BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Peta Rencana Lanskap (Zonasi) Kawasan Situ Gintung

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Sejarah 2.2 Kriteria Lanskap Sejarah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. khusunya di kawasan perumahan Pondok Arum, meskipun berbagai upaya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DRAINASE PERKOTAAN BAB I PENDAHULUAN. Sub Kompetensi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAAN. A. Latar Belakang. Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah di

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rekreasi dan Wisata 2.2 Perencanaan Kawasan Wisata

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang

Bagi masyarakat yang belum menyadari peran dan fungsi Situ, maka ada kecenderungan untuk memperlakukan Situ sebagai daerah belakang

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Budaya

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

MAKALAH. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN DAERAH TANGKAPAN AIR ( Suatu Pemikiran Untuk Wilayah Jabotabek ) Oleh S o b i r i n

ECO PARK SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN BANJIR IBU KOTA JAKARTA DAN SARANA PARIWISATA (STUDI KASUS: SITU PEDONGKELAN DEPOK, JAWA BARAT)

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang

I. PENDAHULUAN. Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III TINJAUAN WILAYAH BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

TINJAUAN BENCANA SITU GINTUNG DARI SUDUT PANDANG PENATAAN RUANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini, masalah lingkungan telah menjadi isu pokok di kota-kota

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I-1

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950);

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU)

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh dan fenomena alam yang

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN 1 BAB I. 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

AKU & BUMIKU: BANJIR & LONGSOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Transkripsi:

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Situ dan manfaatnya Danau-danau kecil dan dangkal didaerah Jawa Barat dikenal dengan nama situ sedangkan di Jawa Timur dikenal dengan nama telaga (Sulastri, 2003). Secara ekologi, situ termasuk perairan dengan ekosistem terbuka. Perairan ini sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Sementara itu, dalam ilmu perairan (hidrologi) danau atau situ termasuk perairan yang menggenang. Suatu perairan dikatakan bertipe danau apabila perairan tersebut dalam dan memiliki tepian yang curam. Air perairan danau umumnya jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas di pinggiran perairan (Suwignyo,2003). Menurut Suwignyo (2003), setiap perairan menggenang yang terbentuk akibat pembendungan aliran sungai disebut waduk (reservoir). Berdasarkan pada tipe sungai yang dibendung dan kegunaan airnya maka dikenal tiga sub-tipe waduk yakni waduk lapang (field reservoir), waduk irigasi (irrigation reservoir) dan waduk serbaguna (multiporpose reservoir). Waduk lapang hanya mampu berair 6 hingga 7 bulan dan pada musim kemarau akan mengering. Waduk irigasi dapat menyimpan air 9 hingga 12 bulan dan waduk ini sewaktu-waktu dapat dikeringkan. Waduk serbanguna akan berair sepanjang tahun dan tidak mungkin dikeringkan. Menurut KLH (2007), situ merupakan genangan air dalam satu cekungan dipermukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya bersumber dari air permukaan atau air tanah, berukuran relatif lebih kecil dibanding danau, tergolong kedalam ekosistem perairan tawar terbuka dan dinamis. Kuantitas dan kualitas airnya berhubungan dengan tata air dan drainase wilayah serta dipengaruhi oleh tipe pemanfaatan badan air situ dan pemanfaatan lahan di dalam wilayah tangkapannya. Lebih lanjut KLH (2007) juga mengungkapkan manfaat situ. Secara ekologis situ bermanfaat sebagai sistem penyerapan air dan tendon air serta keberlangsungan proses ekologis didalamnya. Manfaat sosioekonomis antara lain sebagai cadangan sumber air bersih, pengendali banjir, irigasi, sumber penyedia

