BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan caranya masing-masing. Majalah Sabili menunjukkan keberpihakan terhadap wacana poligami dengan mempromosikan poligami melalui testimoni para tokoh pelaku poligami. Majalah Syir ah dan NooR menggunakan analogi yang bermakna kebolehan berpoligami dengan implikasi tertentu. Seperti perumpamaan poligami sama dengan makan pete artinya rasanya enak tetapi menimbulkan bau yang tidak sedap bagi orang sekitar. Atau pun poligami ibarat pintu keluar darurat pesawat terbang dimaknai sebagai jalan keluar dari kondisi yang tidak normal. Ketiga majalah Islam tersebut, didalam memproduksi makna poligami menghadirkan tokoh atau narasumber yang mendukung pandangan masing-masing majalah. Kedua, wacana poligami pada majalah Sabili, Syir ah dan NooR dikonstruksi dengan tujuh cara yakni menempatkan perempuan sebagai objek dalam kehidupan poligami, memposisikan perempuan menjadi tersubordinat dalam perkawinan poligami, menunjukkan penentangan terhadap poligami, membentuk penentangan terhadap anti poligami, memberikan dorongan untuk hidup bermonogami, 253
254 menjadikan hidup berpoligami sebagai sebuah pilihan dan menjadikan ajaran Islam sebagai dasar ideologis yang dapat menentukan arah wacana poligami. Bagian-bagian itu dibahas sedemikan rupa oleh majalah Islam pada tataran teks berdasarkan aspek kata, aspek gramatika, keterkaitan kalimat, kaidah interaksional maupun struktur berskala besar sehingga berpengaruh terhadap pembentukan wacana poligami itu sendiri. Masing-masing majalah Islam memiliki penekanan tersendiri dalam mewacanakan poligami. Majalah Sabili lebih menekankan pada bagian penentangan terhadap kelompok anti poligami. Selain itu, majalah Sabili juga mengkritik balik pihak lain yang berupaya mengkritik kebolehan berpoligami dalam Islam dengan cara melakukan komparasi terhadap poligami yang ada dalam ajaran Islam dengan poligami yang diterapkan ajaran agama lainnya. Sedangkan, Majalah Syir ah lebih menekankan pada bagian penentangan terhadap poligami dan berupaya meyakinkan pembaca untuk mempertahankan perkawinan monogami. Meskipun demikian, majalah Syir ah terkadang cenderung berada pada bagian yang memposisikan perempuan tersubordinat dalam wacana poligami sebagaimana realitas yang dibangunnya pada kolom kisah fiktif. Majalah NooR juga menonjolkan bagian penentangan terhadap poligami tetapi pada bagian lain majalah NooR menempatkan perempuan sebagai objek poligami dari realitas perkawinan teh Ninih dengan Aa Gym.
255 Ketiga, perempuan diwacanakan majalah Islam sebagai kelompok obyek dan subjek yang menderita. Sebagai objek, nampak pada peran yang dikenakan terhadap perempuan ketika hadir sebagai sosok yang berkompetisi memperebutkan posisi istimewa di hadapan suaminya. Sebagai subyek yang menderita, perempuan hadir sebagai tokoh utama yang diceritakan media tetapi mereka mengalami penderitaan, baik secara psikologis berupa kekerasan simbolik dari suami, maupun penderitaan secara ekonomi karena tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga setelah suami menikah lagi. Kemudian dalam arus wacana poligami, perempuan ditampilkan dalam polemik internal keluarga yakni kontroversi dari pihak keluarga yang menolak terjadinya poligami maupun dari istri pertama yang menentang perempuan lain untuk memiliki suaminya. Selain itu perempuan juga dihadirkan pada polemik eksternal melalui tokoh yang dimunculkan sebagai rujukan. Secara visual, perempuan juga tampilkan ketiga majalah Islam dalam wacana poligami. Majalah Sabili menghadirkannya dalam bentuk foto realitas seorang suami berada pada sudut tertentu bersama-sama dengan para istrinya. Majalah Syir ah menampilkannya berupa ilustrasi visual tokoh agama yang berpoligami bersama kedua istrinya dalam imajinasi orang biasa. Perempuan-perempuan itu ditampilkan majalah Syir ah berada di antara suaminya. Majalah NooR juga menvisualisasikan perempuan yang dipoligami dalam bentuk ilustrasi, dimana kedua perempuan itu juga berada di antara suaminya. Jadi, perbedaan visual majalah Sabili, Syir ah dan majalah NooR terletak pada realitas poligami yang ditampilkan baik secara visual maupun
