I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan Indonesia sebagai tanaman penghasil minyak nabati yang produktivitasnya lebih tinggi daripada kelapa (Cocos nucifera) maupun tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Minyak kelapa sawit merupakan salah satu jenis minyak goreng yang berasal dari mesocarp buah kelapa sawit. Satu hektar kelapa sawit mampu memproduksi ton tandan buah segar (TBS) per tahun (Singh et al., 2010). Selain bermanfaat sebagai minyak goreng, manfaat lain minyak kelapa sawit adalah sebagai alternatif biodisel, bahan dasar industri kosmetik dan sabun, serta bahan pembuatan obat. Limbah berupa batang dan pelepah tanaman kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat particle board. Kelapa sawit merupakan tanaman tahunan yang memegang nilai ekonomis penting di Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika (Cao et al., 2011). Produsen utama kelapa sawit dunia adalah Indonesia, Malaysia, dan Thailand, dengan luasan lahan berturut turut 7 juta ha, 4,49 juta ha, dan 512 ribu ha (Wilcove & Koh, 2010; Mhanhmad et al., 2011). Pada tahun 2009, Indonesia memproduksi 85 juta ton TBS dari luasan 5 juta ha dan Malaysia memproduksi 83 juta ton TBS dari luasan 3,9 juta ha. Estimasi luas total produksi dunia 14,7 juta ha, kedua negara ini memproduksi 81% bagian dari total produksi dunia, dengan rerata produktivitas mencapai ton/ha TBS yang mengandung 3,4 4,2 ton/ha minyak kelapa sawit (Carr, 2011). Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama tahun secara linier meningkat pesat dari hektar di tahun 1995 menjadi hektar di tahun 2009 (Liwang et al., 2012). Kebutuhan bibit kelapa sawit yang berkualitas terus meningkat sejalan dengan meningkatnya luas areal penanaman. Saat ini kelapa sawit banyak dikembangkan di berbagai daerah dengan ketersediaan air bervariasi mulai dari cukup, sedang, hingga kekurangan air. Perluasan areal penanaman kelapa sawit juga menghadapi kendala kekeringan karena kenaikan suhu bumi akibat pemanasan global. Seiring dengan meningkatnya suhu bumi serta musim kemarau yang panjang mengakibatkan lebih seringnya kejadian kekeringan. Pada kondisi kurang air, kelapa sawit berpotensi tercekam kekeringan sehingga menuntut ketersediaan hibrida kelapa sawit yang mampu beradaptasi dengan kekeringan. Hal ini menjadi tantangan dalam pengembangan industri kelapa sawit. 1

2 Caliman (1992) menyatakan pengaruh negatif dari kekeringan akibat musim kemarau adalah terjadinya penurunan produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang dapat terjadi sewaktu kekeringan sedang berlangsung maupun beberapa waktu setelah kekeringan. Cara terbaik untuk mengatasi ancaman menurunnya produksi karena kekeringan adalah menggunakan bahan tanam yang toleran dan mampu beradaptasi terhadap cekaman kekeringan (Pangaribuan, 2001). Ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan di lahan dapat dinilai dari ketahanan tanaman tersebut selama tahapan pembibitan. Pembibitan kelapa sawit pada saat ini banyak yang mengunakan metode double stage yakni memiliki dua tahapan yaitu pembibitan awal (pre nursery) dan pembibitan utama (main nursery). Tahapan pembibitan awal memerlukan waktu 3 bulan dan membutuhkan naungan. Pembibitan awal bertujuan untuk mendapatkan tanaman yang pertumbuhannya seragam saat dipindahkan ke pembibitan utama. Pembibitan utama berlangsung 6-9 bulan dengan tujuan untuk menyiapkan tanaman agar cukup kuat sebelum dipindahkan ke lahan (Mangoensoekarjo & Semangun, 2005; Kurniawan, 2013). Ketersediaan air merupakan salah satu faktor utama pertumbuhan dan perkembangan kelapa sawit. Jaringan tanaman yang tercekam kekeringan memiliki mekanisme untuk mengubah aktivitas biokimiawi yang berpengaruh pada proses fisiologis, pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Mekanisme biokimiawi pada tanaman yang tercekam kekeringan berfungsi sebagai indikator cekaman ataupun penanda ketahanan terhadap cekaman. Sejumlah penelitian memberikan informasi bahwa kondisi kekurangan air menyebabkan kerusakan membran, meningkatkan permeabilitas membran, dan akumulasi radikal bebas pada tanaman. Sebagai reaksi terhadap cekaman kekeringan, enzim-enzim antioksidan dan zat molekul kecil diproduksi oleh jaringan untuk menghilangkan dampak negatif radikal bebas (Ge et al., 2006). Salah satu respon umum tanaman terhadap kekeringan adalah terjadinya sintesis senyawa osmolit berupa senyawa kompatibel yang diakumulasikan dalam konsentrasi tinggi tanpa merusak fungsi protein, bahkan sebaliknya melindungi fungsi protein. Osmolit tersebut berupa asam amino prolin atau senyawa kuartenari amonium yaitu glisin-betain (GB). Prolin sebagai osmolit yang kompatibel dan diduga merupakan cadangan nitrogen organik dalam tanaman dapat digunakan selama proses pemulihan berlangsung (Pangaribuan, 2001). Respon biokimiawi tanaman kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan ditunjukkan dengan adanya perubahan kandungan prolin, GB, asam absisat (ABA), gula-gula osmotik terutama 2