5 protein dari sektor perikanan darat, sebagai sarana rekreasi dan sebagainya. 2.2 Kondisi Situ di Jabotabek Menurut Hamid (1999), pada tahun 1997 jumlah situ di Botabek sebanyak 184 buah dengan luas keseluruhan sekitar 1.483 Ha. Dewasa ini, telah terjadi penyusutan sebesar 35% dan dapat dikatakan bahwa sekitar 65% situ-situ di Botabek telah berubah fungsinya. Dari 184 Situ yang mengalami sendimentasi berjumlah 69 buah dan yang mengalami eutrofikasi sebanyak 9 buah. Sedangkan situ yang mengalami konversi lahan (perubahan peruntukan lahan) sebesar 60 buah. Situ yang berubah menjadi sawah sebanyak 44 buah, menjadi pemukiman/perkantoran/industri sebanyak 8 buah, menjadi fasilitas umum sebanyak 5 buah dan menjadi tempat buang sampah sebanyak 3 situ. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Kondisi situ di Botabek 1997 Wilayah Sedimenta -si Eutro - fikasi Sawah/ kebun Kondisi situ Konversi Pemukiman/ Fasilitas perkantoran/ umum industri Bogor 49 6 26 4 2 2 Tangerang 16 3 12 3 2 - Bekasi 4-6 1 1 1 Botabek 69 9 44 8 5 3 Sumber: Hamid, 1999 Tempat buang sampah/limbah industri Hamid (1999), mengungkapkan pula ancaman terhadap situ-situ. Secara umum ancaman terhadap situ dibagi menjadi tiga kelompok yakni terjadinya konversi lahan, pendangkalan dan pencemaran lingkungan. Pada saat ini, cukup banyak terjadi areal situ yang direklamasi menjadi pemukiman, industri dan pusat pertokoan. Selain itu, juga berubah menjadi lahan sawah dan empang. Konversi lahan situ yang paling besar terjadi di Bekasi 90%, Kabupaten Tangerang 27% dan Bogor sekitar 20 %.

6 Konversi lahan ini dapat menyusutkan luas lahan situ. Secara umum letak situ berada dekat dengan pemukiman, tidak sedikit penduduk dengan sengaja memanfaatkan bagian situ yang kering dan dangkal menjadi lahan pertanian dan perikanan. Selain konversi lahan penyusutan luas situ dapat juga di debabkan oleh faktor alam yakni pada musim kemarau yang berkepanjangan, suplai air ke situsitu akan minimal sehngga sering kali bagian tepi yang cukup dangkal tidak terairi sama sekali (Wardiantno et.al.,2003) Tingginya proses pendangkalan pada situ-situ di Botabek juga menjadi ancaman bagi keberadaan situ. Pendangkalan ini dipengaruhi oleh lumpur akibat erosi tanah, sampah, meluasnya gulma dan tertutupnya saluran air. Selain itu, pencemaran lingkungan seperti masuknya limbah rumah dan indrustri ke dalam situ akan mengurangi kualitas air dalam situ yang mengakibatkan berkurangnya fungsi situ secara baik. Oleh karena itulah pencemaran lingkungan juga dapat mengancam kelestarian situ (Hamid, 1999). 2.3 Situ Gintung Menurut Bappeda (2009), Situ Gintung di masa lalu merupakan danau kecil buatan yang dibagun pada tahun 1932-1933 dengan luas awal 31 ha. Situ Gintung memiliki tanggul selebar 30 meter, ketinggiannya 6 m dan mampu menampung air hingga 2,1 juta meter kubik. Di tengah-tengah situ terdapat sebuah pulau kecil yang menyambung sampai ke tepi daratan seluas kurang lebih 1,5 ha yang bernama Pulau Situ Gintung beserta hutan tanaman yang berada sekitarnya. Pada mulanya situ (danau) ini berfungsi sebagai tempat penampungan air dan untuk perairan ladang pertanian disekitarnya. Namun semenjak tahun 1970-an kawasan pulau dan salah satu tepi Situ Gintung dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam dan perairan berupa restoran, kolam renang dan outbound. Filandari (2009) mengatakan bahwa tempat wisata tersebut bernama Pulau Situ Gintung-3 Wisata Alam dan Outbound. Pembangunan tempat wisata ini mulai dilakukan sejak tahun 1953, diawali dengan pembelian lahan pertanian di sekitar situ. Selanjutnya dilakukan penanaman pohon seperti pinus, kelapa, jambu mete, akasia, palem dan sengon. Di tahun 1980-an dilakukan penambahan fasilitas jalan, wisma dan lapangan tenis. Pada tahun 1990, tempat ini dibuka untuk umum

