BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu permasalahan kesehatan utama di Indonesia yang mempengaruhi tingginya angka mortalitas dan morbiditas. Infeksi Saluran Pernapasan Akut merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%). Pengendalian ISPA di Indonesia dimulai pada tahun 1984, bersamaan dengan diawalinya pengendalian ISPA di tingkat global oleh WHO. Upaya pelaksanaan pengendalian ISPA memerlukan komitmen pemerintah pusat, pemerintah daerah, dukungan dari lintas program, lintas sektor serta peran serta masyarakat termasuk dunia usaha (Kemenkes RI, 2012). Berdasarkan pola epidemiologi penyakit di Kabupaten Musi Rawas tahun 2015, ISPA merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi yaitu sebanyak 22.369 kasus dari 43.945 kunjungan, diikuti dengan penyakit diare dan hipertensi. Angka ini menunjukkan bahwa lebih dari 50% kejadian ISPA terjadi di puskesmas. Puskesmas yang berada di Kabupaten Musi Rawas sebanyak 19 puskesmas, yang terdiri dari 12 puskesmas perawatan dan 7 puskesmas non perawatan. Setiap puskesmas sudah memiliki sedikitnya 1 dokter umum, perawat, bidan, tetapi tidak seluruh puskesmas memiliki tenaga farmasi (Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Rawas, 2016). Dalam Kebijakan Obat Nasional (Konas) 2006 disebutkan bahwa pelayanan kefarmasian merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, keamanan penggunaan obat dan efisiensi biaya obat serta meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan Kefarmasian, disebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian dilakukan berdasarkan nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan sediaan farmasi yang
memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatan. Oleh karena itu, penggunaan obat rasional merupakan salah satu langkah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada pasien/masyarakat (Kemenkes RI, 2015a). Pada periode 2010-2014, penggunaan obat rasional meningkat melalui pelayanan kefarmasian yang berkualitas. Persentase instalasi farmasi RS yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar meningkat menjadi 45,9% di tahun 2014 (dari semula 25% di tahun 2010). Penggunaan obat rasional di puskesmas meningkat menjadi 69,9% (semula 56,3%). Hal ini menunjukkan perbaikan kualitas pelayanan kefarmasian, baik di tingkat fasilitas kesehatan dasar maupun rujukan (Kemenkes RI, 2015b). Pengobatan rasional ISPA non pneumonia menjadi isu strategis Kementerian Kesehatan RI. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) non pneumonia dianggap sebagai penyakit yang paling rentan terhadap kejadian ketidakrasionalan pengobatan, yaitu penggunaan antibiotik yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Sejak tahun 2009, setiap puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus melaporkan pengobatan ISPA non pneumonia berdasarkan formulir monitoring indikator peresepan. Berdasarkan hasil laporan monitoring indikator peresepan dari puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Rawas tahun 2015 untuk indikator persentase peresepan antibiotik pada ISPA non pneumonia yaitu sebesar 48,78% (Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Rawas, 2016). Hal ini belum sesuai dengan batas toleransi peresepan antibiotik untuk ISPA non pneumonia berdasarkan indikator Nasional yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI yaitu sebesar 20% (Kemenkes RI, 2014a). Pedoman pengobatan sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan terapi yang rasional pada pasien, yang dianggap sudah memenuhi kriteria terbukti manfaat dan keamanannya untuk setiap penyakit. Menurut buku Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas tahun 2007, ISPA non pneumonia dikenal dengan istilah influenza, yang disebabkan oleh Rhinovirus, Coronavirus, virus Influenza A dan B, Parainfluenza, Adenovirus. Biasanya penyakit ini sembuh sendiri dalam 3 5 hari. Di dalam penatalaksanaan pengobatannya, dinyatakan tidak dianjurkan menggunakan antibiotik, kecuali bila ada infeksi sekunder 2
