BAB I PENDAHULUAN. memiliki arti tradisi. Istilah asing lainnya yang memiliki pengertian dengan agama adalah dari

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perasaan untuk menanggapi bahwa terdapat kekuatan lain yang maha besar

BAB I PENDAHULUAN. dianutnya. Setiap orang memilih satu agama dengan bermacam-macam alasan, antara

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada umumnya memiliki keberagamaan, dan hal tersebut berupa

BAB I PENDAHULUAN. manusia diberikan kebebasan untuk memeluk salah satu agama. Terdapat enam. Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok dam Suroso, 1995)

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk religius (homo religious), manusia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. melepaskan diri dari ketegangan ketegangan yang sedang dialami. Budaya

BAB I PENDAHULUAN. manusia dengan lingkunganya. Agama berhubungan dengan Allah pencipta, sesama,

BAB I PENDAHULUAN. ketegangan ketegangan yang sedang dialami. Manusia memiliki kecerdasan pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang menaruh dasar pada agama yang kuat. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memiliki kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama menurut

BAB I PENDAHULUAN. secara kultural dengan wujud di atas manusia yang di asumsikan juga secara kultural dalam

BAB I PENDAHULUAN. (supernatural) (Jalaluddin, 2002). Manusia di mana pun berada dan bagaimana pun

BAB I PENDAHULUAN. Secara horizontal ditandai oleh kenyataanya adanya kesatuan-kesatuan sosial

BAB I PENDAHULUAN. Katolik, Hindu, dan Budha. Negara menjamin kebebasan bagi setiap umat bergama untuk

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hal yang menjadi perhatian bagi masyarakat Indonesia adalah agama. Terdapat enam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lainnya

BAB I PENDAHULUAN. gereja, tetapi di sisi lain juga bisa membawa pembaharuan ketika gereja mampu hidup dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman modern seperti ini, kekayaan, kedudukan dan hidup

BAB I PENDAHULUAN. mempersiapkan tenaga kerja yang ulet dan terampil sehingga dicapailah performa

BAB I PENDAHULUAN. sejarah misi terdahulu di Indonesia yang dikerjakan oleh Zending Belanda, orang

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Dalam

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 PENJELASAN ISTILAH

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD)

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini di Indonesia dapat dilihat terjadinya banyak tindak

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar

LANGKAH-LANGKAH MENUJU PERTUMBUHAN ROHANI

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang memiliki beragam kebutuhan, dan setiap

TATA GEREJA PEMBUKAAN

LANGKAH-LANGKAH MENUJU PERTUMBUHAN ROHANI

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN

BAB III METODE PENELITIAN. Untuk memperoleh data lapangan guna. penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. kepada Sang Pencipta (Jalaludin, 1996). Dalam terminologi Islam, dorongan ini dikenal

BAB I PENDAHULUAN UKDW

Bab I PENDAHULUAN. Ada beberapa definisi untuk kata gereja. Jika kita amati, definisi pertama

ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN PEMUDA KRISTIYASA GKPB BAB I NAMA, WAKTU DAN KEDUDUKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini

Bagaimana Berjalan Dalam Roh Bagian ke-3

Pertanyaan Alkitabiah Pertanyaan Bagaimanakah Orang Yang Percaya Akan Kristus Bisa Bersatu?

03. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia.

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

DAFTAR ISI. ABSTRAK... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR BAGAN... xi. DAFTAR LAMPIRAN xii BAB I PENDAHULUAN...

(Dengan Penekanan Desain Arsitektur Neo Vernakular)

10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E)

BAB 1 PENDAHULUAN. Tahap anak-anak merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

PERINTAH YESUS DITURUTI (KISAH 2) contoh orang yang secara tepat menuruti pengaturan Yesus.

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. timbul karena adanya hubungan antara organisasi dan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi baik itu organisasi profit. maupun non profit memiliki kebijakan mutasi.

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

BAB IV CAWAN DAN SLOKI DALAM PERJAMUAN KUDUS. istilah orang Jawa wong jowo iku nggoning semu artinya orang Jawa itu peka

Bab I Pendahuluan BAB 1 PENDAHULUAN

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP GAYA HIDUP CLUBBING DENGAN RELIGIUSITAS PADA REMAJA DI SMA NEGERI 5 SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Pendidikan menjadi faktor paling penting bagi karakteristik dan

BAB I PENDAHULUAN UKDW

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan alasan atau dilakukannya penelitian ini serta

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin

BAB I PENDAHULUAN. Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta, agama yang berarti "tradisi".

