BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia kejadian HIV dan AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1987. Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak 15.589 kasus untuk HIV dan AIDS 1805 kasus. Kumulatif kasus AIDS (1987-2011) tertinggi terjadi pada laki-laki (62%) dan paling banyak terjadi pada golongan umur produktif yaitu 20-29 tahun (45,9%). (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2011). Provinsi Bali berada di posisi ke empat dalam jumlah kumulatif kasus AIDS yaitu 2443. Kasus AIDS berdasarkan jenis kelamin dan golongan umur untuk Provinsi Bali sama dengan angka nasional yaitu kasus banyak pada laki-laki dan golongan umur 20-29 tahun. (Dinkes Provinsi Bali 2011). Pada awalnya (1987-2002) faktor resiko atau penularan HIV paling banyak ditemukan pada penasun (Pemakai narkoba suntik) yaitu 68,95%. Namun dari tahun 2003-2004 selain ditemukan pada penasun, resiko tertularnya HIV juga ditemukan dari gaya hidup dan pekerjaanya seperti Wanita Pekerja Seks (WPS), laki-laki maupun waria (KPA Nasional, 2011). Pada tahun 2011 menurut Ditjen PP & PL Depkes RI faktor resiko atau cara penularan tertinggi pada di Indonesia dan juga khususnya di provinsi Bali adalah melalui heteroseksual (73,38%). WPS terdapat dua jenis yaituwps langsung dan WPS tidak langsung mendapatkan klien dari jalan atau ketika bekerja di tempat-tempat hiburan seperti kelab malam, panti pijat, diskotik, café, tempat karaoke atau bar. WPS tidak 1
2 langsung diketahui memiliki tingkat penggunaan kondom yang rendah (Wong et al., 1999) Laporan KPA sampai Juni 2011 menunjukkan bahwa telah terjangkau sebanyak 82.384 perempuan pekerja seks langsung (78% dari estimasi), 58.244 pekerja seks tidak langsung (54%), 23.269 pekerja seks waria (73%), dan 54.836 LSL (8%). Berdasarkan angka nasional, antara 6%-16% WPS langsung dan 2%-9% WPS tidak langsung telah terinfeksi HIV. Sebagian besar WPS terinfeksi pada saat enam bulan pertama menjajakan seks. Terlalu sedikit WPS yang mengetahui bahwa kondom dapat melindunginya dari penularan HIV (Survelans Terpadu Biologis Perilaku, 2007). Penelitian kulitatif yang dilakukan Swandewi, dkk di Bali tahun 2011. Menyebutkan perilaku remaja yang semakin bebas, berkembangnya kafe remangremang dan convenience store 24 jam yang memungkinkan atau mendukung terjadinya perilaku seksual yang berisiko termasuk adanya lokasi-lokasi wanita pekerja seksual. Data keberadaan kafe di Bali khususnya di Kota Madya Denpasar, Kabupaten Badung dan Gianyar menurut data dari LSM Yayasan Kerti Praja Denpasar jumlah kafe yang terdata pada bulan Februari-Maret 2010 untuk tiga wilayah diatas adalah 127 Kafe dengan jumlah karyawan (waitres) 2071 orang. Jumlah Kafe paling banyak terdapat di Denpasar yaitu 74 kafe. Untuk langkah awal penting dilakukan pemetaan untuk mengetahui gambaran situasi kasus HIV dengan keberadaan kafe. Adanya keberdaan kafe hendaknya dibarengi juga adanya ketersediaan layanan VCT yang berfungsi sebagai deteksi terjangkitnya HIV dan AIDS pada WPS dan pelanggannya
3 Di satu sisi, perkembangan pemetaan dan teknologi informasi telah menciptakan hal-hal baru bagi para pelaku dibidang kesehatan masyarakat untuk meningkatkan perencanaan, analisis, pemantauan dan manajemen sistem kesehatan. Salah satu perkembangan tersebut adalah pemanfaatan sistem informasi geografis (SIG) (Arozaq, 2010). SIG merupakan suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menggabungkan, mengatur, mentranformasi, memanipulasi dan menganalisis data-data geografis (Aini, 2007). Di Semarang sejak awal tahun 2000 Komisi Penanggulangan AIDS bekerjasama dengan Dinas Kesehatan dan Pariwisata telah memetakan keberadaan WPS tidak langsung di panti pijat dan tempat hiburan malam. Setelah dilakukan pemetaan dan negosiasi dengan pihak manajemen, maka pada tahun 2004 LSM Kalandara dibawah Family Health International memulai sebuah program pendampingan