256 poligami dalam bentuk ilustrasi. Selain itu, para istri yang dipoligami ditampilkan hidup bersama sebagaimana terdapat pada visualitas majalah Sabili. Sedangkan dalam majalah Syir ah dan NooR sesama istri yang dipoligami dipisahkan oleh keberadaaan suami mereka. Kedudukan perempuan dalam wacana poligami pada majalah Sabili, Syir ah dan NooR tidak dapat dikatakan berdiri sendiri karena memiliki relasi dengan berbagai pihak. Majalah Syir ah sangat kongkrit melihat relasi kuasa yang berlangsung antara istri yang dipoligami dengan keluarganya. Disini, majalah Syir ah lebih mengutamakan eksistensi istri pertama untuk menunjukkan penderitaan perempuan yang dipoligami dibandingkan istri kedua, ketiga, dan keempat. Selain itu, majalah Syir ah juga membangun relasi keluarga antara suami dengan anak yang menentang perlakuan buruk terhadap ibunya disebabkan poligami ayahnya tanpa meninggalkan ideologi Ketuhanan untuk menjelaskannya. Majalah Noor juga menampilkan penderitaan istri pertama yang dipoligami tetapi lebih menekankan penerimaan terhadap ideologi eastern yang mengabaikan akibat dipoligami dan mengutamakan hubungan transedental dengan Tuhan untuk menjelaskan relasi kuasanya. Sedangkan, majalah Sabili membangun relasi perempuan yang dipoligami dengan publik untuk menyampaikan testimoni tentang harmonisasi perkawinan poligami. Dengan demikian, ketiga majalah Islam mengacu pada objek yang sama yakni hal-hal yang berkaitan dengan Ketuhanan dalam mendukung wacana poligami sehingga dapat diterima pembacanya.
257 Keempat, identitas perempuan yang dibangun majalah Islam adalah perempuan sebagai ibu rumah tangga dan memiliki ketergantungan pada suami secara sosial dan ekonomi. Identitas tersebut menyelamatkan perempuan dari stigma negatif sebagai gundik, istri simpanan atau selir menjadi istri resmi dan terbebas dari konotasi negatif. Perempuan ditampilkan seolah-olah berbahagia dengan status sosial yang dilekatkan pada dirinya. Padahal sebenarnya identitas perempuan terikat pada status sosial yang lebih didominasi pihak laki-laki. Namun identitas tersebut bukanlah identitas tunggal, mencairnya identitas perempuan karena masing-masing majalah Islam mencoba mentransformasikan identitas perempuan dari realitas yang ditampilkan menjadi realitas yang diinginkan media. Majalah Islam memberikan sedikit ruang bagi perempuan yang dipoligami untuk keluar dari persoalan keluarga sebagai dampak dari poligami. Namun perempuan dalam wacana poligami mendapatkan pilihan dilematis antara mempertahankan keluarga, ataupun membentuk keluarga baru dengan melepaskan diri dari kehidupan dipoligami. Dengan demikian, poligami yang direpresentasikan secara berbeda-beda oleh ketiga majalah Islam merupakan hasil pemaknaan kalangan media itu sendiri. Dalam mengkomunikasi pemaknaan itu, majalah Islam memerlukan aktor sosial yang memiliki sistem budaya yang sama dengan mereka untuk menyusun makna, untuk membuat dunia bermakna, untuk berkomunikasi tentang dunia secara bermakna dengan orang lain (Hall, 1997:25; Totona, 2010:12). Menurut Hall (1996: 439), Yang saya maksud budaya di sini adalah medan nyata tempat praktik-praktik,