3 glukosa dan silosa, serta protein dengan bobot molekul rendah (Nurita et al., 2001). Menurut Kirkham (1990) dalam Nurita et al. (2001) pengaruh fisiologis cekaman kekeringan pada tanaman adalah terjadinya perubahan potensial air, potensial osmotik, serta potensial turgor sel yang mempengaruhi perilaku stomata. Perubahan ini mempengaruhi absorpsi dan translokasi hara mineral, transpirasi dan fotosintesis serta translokasi fotosintat. Masalah kekeringan diperkirakan terus berlanjut dan menjadi kendala utama dalam produksi kelapa sawit sehingga diperlukan kajian untuk memahami dan mengatasi masalah kekeringan. Salah satu kajian yang perlu dilakukan adalah menganalisa perubahan biokimiawi dan fisiologis tanaman kelapa sawit pada berbagai aras lengas tanah di tahapan pembibitan utama. Kajian ini merupakan miniatur tanaman pada kondisi status lengas tanah berbeda sebagai pendekatan terhadap cekaman kekeringan di lapangan. Empat hibrida yang diujikan dalam penelitian merupakan hibrida yang belum diketahui ketahanannya terhadap cekaman kekeringan. Ketersediaan lengas tanah ditentukan berdasarkan metode fraction of transpirable soil water (FTSW). FTSW merupakan simulasi perkiraan air tanah yang tersedia untuk tanaman setiap harinya (Legros et al., 2009). Nilai FTSW mewakili porsi volumetri air tanah tersisa yang tersedia untuk transpirasi setiap hari saat percobaan dan digunakan sebagai indikator cekaman (Kholova et al., 2010). Hasil kajian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perubahan aktivitas biokimiawi dan fisiologis sebagai respon tanaman kelapa sawit terhadap kekeringan sehingga dapat dicari strategi yang tepat untuk mengurangi dampak negatif kekeringan akibat fenomena pemanasan dan perubahan iklim global. Kajian tersebut dapat memberikan informasi dasar bagi penelitian lanjutan di bidang agronomi maupun pemuliaan tanaman dalam rangka mengatasi dampak negatif cekaman kekeringan. 2. Permasalahan Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan utama Indonesia yang saat ini banyak dikembangkan di berbagai daerah dengan tingkat ketersediaan air tanah bervariasi mulai dari cukup, sedang, hingga kekurangan air. Selain variasi ketersediaan air. Fenomena kemarau panjang akibat pemanasan global juga menjadi kendala dalam pengembangan kelapa sawit yang menyebabkan tanaman kekurangan air. Pada kondisi kurang air, kelapa sawit berpotensi mengalami cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan menyebabkan berbagai efek biokimiawi dan fisiologis dalam tanaman. Tanaman yang tercekam kekeringan memiliki 3

4 mekanisme untuk mengubah aktivitas biokimiawi dan fisiologis dalam jaringan yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Respon biokimiawi merupakan penanda tingkat cekaman dan indikator ketahanan terhadap cekaman. Indikator ketahanan dapat berupa osmolit dan antioksidan. Mekanisme kerja antioksidan perlu diidentifikasi sehingga dapat diketahui mekanisme kerja yang berjalan pada tanaman kelapa sawit yang terekspos cekaman kekeringan. Masalah kekeringan diperkirakan terus berlanjut dan menjadi kendala utama dalam agroindustri kelapa sawit. Permasalahan ini menuntut jenis bahan tanam yang mampu beradaptasi pada kondisi air terbatas. Toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan merupakan parameter yang rumit karena aktivitas tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor dan karakteristik. Selain itu, pengamatan aktivitas fisiologis yang menggunakan alat canggih berbiaya relatif mahal, sehingga perlu dikembangkan metode assesment yang lebih murah dan mampu memberikan kesimpulan secara cepat terkait respon tanaman terhadap cekaman kekeringan. Simpulan permasalahan meliputi: 1. Bagaimana pengaruh perbedaan lengas tanah terhadap aktivitas biokimiawi dan fisiologis hibrida kelapa sawit yang diujikan? 2. Mekanisme kerja antioksidan yang mana yang terjadi di dalam jaringan tanaman kelapa sawit yang terekspos cekaman kekeringan? 3. Jenis hibrida yang mana yang toleran terhadap kekeringan berdasarkan pengamatan biokimiawi dan fisiologis? 4. Variabel apa saja yang dapat digunakan sebagai indikator cepat untuk menentukan tingkat cekaman dan ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan? 3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui perbedaan aktivitas biokimiawi dan fisiologis empat hibrida kelapa sawit yang diujikan pada berbagai aras lengas tanah 2. Mengetahui mekanisme antioksidan yang terjadi di dalam jaringan tanaman kelapa sawit yang terekspos cekaman kekeringan 3. Mendapatkan hibrida yang tahan terhadap cekaman kekeringan mendasarkan pada indikator biokmiawi dan fisiologis yang terdapat dalam jaringan tanaman 4. Merakit metode cepat yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat ketahanan hibrida kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan 4

5 4. Manfaat Penelitian 1. Memperoleh informasi mengenai perubahan aktivitas biokimiawi dan fisiologis dalam jaringan empat hibrida kelapa sawit yang tercekam kekeringan 2. Memperoleh informasi mengenai mekanisme antioksidan yang terjadi di dalam jaringan tanaman kelapa sawit yang terekspos cekaman kekeringan 3. Memperoleh informasi mengenai hibrida kelapa sawit yang tahan terhadap cekaman kekeringan berdasarkan hasil kajian biokimiawi dan fisiologis 4. Dihasilkan metode cepat yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat cekaman dan ketahanan hibrida kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan 5