I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) merupakan tanaman penting di Indonesia karena merupakan sumber protein nabati yang relatif murah. Biji kedelai kaya protein dan lemak serta beberapa bahan gizi penting lain, misalnya isoflavon (Sakai dan Kogiso, 2008), saponin, asam fitat dan lesitin, oligosakarida, goitrogen (Liener, 1994) dan fitoestrogen (Ososki dan Kennelly, 2003). Biji kedelai dapat diolah menjadi tahu, tempe, kecap, taoco, susu kedelai, dan juga sumber protein pakan ternak. Berdasarkan peninggalan arkeologi, tanaman ini telah dibudidayakan sejak 3500 tahun yang lalu di Asia Timur. Kedelai putih diperkenalkan ke Nusantara oleh pendatang dari Tiongkok sejak maraknya perdagangan dengan Tiongkok, sedangkan kedelai hitam sudah dikenal lama oleh penduduk Nusantara (Komalasari, 2008). Menurut laporan USDA tahun 2015, produksi kedelai dunia tahun 2013 2014 sekitar 315,06 juta ton. Penghasil kedelai terbesar di dunia adalah Amerika Serikat (108.01 juta ton), kemudian diikuti Brasil (94,50 juta ton), Argentina (56 juta ton) dan Tiongkok (12,36 juta ton), India (8,8 juta ton) dan Paraguay (8,5 juta ton). Produksi kedelai dalam negeri belum mencukupi konsumsi sehingga dilakukan impor. Peluang peningkatan produksi kedelai di dalam negeri masih terbuka lebar, baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam. Saat ini, rata-rata produktivitas nasional kedelai baru 1,4 ton/ha dengan kisaran 0,6-2,0 ton/ha di tingkat petani, sedangkan di tingkat penelitian telah mencapai 1,7-3,2 ton/ha, tergantung pada kondisi lahan dan teknologi yang diterapkan. Data dari Badan Pusat Statistik (2014) menunjukkan bahwa pada tahun 2012 areal tanam kedelai nasional 567.624 ha, produktivitas 1,85 ton/ha dan produksi 843.153 ton. Pada tahun 2013 terjadi penurunan areal tanam kedelai sebesar 3 % menjadi 550.797 ha, produktivitas 1,46 ton/ha dan produksi kedelai 780.163 ton. Konsumsi kedelai di Indonesia mencapai 2,4 juta ton per tahun dan dari jumlah itu sekitar 1,7 juta ton (sekitar 70 %) harus diimpor.
Usaha peningkatan produksi kedelai dalam negeri terkendala semakin sempitnya areal tanam yang subur. Oleh karena itu harus beralih ke lahan-lahan marginal antara lain daerah kering. Usaha pertanian di daerah kering mempunyai kendala terjadinya pengaruh kekeringan yang tinggi sehingga produktivitas rendah. Kondisi ini diperparah dengan adanya pemanasan global sehingga terjadi perubahan musim serta meningkatnya resiko kekeringan. Hasil tanaman kedelai akan menurun secara drastis ketika terjadi cekaman kekeringan sehingga petani mengalami kerugian yang cukup besar. Penggunaan kultivar kedelai yang tahan terhadap cekaman kekeringan diperlukan untuk mencegah penurunan hasil akibat kekeringan (Seversike, 2011). Salah satu sifat kedelai tahan kering adalah mempunyai perakaran yang lebat dan dalam. Karakter morfologi atau fenotipik yang umum untuk menduga tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat diketahui dengan mengamati perkembangan perakaran yang dapat digunakan untuk membedakan tanaman yang tahan atau tanaman peka (Ramirez-Vallejo dan Kelly, 1998). Menurut Kasper et al. (1984), pada kondisi cekaman kekeringan biasanya tanaman menanggapi dengan cara meningkatkan panjang akar dan volume perakaran. Informasi mengenai kultivar kedelai tahan kering di Indonesia masih terbatas. Satu kultivar terkadang dikelompokkan sebagai kultivar yang tahan kering, tetapi ada juga yang mengelompokkan sebagai kultivar yang agak tahan. Sistem perakaran yang lebat sangat penting ketika tanaman tumbuh pada kondisi air yang terbatas (Manavalan et al., 2009; Gewin, 2010). Pemanjangan akar pada lahan kering umumnya dibatasi oleh cekaman air dan tahanan penetrasi tanah (Bengough et al., 2011). Perkembangan akar sering dihubungkan dengan produktivitas tanaman. Jika perkembangan akar baik, maka tanaman mampu mengatasi kondisi lingkungan yang kurang baik (stress). Penelitian yang dilakukan Yurlisa (2011) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan luas perakaran dan distribusi perakaran yang nyata antar kultivar kedelai.
