BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tidak mengenakkan, kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha bebas darinya (Mutscler, 1985). Nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis (kalor, listrik) dan menimbulkan kerusakan pada jaringan. Nyeri merupakan salah satu reaksi dari radang, dimana gejala reaksi radang dapat berupa kemerahan (rubor), pembengkakan (tumor), panas meningkat (calor), dan nyeri (dolor). Rangsangan tersebut memacu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Lalu rangsangan tersebut disalurkan ke otak. Dari thalamus (opticus) impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay dan Rahardja, 2002). Radang dapat dihentikan dengan menggunakan obat penghambat rasa nyeri yang dikenal dengan analgetik yang memiliki daya anti radang atau disebut juga Non-Steroid Anti-Inflmmatory Drugs (NSAIDs). Senyawa yang bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin, dimana kedua jenis cyclo-oxigenase diblokir (Mutscler, 1985). Salah satu golongan NSAIDs yang banyak digunakan dalam mengatasi nyeri akibat radang adalah natrium diklofenak. Senyawa ini mempunyai
komponen kerja anfiflogistik, maka dipakai pula pada penyakit-penyakit yang disertai radang khususnya pada penyakit rematik dan kelain an degeneratif pada sistem otot rangka (Anonim, 2007). Absorpsinya dari usus cepat dan lengkap, tetapi ketersediaan hayatinya rata-rata 55% akibat metabolisme lintas pertama yang besar. Efek analgetiknya dimulai setelah 1 jam, secara rektal dan intramuskular lebih cepat, masing-masing setelah 30 dan 25 menit. Penyerapan garam K (Cataflam) lebih cepat daripada garam Natrium dimana dengan ikatan protein plasmanya diatas 99%. Ekskresi melalui kemih 60% sebagai metabolit dan untuk 20% diekskresikan bersama empedu dan tinja (Tjay dan Rahardja, 2002). Proses metabolisme suatu obat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi perbedaan spesies, jenis kelamin, genetik, dan umur, sedangkan faktor eksternal meliputi faktor lingkungan dan faktor makanan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi metabolisme obat ialah merokok, alkohol, produk minyak bumi, polutan udara dan logam berat. Sedangkan faktor makanan adalah diet protein, lemak, karbohidrat, dan vitamin. Vitamin merupakan bagian penting dari makanan dan dibutuhkan untuk sintesis protein dan lemak yang merupakan komponen penting sistem enzim yang memetabolisme obat. Oleh karena itu, perubahan kadar vitamin tertentu dalam tubuh akan menyebabkan perubahan dalam kapasitas metabolisme obat. Beberapa vitamin yang terlibat dalam metabolisme obat adalah vitamin A,B dan C (Goodman S,1995). Vitamin C adalah nutrient dan vitamin yang larut dalam air dan penting untuk kehidupan serta untuk menjaga kesehatan. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam askorbat. Vitamin C termasuk
golongan antioksidan karena sangat mudah teroksidasi oleh panas, cahaya, dan logam, oleh karena itu penggunaan vitamin C sebagai antioksidan semakin sering dijumpai (Anonim, 2007). Pemberian vitamin C 5000 mg per hari digunakan untuk mencegah penyakit yang berkaitan dengan gangguan metabolisme. Vitamin C dosis 1000 mg per hari juga digunakan untuk menurunkan kolesterol dan trigliserida. Vitamin C dilaporkan juga berperan dalam mencegah terjadinya infeksi, demam rematik, dan stress (Prawirokusumo, 1991). Meskipun di dalam standar pengobatan vitamin C tidak diindikasikan untuk pengobatan demam rematik, tetapi kemungkinan vitamin C dapat digunakan dalam pengobatan demam rematik. Kombinasi antara obat NSAIDs yang ditujukan kepada gejala rematik dengan vitamin C yang telah dikonsumsi sebelumnya untuk meningkatkan kapasitas metabolisme suatu obat. Pemakaian kombinasi kedua obat tersebut kemungkinan dapat menimbulkan interaksi pada fase farmakokinetika terutama pada metabolisme natrium diklofenak. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap sejauh mana pengaruh vitamin C terhadap profil farmakokinetika natrium diklofenak yang di uji secara in vivo pada hewan uji kelinci jantan. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah pemberian vitamin C selama 7 hari berturut-turut berpengaruh terhadap profil farmakokinetika Natrium Diklofenak pada hewan uji kelinci?
1.3 Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi hipotesa dalam penelitian ini adalah vitamin C yang diberikan selama 7 hari berturut-turut dapat mempengaruhi profil farmakokinetika Natrium Diklofenak pada hewan uji kelinci. 1.4 Tujuan Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin C selama 7 hari berturut-turut terhadap profil farmakokinetika Natrium diklofenak pada hewan uji kelinci. 1.5 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi kepada penggunaan vitamin C selama 7 hari berturut-turut akan mempengaruhi enzim pemetabolisme sehingga akan meningkatkan aktifitas enzim pemetabolisme dalam memetabolisme senyawa kimia yang masuk ke dalam tubuh.
1.6 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter Pemberian Natrium diklofenak (Dosis Natrium diklofenak) Pemberian Natrium diklofenak ( dosis Natrium diklofenak) dengan pemberian vitamin C 50 mg/kg BB selama 7 hari berturut-turut Profil Farmakokinetika k absorbsi T 1/2 absorbsi T max Cmax Vd AUC 0- AUMC 0- MRT K eliminasi T½ eliminasi Cl Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian