I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi terjadi peningkatan persaingan usaha yang menyebabkan kebanyakan pengusaha lebih memperhatikan masalah permodalan, manajemen, dan pemasaran (Manuaba, 1983). Aspek yang kurang diperhatikan bahkan terkadang dilupakan adalah masalah kondisi lingkungan kerja. Mayoritas pengusaha kurang memberikan perhatian kepada masalah kondisi lingkungan kerja karena mereka mengganggap akan mudah untuk mencari pekerja baru apabila pekerja keluar dari pekerjaannya. Padahal, masalah kondisi lingkungan kerja sangat penting untuk diperhatikan karena berdampak langsung kepada kesehatan pekerja (Ulfah, 2008). Sick Building Syndrome (SBS) merupakan keluhan kesehatan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan kerja. Sick Building Syndrome (SBS) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu situasi dimana pekerja dalam suatu gedung mengalami gejala akut atau ketidaknyamanan yang dihubungkan secara langsung dengan waktu yang dihabiskan dalam gedung. Gejala SBS meliputi sakit kepala, pusing, iritasi mata dan tenggorokan, batuk, kulit kering atau ruam, lelah, dan sesak napas. Keluhan akan hilang segera setelah pekerja meninggalkan gedung (Joshi, 2008). Menurut Kukec dan Dovjak (2014), terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan SBS faktor kimia (paparan formaldehid dan karbon dioksida), faktor fisik (intensitas pencahayaan, intensitas kebisingan, dan iklim kerja), faktor biologi (debu) dan faktor individu (jenis kelamin, umur, kebiasaan merokok dan pemakaian Alat Pelindung Diri). 1
Industri kayu lapis sangat erat kaitannya dengan masalah kondisi lingkungan kerja yang bisa menyebabkan keluhan SBS (Mukono, 2008). Berdasarkan hasil studi pendahuluan, berbagai macam keluhan kesehatan dirasakan oleh pekerja di ruang produksi kayu lapis CV X, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Pekerja mengeluhkan gejala seperti pusing, sakit kepala, mata perih, tenggorokan kering, kulit gatal, kelelahan, batuk, dan bersin. Keluhan kesehatan yang dirasakan oleh pekerja tersebut mengindikasikan kepada keluhan Sick Building Syndrome (SBS). Berdasarkan hasil studi pendahuluan, ditemukan beberapa faktor risiko di ruang produksi kayu lapis CV X yang diduga menimbulkan keluhan SBS yaitu paparan formaldehid, intensitas pencahayaan yang kurang, dan intensitas kebisingan. Ruang produksi kayu lapis CV X menimbulkan paparan formaldehid bagi pekerjanya. Menurut Oktarini (2012), formaldehid adalah bahan kimia yang terkandung dalam lem kayu yang bisa menyebabkan penurunan kualitas udara sehingga terjadi pencemaran udara dalam ruangan. Iskandar (2007) mengatakan bahwa pencemaran udara oleh formaldehid dapat menyebabkan keluhan SBS seperti iritasi pada kulit, mata, hidung, tenggorokan, batuk, dan bersin. Namun, adanya paparan formaldehid dalam ruangan tidak diiringi dengan kedisiplinan pekerja dalam memakai APD. Masih banyak pekerja yang belum memakai Alat Pelindung Diri (APD) sarung tangan. Selain itu, tidak ada pekerja yang mengenakan safety google dan safety helmet karena pihak perusahaan tidak menyediakan APD tersebut. Ruang produksi kayu lapis CV X, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah juga menimbulkan risiko bahaya intensitas pencahayaan yang kurang. CV X tidak
menggunakan lampu ketika proses produksi berlangsung, ruang produksi tidak memiliki jendela, dan dinding ruangan yang berwarna gelap sehingga menyebabkan intensitas pencahayaan masih kurang saat proses produksi berlangsung. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, suatu ruangan harus mempunyai intensitas pencahayaan yang cukup. Ruangan yang menerima intensitas pencahayaan kurang dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan keluhan kesehatan. Handayani et al. (2013) mengatakan bahwa pencahayaan yang kurang menyebabkan keluhan SBS seperti kelelahan mata, sakit kepala, nyeri punggung dan penurunan konsentrasi. Intensitas kebisingan dalam ruang produksi kayu lapis CV X diduga juga menjadi faktor kondisi fisik yang menyebabkan timbulnya keluhan SBS pada pekerja. Levine (1995) dan Schwartz (2008) mengatakan bahwa kebisingan adalah faktor fisik lingkungan yang menyebabkan peningkatan prevalensi SBS. Namun, adanya paparan intensitas kebisingan tinggi tidak diiringi dengan pemakaian APD ear plug oleh pekerja. Hal ini karena perusahaan tidak menyediakan APD ear plug. Sehubungan dengan hal di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan kadar formaldehid (HCHO) lingkungan, intensitas kebisingan dan intensitas pencahayaan dengan Sick Building Syndrome (SBS) pada pekerja di