Inokulasi mikoriza merupakan salah satu upaya untuk memperkuat perakaran tanaman serta meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan, karena tanaman yang bermikoriza memproduksi jalinan hifa sehingga luas permukaan akar meningkat, ketersediaan unsur hara P, N, K, Mg dan penyerapan air meningkat. Meningkatnya ketersediaan P akan meningkatkan panjang akar, akar lateral dan rambutrambut akar. Derajat ketergantungan terhadap mikoriza ditentukan oleh sistem perakarannya. Semakin sedikit dan semakin pendek akar semakin tinggi tingkat ketergantungannya terhadap mikoriza (Bertham, 2002). Ketergantungan terhadap mikoriza berhubungan dengan tingkat ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Semakin tinggi tingkat ketergantungan terhadap mikoriza, semakin rendah ketahanannya terhadap cekaman kekeringan (Osonubi et al., 1991). Arsitektur perakaran setiap spesies tanaman berbeda-beda, bahkan antar kultivar juga berbeda-beda. Arsitektur perakaran berhubungan dengan kemampuan tanaman menyerap air. Arsitektur perakaran akan berubah sebagai tanggapan terhadap cekaman kekeringan. Arsitektur perakaran merupakan aspek yang sangat penting bagi produktivitas tanaman terutama di lingkungan yang ketersediaan air dan nutrisi rendah. Hifa mikoriza juga dapat merubah arsitektur perakaran (Lynch, 1995). Penelitian pada tanaman black locust (Robinia pseudoacacia L) menunjukkan bahwa pada kondisi cukup air, cekaman kekeringan sedang dan cekaman kekeringan berat mikoriza memperbaiki pertumbuhan bibit tanaman melalui sifat fisiologis dan arsitektur perakaran (Yang et al., 2014). Analisis sifat perakaran, sifat fisiologis dan tanggapan terhadap mikoriza pada kultivar kedelai akan membantu dalam memahami tingkat ketahanan kultivar kedelai dalam menghadapi cekaman kekeringan.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Informasi tentang kultivar kedelai yang tahan terhadap cekaman kekeringan masih sedikit. 2. Belum diketahui tanggapan dan ketergantungan kultivar kedelai terhadap inokulasi mikoriza? 3. Bagaimana sifat perakaran, sifat fisiologis dan tingkat ketahanan terhadap cekaman kekeringan kultivar kedelai yang tanggap dan tidak tanggap terhadap inokulasi mikoriza tanpa inokulasi mikoriza? 4. Bagaimana perubahan sifat perakaran, sifat fisiologis dan tingkat ketahanan terhadap cekaman kekeringan kultivar kedelai yang tanggap dan tidak tanggap terhadap inokulasi mikoriza ketika diinokulasi mikoriza? C. Tujuan, Manfaat dan Keaslian Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Mempelajari tanggapan kultivar kedelai terhadap cekaman kekeringan b. Mempelajari tanggapan kultivar kedelai terhadap inokulasi mikoriza c. Mempelajari sifat perakaran, sifat fisiologis dan tingkat ketahanan terhadap cekaman kekeringan kultivar kedelai yang tanggap dan tidak tanggap terhadap inokulasi mikoriza. d. Mempelajari peranan mikoriza terhadap perubahan sifat perakaran, sifat fisiologis dan tingkat ketahanan terhadap cekaman kekeringan kultivar kedelai yang tanggap dan tidak tanggap terhadap inokulasi mikoriza.
