BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI Ruang Lingkup Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitiatif dan kualitatif.

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN)

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

I.PENDAHULUAN Pada Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) yang sedang berjalan,

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu

BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN

BAB V PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DESA PANGRADIN

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi dan Tujuan Usaha Tani

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kuningan berada di provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pekarangan pada dasarnya merupakan lahan di sekitar rumah yang di

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB VI KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA PANGRADIN. 6.1 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pangradin

Konsep Awal Pembangunan Ekonomi Pertanian Secara Kolektif melalui Organisasi

Jurnal Pengabdian pada Masyarakat No. 55 Tahun 2013, ISSN:

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

PERUBAHAN POLA INTERAKSI MASYARAKAT DENGAN HUTAN DI DESA CIPEUTEUY KECAMATAN KABANDUNGAN KABUPATEN SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT SUDIYAH ISTICHOMAH

PERANAN PERKEBUNAN KARET JALUPANG TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT CIPEUNDEUY KABUPATEN SUBANG

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

2014 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN CIMAUNG KABUPATEN BANDUNG

KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT ARSO JAYAPURA NOMOR : 03/KPTS DPMAA/DJ/94 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pada bab ini peneliti akan menyajikan kesimpulan yang berkaitan dengan

Oleh : Sri Wilarso Budi R

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai dasar pertimbangan yang kuat untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa yang harus diusahakan, dimanfaatkan dan. dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.

PELUANG PENINGKATAN PERANAN HUTAN PRODUKSI KPH RANDUBLATUNG TERHADAP PENINGKATAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR

8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

Evaluasi dan Rencana Pembangunan Perkebunan Tahun Dinas Pangan dan Pertanian Kabupten Purwakarta

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3 Penetapan Responden menggunakan snowball sampling technique.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di bagian selatan

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

BAB VI SISTEM KEKERABATAN DAN DERAJAT PENGAKUAN TOKOH MASYARAKAT

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. antara lain hutan produksi yang berada di sekitar Taman Nasional Gunung

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. stabilitator lingkungan perkotaan. Kota Depok, Jawa Barat saat ini juga

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah menunjukkan terdapat berbagai permasalahan muncul terkait dengan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT YEI/SIT MERAUKE NOMOR 03/KPTS DPAY/09/95

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

117 BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY Desa Cipeuteuy merupakan desa baru pengembangan dari Desa Kabandungan tahun 1985 yang pada awalnya adalah komunitas pendatang yang berasal dari beberapa daerah, seperti Bogor, Sukabumi, Garut dan sebagainya. Mereka datang sebagai buruh pekerja pada perkebunan teh Pandan Arum dan tinggal pada bedeng-bedeng yang disediakan. Desa Cipeuteuy mengalami dinamika penguasaan sumberdaya agraria yang secara periodisasi dapat dibagi menjadi lima periode, yakni masa Perkebunan Pandan Arum pada jaman Belanda, masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan, perkebunan Intan Hepta dan masa masuknya program-program kemasyarakatan. Adapun dinamika tersebut akhirnya akan menciptakan hubungan sosio-agraria antara subjek-subjek agraria yang berkepentingan pada sumberdaya agraria. Hubungan ini selanjutnya akan membentuk struktur agraria pada Desa Cipeuteuy dengan pihak-pihak yang selama ini berkepentingan atas sumberdaya agraria. Menurut penuturan salah satu warga Kampung Cisalimar yang paling tua Pada masa Belanda, semua orang yang ada di Desa Cipeuteuy merupakan pekerja perkebunan sebagai buruh perkebunan, kuli kontrak dan pendatang yang memiliki tujuan tertentu, termasuk untuk meningkatkan taraf hidupnya, sehingga kebutuhan hidup dan masa depannya sepenuhnya digantungkan kepada perkebunan. Praktis, mereka hanya menjadi organ dan pelengkap dari suatu sistem besar industri perkebunan.

118 Sebagai buruh perkebunan mereka hanya mengerjakan pekerjaan di perkebunan teh. Mereka tidak membuka lahan, baik untuk pertanian maupun perkebunan, terlebih lagi membuka kawasan hutan. Mereka tinggal pada bedengbedeng yang telah disediakan dan mereka telah diberi suplai untukpemenuhan kebutuhan sehari-hari mulai dari makanan pokok hingga kebutuhan bambu, kayu bakar dan kayu untuk bangunan. Pihak perkebunan pun telah menyediakan areal tersendiri untuk tanaman kayu bakar, bambu dan kayu bangunan, sehingga pada saat itu tidak ada orang yang diperbolehkan untuk masuk ke dalam hutan, terlebih lagi dengan membawa golok ataupun kampak. Pada masa Jepang, masyarakat Cipeuteuy mengalami penderitaan. Perkebunan teh dirusak dan dibakar dan masyarakat dipaksa untuk membuka lahan-lahan pertanian, berhuma, tanam jagung dan umbi-umbian, namun hasil pertaniannya banyak diambil oleh Jepang. Pada masa tersebut banyak kampungkampung mulai dibuka. Rumah-rumah mulai bertambah, sawah-sawah dan pemukiman mulai dibuka. Selanjutnya pada jaman kemerdekaan, banyak masyarakat yang membuka lahan-lahan eks perkebunan teh Pandan Arum untuk berhuma dan berkebun. Pada tahun 1958 banyak tanah eks perkebunan Pandan Arum tersebut yang digarap masyarakat diberikan surat Letter C. Kemudian, tahun 1963 dikeluarkan surat keputusan dari agraria mengenai pembebasan tanah untuk garapan masyarakat. Pada masa perkebunan Intan Hepta, masyarakat kembali menjadi buruh dan pekerja seperti halnya yang terjadi pada masa perkebunan Pandan Arum, namun tidak semua anggota masyarakat bekerja disitu, telah banyak yang

