SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Oleh: ANDRIANA NIM : C.100.050.053 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2009
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang tinggi, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa masyarakat Indonesia menjadi suatu masyarakat yang fundamental. Artinya setiap perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia senantiasa dibatasi oleh norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma secara sederhana diartikan sebagai peraturan khusus dari perilaku manusia yang diakui oleh umat manusia. 1 Sementara itu, Robert M. Z. Lawang mengartikan norma ialah sebagai patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma yang hidup dalam masyarakat lazim disebut sebagai norma sosial, norma sosial tersebut dapat kita golongkan menjadi tiga golongan yaitu folkways (tata cara yang lazim dikerjakan atau diikuti oleh rakyat kebanyakan), mores (larangan keras atau sebagai hal yang dianggap tabu), dan hukum. 2 1 Siti Irene Astuti, Nur Djazifah, S. Wisni Septiarti, dan Murtamadji. 1983. Ilmu Sosial Dasar. Yogyakarta: UPT MKU-Universitas Negeri Yogyakarta. Hal. 53. 2 Ibid. Hal. 48.
Kedudukan hukum dalam masyarakat sangatlah penting, karena pada dasarnya fungsi umum hukum menurut Sudarto, ialah mengatur kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. 3 Dalam sistem hukum Indonesia kita mengenal apa yang namanya hukum pidana, yakni bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut, menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan serta menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 4 Hukum pidana Indonesia, berpegang pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur secara khusus. Sementara itu, dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dua macam pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Dimana salah satu pidana pokoknya adalah pidana penjara. Menurut P. A. F. Lamintang, Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan 3 Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2005. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hal. 24. 4 Bambang Poernomo. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal. 22.
dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua paraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. 5 Sementara itu, orang yang menjalani pidana penjara disebut sebagai narapidana. Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan diberikan penjelasan mengenai narapidana, sebagai berikut: Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Sejalan dengan itu, yang dimaksud dengan narapidana adalah seseorang manusia anggota masyarakat yng dipisahkan dari induknya dan selama waktu tertentu itu diproses dalam lingkungan tempat tertentu dengan tujuan, metode, dan sistem pemasyarakatan. 6 Sistem pemasyarakatan, sebagai dasar perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dituangkan di dalam sepuluh prinsip pemasyarakatan, sedangkan yang berkaitan dengan reintegrasi sosial terdapat dalam lima prinsip dari sepuluh prinsip pemasyarakatan antara lain: 7 1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna; 5 Dwidja Priyatno. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama. Hal. 71. 6 Bambang Poernomo. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty. Hal. 180. 7 http://www.bapasserang.wordpress.com. Diakses tanggal 5 Februari 2009. Pukul 20.20. WIB.
2. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat; 3. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat; 4. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi; 5. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila. Perlulah diingat bawasannya penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam, yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Demikianlah konsepsi baru fungsi pemidanaan yang bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi itu di Indonesia disebut pemasyarakatan. 8 Integrasi sosial sangat penting untuk dilakukan dalam upaya pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Integrasi sosial merupakan proses pembimbingan warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi 8 Bambang Waluyo. 2004. Pidana Dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 3.
persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan BAPAS. 9 Balai Pemasyarakatan (BAPAS) sebagai ujung tombak pemasyarakatan merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas, karena Balai Pemasyarakatan berperan pada saat proses integrasi sosial dilaksanakan yaitu bagaimana Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dapat menuntun, menghantar dan mengarahkan narapidana kembali kepada lingkungan masyarakatnya secara baik dan sehat. Pembimbingan yang mengarah pada tujuan di atas salah satunya adalah pembimbingan klien pemasyarakatan yang mendapatkan hak cuti. Ketentuan cuti tersebut terdapat dalam Pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Selengkapnya berbunyi: Setiap narapidana dan anak didik pemasyarakatan berhak mendapatkan cuti. Sebagai konsekuensi atas perlindungan terhadap tindakan pembimbingan tersebut, dalam Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dinyatakan bahwa pembimbingan dan pengawasan selama cuti menjelang bebas, terhadap narapidana, anak pidana, dan anak negara dilaksanakan oleh petugas BAPAS. 9 Dwidja Priyatno. Op. Cit. Hal. 108.