(Depkes RI, 2007). Selain itu, berdasarkan Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer dinyatakan bahwa tatalaksana influenza umumnya tanpa obat (self-limited disease). Hal yang perlu ditingkatkan adalah daya tahan tubuh. Pengobatan simptomatik diperlukan untuk menghilangkan gejala yang terasa berat atau mengganggu. Terapi simptomatik per oral yaitu antipiretik, antihistamin, dekongestan, antitusif atau ekspektoran. Tindakan untuk meringankan gejala flu adalah beristirahat 2-3 hari, mengurangi kegiatan fisik berlebihan, meningkatkan gizi makanan dengan makanan berkalori dan protein tinggi, serta buah-buahan yang tinggi vitamin (Kemenkes RI, 2014b). Pengobatan di puskesmas seharusnya dilakukan oleh seorang dokter, karena dokter memiliki wewenang dalam mendiagnosa penyakit sampai memberikan pengobatan bagi pasien. Akan tetapi melihat kesibukan dokter di puskesmas, yang sering merangkap dengan urusan manajerial, sehingga pelayanan untuk pasien dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya seperti perawat dan bidan. Perawat dan bidan diberi wewenang untuk melakukan pelayanan kesehatan kepada pasien karena dianggap telah dibekali dengan kompetensi medis, sehingga berpengaruh juga terhadap pola peresepan obat yang diberikan kepada pasien. Setiap puskesmas wajib memiliki buku pedoman pengobatan yang digunakan sebagai standar dalam pengobatan. Selain itu, pendidikan berkelanjutan seperti pelatihan dan seminar juga harus diikuti untuk mengetahui perkembangan tentang pola pengobatan suatu penyakit. Pertemuan tentang penggunaan obat rasional pernah dilakukan juga untuk tenaga dokter dan tenaga farmasi yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Rawas, yang didalamnya membahas tentang pengobatan pada penyakit ISPA non pneumonia. Walaupun belum menunjukkan keberhasilan yang terlihat dari pola peresepan, namun upaya evaluasi dan pemberian punishment juga belum pernah dilakukan. Kejadian penggunaan obat tidak rasional sering ditemui dalam pelayanan obat sehari-hari. Masalah penggunaan obat yang tidak rasional masih cukup menonjol di pusat pelayanan kesehatan primer yaitu puskesmas. Disamping berakibat pada pemborosan biaya, ketidakrasionalan penggunaan obat juga meningkatkan risiko terjadinya efek samping. Dampak lainnya berupa ketergantungan pasien terhadap 3
pemberian antibiotik (akibat persepsi yang keliru), yang selanjutnya secara luas akan meningkatkan risiko terjadinya resistensi bakteri akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada populasi. Hal ini disebabkan antara lain karena ketidakpatuhan terhadap standar pengobatan rasional yang ada (Kemenkes RI, 2015a). Berbagai strategi untuk meningkatkan penggunaan obat rasional dapat dilakukan melalui intervensi edukasi (diskusi kelompok kecil, diskusi perorangan, seminar dan pelatihan), upaya manajerial (seleksi dan pengadaan obat, laporan penggunaan obat dengan umpan balik), strategi ekonomi, dan regulasi (pembatasan jumlah obat yang digunakan, melarang peredaran obat tertentu) (MSH, 2012). Upaya-upaya tersebut sudah banyak digunakan dalam memperbaiki peresepan antibiotik dalam pengobatan ISPA non pneumonia. Intervensi edukasi merupakan salah satu strategi global dalam penanganan resistensi antibiotik yang direkomendasikan oleh WHO untuk peresep, yang disebabkan kurangnya pengetahuan dan pelatihan (WHO, 2001). Sebuah penelitian menyatakan bahwa intervensi edukasi dengan metode diskusi kelompok kecil (DKK) merupakan pendekatan yang dinilai efektif dalam menurunkan penggunaan antibiotik pada kasus diare akut dengan biaya yang lebih murah jika dibandingkan dengan seminar (Santoso, 1996). Diskusi kelompok Kecil (DKK) dengan pemberian materi cetak berupa bagan alur pengobatan ISPA serta diikuti umpan balik juga dinilai lebih efektif atau lebih bisa bertahan dalam menurunkan penggunaan antibiotik pada pengobatan ISPA oleh paramedis jika dibandingkan dengan DKK yang tidak disertai dengan umpan balik (Munawaroh, 2000). Pemberian materi cetak saja tidaklah efektif, jika tanpa disertai dengan pengenalan ataupun tindak lanjut yang intensif (Hogerzeil, 1995). Pemberian umpan balik secara lisan dan tertulis, dinilai lebih efektif daripada yang hanya umpan balik tertulis saja (Saputro, 1998). Metode DKK juga efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bidan desa terhadap pengobatan yang rasional pada pengobatan ISPA non pneumonia (Sitanggang, 2013). Selain dengan metode DKK, intervensi dengan self monitoring yang dilakukan oleh puskesmas dan diikuti oleh umpan balik yang diberikan oleh Dinas 4