perusahaan kayu lapis CV X, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian: 1. Apakah terdapat hubungan kadar formaldehid (HCHO) lingkungan, intensitas kebisingan, dan intensitas pencahayaan dengan Sick Building Syndrome (SBS) pada pekerja di perusahaan kayu lapis CV X, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah? 2. Faktor apakah yang paling berhubungan dengan Sick Building Syndrome (SBS) pada pekerja di perusahaan kayu lapis CV X, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan kadar formaldehid (HCHO) lingkungan, intensitas kebisingan, dan intensitas pencahayaan dengan SBS pada pekerja di perusahaan kayu lapis CV X, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. 2. Tujuan Khusus Untuk mengetahui faktor yang paling berhubungan dengan SBS pada pekerja di perusahaan kayu lapis CV X, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi perusahaan Sebagai bahan masukan bagi perusahaan kayu lapis CV X, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah untuk melakukan upaya perlindungan kepada pekerja agar terhindar dari Sick Building Syndrome (SBS).
2. Manfaat bagi pekerja Dapat memberikan informasi kepada pekerja di perusahaan kayu lapis CV X, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah tentang pentingnya memakai alat perlindungan diri di lingkungan kerja bagi kesehatan. E. Keaslian Penelitian Berikut ini adalah beberapa penelitian mengenai paparan formaldehid, intensitas kebisingan, intensitas pencahayaan, dan SBS yang diketahui oleh penulis: 1. Penelitian Yazdi dan Fathalizadeh (2013) yang berjudul Relationship between Sick Building Syndrome (SBS) with Headache and Drowsiness menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kebisingan dengan SBS pada 340 mahasiswa di asrama Universitas Tehran pada tahun 2013. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah variabel dependen yaitu SBS. Sedangkan perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah variabel independen. Variabel independen dari penelitian yang akan peneliti lakukan adalah kadar formaldehid (HCHO) lingkungan, intensitas kebisingan, dan intensitas pencahayaan. 2. Penelitian Setyanto, et al (2011) yang berjudul Pengaruh Faktor Lingkungan Fisik Kerja Terhadap Waktu Penyelesaian Pekerjaan (Studi Laboratorium) menunjukkan bahwa intensitas pencahayaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap waktu penyelesaian pekerjaan. Penelitian tersebut dilakukan dengan studi laboratorium di laboratorium Analisis Perancangan Kerja dan Ergonomi Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret dengan
melakukan percobaan pada beberapa mahasiswa dengan 3 perlakuan intensitas pencahayaan yaitu 30 lux, 200 lux, dan 350 lux. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah variabel independen yaitu intensitas pencahayaan. Sedangkan perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah variabel dependen. Variabel dependen dari penelitian yang akan dilakukan adalah SBS. 3. Penelitian Sobari yang berjudul Kajian Prevalensi Sick Building Syndrome (Kasus Gedung Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Jakarta) menunjukkan bahwa kadar partikulat dan CO2 di dalam ruangan mempunyai hubungan yang signifikan dengan SBS. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah variabel dependen yaitu SBS. Sedangkan perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah variabel independen. Variabel independen dari penelitian yang akan dilakukan adalah kadar formaldehid lingkungan, intensitas kebisingan, dan intensitas pencahayaan. 4. Penelitian Muna (2008) yang berjudul Hubungan Paparan Debu Kayu dan Formaldehid dengan Faktor Risiko Terjadinya Karsinoma Nasofaring (Studi Observasional pada Pasien Keganasan Kepala Leher di Klinik Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala dan Leher RS Dr. Kariadi Periode 1 April 2008-15 Juni 2008) menunjukkan bahwa paparan formaldehid bila digabungkan dengan faktor risiko lain seperti faktor lingkungan berupa debu kayu dan faktor genetik tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap risiko kejadian kanker nasofaring. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan peneliti
lakukan adalah adanya variabel independen paparan formaldehid. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah variabel dependen yaitu SBS. Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai hubungan kadar formaldehid (HCHO) lingkungan, intensitas pencahayaan, dan intensitas kebisingan dengan Sick Building Syndrome (SBS) pada pekerja di perusahaan kayu lapis CV X, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah adalah asli.