Balai Pemasyarakatan (BAPAS) adalah salah satu unit pelaksana teknis di bidang pembinaan luar lembaga pemasyarakatan. Balai Pemasyarakatan ini antara lain bertugas memberikan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak. Begitu pentingnya peranan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan yang sedang menjalani cuti menjelang bebas maka penulis tertarik untuk menelitinya dan menyusunnya dalam skripsi dengan judul: PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS (Studi di BAPAS Surakarta). B. Pembatasan Masalah Agar penulisan skripsi ini mengarah pada pembahasan yang diharapkan dan berfokus pada pokok permasalahan yang ditentukan, tidak terjadi pengertian yang kabur karena ruang lingkupnya yang terlalu luas, maka perlu adanya pembatasan masalah. Penelitian ini akan dibatasi pada peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam pembimbingan klien pemasyarakatan yaitu narapidana yang menjalani cuti menjelang bebas, serta kendala Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam melaksanakan pembimbingan klien pemasyarakatan yaitu narapidana tersebut yang dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan Surakarta (BAPAS Surakarta).
C. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka peneliti dapat merumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam pembimbingan klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas? 2. Apakah kendala yang dihadapi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam melaksanakan pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka peneliti menentukan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam pembimbingan klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas. 2. Untuk mengetahui kendala yang dialami Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam melaksanakan pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan akan dapat memberikan manfaat, baik manfaat objektif maupun manfaat subjektif sebagi berikut:
1. Manfaat Objektif Manfaat objektif dari penelitian ini adalah dengan diketahuinya peran BAPAS dalam pembimbingan klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas, serta kendala yang dihadapi Pembimbing Kemasyarakatan dalam melaksanakan pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas akan dapat memberikan sumbangsih pengetahuan bagi ilmu hukum pada umumnya dan bagi pembimbingan klien pemasyarakatan pada khususnya termasuk dalam upaya pemenuhan hak klien pemasyarakatan untuk mendapatkan hak menjalani cuti menjelang bebas serta bagi BAPAS dalam melaksanakan pembimbingan. 2. Manfaat Subjektif Manfaat subjektif dari penelitian ini adalah sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan bagi penulis mengenai hukum pidana, serta untuk memenuhi syarat guna mencapai derajat sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. F. Kerangka Teori Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan hukum. Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian, negara yang berdasarkan
atas hukum, negara berkewajiban untuk menegakkan keadilan dan mencegah terjadinya tindak pidana atau kejahatan di masyarakat. Antisipasi atas kejahatan yang terjadi dapat dilakukan dengan memfungsikan instrumen hukum (pidana) secara selektif melalui penegakkan hukum (law enforcement). Melalui instrumen hukum, diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi secara preventif maupun represif. Mengajukan ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi seseorang yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif. Penjatuhan pidana semata-mata bukan tujuan dari pemidanaan, karena pada dasarnya tujuan pemidanaan dapat dibagi menjadi dua kelompok teori yaitu: 10 a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergelding theorieen), menurut teori ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Pembalasan oleh banyak orang dikemukakan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan. b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen), pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Dalam perkembangan pemidanaan, kemudian muncul teori pemidanaan yang ketiga yang disebut sebagai teori gabungan (verenigings theorieen), 10 Ibid. Hal. 23-25.
sekalipun teori ini tetap memegang pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun teori ini berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan suatu yang rusak dalam masyarakat. 11 Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga rumah penjara secara berangsurangsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J. H. G. 8/506 Tanggal 17 Juni 1964. Konsep pemasyarakatan tersebut kemudian disempurnakan oleh Keputusan Konferensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem 11 Ibid. Hal. 26-27.
pemasyarakatan, suatu pernyataan di samping sebagai arah tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan membina. Sambutan Menteri Kehakiman RI dalam Pembukaan Rapat Kerja Terbatas Direktorat Jendral Bina Tuna Warga Tahun 1976 menandaskan kembali prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan sistem pemasyarakatan yang sudah dirumuskan dalam konferensi lembaga tahun 1964 yang terdiri dari sepuluh rumusan, prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan itu ialah: 12 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagi warga yang baik dan berguna dalam masyarakat; 2. Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara; 3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan membimbing; 4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum ia masuk lembaga; 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat; 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditunjukkan untuk pembangunan negara; 7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila; 12 Ibid. Hal. 98-99.