Gereja Menyediakan Persekutuan

Bab I Pendahuluan Bdk. Pranata Tentang Sakramen dalam Tata dan Pranata GKJW, (Malang: Majelis Agung GKJW, 1996), hlm.

Pendidikan Agama Kristen Protestan

BAB V. Penutup: Refleksi, Kesimpulan dan Saran

KEPUTUSAN PIMPINAN PUSAT GKPS Nomor: 99/SK-1-PP/2013 tentang TATA GEREJA dan PERATURAN RUMAH TANGGA GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN (GKPS)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

32. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN BUDI PEKERTI SMP

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sedang mengalami krisis multidimensi yang berkepanjangan.

Bergabunglah dengan Saudara yang Lain Bila Berdoa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jubelando O Tambunan, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB IV. Pandangan jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang diakonia

Gereja Membaptis Orang Percaya

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan manusia di dunia ini tidak dapat terlepas dari fenomena keberagamaan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah gerbang yang utama dan pertama dalam usaha

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB IV ANALISA DATA. dan biasanya jatuh pada bulan Maret/April. Ritual ini dilakukan dengan

1 Wawancara dengan bpk sumarsono dan remaja di panti asuhan Yakobus

TATA GEREJA (TATA DASAR, TATA LAKSANA, DAN TATA ATURAN TAMBAHAN) SERTA PENGAKUAN-PENGAKUAN IMAN GEREJA KRISTEN IMMANUEL

Pendidikan Agama Kristen Protestan

C. Perilaku Toleran terhadap Keberagaman Agama, Suku, Ras, Budaya, dan Gender

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki pasangan akan selalu saling melengkapi satu sama lain.

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan agama adalah hal yang penting sehingga harus tertanam kuat

-AKTIVITAS-AKTIVITAS

BAB II KERANGKA TEORI

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

1Pet.5:1-4; Yeh.34:1-6; Yoh.10:11. Pdt. DR. Stephen Tong

7. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

1 BAB I PENDAHULUAN. kegiatan peribadatan, gereja juga diharapkan menjadi tempat untuk

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Karya sastra tidak mungkin tercipta jika para penulis tidak mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Agama adalah sebuah istilah yang diambil dari bahasa Sanskerta yaitu Āgama yang memiliki arti tradisi. Istilah asing lainnya yang memiliki pengertian dengan agama adalah dari bahasa latin religio yang terambil dari kata kerja re-ligare yang memiliki arti mengikat kembali. Mengikat disini memiliki arti yaitu seseorang akan mengikat dirinya kepada Tuhan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia dengan lingkunganya. Manusia terlahir sebagai makhluk yang religius (homo religius) dimana manusia dilahirkan untuk memiliki potensi dalam kehidupan beragam yang sudah ada sejak diri individu lahir ke dunia. Dari ungkapan diatas tercermin bahwa adanya ikatan yang intim antara manusia dengan Tuhan yang tidak dapat dipisahkan sejak manusia hadir dan lahir di dunia. Begitu juga manusia di Indonesia, Indonesia adalah negara yang kaya akan perbedaan dan keberagaman setiap penduduknya baik dalam ras, budaya, kepercayaan, tradisi, dan agama. Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai - nilai keagamaan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya unsur keagamaan yang tertera pada salah satu sila Pancasila yang berfungsi sebagai dasar negara. Sila tersebut adalah sila satu yang berbunyi, Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Keagamaan juga tertera pada Undang Undang Dasar 1945, tepatnya pasal 29 ayat 1 yang berbunyi, Negara Berdasarkan atas Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, dan juga 1

