelayanan yang diterima oleh tenaga kesehatan. Terhitung sejak 1 Januari 2014 sejak BPJS KS dijalankan, seluruh fakir miskin dan masyarakat miskin yang datanya ditetapkan oleh Kementerian Sosial,mendapat fasilitas layanan kesehatan gratis dari Pemerintah. Namun di kalangan para dokter banyak yang belum paham terkait sistem pembayaran sehinggamasih terjadi pertentangan dan belum ada kesepakatan menyangkut remunerasi terutama imbalan jasa pelayanan.
4 Sesuai dengan Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, pada pasal 30 ayat 1b menyebutkan tentang hak rumah sakit untuk menerima imbalan jasa pelayanan, serta menentukan remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Adanya imbalan jasa pelayanan disebabkan oleh profesi tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, dan bidan; merupakan profesi yang berbeda dari prefesi lain, profesi tenaga kesehatan mempunyai risiko medis. Insentif yang berasal dari jasa pelayanan merupakan salah satu komponen dalam remunerasi. Berdasarkan Depkes RI (2007), insentif adalah jasa pelayanan yang tercantum dalam jasa pelayanan rumah sakit, yang merupakan penghargaan dari manajemen rumah sakit atas dasar kinerja karyawan. Insentif jasa pelayanan dokter merupakan salah satu bentuk cash compensation yang dihubungkan dengan kinerja dokter. Pemberlakuan sistem pembayaran oleh BPJS KS membawa konsekuensi pada perubahan besarnya imbalan jasa pelayanan yang diterima oleh para dokter. Banyak dokter yang menganggap bahwa remunerasi yang diterima oleh para dokter yang melayani peserta BPJS KS terlalu kecil dan tidak jelas perhitungannya. Pembayaran imbalan jasa pelayanan dengan sistem kapitasi maupun INA CBGs dinilai terlalu rendah. Imbalan jasa pelayanan yang rendah ini dinilai tidak adil karena beban dokter dalam melayani pasien bertambah. Adanya JKN membuat masyarakat yang berobat meningkat jumlahnya. Pada pelayanan primer, pemberlakuan pembayaran dengan sistem kapitasi membuat tidak adanya kepastian jumlah imbalan jasa pelayanan yang akan diterima oleh para dokter yang berpraktik di puskesmas, atau klinik swasta. Profit sistem kapitasi tergantung dari sisa pemanfaatan dana kapitasi, sehingga pemanfaatan penggunaan obat dan mengurangi kunjungan merupakan salah satu cara yang dianggap efektif. Fasilitas kesehatan tingkat pertama cenderung mengirim ke rumah sakit, sehingga banyak rumah sakit kewalahan. (Budi K, 2014). Sedangkan untuk fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan, dengan tarif INA CBG s yang berlaku saat ini berpotensi menurunkan pendapatan para dokter, sementara beban kerja meningkat karena angka kunjungan yang tinggi.
5 Tarif dibayar dengan harga paket yang ada dalam INA CBGs, termasuk penggunaan obat dan fasilitas lainnya. Tarif rumah sakit dengan tipe A, B, C, dan D menjadi berbeda-beda tergantung pada fasilitas dan kapasitas rumah sakit. Dalam sistem INA CBGs yang diterapkan oleh JKN, tidak mengatur besarnya imbalan jasa pelayanan, BPJS KSjuga tidak mengatur remunerasi dokter. Imbalan jasa pelayanan diatur oleh rumah sakit itu sendiri atau perundangan yang berlaku bagi rumah sakit pemerintah. Akibatnya, setiap rumah sakit menetapkan besarnya jasa pelayanan dengan jumlah yang berbeda-beda. Misalnya, rumah sakit A menetapkan 30 persen untuk jasa pelayanan, sedangkan rumah sakit B hanya menetapkan 17 persen dari total biaya pengobatan pasien untuk jasa pelayanan. Kondisi ini memicu ketidakpuasan di kalangan dokter terhadap jumlah imbalan jasa pelayanan yang mereka terima. Penyebab ketidakpuasan bersumber dari beberapa masalah, misalnya perubahan pembayaran dari pay for service berubah menjadi pembayaran dengan sistem paket. Sebelum penerapan BPJS KS, dokter dapat menghitung besarnya jumlah insentif jasa pelayanan berdasarkan jumlah pelayanan yang diberikannya kepada pasien. Dokter merasa mendapatkan kompensasi yang layak, semakin banyak pasien, semakin besar imbalan jasa pelayanan yang diterimanya. Namun dengan sistem paket dokter tidak mendapat kepastian berapa jumlah jasa pelayanan yang akan diterimanya. Dengan sistem INA CBGs, jumlah pembayaran sangat ditentukan oleh penetapan diagnosis primer dan sekunder. Perbedaan penetapan diagnosis ini dapat menimbulkan selisih pembiayaan yang besar, dan akan berdampak pada perbedaan jumlah jasa pelayanan yang diterima oleh dokter. Ketidakpuasan lainnya menyangkut perbedaan pembiayaan bagi dokter yang melakukan pembedahan dan tidak melakukan pembedahan. Dokter bedah mendapatkan tarif yang memadai sehingga tindakan yang dikerjakan masih sebanding dengan imbalan jasa pelayanan yang diterimanya. Namun untuk bukan dokter bedah, sangat tergantung dengan kompleksitas penyakit. Pasien dengan diagnosis dan komplikasi lebih dari 3 penyakit dapat menyebabkan perbedaan pembiayaan yang besar dan bisa diprediksi rumah sakit akan merugi karena sumber daya untuk sarana, prasarana, dan obat sangat besar.