Kesehatan pada peresepan obat di puskesmas, dapat menurunkan penggunaan antibiotik dan polifarmasi pada pengobatan ISPA non pneumonia pada balita (Yearniwirinar, 2011). Selain itu, penggunaan antibiotik pada pengobatan ISPA dapat menurun setelah dilakukan intervensi edukasi face to face melalui pendekatan DKK dan face to face melalui pendekatan perorangan (Maha, 2008). Sebuah penelitian yang melihat efek dari intervensi manajerial pada King Chulalongkorn Memorial Hospital di Bangkok, menunjukkan bahwa formularium rumah sakit yang baru dan kebijakan pemberian resep serta pengeluaran obat generik berperan dalam pengurangan pengeluaran obat dan mengubah sikap peresepan dokter (Limpanathikul et al., 2004). Selain itu, metode Monitoring- Training-Planning (MTP) yang merupakan kombinasi strategi pendidikan dan manajerial juga efektif dalam mengatasi permasalahan penggunaan obat yang tidak tepat di rumah sakit. Aktivitas MTP dimulai, direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara sendiri oleh tim rumah sakit, dan membuktikan bahwa pendekatan ini lebih dapat diterima oleh manajer di rumah sakit (Suryawati et al., 2004). Penelitian lain tentang metode MTP pada pengobatan ISPA di puskesmas menyatakan bahwa MTP yang diikuti umpan balik hasilnya semakin membaik dan merupakan sebuah upaya yang efektif dalam mempertahankan perilaku peresep dalam pengobatan yang rasional (Yudatiningsih & Suryawati, 2004). Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional tersebut, maka peneliti tertarik menggunakan metode intervensi DKK yang diikuti umpan balik. Pada metode intervensi DKK ini memfokuskan pada masalah yang spesifik yaitu peresepan antibiotik, menargetkan langsung pada penulis resep yaitu dokter dan perawatbidan, menargetkan pada penyebab dasar masalah peresepan, serta memperhatikan pemecahan masalah secara praktis sesuai dengan acuan yang digunakan. Dengan metode intervensi ini, diharapkan dapat menurunkan peresepan antibiotik sehingga dapat meningkatkan kerasionalan pada pengobatan ISPA non pneumonia di Puskesmas wilayah Kabupaten Musi Rawas. 5
B. Rumusan Masalah Peresepan antibiotik pada penyakit ISPA non pneumonia oleh dokter dan perawat-bidan di puskesmas wilayah Kabupaten Musi Rawas tergolong tinggi, oleh karena itu dapat dirumuskan permasalahannya: Apakah peresepan antibiotik pada pengobatan ISPA non pneumonia dapat diturunkan dengan metode DKK? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum : Tujuan umum penelitian ini adalah untuk meningkatkan kerasionalan pengobatan ISPA non pneumonia dengan metode DKK. 2. Tujuan khusus: a. Untuk mengamati penurunan peresepan antibiotik dan jumlah obat per resep pada pengobatan ISPA non pneumonia sebelum dan sesudah pada kelompok intervensi DKK. b. Untuk mengevaluasi dampak DKK terhadap peresepan antibiotik dan jumlah obat per resep antara puskesmas yang mendapatkan intervensi DKK dan puskesmas yang tidak mendapatkan intervensi. c. Untuk mengamati perubahan peresepan ISPA non pneumonia pada dokter dan perawat-bidan. D. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan penggunaan obat yang rasional sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Kabupaten Musi Rawas. Manfaat penelitian secara praktis adalah : 1. Bagi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Rawas, dapat dijadikan referensi dalam menentukan kebijakan untuk penggunaan obat yang rasional untuk kasus selain ISPA non pneumonia di Kabupaten Musi Rawas. 2. Bagi Kepala Puskesmas, dapat dijadikan acuan metode dalam mengatasi permasalahan dalam pengobatan penyakit yang banyak terjadi di Puskesmas. 3. Bagi dokter, perawat dan bidan, dapat memperbaiki perilaku peresepan dalam melaksanakan pengobatan yang sesuai dengan standar. 6
E. Keaslian Penelitian Penelitian yang serupa dengan penelitian ini ditampilkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Deskripsi Persamaan dan Perbedaan Penelitian Lain dengan Penelitian Upaya Menurunkan Peresepan Antibiotik Pada Pengobatan ISPA Non Pneumonia Di Puskesmas Wilayah Kabupaten Musi Rawas Dengan Metode DKK Peneliti Judul Penelitian Persamaan Perbedaan Siti Munawaroh (2000) Kawal Maha (2008) Upaya Menurunkan Penggunaan Antibiotik pada pengobatan ISPA melalui Diskusi Kelompok Kecil Paramedis Puskesmas di Kabupaten Bantul Upaya Menurunkan Peresepan Antibiotik Pada Pengobatan ISPA dengan Edukasi Melalui Intervensi Face to Face terhadap dokter dan paramedis di Puskesmas Kabupaten Karo Upaya menurunkan penggunaan Antibiotik Intervensi DKK dan umpan balik Melihat persentase antibiotik dan rerata jumlah resep Upaya menurunkan peresepan antibiotik Menggunakan intervensi face to face dengan pendekatan DKK Pada pengobatan ISPA dengan kode penyakit 1402 dan 1302 Waktu dan tempat penelitian Menggunakan kelompok intervensi DKK tanpa umpan balik Tidak melihat persentase penggunaan kortikosteroid dan antihistamin Menggunakan kelompok intervensi face to face dengan pendekatan perorangan Yearmiwirinar (2011) Upaya Menurunkan Penggunaan Antibiotik Pada Pengobatan ISPA melalui Self- Monitoring di Kota Singkawang Upaya menurunkan penggunaan antibiotik Intervensi yang digunakan adalah Self Monitoring 7