bagi kelompok WPS tidak langsung. Kemudian pada tahun 2006 program tersebut dilanjutkan oleh LSM Griya Asa dibawah Family Health International. Namun WPS tidak langsung yang bekerja di tempat yang lain misalnya di karaoke, café, dan diskotik belum dapat didampingi secara maksimal karena berbagai macam kendala, seperti manajemen yang kurang kooperatif, WPS yang bekerja secara soliter, serta sifat eksklusif dan tertutup di kalangan WPS tersebut ( United Nations Programme, 2006). Dalam penelitian ini pemetaan dilakukan dengan SIG karena memeliki kelebihan SIG yaitu proses untuk membuat (menggambar) peta dengan SIG jauh lebih fleksibel, dibanding dengan menggambar peta secara manual, atau dengan pendekatan kartografi yang serba otomatis. SIG merupakan sarana yang baik dalam memvisualisasikan data spasial berikut atribut-atributnya, memodifikasi bentuk,
4 warna, ukuran, dan simbol, memperlihatkan kecenderungan, dependensi serta antar hubungan yang akan lebih sulit untuk menemukannya dalam format tabel (Rizal, 2005) Berkaitan dengan pengolahan dan penyajian data kasus HIV dan AIDS dengan semakin luasnya keberadaan kafe sebagai tempat kerja WPS tidak langsung maka penulis tertarik mengaplikasikan SIG untuk menyajikan informasi distribusi keberadaan kafe dengan perkembangan kasus HIV dan AIDS. Peta yang disajikan tersebut dapat bermanfaat sebagai sarana pendekatan awal untuk itervensi WPS tidak langsung dan intervensi program lain yang berkaitan dengan penanggulangan HIV dan AIDS. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah yaitu : bagaimana sistem informasi geografis dapat menggambarkan distribusi kasus HIV dan AIDS dengan keberadaan Kafe di Kabupaten Badung, Gianyar dan Denpasar pada tahun 2011? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Adapun tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengaplikasi sistem informasi geografis dalam mendukung kegiatan pemetaan distribusi kasus HIV dan AIDS dengan keberadaan Kafe dan layanan VCT di Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar pada tahun 2011. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
5 1. Mengaplikasikan sistem informasi geografis dalam memetakan distribusi kasus HIV dan AIDS per kecamatan di Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar pada tahun 2011 2. Mengaplikasikan sistem informasi geografis dalam memetakan distribusi kasus HIV dan AIDS dengan persebaran kafe per kecamatan di Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar pada tahun 2011. 3. Mengaplikasikan sistem informasi geografis dalam memetakan distribusi kasus HIV dan AIDS dengan persebaran kafe per kecamatan dan lokasi layanan VCT di Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar pada tahun 2011. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis 1. Mendapatkan pengetahuan tentang penggunaan metode sistem informasi geografis dalam mendistribusikan penyebaran kasus HIV dan AIDS dengan keberadaan Kafe dan Layanan VCT di Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar pada tahun 2011. 2. Sebagai bahan acuan dalam pengembangan penelitian ilmiah berkaitan dengan kasus HIV dan AIDS di masa mendatang dengan menggunakan sistem informasi geografis. 1.4.2 Manfaat Praktis 1. Bagi Institusi Kesehatan Sebagai masukan bagi penentu kebijakan untuk mulai mengaplikasikan sistem informasi geografis sebagai salah satu upaya pemetaan yang dapat digunakan, dianalisis dan diolah lebih lanjut dalam upaya pencegahan, penanggulangan
6 serta monitoring terhadap HIV dan AIDS khusus di Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar 2. Bagi Masyarakat Sebagai bahan informasi bagi masyarakat mengenai penyakit HIV dan AIDS serta kondisi keberadaan Kafe di Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dibidang Epidemiologi yang menggunakan sistem informasi geografis untuk mendiskripsikan kejadian HIV dan AIDS dengan persebaran kafe di Kabupaten Badung, Gianyar dan Denpasar.