BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Mycobacterium non tuberculosis pertama kali ditemukan pada abad ke 19 ketika penyakit mirip tuberculosis teridentifikasi pada ayam. Pada 1930, Mycobacterium non tuberculosis mulai menyebabkan penyakit pada manusia. Namun, klinisi tidak memperhitungkan kehadiran dari bakteri ini hingga terjadi endemik HIV/AIDS. Pasien dengan HIV akan mudah terinfeksi mycobacterium yang menyebar di seluruh tubuhnya (Schraufnagel, 2010). Berdasarkan survei di Amerika, prevalensi dari penyakit Mycobacterium non tuberculosis pada 1980 diperkirakan 1,8 kasus per 100.000 penduduk di seluruh Amerika (American Thoracic Society, 1997) sedangkan data kasus infeksi Mycobacterium non tuberculosis di Indonesia masih belum memadai. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Oregon, Amerika Serikat, prevalensi penyakit yang disebabkan Mycobacterium non tuberculosis tercatat 7,2 kasus per 100.000 penduduk dimana 5,6 kasus per 100.000 penduduk di antaranya menyebabkan infeksi paru. Selain itu, frekuensi penyakit paru-paru 1
yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium non tuberculosis dilaporkan meningkat di Eropa, Amerika Utara, Asia, dan Afrika bagian Utara (Aliyu G, 2013). Penyebaran dari mycobacterium terjadi melalui inhalasi sehingga paru - paru menjadi organ yang paling sering terinfeksi. Gejala yang muncul pada infeksi Mycobacterium non tuberculosis adalah batuk, demam, penurunan berat badan, dan insufisiensi respirasi. Secara klinis, infeksi Mycobacterium non tuberculosis sulit dibedakan dengan infeksi Mycobacterium tuberculosis (Tortoli E., 2009). Pasien dengan infeksi TB juga memiliki manifestasi klinis yang sama dengan infeksi Mycobacterium non tuberculosis sehingga menyulitkan dalam diagnosis. Program Directly Observed Treatment Strategy (DOTS) yang diberlakukan di seluruh dunia untuk pengendalian tuberculosis, tidak membedakan infeksi Mycobacterium non tuberculosis dengan infeksi tuberculosis (WHO, 2011). Diagnosis yang tepat harus dilakukan kultur bakteri. Selain itu, obat yang digunakan dalam terapi infeksi Mycobacterium non tuberculosis berbeda dengan infeksi Mycobacterium tuberculosis. Berdasarkan DOTS, terapi untuk tuberculosis menggunakan 4 regimen obat 2
yaitu Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol (WHO, 2011). Berdasarkan American Thoracic Society (1997), terapi untuk Mycobacterium non tuberculosis disesuaikan dengan mycobacterium yang menginfeksi. Doksisiklin merupakan salah satu pilihan terapi dalam infeksi Mycobcaterium non tuberculosis tipe rapidly growing (American Thoracic Society, 1997). Dalam kenyataannya dalam praktik klinis, pasien dengan infeksi Mycobacterium non tuberculosis sering diobati dengan obat untuk tuberculosis dimana salah satunya adalah Rifampisin. Padahal berdasarkan berbagai sumber, Mycobacterium non tuberculosis tipe rapidly growing resisten terhadap Rifampisin (Brown-Elliott BA, 2002). Hal ini yang menyebabkan penderita infeksi paru yang disebabkan oleh Mycobacterium non tuberculosis terutama tipe rapidly growing tidak sembuh setelah diobati dengan obat Tuberculosis standar. Melihat penggunaan obat yang selama ini digunakan serta rekomendasi dari berbagai sumber mengenai pengobatan yang sesuai untuk rapidly growing mycobacterium, penelitian ini bertujuan untuk membuktikan sensitivitas rapidly growing mycobacterium terhadap doksiklin dan rifampisin. Penelitian ini 3
melihat sejauh mana potensi dari kedua antibiotik dalam menghambat pertumbuhan rapidly growing mycobacterium. I.2 RUMUSAN MASALAH Prevalensi dari infeksi Mycobacterium non tuberculosis meningkat. Tampakan klinis dari infeksi Mycobacterium non tuberculosis tidak bisa dibedakan dengan infeksi Tuberculosis sehingga terapi yang diberikan tidak tepat. Pengobatan infeksi Mycobacterium non tuberculosis terutama tipe rapidly growing seharusnya berbeda dengan infeksi Tuberculosis. Perumusan masalah pada penelitian ini adalah menilai potensi antibiotik doksisiklin dan rifampisin terhadap pertumbuhan Mycobacterium non tuberculosis tipe rapidly growing dengan metode macro broth dilution. I.3 TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui sensitivitas bakteri Mycobacterium non tuberculosis terhadap doksisiklin dan rifampisin. 2. Membandingkan efek doksisiklin dan rifampisin pada bakteri Mycobacterium non tuberculosis. 4