7 dengan nama Taman Wisata dan Sport Area. Pada tahun 2001, Taman Wisata dan Sport Area mengalami perubahan manajemen kemudian dibuatlah nama baru yakni Pulau Situ Gintung-3 Wisata Alam dan Outbound. Pada tanggal 27 Maret 2009 Situ Gintung mengalami keruntuhan dan airnya membanjiri pemukiman yang terletak dibawah tanggul. Korban yang terkena bencana ini berjumlah 614 orang. Menurut Departemen Pu (2009), keruntuhan Situ Gintung ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya adalah: 1. Tanggul situ runtuh karena tidak kuat menahan debit air yang besar akibat hujan deras 3 hari dengan intensitas curah hujan yang tinggi. 2. Terjadinya curah hujan yang tinggi sebagai akibat adanya global warming (perubahan iklim). 3. Luas situ menyusut sehingga daya tampung berkurang 4. Terjadi perubahan lingkungan di DAS hulunya situ sehingga run-off membesar 5. Lingkungan sempadan situ telah banyak bangunan permukiman dan lain-lain. Menurut Laksono (2010), bencana Situ Gintung menimbulkan kerusakan dan kerugian terhadap sumber daya manusia (korban jiwa dan pendapatan), terhadap sumber daya alam (ekosistem situ yakni hilangnya jasa ekologi, hilangnya pendapatan), terhadap sumber daya buatan yakni dalam sektor perumahan, sektor infrakstruktur ( jalan dan drainase), sektor ekonomi (perikanan dan pariwisata), sektor sosial ( pendidikan dan keagaaman). Laksono (2010) juga mengungkapkan besar estimasi nilai kerusakan dan kerugiannya. Estimasi nilai kerusakan dan kerugian terhadap sumberdaya alam sebesar 77,72 % yakni Rp. 116,32 miliar dan terhadap sumber daya buatan sebesar 22,28 % yakni Rp. 33,35 miliar. Total nilai keseluruhan kerusakan dan kerugian sebesar Rp. 149,68 miliar.

8 2.4 Lanskap Sejarah Lanskap sejarah merupakan suatu kawasan geografis yang menjadi objek atau susunan atas suatu kejadian atau peristiwa interaksi yang bersejarah dalam keberadaan dan kehidupan manusia. Lanskap ini terbentuk melalui perpaduan antara unsur-unsur alam dan unsur-unsur budaya. Dalam kenyataan umum, setiap lanskap dapat dinyatakan sebagai lanskap sejarah karena bentukan lanskap dapat merefleksikan makna sejarah dari suatu periode atau waktu tertentu. Hal ini merefleksikan perbedaan dalam rasa, tehnologi dan berbagai kebutuhan masyarakat dalam periode yang berbeda di masa lampau termasuk juga perbedaanya antar wilayah (Nurisjah & Pramukanto, 2001). Selanjutnya Nurisjah dan Pramukanto (2001), juga menyatakan bahwa suatu bentukan lanskap dikatakan memiliki nilai sejarah bila memiliki minimal satu kriteria atau alasan sebagai berikut: 1. Kriteria umum a. Etnografis, merupakan produk khas suatu sistem ekonomi dan sosial suatu kelompok atau suku masyarakat (etnik). Dua bentuk utama dari lanskap ini adalah rural landscape (lanskap pedesaan) dan urban landscape (lanskap perkotaan). - Rural landscape (lanskap pedesaan) merupakan suatu model atau bentuk lanskap yang dapat mencerminkan aspek ekonomi pedesaan dan berbagai kehidupan pedesaan. - Urban landscape (lanskap perkotaan) adalah bentuk lanskap yang berhubungan dengan pembangunan kota dan kehidupan perkotaaan. b. Associative yakni suatu bentuk lanskap yang berasosiasi atau yang dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa, personal, masyarakat, legenda, pelukis, estetika dan sebagainya. c. Adjoining, bentukan lanskap yang merupakan bagian dari suatu unit tertentu, bagian monumen, atau bagian struktur bangunan tertentu. 2. Kriteria khusus: a. Lanskap tersebut merupakan suatu contoh penting dan harus dihargai dari suatu tipe sejarah.