6 Pengamatan peneliti di lapangan menyangkut tingkat kepuasan para dokter terhadap jasa pelayanan yang diterimanya dalam era JKN umumnya menyangkut jumlah nominal yang dinilai sangat kurang; meragukan sistem pencatatan data layanan; pola sistem pembagian jasa pelayanan yang tidak jelas atau tidak transparan; aspek waktu pemberian jasa pelayanan; dan ketidakadilan yang dirasakan oleh dokter karena tidak mempertimbangkan tingkat kesulitan, kegawatan kasus, tingkat kesulitan, dan risiko dalam pembuatan tarif pembiayaan. Selain ketidakpuasan dokter, terdapat pula dokter yang tidak mempermasalahkan jumlah jasa pelayanan yang diterimanya dalam era JKN. Dokter tidak mempermasalahkan jumlah dan waktu pembagian jasa pelayanan. Hal yang mendasar dari BPJS KS sebagai amanah undang-undang adalah tercapainya tujuan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia. Asuransi kesehatan sosial menjamin sustainabilitas atau kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar hidup rakyat secara layak, bukan hanya ditentukan oleh kemampuan pembiayaan, namun juga oleh peningkatan kualitas layanan kesehatan. Pelaksanaan JKN harus memperhatikan seluruh stakeholder yang terlibat, misalnya peserta, tenaga kesehatan, dan rumah sakit. Pelaksanaan JKN bukan hanya semata-mata dapat memberi pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi juga harus memberi perhatian kepada pelaksana atau tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan, seperti dokter dan perawat. Tenaga kesehatan merupakan sumber daya yang utama bagi terwujudnya jaminan kesehatan nasional. Tantangan bagi manajemen sumber daya manusia (MSDM) di instansi kesehatan adalah mengopimalkan instrumentinstrumen managerial agar menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkinerja tinggi yang dapat memberikan pelayanan prima bagi segenap rakyat Indonesia. Manajemen kinerja perlu diterapkan oleh Pemerintah untuk mendapatkan pegawai yang berkinerja tinggi. Manajemen kinerja merupakan sarana para manajer memastikan bahwa aktivitas-aktivitas pegawai dan outputnya sama dengan sasaran-sasaran organisasi. Dalam konteks pelaksanaan JKN, aktivitasaktivitas pelaksana dan outputnya harus sesuai dengan tujuan Pemerintah dalam
7 menerapkan JKN. Sebagai contoh, setiap aktivitas dan output tenaga kesehatan sebagai pelaksana BPJS KS seharusnya sejalan dengan tujuan penerapan JKN. Ketika terjadi ketidaksesuaian, maka kinerja yang diharapkan tidaklah dapat dicapai. Dalam hal ini diperlukan instrument manajerial untuk mengarahkan perilaku para tenaga kesehatan agar sejalan dengan tujuan Pemerintah. Salah satu instrumen penting dalam MSDM adalah kompensasi.kompensasi merupakan fungsi MSDM yang paling kompleks dan juga merupakan aspek yang paling berarti bagi pegawai maupun organisasi. Kompensasi merupakan salah satu instrumen yang dapat meningkatkan meningkatkan kinerja pegawai. Kompensasi juga merupakan salah satu upayaorganisasi untuk melakukan perubahan perilaku pagawai agar sesuai dengan tujuan organisasi. Sebagai contoh, pemberian insentif dan bonus finansial dapat memberikan penguatan perilaku secara positif. Penguatan perilaku karyawan secara positif ini mengacu pada pay for performance, yaitu insentif dalam bentuk finansial yang dihubungkan dengan prestasi pagawai. Dalam manajemen rumah sakit, insentif jasa pelayanan dokter merupakan salah satu bentuk kompensasiyang dihubungkan dengan kinerja dokter. Dalam penerapan JKN, perubahan