2 ayat 2 yang berbunyi, Negara menjamin kemerdekaan tiap - tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu juga adanya pengamanan dari pihak kepolisian pada setiap perayaan hari besar agama tertentu. Seperti ketika sedang ada perayaan Natal yang dirayakan oleh umat agama Kristen, pemerintah meminta pihak berwajib untuk mengamankan Gereja-gereja yang mengadakan kebaktian atau perayaan Natal tersebut. Agama Kristen pertama kali masuk ke Indonesia diperkenalkan oleh Bangsa Belanda. Penyebaran agama ini disebarkan melalui jalur perdagangan rempah-rempah di Indonesia bagian timur khususnya di wilayah Maluku lalu disebarkan ke pelosok tanah air. Penyebaran ini dilakukan oleh pendeta-pendeta asal Belanda yang bekerja untuk bangsa Belanda lalu mereka menyebarkan kepada penduduk-penduduk lokal. Selain disebarkan oleh Pendetapendeta asal Belanda, agama Kristen juga disebarkan oleh pendeta-pendeta asal Jerman, Swiss yang pada umumnya mereka menyebarkannya melalui pelayaran di seluruh pelosok tanah air. Dikarenakan penyebaran agama Kristen di pelosok tanah air, maka muncul Gerejagereja. Gereja-gereja ini pertama kali muncul sesuai dengan nama-nama daerah penyebarannya, seperti misalnya Gereja Kristen Protestan Maluku, Huriah Kristen Batak Protestan, Gereja Jawa, Gereja Kalimantan, dan lain sebagainya. Semenjak tahun 1950 lalu beberapa Gereja tersebut bersatu kedalam suatu perkumpulan yang dinamakan Dewan Gereja Indonesia, yang saat ini merubah namanya menjadi Persekutuan Gereja Indonesia dan Gereja X masuk kedalam wadah organisasi tersebut. Gereja X adalah salah satu gereja reformasi yang sudah berdiri sejak 7 Juli 1988. Jumlah anggota di gereja ini tercatat sebanyak 834 orang (sampai bulan Januari 2015) sedangkan rata-rata orang yang beribadah setiap minggunya sekitar ± 400 orang (berdasarkan data yang didapat dari kantor tata usaha Gereja X )

3 Gereja X sendiri dikepalai oleh Pendeta dan dalam melaksanakan tugas-tugas gerejawi Pendeta dibantu oleh Majelis jemaat dalam melaksanakan hal tersebut. Majelis jemaat adalah anggota jemaat gereja yang dipilih dan diangkat menjadi pemimpin diatara sesama anggota untuk suatu masa bersama dengan pendeta oleh Organisasi Majelis jemaat dan jemaat Gereja (Tata Gereja X tahun 2013-14). Masa jabatan yang ditentukan adalah 3 tahun dan dapat diangkat kembali maksimal 2 periode berturut-turut. Hal ini tertuang dalam Tata Gereja X tahun 2013-2014. Dalam hal pelayanan ini Majelis Jemaat bekerja secara sukarela. Majelis jemaat di Gereja X berjumlah 26 orang. Majelis Jemaat diketuai oleh salah seorang penatua. Dalam struktur organisasi, Majelis Jemaat dibagi ke dalam Badan Pengurus Harian dan 4 bidang, yaitu Badan pengurus harian, Bidang 1 (Kesaksian Pelayanan), Bidang 2 (Persekutuan), Bidang 3 (Pembangunan Jemaat/Bina), Sarpen (Sarana Prasarana). Para Majelis jemaat memiliki tugas untuk mengawasi kegiatan-kegiatan yang ada di dalam Komisi Gereja sesuai dengan bidang yang dijabat. Selain itu juga Majelis jemaat bertugas untuk memfasilitasi dan mendampingi setiap komisi dalam membuat anggara setiap tahunnya dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang sudah berjalan setiap bulannya. Pada pelaksanaannya, Majelis Jemaat saling membantu satu sama lain dan turut turun langsung berpartisipasi dengaan setiap komisi yang ada di jemaat. Majelis Jemaat memiliki 3 tugas umum yang diambil dari filosofi tri tugas Gereja. Pertama, memimpin jemaat mewujudkan persekutuan. Persekutuan yang dimaksud adalah Majelis jemaat bertugas mewujudkan ritual-ritual praktik agama Kristen seperti melaksanakan Kebaktian Hari Minggu, perjamuan kudus, memberitakan Firman Tuhan, hal-hal yang bersifat pelayanan, pemberkatan pernikahan, dan kebaktian lainnya pada saat hari keagamaan Kristen. Tugas yang kedua adalah melakukan pembangunan jemaat. Pembangunan jemaat berarti Majelis jemaat harus membantu jemaat untuk menumbuhkan spiritual jemaat, membina iman, dan membentuk jemaat sesuai dengan ajaran agama Kristen. Pembangunan