I.4 KEASLIAN PENELITIAN Beberapa penelitian mengenai uji sensitivitas Mycobacterium non tuberculosis terhadap antibiotik telah dilakukan di berbagai negara dengan berbagai variasi spesies Mycobacterium non tuberculosis dan variasi antibiotik. Berikut ini merupakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya: Banks, et.al., 1987 di Cardiff, Inggris, dengan judul Combined versus single antituberculosis drugs on the in vitro sensitivity patterns of non-tuberculous mycobacteria telah melakukan uji potensi secara in vitro antara obat anti tuberkulosis tunggal dibandingkan dengan obat tuberkulosis kombinasi untuk menekan pertumbuhan Mycobacterium non tuberculosis. Penelitian ini dilakukan terhadap 16 isolat Mycobacterium avium intracellulare, 7 isolat Mycobacterium xenopi, and 8 isolat Mycobacterium malmoense. Semua isolat bakteri resisten terhadap obat anti tuberculosis tunggal dan memberikan hasil yang cukup sensitif terhadap obat anti tuberculosis kombinasi. Carillo, et.al., 1996, dengan judul Comparative in vitro activity of Sparfloxacin and eight other 5
antimicrobial agents against clinical isolates of nontuberculous mycobacteria telah melakukan uji sensitivitas terhadap 40 rapidly growing dan 24 slowly growing Mycobacterium non tuberculosis dengan Sparfloksasin dan delapan antimikroba lainnya yang salah satunya adalah doksisiklin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sparfloksasin poten dalam menghambat pertumbuhan slowly growing mycobacterium dan rapidly growing mycobacterium. Amikasin sangat poten terhadap rapidly growing mycobacterium. Roblas, et.al., 2008 di Spanyol, dengan judul In Vitro Activities of Tigecycline and 10 Other Antimicrobials against Nonpigmented Rapidly Growing Mycobacterium telah melakukan penelitian dengan 15 isolat koleksi dan 165 isolat klinis. Hasil penelitian menunjukkan Tigesiklin memiliki aktivitas paling poten dalam menekan pertumbuhan nonpigmented rapidly growing mycobacterium. Wang Hong-Siu, et.al., 2010 di Shanghai, Cina, dengan judul Nontuberculous mycobacteria: susceptibility pattern and prevalence rate in Shanghai from 2005 to 2008 telah melakukan penghitungan prevalensi dan uji sensitivitas terhadap berbagai spesies Mycobacterium non tuberculosis. Hasil 6
penelitian menunjukkan peningkatan prevalensi Mycobacterium non tuberculosis. M. chelonae, M. fortuitum, M.kansasii, M. avium-intercellulare complex, dan M. terra merupakan lima spesies Mycobacterium non tuberculosis yang paling banyak ditemukan. Kelima spesies tersebut menunjukkan resistensi terhadap obat anti tuberculosis. M.chelonae dan M.fortuitum menunjukkan resistensi terhadap beberapa antibiotik. Perbedaan penelitian ini yaitu isolat, waktu, lokasi, dan antibiotik yang digunakan. Isolat yang digunakan merupakan isolat klinis yang didapat dari pasien yang berdomisili di sekitar Yogyakarta. Lokasi penelitian bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada yang dilakukan pada bulan November 2013 hingga Januari 2014. Penelitian ini menggunakan doksisiklin dan rifampisin sebagai antibiotik yang diuji. I.5 MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat: a. Memberikan bukti ilmiah mengenai antibiotik doksisiklin dan rifampisin dalam menghambat 7
pertumbuhan bakteri Mycobacterium non tuberculosis secara in vitro. b. Memberikan informasi mengenai terapi infeksi bakteri Mycobacterium non tuberculosis di Indonesia. I.6 PERTANYAAN PENELITIAN 1. Apakah doksisiklin dapat menghambat pertumbuhan bakteri Mycobacterium non tuberculosis? 2. Apakah rifampisin dapat menghambat pertumbuhan bakteri Mycobacterium non tuberculosis? 3. Apakah doksisiklin lebih baik dari rifampisin dalam menghambat pertumbuhan bakteri Mycobacterium non tuberculosis? 8