yang dirasakan oleh para dokter adalah perubahan pembayaran dari pay for service berubah menjadi pembayaran dengan sistem paket. Perubahan ini menimbulkan ketidakpuasan kompensasi dikalangan para dokter. Hal ini berpotensi menghambat pencapaian tujuan JKN karena dapat menghambat kesinambungan usaha. Menurut Noe dkk (2010) kesinambunga n usaha bergantung pada kemampuan organisasi memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap keberhasilan organisasi. Kesinambungan usaha bagi sebuah institusi rumah sakit mengandung pengertian bahwa suatu rumah sakit diasumsikan akan terus melanjutkan usahanya dan tidak akan menghentikan operasionalisasinya. Kesinambungan suatu rumah sakit tergantung pada sumber daya yang dimilikinya; misalnya SDM yang berkinerja tinggi dan finansial yang memadai. Dalam berbagai literatur MSDM, SDM yang berkinerja tinggi adalah SDM yang kebutuhannya mampu dipenuhi oleh rumah sakit, salah satunya adalah
8 pemenuhan kompensasi yang sesuai dengan harapan para pegawainya.sebagai satu ilustrasi pada Agustus 2015, karyawan RSUD Caruban Kabupaten Madiun melakukan demo ke pihak Manajemen karena diduga adanya penyelewengan jasa pelayanan. (AntaraJatim, 2015) Demo terjadi karena adanya misskomunikasi, missmanajemen dan misskoordinasi. (SuryaOnline, 2015). Ketidakpuasan dokter terhadap insentif jasa pelayanan berdasarkan sistem paket dalam sistem JKN menunjukkan bahwa Pemerintah belum bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan para dokter sebagai tenaga kesehatan. Ketidakpuasan ini dapat menghambat kinerja dokter, padahal kinerja dokter sangat dibutuhkan untuk memberikan pelayanan prima kepada seluruh rakyat Indonesia dalam rangka pencapain tujuan JKN. Penelitian ini berfokus pada tingkat kepuasan jasa pelayanan dokter dalam era JKN khususnya dalam lingkup pelayanan BPJS Kesehatan Madiun. Fasilitas kesehatan Tingkat Lanjut yang bekerjasama di wilayah kerja Madiun sejumlah 19 rumah sakit meliputi Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Ngawi, Ponorogo, dan Magetan. Kota Madiun memiliki 8 rumah sakit, dan 7 rumah sakit yang sudah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan Madiun, yaitu RSUD Soedono, RSUD Kota Madiun Soegaten, RSI Siti Aisyah, RS Griya Husada, RS DKT TK IV Madiun, RSIA Al Hasanah, dan RS Paru Mangunharjo. Penelitian ini hanya dilakukan pada 2 rumah sakit di Kota Madiun yaitu RSUD Kota Madiun Soegaten dan RSI Siti Aisyah. Jumlah penduduk kita Madiun adalah 192.807 jiwa dengan peserta yang terdaftar pada BPJS kesehatan Madiun adalah 112.895 jiwa atau sebesar 59% dari total penduduk Kota Madiun. Biaya pelayanan kesehatan tingkat lanjut untuk wilayan kota madiun pada tahun 2015 adalah sebesar Rp150.000.000.000,00. Sepanjang tahun 2015, biaya pelayanan kesehatan untuk RSUD Kota Madiun Soegaten adalah sebesar Rp25.000.000.000,00 dan biaya pelayanan kesehatan untuk RSI Siti Aisyah adalah sebesar Rp16.000.000.000,00. RSUD Kota Madiun Soegaten merupakan rumah sakit milik Pemerintah Kota Madiun yang beralamat di Jl. Campursari 12 B Madiun. RSUD Kota Madiun Soegaten bertipe C dengan jumlah tempat tidur sebanyak 224 pada tahun 2015