119 memiliki sawah, lahan garapan, dan kebun. Disamping itu telah banyak yang mencari pekerjaan di kota, baik sebagai buruh, atau kuli bangunan, sehingga tidak lagi menggantungkan hidup pada perkebunan. Dengan demikian pola interaksi yang terjadi menjadi lebih bebas, terbuka dan tidak ketergantungan. Pada tahun 1969, tanah-tanah eks erfpacth yang dikonversi menjadi HGU mulai dibuka kembali. Tahun 1973 terjadi pembebasan lahan yang dilakukan kontraktor pembebasan tanah dari PT. Intan Hepta, meskipun pada tahun 1963 sudah banyak tanah yang diberikan Petok C. Tanah-tanah eks perkebunan Pandan Arum yang sudah digarap masyarakat diberikan ganti rugi sebanyak Rp.7.000,- per hektar. Pada tahun 1975 PT. Intan Hepta yang dimiliki oleh Thoyib Hidayatullah, seorang menteri pertanian pada saat itu melakukan penanaman cengkeh seluas 583 hektar. Namun demikian, PT. Intan Hepta tidak bertahan lama karena hasil cengkehnya tidak terlalu baik. Perkebunan ini kemudian diterlantarkan dan sempat menjadi sarang babi hutan yang mengganggu perkebunan masyarakat. Pada akhirnya masyarakat diperkenankan untuk menggarap selebar empat meter dari sisi jalan dan tanaman cengkeh mulai ditebangi pada tahun 1997 Sebagian lahan yang tidak digarap oleh rakyat disubkontrakkan pada pihak lain untuk ditanami pohon yang berumur pendek sambil memanfaatkan sisa waktu HGU yang habis pada tahun 2000 Berkah kebangkrutan PT. Intan Hepta sebelumnya didahului oleh adanya kesempatan untuk melakukan tebangan hutan pada kawasan hutan produksi. Disamping melakukan tumpangsari mereka juga memperoleh tambahan pendapatan dari pekerjaan perawat tanaman pokok, seperti upah mengolah lahan,

120 pemupukan dan penyiangan. Masa tersebut merupakan masa yang penuh berkah bagi masyarakat Desa Cipeuteuy, karena mereka mendapatkan lahan garapan yang luas untuk perkebunan dan tumpangsari. Dengan demikian masyarakat dapat melakukan tumpansari pada lahan kehutanan eks tebangan Perhutani, selain itu, mereka dapat mengelola lahan eks perkebunan Perhutani. Akan tetapi pada masa itu kelimpahan ini diterima begitu saja tanpa diikuti oleh peningkatan kreatifitas dan daya jual yang tinggi, melainkan mereka selalu mengeluh mengenai modal. Mereka tidak mengupayakan adanya irigasi teknis ataupun menanam tanaman yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Mereka hanya menanam tanaman yang ada dan bisa dibiarkan berkembang sendiri tanpa perawatan, seperti singkong, pisang dan sejenisnya. Sehingga pemanfaatan lahan eks perkebunan Intan Hepta yang masing-masing mencapai seluas satu hektar tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi mereka. Meskipun masih diliputi rasa takut, karena terdesak kebutuhan hidup, banyak masyarakat desa dan luar desa memanfaatkan lahan bekas perkebunan Intan Hepta. Pada awalnya, ada yang menggarap secara sembunyi-sembunyi dan perlahan-lahan tetapi akhirnya mereka masuk dan menggarap secara terangterangan setelah mereka dibiarkan untuk mengelola lahan. Pembukaan lahan inipun juga dilakukan oleh warga desa tetangga yang kemudian menetap, salah satunya dilakukan oleh kelompok tani yang dikoordinir oleh Bapak PI yang hingga saat ini bersama dengan kelompok taninya memerjuangkan status lahan eks HGU.