2. Manfaat Penelitian a. Memberikan informasi karakter perakaran bagi para pemulia tanaman dalam menciptakan kultivar kedelai tahan kering. b. Memberikan informasi tentang kultivar kedelai yang tahan terhadap cekaman kekeringan. 3. Keaslian Penelitian Penelitian pada tanaman tembakau yang dilakukan oleh Yu et al. (2008) menunjukkan bahwa tanaman mutan yang lebih tahan terhadap cekaman kekeringan merubah arsitektur perakarannya menjadi lebih banyak akar lateralnya. Perubahan arsitektur perakaran menjadi lebih banyak akar lateralnya akan meningkatkan penyerapan air dan unsur hara sehingga berkontribusi positif terhadap ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Penelitian pada tanaman padi menunjukkan terjadinya perubahan parameter fraktal sebagai respon terhadap cekaman kekeringan dan berbeda antar kultivar. Nilai geometri fraktal baik fractal dimension (FD) dan fractal abundance (FA) pada kultivar IR 2266 pada kondisi air yang cukup lebih besar dibandingkan kultivar CT 9993. Nilai FA dan FD dari kultivar IR 2266 menurun lebih besar dibandingkan kultivar CT 9993 dengan adanya cekaman kekeringan. Hal ini menunjukkan bahwa kultivar CT 9993 mampu tumbuh lebih baik pada kondisi cekaman kekeringan karena volume tanah yang terisi oleh akar lebih besar (Wang et al., 2009). Penelitian pada tanaman black locust (Robinia pseudoacacia L) menunjukkan bahwa pada kondisi cukup air, cekaman kekeringan sedang dan cekaman kekeringan berat mikoriza memperbaiki pertumbuhan bibit tanaman melalui peningkatan status air tanaman, kadar klorofil, fotosintesis dan penyerapan nutrisi. Bibit tanaman bermikoriza mempunyai bobot kering tanaman, kadar air nisbi daun dan efisiensi penggunaan air lebih tinggi dibandingkan bibit tanaman yang tidak bermikoriza. Kolonisasi mikoriza meningkatkan laju fotosintesis
bersih, konduktansi stomata dan laju transpirasi tetapi menurunkan konsentrasi CO 2 interseluler. Kadar klorofil a dan kadar klorofil total lebih tinggi pada bibit tanaman bermikoriza. Bibit tanaman bermikoriza mempunyai nilai dimensi fraktal lebih tinggi dibanding bibit tanpa mikoriza dan secara nyata terdapat korelasi positif antara nilai dimensi fraktal dengan parameter pertumbuhan, fotosintesis, kadar air nisbi daun, efisiensi penggunaan air dan konsentrasi nutrisi (Yang et al., 2014) Jika pada penelitian lain sudah dikaji pengaruh cekaman kekeringan dan inokulasi mikoriza terhadap perubahan sifat perakaran terutama arsitektur perakaran dan terhadap perubahan sifat fisiologis, maka pada penelitian ini dikaji pengaruh cekaman kekeringan dan inokulasi mikoriza terhadap perubahan tingkat ketahanan terhadap cekaman kekeringan melalui perubahan sifat perakaran dan sifat fisiologis, pada kultivar kedelai yang berbeda ketahanannya terhadap cekaman kekeringan serta berbeda tanggapannya terhadap inokulasi mikoriza. Oleh karena itu dipilih empat kultivar kedelai dengan sifat tahan kering dan tanggap terhadap inokulasi mikoriza, tahan kering tetapi tidak tanggap terhadap inokulasi mikoriza, tidak tahan kering dan tanggap terhadap inokulasi mikoriza dan kultivar yang tidak tahan dan tidak tanggap terhadap inokulasi mikoriza.