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa ia penjahat; 9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan; 10. Sarana fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan system pemasyarakatan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai peraturan yang lebih khusus mengatur mengenai pembimbingan narapidana memberikan pengertian mengenai pembimbingan dalam Pasal 1 angka 2 sebagai berikut: Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan. Sementara itu, yang dimaksud dengan klien pemasyarakatan adalah seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS. 13 Dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan disebutkan bahwa: Klien yang dibimbing oleh BAPAS terdiri dari: a. Terpidana bersyarat; b. Narapidana, anak pidana, anak negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas; c. Anak negara yang berdasarkan putusan pengadilan pembinaannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial; d. Anak negara yang berdasarkan keputusan menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jendral Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial; 13 Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
e. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya; f. Anak yang berdasarkan putusan pengadilan, dijatuhi pidana pengawasan; dan g. Anak yang berdasarkan putusan pengadilan, wajib menjalani latihan kerja sebagai pengganti pidana denda. Pembimbingan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dilakukan terhadap klien pemasyarakatan yang salah satunya mendapatkan hak cuti menjelang bebas. Cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan narapidana dan anak pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan berkelakuan baik. 14 Dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat dijelaskan bahwa, cuti menjelang bebas diberikan bertujuan: a. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana dan anak didik pemasyarakatan kearah pencapaian tujuan pembinaan; b. Memberi kesempatan bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan untuk pendidikan dan ketrampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri ditengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana; c. Mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan. G. Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian agar terlaksana dengan maksimal maka peneliti mempergunakan beberapa metode sebagai berikut: 14 Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Pendekatan ini mengkaji konsep normatif/yuridis program pembimbingan klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya oleh Balai Pemasyarakatan, khususnya oleh Balai Pemasyarakatan Surakarta di Balai Pemasyarakatan Surakarta dan di masyarakat. 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah diskriptif, yaitu untuk memberikan gambaran mengenai pembimbingan klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas baik secara yuridis maupun empirisnya oleh Balai Pemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Surakarta dan di masyarakat. 15 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Surakarta dan di tempat tinggal klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas. 4. Jenis Data Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data sebagai berikut: 15 Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI. Hal. 13. Penelitian deskriptif pada umumnya bertujuan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya.
a. Data Primer Data primer diperoleh penulis di Balai Pemasyarakatan Surakarta dan di tempat tinggal klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas. Data primer di Balai Pemasyarakatan diperoleh dari petugas Pembimbing Kemasyarakatan yang melaksanakan pembimbingan cuti menjelang bebas. Sementara itu, data primer dari tempat tinggal klien pemasyarakatan diperoleh dari klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas. b. Data Sekunder Data sekunder berupa bahan-bahan pustaka yang terdiri dari: 1) Bahan hukum primer, yang meliputi: a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan; c. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan; d. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan; e. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999
tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan; f. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. g. Peraturan Perundang-undangan lainnya, khususnya yang terkait dengan pemasyarakatan. 2) Bahan hukum sekunder, yang meliputi literatur-literatur yang terkait dengan pembimbingan narapidana sehingga menunjang penelitian yang dilakukan. 5. Metode Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dimaksud di atas digunakan teknik sebagai berikut: a. Studi kepustakaan Merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis. Studi kepustakaan ini dilakukan dengan cara mencari, mencatat, mengiventarisasi, menganalisis, dan mempelajari data-data yang berupa bahan-bahan pustaka yang sesuai dengan dasar penyusunan penelitian hukum ini.
b. Studi lapangan Merupakan penelitian yang dilakukan secara langsung terhadap objek yang diteliti dalam rangka memperoleh data primer dengan cara wawancara. Wawancara ini dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab secara langsung baik lisan maupun tertulis dengan informan yaitu klien pemasyarakatan yang sedang menjalani cuti menjelang bebas dan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang melakukan pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas. 6. Metode Analisis Data Setelah data terkumpul kemudian dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif. Metode analisis kualitatif yaitu menganalisis data yang diperoleh dari penelitian yang bersifat uraian, teori-teori, serta pendapat dari para sarjana untuk mendapatkan kesimpulan secara yuridis. 16 H. Sistematika Skripsi Penulisan skripsi ini terdiri atas empat bab yang disusun secara sistematis, di mana antara bab saling berkaitan sehingga merupakan suatu rangkaian yang berkesinambungan, adapun sistematika dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 16 Ibid. Hal. 15. Analisis data kualitatif yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh.
Bab I adalah pendahuluan yang berisikan gambaran singkat mengenai keseluruhan isi skripsi yang terdiri dari: latar belakang, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II adalah tinjauan pustaka yang berisikan uraian dasar teori dari skripi ini yang meliputi: tinjauan umum tentang pidana dan pemidanaan, tinjauan umum tentang pemasyarakatan, dan tinjauan umum tentang pembimbingan klien pemasyarakatan. Bab III adalah hasil penelitian dan pembahasan dimana penulis akan menguraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam pembimbingan klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas, serta kendala yang dihadapi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam melakukan pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas. Bab IV adalah kesimpulan dan saran, dimana berisi kesimpulan dari uraian skripsi pada bab-bab terdahulu, serta saran yang menjadi penutup skripsi.