9 dengan BOR sebesar 75,6% (2013). RSUD Kota Madiun mempunyai visi untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Untuk mendukung visi rumah sakit, RSUD Kota Madiun menetapkan misi yaitu meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya, mewujudkan pelayanan berfokus pelanggan dan profesional, dan mewujudkan manajemen Rumah Sakit yang baik dan transparan. RSUD Kota Madiun memiliki 18 orang dokter spesialis dan 10 orang dokter umum. Jumlah dan tenaga pada RSUD Kota Madiun dapat dilihat pada Lampiran 1. Adapun untuk data kunjungan IGD, rawat jalan, dan rawat inap dapat dilihat pada Lampiran 2. RSI Siti Aisyah merupakan rumah sakit milik PP Muhammadiah yang beralamat di Jl. Mayjend Sungkono no 38-40 Madiun. RSI Siti Aisyah juga rumah sakit bertipe C dengan jumlah tempat tidur sebanyak 152 pada tahun 2015 dengan BOR sebesar 85% (2015). RSI Siti Aisyah mempunyai visi menjadi rumah sakit pilihan utama masyarakat Madiun dan sekitarnya dengan memberikan pelayanan kesehatan yang berfokus pada pasien, Islami, serta mengutamakan mutu dan keselamatan pasien. Untuk mendukung visi rumah sakit, RSI Siti Aisyah menetapkan misi yaitu memberikan pelayanan kesehatan yang berfokus pada pasien dengan mengutamakan mutu dan keselamatan pasien; mengembangkan sumber daya insani sesuai standar profesi, bermutu, dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap rumah sakit dan perserikatan; mengembangkan dakwah dengan pelayanan yang Islami; dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan harmonis. RSI Siti Aisyah memiliki 36 orang dokter spesialis dan 11 orang dokter umum, termasuk dokter tamu. Jumlah dan tenaga pada RSI Siti Aisyah dapat dilihat pada Lampiran 3. RSUD Kota Madiun dan RSI Siti Aisyah dalam pelayanannya kepada masyarakat sama-sama memfokuskan kualitas pelayanan kesehatan. SDM sebagai unsur utama dalam pelayanan rumah sakit perlu mendapat perhatian besar dari manajemen rumah sakit. Kepuasan terhadap kompensasi dalam bentuk jasa pelayanan menjadi hal yang krusial dalam membentuk SDM yang berkualitas. Faktor-faktor yang berperan dalam membentuk kepuasan kompensasi dalam bentuk insentif jasa pelayanan perlu menjadi perhatian utama bagi manajemen
10 rumah sakit.penting tidaknya peranan suatu faktor dalam membentuk kepuasan kompensasi dapat dilihat dari besarnya pengaruh faktor tersebut terhadap kepuasan kompensasi. Dengan mengetahui ada tidaknya pengaruh dan besarnya pengaruh dari sebuah faktor/variabel terhadap kepuasan kompensasi, menunjukkan bahwa faktor tersebut merupakan penyebab terjadinya kepuasan kompensasi. Karena tujuan manajemen rumah sakit ingin meningkatkan kepuasan kompensasi, maka faktor-faktor yang dapat menyebabkan meningkatnya kepuasan kompensasi perlu mendapat perhatian besar. B. Perumusan Masalah Penelitian ini berusaha menjelaskan faktor-faktor yang berperan dalam membentuk kepuasan terhadap kompensasi dalam bentuk insentif jasa pelayanan dokter di rumah sakit milik Pemerintah dan Swasta. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah terdapat perbedaan tingkat kepuasan insentif jasa pelayanan dokter di Rumah Sakit Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta dalam era penerapan JKN? 2. Apakah persepsi keadilan dan transparansi remunerasi berpengaruh terhadap kepuasan insentif jasa pelayanan dokter di Rumah Sakit Pemerintahdalam era penerapan JKN? 3. Apakah persepsi keadilan dan transparansi remunerasi berpengaruh terhadap kepuasan insentif jasa pelayanan dokter di Rumah Sakit Swasta dalam era penerapan JKN? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini mempunyai tujuan khusus sebagai berikut: 1. Mengukur pengaruh persepsi keadilan internal terhadap kepuasan insentif jasa pelayanan dokter di Rumah Sakit Pemerintah.
