BAB VI KESIMPULAN Proses modernisasi menjadi salah satu pemicu dari perubahan sosial politik, baik di Jepang (1957-1912) dan di Jawa (1908-1955). Perubahan sosial politik tersebut kemudian berhasil mempengaruhi sendi-sendi masyarakat, termasuk pendidikan dan kedudukan wanita. Perubahan tersebut telah dijelaskan di Bab II dan Bab III. Proses modernisasi yang terjadi di Jepang diakibatkan oleh dua faktor utama, yakni: (1) perubahan sistem pemerintahan, dari sistem feodal pada masa Tokugawa (1603-1868) ke sistem parlementer pada masa Meeji (1868-1912); (2) masuk dan berkembangnya Ran gaku (Pendidikan Barat) melalui Nagasaki. Apabila dielaborasikan, kedua faktor utama tersebut kemudian saling terkait dan mempengaruhi perubahan-perubahan lainnya. Berkembangnya Ran gaku pada rentang waktu (1857-1868) dapat dikatakan sebagai pemicu dari perubahan pemikiran pada bidang pemerintahan, di mana sistem parlementer diadopsi dari sistem pemerintahan Eropa. Begitu pula dengan pemerintahan Meeji yang mengijinkan sekolah-sekolah untuk mengajarkan Ran gaku secara bebas. Pada waktu bersamaan, perubahan dalam sistem 160
161 pemerintahan parlementer berpengaruh pada penghapusan sistem kepemilikan tanah oleh golongan daimyoo melalui hanseki hookan, di mana penghapusan sistem tersebut berakibat pada penghapusan golongan samurai dalam masyarakat. Tidak jauh berbeda dengan di Jawa, proses modernisasi disebabkan oleh dua faktor pemicu, yaitu (1) fase perubahan sistem pemerintahan feodal Jawa menuju penguasaan pemerintahan oleh kolonial Belanda, hingga pemerintahan Indonesia yang merdeka; (2) penerapan Politik Etis yang berakibat pada pengajaran bahasa Belanda di sekolah-sekolah khususnya sekolah Belanda. Fase perubahan sistem pemerintahan feodal Jawa menuju pemerintah kolonial Belanda berpengaruh pada terbentuknya tanah Vorstenlanden (Kesunanan, Kesultanan, Mangkunegaran, dan Pakualaman), sekaligus menciptakan golongan priyayi. Golongan priyayi inilah yang kemudian mendapatkan pengaruh yang besar akibat penerapan Politik Etis, di mana golongan ini memiliki berbagai hak-hak istimewa untuk mendapatkan pendidikan Belanda. Golongan inilah yang kemudian memiliki peranan cukup besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Menyangkut kedudukan dan pendidikan wanita, proses modernisasi juga memiliki peranan yang penting. Di Jepang,
162 kedudukan dan pendidikan wanita sebelum dan sesudah masa Meeji dapat dikatakan cukup berbeda. Mengingat dalam ajaran Konfusianisme yang berkembang pada masa Tokugawa, wanita ditempatkan begitu rendah dibandingkan laki-laki. Sistem patriarki tersebut bahkan menjadi salah satu penghambat dalam kemajuan pendidikan wanita. Pada perkembangannya, pemerintah Meeji menyadari pentingnya pendidikan wanita dengan mendirikan berbagai sekolah khusus wanita. Doktrin ryoosai kenboo menunjukkan bahwa pemerintah tidak lupa dalam ajaran mengenai kodrat wanita sebagai seorang ibu dan seorang istri. Apabila diperhatikan secara kasat mata, wanita Jepang dan Jawa memiliki beberapa persamaan dalam hal gambaran tingkah laku serta kedudukan dalam keluarga dan masyarakat. Meskipun Jawa tidak menganut sistem patriarki, wanita tetap ditempatkan pada peran rumah tangga sesuai dengan kodratnya. Pendidikan yang diterima wanita pun lebih banyak berhubungan dengan pendidikan ketrampilan dan pendidikan kewanitaan. Dapat dikatakan secara jelas melalui elaborasi di atas, proses modernisasi yang mempengaruhi perubahan pendidikan, baik di Jepang maupun Jawa, semua terkait pada perubahan pemikiran tokoh pendidik. Dalam hal ini akan dijabarkan oleh Fukuzawa