4 jemaat ini diwujudkan dalam bentuk Katekisasi, pemahaman Alkitab, pembinaan penanaman ajaran agama Kristen, juga mendorong jemaat untuk mau ikut aktif dalam setiap kegiatan ritual gerejawi seperti persekutuan doa, pemahaman Alkitab, dan juga katekisasi. Tugas yang ketiga adalah melaksanakan kesaksian dan pelayanan. Kesaksian dan pelayanan ini bersifat lebih kepada aksi nyata yang dapat diwujudkan oleh Gereja kepada masyarakat sekitar baik kepada masyarakat Kristen dan Non Kristen. Selain itu juga kesaksian dan pelayanan ini bersifat internal dan eksternal. Hal-hal yang bersifat internal ini diperuntukan untuk jemaat Gereja X sendiri seperti memberikan bantuan secara ekonomi kepada jemaat yang membutuhkan, memberikan beasiswa kepada jemaat Gereja X yang membutuhkan, pengobatan gratis setiap bulannya, dan lain sebagaianya. Sedangkan hal-hal yang bersifat eksternal lebih bersifat aksi sosial ke luar yaitu diperuntukan untuk masyarakat dan penduduk sekitar. Hal-hal ini diwujudkan dalam bentuk donor darah setiap 3 bulan sekali, memberikan bantuan untuk korban-korban bencana, memberikan pendidikan atau les kepada anak-anak di lingkungan sekitar, mengunjungi penjara-penjara untuk memberikan bantuan, dan lain sebagainya. (Tata Gereja X tahun 2013-2014) Dari ketiga tugas tersebut diharapkan Majelis jemaat dapat memahami dan melakukan setiap ajaran Agama Kristen ke dalam kehidupan mereka sehari-hari dan membantu jemaat untuk bersama-sama bertumbuh dalam ajaran Kristiani. Selain itu juga Majelis jemaat diharapakan untuk bisa mengaplikasikan ajaran agama Kristen ke dalam kehidupan mereka sehari-hari di kehidupan di luar Gereja baik itu dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan bermasyarakat dengan orang-orang non Kristen di lingkungan Majelis jemaat tinggal. Religiusitas adalah tingkat konseptualisasi seseorang terhadap agama dan tingkat komitmen seseorang terhadap agamanya (Glock & Stark,1965). Untuk memahami religiusitas anggota-anggota Majelis Jemaat Gereja X di kota Bandung secara menyeluruh perlu memahami dimensi-dimensi religiusitas. Menurut Glock dan Stark (1965) terdapat lima

5 dimensi religiusitas yaitu dimensi pengetahuan (religious knowledge), dimensi ideologis (religious belief), dimensi praktik agama (religious practice), dimensi pengalaman dan penghayatan (religious feeling), dimensi pengamalan dan konsekuensi (religious effect). Dimensi pengetahuan (religious knowledge) berisi tentang tingkat pengetahuan anggota Majelis Jemaat Gereja X terhadap ajaran-ajaran pokok agama yang diajarkan. Gambaran perilaku yang ditunjukan oleh anggota Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung adalah mengetahui dan memahami mengenai inti ajaran pokok ajaran agama Kristen seperti konsep kasih, Allah Tri Tunggal, sepuluh perintah Allah, pengetahuan mengenai Kemajelisan Gereja X. Dimensi ideologis (religious belief) yang berisi keyakinan anggota Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung terhadap ajaran agamanya. Gambaran perilaku Anggota Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung yang memiliki dimensi ideologis adalah memiliki keyakinan akan keberadaan Tuhan Yesus sebagai Juruselamat, percaya terhadap kisah Nabi dan mujizatnya, percaya mengenai Allah Tritunggal, percaya adanya surga dan neraka, mempercayai isi Alkitab. Dimensi praktik agama (religious practice) yang berisi kepatuhan anggota Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung dalam melaksanakan ritual-ritual keagamaan sebagaimana yang dianjurkan oleh agama Kristen. Gambaran perilaku Anggota Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung yang memiliki dimensi praktik agama adalah mengikuti kebaktian setiap Minggu, mengikuti sakramen perjamuan kudus, membaca renungan dan alkitab, dan berdoa. Dimensi pengalaman dan penghayatan (religious feeling) berkaitan dengan perasaan dan pengalaman keagamaan yang dialami anggota Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung. Dimensi pengalaman dan penghayatan digambarkan dalam perilaku merasa adanya