121 Sudah hampir sepuluh tahun kelompok tani ini berkonflik dengan pemegang kepemilikan HGU lahan perkebunan eks Intan Hepta. Pemilik HGU menginginkan agar ia dapat memperpanjang masa HGU, sedangkan Bapak PI dengan kelompoknya berusaha agar HGU tersebut tidak lagi diperpanjang dan warga memperoleh hak garap pada lahan tersebut. Pada masa masuknya program kemasyarakatan mulai dikembangkan pertanian modern dengan komoditas yang padat modal, seperti tanaman cabai, tomat dan sayuran lainnya yang membutuhkan saprodi lebih banyak seperti mulsa plastik, pupuk kimia dan pestisida. Pada masa ini mulai banyak bantuan yang datang dari pemerintah, lembaga kemasyarakatan, akademisi hingga LSM. Hal ini sangat mempengaruhi perubahan pola pikir masyarakat. Masayarakat menjadi lebih konsumtif, dan cenderung pasif untuk berusaha. Mereka lebih mengharapkan bantuan dari luar. Hal ini dipicu oleh kesalahan pihak luar dalam melakukan pendekatan pada masyarakat. Sebagai contoh, LSM Internasional pernah mengadakan pendampingan, dimana pada setiap pertemuan, masyarakat diberikan uang saku/amplop, sehingga hal ini membentuk pola pikir masyarakat yang memandang bahwa, setiap ada pihak luar yang masuk Desa Cipeuteuy, maka pasti akan ada bantuan atau sumbangan. Selain itu, banyaknya lembaga-lembaga yang menjalankan program di Desa Cipeuteuy juga mempengaruhi pola-pola yang ada di masyarakat. Menurut penuturan dari informan, beberapa program tidak datang dari keinginan warga dan cenderung dipaksakan untuk diarahkan kepada kepentingan lembaga. Perbedaan pola penguasaan antar subjek agraria (komunitas, pemerintah dan pihak swasta) direpresentasikan dengan suatu hubungan kelas-kelas sosial.

Hunungan intra subjek 122 Adanya hubungan antar kelas ini akan membentuk suatu tatanan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria. Dari dinamika penguasaan sumberdaya agraria yang terjadi, maka Desa Cipeuteuy memiliki tatanan sosial, yakni struktur agraria yang terbagi menjadi tiga tipe penguasaan sumberdaya agraria, yakni tipe kapitalis, sosialis dan tipe populis dengan hubungan sosio agraria seperti pada Gambar 4. Pada tipe kapitalis, sumberdaya agraria dimiliki oleh perusahaan, atau pemilik modal. Hubungan yang terjadi antara subjek agraria adalah hubungan majikan- buruh.yang pada Desa Cipeuteuy subjek agrarianya antara lain PT. Intan Hepta, petani penggarap dan pemerintah desa sebagai pihak yang selama ini menjadi perantara antara dua pihak tersebut. Gambar 4. Bagan Struktur Agraria Desa Cipeuteuy Komunitas Petani Pemilik - Kelompok tani - Petani Pemilik - Petani penggarap - Buruh Tani Buruh Tani Sumberdaya Agraria - Eks HGU Perkebunan Intan Hepta - Perkebunan Rakyat - Lahan TNGH-S - Lahan Perorangan Swasta PT. Intan Hepta Pemerintah Pemerintah Daerah Pemerintah Kabupaten Sukabumi TNGH-S Sumber:Penelusuran Peneliti Pada Desa Cipeuteuy tahun 2007

123 Pada tipe sosialisme, sumber agraria dikuasai oleh negara atas nama kelompok, dimana hubungan sosio agraria yang terjadi adalah hubungan ketua a nggota. Di Desa Cipeuteuy, tipe sosialis dapat ditemui pada lahan yang dikelola kelompok tani secara bersama-sama. Subjek agrarianya antara lain pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), kelompok tani dan pemerintah desa. Pihak TNGHS menyediakan lahan untuk dikelola dan dimanfaatkan bersama oleh kelompok tani pada Kampung Sukagalih. Tipe populisme merupakan tipologi yang mendominasi wilayah Cipeuteuy, dimana sumberdaya agraria dikuasai oleh keluarga atau rumah tangga pengguna. Adapun subjek agrarianya antara lain petani pemilik, petani penggarap dan buruh tani. Hubungan yang terjadi antara subjek agraria adalah hubungan intra subjek agraria yang tercermin dalam hubungan patron-klien. Selanjutnya, Hubungan yang terjadi antara subjek agraria dengan sumberdaya agraria ditunjukkan dari pengelolaan sumberdaya agraria. Pada Desa Cipeuteuy tidak ditemukan hubungan teknis yang eksploratif. Hampir seluruh pengelolaan sumberdaya agraria dilakukan secara konservatif, dalam artian pengelolaannya memperhatikan kelestarian dan keberlangsungan lingkungannya. Hal ini salah satunya ditunjukkan dari peran serta masyarakat dalam menjaga hutan