11 2. Mengukur pengaruh persepsi keadilan eksternal terhadap kepuasan insentif jasa pelayanan dokter di Rumah Sakit Pemerintah. 3. Mengukur pengaruh transparansi remunerasi terhadap kepuasan insentif jasa pelayanan dokter di Rumah Sakit Pemerintah. 4. Mengukur pengaruh persepsi keadilan internal terhadap kepuasan insentif jasa pelayanan dokter di Rumah Sakit Swasta. 5. Mengukur pengaruh persepsi keadilan eksternal terhadap kepuasan insentif jasa pelayanan dokter di Rumah Sakit Swasta. 6. Mengukur pengaruh transparansi remunerasi terhadap kepuasan insentif jasa pelayanan dokter di Rumah Sakit Swasta D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat bagi pembahasan teori dengan memperkaya pemahaman tentang teori kompensasi terutama cash compansation sebagai instrumen untuk mengarahkan perilaku positif para pegawai. Selain manfaat teoritis, penelitian ini juga memberi manfaat praktis bagi manajemen rumah sakit, yaitu untuk meningkatkan kepuasan kompensasi para dokter di era JKN. E. Keaslian Penelitian Berikut adalah penelitian-penelitian yang hampir serupa dengan penelitian ini: 1. Penelitian Yuswanti (2015) tentang persepsi dan ekspektasi karyawan terhadap pembagian jasa pelayanan secara remunerasi di RSUD Pacitan. Perbadaan penelitian Yuswanti (2015) dengan penelitian ini adalah pada tujuan penelitian. Penelitian Yuswanti (2015) bertujuan mengidentifikasi tanggapan dokter spesialis dan paramedis tentang penerimaan jasa pelayanan dan untuk mengetahui sistem pembayaran yang diharapkan oleh karyawan, sedangkan penelitian ini bertujuan mengukur pengaruh langsung beberapa variabel independen terhadap tingkat kepuasan jasa pelayanan dalam JKN.
12 2. Penelitian Till dan Kerren (2011) yang berusaha memahami anteseden dari pay level satisfaction. Perbedaan penelitian Till dan Kerren (2011) dengan penelitian ini adalah pada variabel yang digunakan. Penelitian Till dan Kerren (2011) mengunakan variabel pay level satisfaction, sedangkan penelitian menggunakan kepuasan yang lebih luas, bukan hanya pada tingkat pembayaran saja. 3. Penelitian Jawahar dan Stone (2011) yang mengintegrasikan dua stream riset dan menginvestigasi komponen kompensasi. Penelitian Jawahar dan Stone (2011) berhasil menunjukkan imbas yang berbeda dari dimensi keadilan organisasi. Perbedaan penelitian Jawahar dan Stone (2011) dengan penelitian ini adalah pada kerangka konsep yang digunakan. Penelitian Jawahar dan Stone (2011) menjelaskan hubungan antar dimensi-dimansi dari kedua konstruk, sedangkan penelitian ini menjelaskan variabel terukur dari keadilan organisasional terhadap variabel dependennya sebagai dimensi tunggal. 4. Penelitian Tangkas (2010) tentang pola distribusi remunerasi yang memenuhi persepsi keadilan internal karyawan RSIA Puri Bunda. Perbedaan Tangkas (2010) dengan penelitian ini adalah pada jenis penelitian dan variabel yang digunakan. Penelitian Tangkas (2010) dilakukan dengan cara eksploratif kualitatif, dan variabel keadilan yang dipertimbangkan hanya keadilan internal. Sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk meneliti tentang kompensasi berupa insentif jasa pelayanan di rumah sakit, dan variabel keadilan yang dipertimbangkan meliputi keadilan internal dan eksternal. 5. Penelitian Priyanti (2008) yang meneliti tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efektifitas sistem pembagian jasa pelayanan dirsj Prof.Soeroyo Magelang. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Priyanti (2008) adalah pada penerapan teori. Penelitian Priyanti (2008) memfokuskan pada efektifitas sistem kompensasi, sedangkan penelitian ini memfokuskan pada tingkat kepuasan kompensasi. 6. Nofrinaldi (2005) tentang persepsi dan pengaruh sistem pembagian jasa pelayanan terhadap kinerja karyawan di Rumah Sakit Jiwa Madani, dengan
13 cara mengevaluasi dampak revisi sistem pembagian jasa pelayanan di Rumah Sakit Madani. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Nofrinaldi (2005) adalah pada model penelitian yang digunakan. Variabel independen dalam penelitian Nofrinaldi (2005) adalah persepsi dan pengaruh sistem pembagian jasa pelayanan, sedangkan dalam penelitian ini variabel jasa pelayanan yang teliti adalah tingkat kepuasannya dan diperlakukan sebagai variabel dependen. 7. Penelitian Muchzal (2004) tentang hubungan antara kepuasan perawat dan kompensasi moneter non gaji dan kinerja. Muchzal (2004) menemukan bahwa keadilan internal mempengaruhi kepuasan terhadap sistem distribusi kompensasi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Muchzal (2004) adalah menyangkut model penelitian dan metoda penelitian yang digunakan. Variabel kepuasan perawat dalam penelitian Muchzal (2004) diidentifikasi sebagai variabel independen, dan metoda penelitian yang digunakan adalah metoda deskriptif. Sedangkan dalam penelitian ini variabel kepuasan diidentifikasi sebagai variabel dependen, dan metoda yang digunakan adalah metoda survei dengan studi analitik.