6 kedekatan dengan Tuhan, perasaan bahwa Tuhan mendengarkan doanya, perasan bersyukur atas berkat yang Tuhan berikan, perasaan dicintai oleh Tuhan. Dimensi pengamalan dan konsekuensi (religious effect) berisi tentang pengaplikasian ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi pengamalan dan konsekuensi digambarkan dalam perilaku seperti memiliki perilaku yang positif, penguasaan diri, menolong orang-orang yang kesulitan, memiliki kemurahan hati, berjuang hidup sukses menurut ukuran kekristenan. Berdasarkan survei awal pada 5 orang anggota Majelis jemaat Gereja X di Kota Bandung, 4 orang berdoa setiap akan makan dan setiap pagi sebelum melakukan segala aktifitas dan malam hari ketika akan tidur. Mereka merasakan adanya kedekatan dengan Tuhan ketika mereka berdoa dan dapat menceritakan apa yang menjadi kegundahan, serta 2 orang mengatakan ketika berdoa mereka mengucap syukur akan apa yang sudah terjadi dalam kehidupan mereka. 1 orang anggota Majelis jemaat berdoa ketika dia makan saja dan hanya ketika dia ingat untuk berdoa, sesekali mereka malah lupa untuk berdoa. Dia menganggap bahwa walaupun tidak berdoa yang penting melakukan hal yang baik kepada orang lain sudah cukup. Dari survey diatas terlihat adanya dimensi pengalaman yang dirasakan oleh Majelis jemaat, artinya adanya hubungan yang intim dan kedekatan antara individu dengan Tuhan mereka merasakan adanya kehadiran Tuhan dalama kehidupan mereka. Selain itu ada juga dimensi praktik yang dilaksanakan oleh Majelis jemaat, beberapa Majelis jemaat melaksanakan praktik agamanya secara rutin dan ada juga yang menjalankan praktik agamanya secara tidak rutin. Dalam hal membaca Alkitab dan merenungkan isi Alkitab, 2 orang setiap hari membaca Alkitab dan merenungkan ayat yang mereka baca. Mereka merasakan adanya hal yang baru mereka ketahui dengan membaca Alkitab dan juga terkadang apa yang menjadi permasalahan dan keluhan mereka dalam hidup, mereka menemukan jawabannya di dalam

7 Alkitab. 3 orang membaca membaca Alkitab hanya ketika kebaktian di hari minggu saja, karena alasan tidak ada waktu untuk membaca Alkitab dengan kegiatan dan pekerjaan mereka sehari-hari, dan mereka merasa kehidupan mereka baik-baik saja ketika tidak membaca Alkitab. Dalam hal melayani perjamuan kudus, 5 orang pernah melayani dalam hal perjamuan kudus. 3 orang merasa mereka menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk melayani sakramen perjamuan kudus. Menurut mereka hal tersebut menjadi tanggung jawab pelayanan ynag harus dilakukan sebagai wujud pengucapan syukur kepada Tuhan atas apa yang telah mereka dapat dalam hidupnya. Sedangkan 2 orang menganggap bahwa hal itu hanya tanggung jawab biasa sebagai Majelis jemaat. Mereka berpendapat jika tidak dilayani oleh mereka pun perjamuan kudus masih bisa ditangani oleh anggota Majelis jemaat yang lain. Berdasarkan hasil survey diatas didapatkan adanya dimensi pengamalan dan ideologis dalam diri Majelis jemaat. Mereka memiliki kepercayaan yang mereka aplikasikan dalam bentuk pelayanan kepada jemaat di Gereja. Sedangkan beberapa Majelis jemaat merasa hal tersebut menjadi bentuk tanggung jawab saja bukan sebagai aplikasi dari kepercayaan yang mereka yakini. Berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti Derajat Religiusitas pada Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Bagaimana gambaran religiusitas dan faktor faktor apa yang berkaitan dengan dimensi religiusitas. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud :

8 Untuk mendapatkan data empiris dimensi religiusitas anggota Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung khususnya kelima dimensi religiusitas. 1.3.2 Tujuan : Mengetahui gambaran tentang derajat dimensi dimensi religiusitas dari Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung beserta keterkaitan faktor penunjang. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis - Menambah informasi mengenai derajat dimensi religiusitas pada anggota ke dalam bidang Psikologi Integratif. - Memberikan masukan bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai religiusitas dan dapat mendorong dikembangkannya penelitian yang berhubungan dengan religiusitas. 1.4.2 Kegunaan Praktis - Memberikan informasi kepada Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung mengenai gambaran dimensi religiusitas pada anggota Majelis Jemaat sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan - kebijakan dalam mengembangkan religiusitas anggota. - Memberikan informasi mengenai adanya keterkaitan faktor yang mempengaruhi religiusitas kepada Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung untuk dapat dijadikan pertimbangkan dalam memberikan pembinaan religiusitas anggota Majelis Jemaat di Kota Bandung. - Memberikan saran kepada orang tua untuk membina anak-anaknya secara dini menjadi panutan dalam hal beragama.