9 b. Mengandung bukti-bukti peristiwa penting. 3. Terdapat kaitannya dengan masyarakat atau peristiwa sejarah yang penting dengan berbagai alasan atau latar belakang: a. Peranan sejarah, suatu tempat merupakan lokasi peristiwa penting sebagai bentuk ikatan simbolis antara peristiwa dahulu dan sekarang dalam kehidupan kita. b. Kejamakan. Melestarikan suatu karya sebagai wakil dari suatu kelas, contoh, tipe lanskap tertentu. c. Kelangkaan. Lanskap tersebut merupakan satu-satunya contoh atau perwakilan dari tipe budaya tertentu bahkan mungkin merupakan satusatunya perwakilan di dunia. d. Keistimewaan. Suatu karya yang memiliki keistimewaan. e. Estetik. Pelestarian karena suatu karya merupakan prestasi khusus dalam suatu gaya sejarah tertentu. f. Memperkuat kedudukan (silsilah sejarah) kawasan di dekat atau sekitarnya. 4. Mengandung nilai-nilai yang terkait dengan bagunan-bangunan bersejarah, monumen-monumen bangunan dan taman-taman. 2.5 Benda Cagar Budaya Lanskap sejarah merupakan bagian dari lanskap budaya sehingga lanskap ini juga disebut sebagai benda cagar budaya. Berdasarkan Undang-undang No 5 Tahun 1992, benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Selain itu, benda cagar budaya dapat berupa benda alam yang dianggap mempunyai arti penting bagi sejarah, ilmu penghetahuan dan kebudayaan. Undang-undang No 5 Tahun 1992 ini juga mengatur tentang penguasaaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan,

10 pemafaatan, pengawasan, ketentuan pidana dan ketentuan peralihan. Penguasaan dan pemilikan diatur dalam bab 6 bagian pertama pasal 4 sebagai berikut: a. Semua benda cagar budaya dikuasai oleh Negara. b. Penguasaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi benda cagar budaya yang terdapat di wilayah hukum Republik Indonesia. c. Pengembalian benda cagar budaya yang pada saat berlakunya Undangundang ini berada di luar wilayah hukum Republik Indonesia, dalam rangka penguasaan oleh Negara, dilaksanakan Pemerintah sesuai dengan konvensi internasional. Di pasal 6 Undang-undang No 5 tahun 1992 dikatakan bahwa benda cagar budaya dapat juga dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang. Benda cagar budaya yang dimaksud adalah benda cagar budaya yang telah dimiliki atau dikuasai secara turun-temurun atau merupakan warisan, atau benda yang jumlahnya cukup banyak dan sebagian telah dimiliki oleh Negara. Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya diatur dalam bab 4 pasal 13 Undang-undang No 5 Tahun 1992 yakni: a. Setiap orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya. b. Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya. Pemilik benda cagar budaya yang tidak melakukan perlindungan dan pemeliharaan terhadap benda cagar budaya akan mendapat teguran dari pemerintah dan apabila dalam 90 hari setelah teguran dikeluarkan pemilik tidak berupaya untuk melindungi dan memelihara benda cagar budaya maka pemerintah

11 dapat mengambil alih kewajiban untuk melindungi benda cagar budaya yang bersangkutan. Pengelolaan benda cagar budaya di atur dalam pasal 18 Undang-undang No 5 Tahun 1992. Pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, kelompok atau perorangan berperan serta dalam pengelolaan benda cagar budaya dan situs. Menurut undang-undang No. 5 Tahun 1992 pasal 19, benda cagar budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pelaksanaan Undang-undang No. 5 Tahun 1992 diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993. Pelaksanaan tersebut meliputi aturan tentang kepemilikan, perlindungan, serta pembinaan dan pengawasan benda cagar budaya. Kepemilikan benda cagar budaya siatur dalam bab 2 pasal 2 yakni: a. Perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya, benda yang diduga benda cagar budaya, benda berharga yang tidak diketahui pemilikanya baik bergerak maupun tidak bergerak dan situs yang berada di wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh Negara. b. Penguasaan sebagaimana yang termasuk dalam ayat 1 meliputi pengaturan terhadap kepemilikan, pendaftaran, perlindungan, pemeliharaaan, penemuan, pencarian, pemanfaatan, pengelolaan, perizinan dan pengawasan. c. Pengaturan dalam ayat 2 diselengarakan berdasarkan ketentuan dalam PP atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, perlindungan dan pemelihara benda cagar budaya diatur dalam Bab 4 pasal 23 sebagai berikut: a. Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan dan pemugaran. b. Kepentingan perlindungan benda cagar budaya diatur batas-batas situs dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan. c. Batas-batas situs dalam ayat 2 ditetapkan dengan sistem pemintakatan yang terdiri dari mintakat inti, penyangga dan pengembang.