258 representasi-representasi, bahasa dan kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat berpijak. Saya juga memahami budaya sebagai bentuk kontradiktif akal sehat yang sudah mengakar pada dan ikut membentuk kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, budaya berkaitan dengan pertanyaan tentang makna-makna sosial, yakni beragam cara kita memahami dunia yang dilakukan lewat praktik-praktik penandaan dan signifikasi. Selain itu juga dibutuhkan penulis dan pembaca dalam menginterpretasikannya. Sebagaimana Hall (1997; 33) juga menyatakan bahwa interpretasi menjadi aspek penting dari proses dimana makna diberikan dan diambil. Pembaca adalah sama pentingnya dengan penulis dalam produksi makna tersebut. Makna yang diambil tersebut, sebagai pemirsa, pembaca atau penonton, tidak pernah persis artinya sebagaimana yang telah diberikan oleh pembicara atau penulis atau dengan pemirsa lainnya (Hall, 1997:32). Penulis memutuskan apa yang dia ingin katakan. Tapi dia tidak bisa 'memutuskan' apakah digunakan atau tidak aturan bahasa, jika dia ingin dimengerti (Saussure, dalam Hall, 1997: 34). Namun Hall (1981) mengatakan bahwa produksi makna tidak menjamin dikonsumsinya makna tersebut sesuai dengan yang dimaksudkan oleh enkodernya karena pesan-pesan (majalah) yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan berbagai komponen yang multi-accentuated, bersifat polisemik, alias mereka memiliki lebih dari satu rangkaian makna potensial. Sampai pada bahwa khalayak turut terlibat dalam kerangka kultural bersama para produser, maka pembacaan oleh khalayak masih tak beda dengan produksi tekstual. Tapi, jika anggota khalayak bertempat pada posisi sosial yang
259 berbeda (dalam hal kelas atau gender, misalnya) dari para produsen teksnya, dengan segala macam sumber daya kultural yang ada pada mereka, mereka akan bisa membaca teks-teks tersebut secara alternatif. Atas dasar itulah kehadiran perempuan sebagai subyek yang menderita dan obyek yang dipoligami pada majalah Islam telah memposisikan perempuan sebagai ikon penderitaan. Majalah Islam yang memiliki keberpihakan terhadap perempuan pun menjadi lebih maskulin dan telah tergiring pada wacana yang melangenggkan budaya patriarkhi. Dalam hal ini, majalah Islam maupun para penulisnya telah berada pada kekuasaan modern yang menurut Althusser (2008) individu-individu yang dulunya diperintah, diarahkan bahkan dimanipulasi maka sekarang ini justru dilibatkan sebaga mekanisme kontrol dimana orang tidak merasa dikuasai. Kendati perempuan yang dipoligami merasakan diri tertindas tetapi mereka menjadi menikmati bahkan ikut terlibat menciptakan stuktur itu tanpa disadarinya. 6.2 Saran Melalui pengkajian wacana poligami dalam majalah Islam ini dapat diketahui perlu ada kajian lebih spesifik dalam membongkar dominasi maskulinitas sebab represenstasi media tentang ketidakberdayaan perempuan dalam wacana pologami yang harus dibela ternyata hanyalah manipulasi yang berupa menarik pihak pembaca terhadap media. Daya kritis terhadap mendalami wacana poligami sangat diperlukan sehingga mendapatkan pemahaman paling mendasar antara relasi laki-laki, perempuan, aktor sosial dan situasi sosial yang mengitarinya. Keberpihakan media
260 massa terhadap poligami tidak serta merta menunjukkan substansi yang diinginkan. Pilihan kata yang ambigu, mengambil refleksi yang jauh dari realitas, upaya menggambarkan ketidakberdayaan terhadap perempuan, seolah-olah menarik simpati terhadap perempuan ternyata semakin menyudutkan ketidakberdayaan. Kajian ini telah membedah citra visual poligami dalam majalah Islam yang menunjukkan kekuatan visual dalam merepsentasikan wacana poligami. Upaya suatu majalah Islam menghasilkan citra real pelaku poligami menujukkan kekuatan media tersebut untuk menunjukkan wacana poligami yang seolah-olah seperti yang digambarkan, sedangkan majalah Islam yang menghadirkan penolakan terhadap poligami seakan membangun imajinasi poligami sebagai hantu dalam kehidupan rumah tangga. Atas dasar itu, penggunaan critical discourse analisys sangat memungkinkan diarahkan pada kajian visual yang ada dalam media dengan menghubungkan dengan teks, konteks serta intertektual dalam media.