9 - Memberikans saran kepada guru untuk bisa menjadi panutan bagi para peserta didik dalam hal beragama. 1.5 Kerangka Pemikiran Majelis jemaat adalah lembaga kepemimpinan untuk pelaksanaan tugas penatua dan pendeta Gereja X (Manual pelayanan Gereja X 2013-2014 pasal 4). Sebagai lembaga kepemimpinan di Gereja X, Majelis jemaat Gereja X di Kota Bandung tentu memiliki tugas-tugas dalam memimpin dan melaksanakan pembangunan Gereja. Secara umum tugas-tugas dari setiap Majelis jemaat Gereja X di Kota Bandung adalah memimpin jemaat mewujudkan persekutuan, memimpin jemaat melakukan pembangunan jemaat, memimpin melaksanakan kesaksian dan pelayanan. Dalam hal mewujudkan tugas-tugas umum ini, Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung diharapkan memiliki dasar pengetahuan dan pemahaman agama. Setelah memiliki pengetahuan dan pemahaman agama akan tumbuh keyakinan dalam diri Majelis jemaat Gereja X di Kota Bandung untuk mempercayai pengetahuan agama yang dimilikinya dan menjalankan praktik agama dalam kehidupan beragamanya. Seiring dengan adanya hal tesebut maka akan muncul sebuah pengalaman dan penghayatan dalam diri Majelis jemaat Gereja X di Kota Bandung dalam kehidupan beragamanya dan hal ini dapat mendorong majelis jemaat untuk mengamalkan atau membagikan apa yang dimilikinya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pengertian dan dimensi-dimensi Religiusitas menurut Glock dan Stark (1965). Religiusitas menurut Glock dan Stark (1965) adalah tingkat konseptualisasi seseorang terhadap agama dan tingkat komitmen seseorang terhadap agamanya. Agama merupakan sebuah lambang dari sistem institusi, keyakinan, nilai dan tingkah laku yang berpusat pada persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Religiusitas memiliki lima dimensi yaitu dimensi pengetahuan agama (Religious

10 Knowledge), dimensi ideologis (Religious belief), dimensi praktik agama (Religious Practice), dimensi pengalaman dan penghayatan (Religious feeling), dimensi pengamalan dan konsekuensi (Religious Effect). Derajat religiusitas Majelis Jemaat dapat dilihat dari masing-masing dimensinya. Dimensi pertama pengetahuan agama (Religious knowledge) melibatkan proses kognitif yang merujuk kepada pengetahuan majelis jemaat gereja X di kota Bandung terhadap ajaran-ajaran pokok agama yang diajarkan. Majelis jemaat yang memiliki derajat dimensi pengetahuan agama yang tinggi mengetahui inti ajaran pokok agama Kristen, mengetahui kisah-kisah Alkitab, mengetahui mengenai Allah tri tunggal, mengenai 10 perintah Allah, mengetahui mengenai kasih. Sebaliknya Majelis Jemaat yang memiliki derajat dimensi pengetahuan yang rendah kurang mengetahui inti ajaran pokok agama Kristen, mengetahui kisah-ksiah Alkitab, kurang memahami pengetahuan mengenai Allah tri tunggal, kurang mengetahui mengenai 10 perintah Allah, kurang mengetahui mengenai kasih. Dimensi kedua dimensi ideologis (Religious belief) melibatkan proses kognitif berisi keyakinan Majelis jemaat Gereja X di Kota Bandung terhadap kebenaran ajaran agama terutama fundamental dan dogmatis. Majelis Jemaat yang memiliki dimensi keyakinan yang tinggi memiliki keyakinan akan keberadaan Tuhan Yesus sebagai Juruselamat, percaya terhadap kisah Nabi dan mujizatnya, percaya mengenai Allah Tritunggal, percaya adanya surga dan neraka, meyakini kebenaran tradisi agama Kristen, dan memercayai isi Alkitab. Sebaliknya Majelis Jemaat yang tidak memercayai keberadaan Tuhan Yesus, mengenai kisah Nabi dan mujizatnya, mengenai Allah Tritunggal dan isi Alkitab akan memiliki derajat dimensi keyakinan yang rendah.