163 Yukichi dan Ki Hajar Dewantara mengenai pemikiran-pemikiran pendidikan wanita, baik persamaan dan perbedaan pemikiran. A. Persamaan Pemikiran 1. Latar belakang pemikiran, baik Fukuzawa Yukichi dan Ki Hajar Dewantara diperoleh dari pola pendidikan keluarga. Pola pendidikan keluarga tersebut yang kemudian berpengaruh besar dalam pemikiran mengenai pendidikan. 2. Kedua tokoh tersebut sama-sama memiliki latar belakang pendidikan yang berhubungan dengan bahasa dan pendidikan Belanda. Meskipun dalam kasus Fukuzawa Yukichi, bisa dikatakan bahwa ia tidak secara langsung mengecap pendidikan Belanda dari seorang native. 3. Fukuzawa Yukichi dan Ki Hajar Dewantara sama-sama menekankan pentingnya pendidikan dan kedudukan wanita di dalam keluarga. Kesamaan dalam pemikiran yang ditulis keduanya adalah mengenai konsep ajaran moral dan kesusilaan bagi wanita. Keduanya juga menekankan bahwa kodrat wanita sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya dan seorang istri. 4. Baik Fukuzawa Yukichi dan Ki Hajar Dewantara samasama memiliki pemikiran bahwa seharusnya tidak ada perbedaan
164 pendidikan antara wanita dan laki-laki. Dalam hal ini, Ki Hajar Dewantara menambahkan catatan bahwa wanita tetap tidak boleh melupakan kodratnya. B. Perbedaan Pemikiran 1. Merujuk pada latar belakang pemikiran, Fukuzawa Yukichi yang pada awalnya seorang pembelajar Konfusianisme sesuai ajaran di dalam keluarganya, beralih mengimani pendidikan dan pemikiran Barat yang dianggapnya lebih baik dibandingkan pendidikan dan pemikiran Timur. Berbeda dengan Ki Hajar Dewantara. Meskipun sejak kecil telah mengenyam pendidikan di sekolah Belanda, bahkan merasakan masa buangan di Belanda, ia tetap berpegang teguh pada pendidikan nasional. Ia bahkan beranggapan bahwa pendidikan Barat akan memiliki pengaruh buruk bagi generasi muda Indonesia. 2. Mengenai kiblat pendidikan wanita Barat dan Timur, Fukuzawa Yukichi berpendapat bahwa wanita Jepang sebaiknya meniru para wanita Eropa dalam hal kebebasan dan kesetaraan, terutama berkaitan dalam pendidikan. Meskipun ia juga menekankan pada peran wanita sesuai dengan kodratnya.
165 Sedikit berbeda dengan hal tersebut, Ki Hajar Dewantara tetap memandang bahwa wanita Eropa terlalu sibuk dalam mendapatkan kesetaraan dengan pria, dan hal tersebut dipandangnya sebagai hal yang kurang baik. Dalam pandangannya wanita tetap harus mengingat kodrat lahiriahnya. 3. Fukuzawa Yukichi memiliki sebuah keinginan untuk mendirikan sekolah khusus wanita, di mana hal tersebut merupakan hal yang layak didapatkan wanita melalui institusi pendidikan. Meskipun hingga akhir hayatnya, sekolah tersebut tidak terwujud. Berbeda dengan Ki Hajar Dewantara yang menolak keras adanya sekolah khusus wanita. Menurutnya alam pendidikan yang baik dapat ditempuh dengan menempatkan anak perempuan dan anak laki-laki dalam kelas yang sama. Melalui penjabaran di atas, dapat diketahui bahwa Ki Hajar Dewantara jauh lebih berhasil mengaplikasikan pemikirannya mengenai konsep pendidikan wanita di dalam sekolah dan tulisannya. Meskipun, pemikiran Fukuzawa Yukichi secara tertulis juga mampu memotivasi wanita Jepang pada masa itu untuk mendapatkan pendidikan yang layak.