12 Hal-hal mengenai pembinaan dan pengawasan benda cagar budaya diatur dalam bab 6 pasal 41 sebagai berikut: a. Menteri bertanggung jawab atas pembinaan terhadap pengelolaan benda cagar budaya. b. Pembinaan pengelolaan sebagaimana yang dimaksud ayat 1 meliputi: Pembinaan terhadap pemilik yang meguasai benda cagar budaya berkenaan dengan tata cara perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan. Pembinaan peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian. c. Pembinaan dapat dilakukan melalui: Bimbingan dan penyuluhan Pemberian bantuan tenaga ahli Peningkatan peran serta masyarakat d. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan pengelolaan benda cagar budaya diatur oleh menteri. 2.6. Pelestarian lanskap Sejarah Menurut Nurisjah & Pramukanto (2001) terdapat beberapa pilihan tindakan teknis pelestarian benda bersejarah yang bisa diupayakan yakni: a. Adaptif use, penggunaan adaptif yakni upaya pelestarian lanskap sejarah dengan mengakomodasikan penggunaan kebutuhan dengan kondisi saat ini. Cara ini dapat mempertahankan dan memperkuat arti sejarah dan juga mempertahankan warisan-warisan sejarah. Selain itu, dapat juga mengintegrasikan lanskap dengan kepentingan penggunaan saat ini. Namun model ini membutukan pengajian yang cermat dan teliti terhadap sejarah penggunaan, pengelolaan, dan faktor-faktor yang berperan dalam lanskap tersebut. b. Rekonstruksi, rekonstruksi merupakan pembangunan kembali suatu lanskap baik secara keseluruhan maupun secara sebagian dari tapak asli. Pembangunan ini dilakukan jika: Tapak tidak dapat bertahan lebih lama lagi pada kondisi asli atau mulai hancur karena faktor alam.

13 Lanskap hancur dan kondisi aslinya tidak dapat terlihat Ada kondisi kesejarahan yang harus ditampilkan. c. Rehabilitas. Rehabilitas adalah upaya pelestarian yang dilakukan dengan mempertimbangkan kenyamanan, lingkungan, sumber daya dan adminitratisi. Kegiatan pelestariannya berupa perbaikan utilitas, fungsi penampilan suatu lanskap, struktur dan sebagainya. d. Restorasi merupakan tindakan pelestarian yang mengembangkan penampilan lanskap pada kondisi aslinya. Restorasi dilakukan dengan pengadaan elemen-elemen yang hilang dan menghilangkan elemen-elemen yang mengganggu kesejarahaan situs. e. Stabilitas, yakni tindakan strategis dengan memperkecil nilai negatif terhadap tapak. Nilai negatif ini dapat berupa gangguan iklim, deteriorientasi dan suksesi alam. f. Konservasi. Konservasi merupakan kegiatan pelestarian yang bertujuan untuk melestarikan apa yang ada pada saat ini, mencegah penggunaan tapak yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukung lahan, menggarahkan perkembangan lahan dimasa depan. Tindakan ini dapat memperkuat karakteristik spesifik yang menjiwai lingkungan atau tapak dan menjaga keselarasan antara lingkungan lama dengan pengembangan yang baru yang mendekati perkembangan apresiasi masyarakat. g. Interpretasi adalah upaya pelestarian lanskap secara terpadu dengan mempertimbangkan berbagai kebutuhan dan kepentingan yang akan dihadapi dimasa kini dan mendatang. Interpretasi membutuhkan pengkajian terhadap tujuan desain dan penggunaan lanskap sebelumnya. Desain baru yang dibuat harus bisa memperkuat integrasi nilai historis lanskap dan juga dapat mengintegrasikannya dengan program-program kegiatan tapak yang baru di introduksikan. h. Period setting adalah penciptaan suatu tipe lanskap pada tapak tertentu yang bukan merupakan tapak original atau asli. Usaha ini memperlukan adanya data dan dokumentasi yang dikumpulkan dari tapak dulu yang sama serta pengkajian akan sejarah tapak sebagai pembangunan lanskap

14 tersebut akan sesuai dengan suatu periode yang telah ditentukan sebelumnya. i. Realease adalah tindakan pelestarian yang memperbolehkan adanya suksesi alam dalam lanskap bersejarah. Tindakan pelestarian ini dapat mengurangi dan menghapus arti sejarah dalam lanskap tersebut. j. Replacement yakni pelestarian dengan melakukan subtitusi atas suatu komuniti biotik lainnya.