11 Dimensi ketiga dimensi praktik agama (Religious Practice) melibatkan proses konatif yang merujuk kepada tingkat kepatuhan Majelis jemaat Gereja X di Kota Bandung dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang dianut oleh agamanya. Majelis jemaat yang memiliki dimensi praktik agama yang tinggi akan melakukan ritual agama sesuai dengan ajaran Kristiani, seperti mengikuti kebaktian setiap minggu, mengikuti sakramen perjamuan kudus, melayani dalam sakramen perjamuan kudus, membaca renungan dan alkitab setiap hari, dan berdoa setiap hari, mengikuti persekutuan doa. Sebaliknya Majelis jemaat yang memiliki dimensi praktik agama yang rendah akan jarang melakukan ritual agama yang sesuai dengan ajaran agama Kristen, seperti jarang mengikuti kebaktian setiap minggu, jarang mengikuti sakramen perjamuan kudus, jarang melayani sakramen perjamuan kudus, jarang membaca renungan dan alkitab, dan jarang berdoa, jarang mengikuti persekutuan doa. Dimensi keempat dimensi pengalaman dan penghayatan (Religious feeling) melibatkan proses afektif yang merujuk kepada derajat Majelis jemaat Gereja X di Kota Bandung dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalamanpengalaman religiusitas. Majelis jemaat yang memiliki dimensi pengalaman dan penghayatan yang tinggi akan memiliki perasaan dekat dengan Tuhan, perasaan bahwa Tuhan mendengarkan doanya, perasaan bersyukur kepada Tuhan, perasaan dicintai oleh Tuhan. Sebaliknya Majelis jemaat yang memiliki dimensi pengalaman dan penghayatan yang rendah akan memiliki perasaan kurang dekat dengan Tuhan, perasaan bahwa Tuhan tidak mendengarkan doanya, perasaan kurang bersyukur kepada Tuhan, perasaan kurang dicintai oleh Tuhan. Dimensi kelima dimensi pengamalan dan konsekuensi(religious effect) melibatkan proses konatif yang merujuk pada derajat Majelis jemaat Gereja X di Kota Bandung dalam berperilaku yang dimotivasi oleh ajaran Kristiani. Majelis jemaat yang

12 memiliki dimensi pengamalan dan konsekuensi yang tinggi akan memiliki perilaku yang positif, seperti penguasaan diri, menolong orang yang kesulitan, memiliki kemurahan hati, berjuang hidup sukses menurut ukuran kekristenan. Majelis Jemaat yang kurang dalam penguasaan dirinya, tidak murah hati, jarang menolong orang lain, dan berjuang hidup sukses menurut ukuran dirinya akan memiliki derajat dimensi konsekuensi yang rendah. Majelis Jemaat Gereja X di kota Bandung memiliki dimensi religiusitas dalam dirinya tetapi setiap dimensi memiliki derajat tinggi rendah masing-masing yang tidak dapat dijadikan satu. Namun dimensi-dimensi tersebut tidak terlepas dari faktor-faktor pendukung lain yang dapat mempengaruhi seseorang terhadap religiusitasnya. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan beragama seseorang. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan agama, yaitu faktor intern dan faktor ekstern (Jalaluddin, 2002). Faktor intern meliputi usia dan kepribadian. Usia dapat mempengaruhi agama pada tingkat usia yang berbeda. Pada tingkat usia yang berbeda terlihat adanya perbedaan pemahaman agama. Perkembangan usia dalam memahami agama sejalan dengan perkembangan kognitif yang semakin berkembang. Pemahaman agama pada usia yang berbeda dipengaruhi juga dengan perkembangan kognitifnya. Pada anggota Majelis jemaat sudah mulai muncul cara berpikir kritis tentang agama yang diperolehnya sejak anak anak. Semakin dewasa usia Majelis jemaat maka akan semakin kritis pula dalam memahami ajaran agamanya, baik dalam memahami ajaran agama yang bersifat doktrin, praktik agama, pengalamannya berelasi dengan Tuhan, pengetahuan agamanya dan saat mengaplikasikan ajaran agama tersebut kepada kehidupan sehari hari. Kepribadian merupakan gabungan antara unsur hereditas dan pengaruh lingkungan sehingga Majelis jemaat akan memiliki kepribadian yang bersifat individu dan unik yang menjadi identitas dirinya. Tipe kepribadian menurut Myers Briggs terdiri dari empat

13 aspek, yaitu pertama dorongan untuk bertingkah laku yang terdiri dari extrovert dan introvert. Kedua cara memperoleh informasi yang terdiri dari sensing dan intuition. Ketiga cara mengolah informasi dan mengambil keputusan yang terdiri dari thinking dan feeling. Terakhir gaya hidup yang terdiri dari judging dan perceiving. Faktor external meliputi lingkungan keluarga, lingkungan institusional, dan lingkungan masyarakat. Pertama lingkungan keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh para Majelis jemaat. Jalaluddin (2002) menggungkapkan bahwa keluarga merupakan faktor dominan yang meletakan dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan. Proses pembentukan agama di lingkungan keluarga pada Majelis jemaat dimulai sejak ia dilahirkan, orang tua mengajarkan dan mengenalkan mengenai nilai nilai iman yang baik dan tidak baik yang sesuai dengan ajaran agama, seperti diajarkan untuk berdoa dan beribadah ke gereja sehingga para Majelis jemaat melakukan proses imitasi dari tingkah laku agama yang diajarkan oleh orang tuanya dan cenderung memiliki keyakinan yang sama dengan orang tuanya. Selain itu juga faktor lingkungan keluarga lainnya adalah keluarga inti yaitu Suami/Istri dan anak. Hal ini juga dapat mempengaruhi beragama seorang Majelis Jemaat. Majelis jemaat diharapkan bisa menjadi panutan bagi suami/istri dan anak-anaknya dalam hal bersikap. Kedua, lingkungan institusional berupa institusi formal maupun nonformal, seperti sekolah, perkumpulan dan organisasi yang mempengaruhi jiwa keagamaan Majelis jemaat. Organisasi Majelis Jemaat sendiri bisa menjadi organisasi yang berpengaruh kepada religiusitas dalam kehiduan pribadinya. Adanya peran yang disematkan dan dipercayakan jemaat kepada Majelis jemaat diharapakan bisa meningkatkan kehidupan religiusitas setiap individu. Selain itu Majelis jemaat juga dapat belajar satu sama lain dengan para anggota sehingga terbentuk kehidupan religiusitas, selain itu adanya program

14 pembinaan bagi para Majelis Jemaat yang diharapakan bisa membuat kehidupan religiusitas Majelis jemaat menjadi lebih baik. Faktor ekstern yang terakhir adalah lingkungan masyarakat, lingkungan ini merupakan lingkungan yang dibatasi oleh norma dan nilai nilai yang didukung oleh warganya sehingga setiap anggotanya berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan norma dan nilai yang ada. Majelis jemaat yang tinggal di lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan religius Majeli jemaat dan menuntut Majelis jemaat untuk memiliki kehidupan pribadi yang sesuai dengan ajaran agamanya, seperti menolong sesama, melaksanakan ritual praktek agama secara rutin. Sementara Majelis jemaat yang tinggal di dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair bahkan cenderung sekuler, kehidupan keagamaannya cenderung lebih longgar yang tidak dibatasi oleh norma dan nilai nilai yang mengikat akan cenderung berperilaku tidak sesuai dengn ajaran agamanya, seperti menunda praktek ritual agamanya. Berdasarkan kelima dimensi religiusitas dan faktor faktor yang mempengaruhinya, maka kita dapat mengetahui derajat dimensi dimensi religiusitas anggota Majelis jemaat Gereja X di Kota Bandung. Guna memperjelas uraian di atas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

15 Faktor yang memengaruhi: 1. Faktor intern : - Usia - Kepribadian 2. Faktor Ekstern : - Keluarga - institusional - masyarakat Dimensi Dimensi Religiusitas Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung Dimensi Pengetahuan (Religious Knowledge) Dimensi Ideologis (Religious Belief) Dimensi praktik agama (Religious Practice) Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Dimensi Pengalaman dan Penghayatan (Religious Feeling) Dimensi Pengamalan dan Konsekuensi (Religious Effect) Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah 1.1 Bagan kerangka pemikiran

16 1.6 Asumsi Penelitian 1. Semakin bertambah umur Majelis Jemaat semakin tinggi tingkat religiusitas. 2. Derajat dimensi dimensi religiusitas pada anggota Majelis jemaat Gereja X di Kota Bandung dipengaruhi oleh faktor internal yaitu usia dan kepribadian. 3. Derajat dimensi dimensi religiusitas pada anggota Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu lingkungan keluarga, lingkungan institusional dan lingkungan masyarakat. 4. Anggota Majelis Jemaat Gereja X di Kota Bandung memiliki derajat dimensi religiusitas yang berbeda beda.