BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Setelah otonomi daerah digulirkan tahun 1999, pemerintah daerah mempunyai

I. PENDAHULUAN. Alam, 2010), untuk penyelenggaraan pemilukada setidaknya menelan biaya

BAB I PENDAHULUAN. kinerja kepala daerah beserta wakil rakyat di kursi dewan.

INDIKASI PENYALAHGUNAAN DISCRETIONARY FUND DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH MENJELANG PEMILUKADA 2015

BAB I PENDAHULUAN. Daerah kabupaten dan kota berkedudukan sebagai daerah otonom yang

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya masa orde baru merupakan awal mula demokrasi di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN. keuangan tahunan pemerintah daerah yang memuat program program yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Sisa

Kata Kunci: Politik, anggaran, incumbent, belanja, hibah, bantuan, sosial

TINJAUAN HUKUM PENGELOLAAN DANA BANTUAN SOSIAL YANG BERSUMBER DARI APBD

2015 ANALISIS STRATEGI BIAYA PENGALOKASIAN BELANJA LANGSUNG PADA APBD PEMERINTAH DAERAH

PEMBERIAN BANTUAN HIBAH OLEH PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pertahun. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menggantikan Undang-Undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai awal dalam rangkaian penelitian ini, pada bab I menjelaskan latar

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu upaya konkrit yang dilakukan pemerintah sebagai wujud dari

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENYELENGGARAAN BELANJA HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan peraturan daerah (Sutaryo, Sutopo dan Wijaya, 2014). Undang-Undang

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 39 Tahun 2012 (Permendagri 39/2012) Perubahan atas Peraturan. Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 (Permendagri 32/2012)

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TORAJA UTARA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

TELAAH PUSTAKA. dan Belanja Daerah (APBD), belanja bantuan sosial, belanja hibah dan belanja

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran, terhitung

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya otonomi daerah. Sebelum menerapkan otonomi daerah,

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran dan ditetapkan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

- 1 - PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB I PENDAHULUAN. lagi, ternyata dalam prakteknya partai politik ini kurang mampu menjawab

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

PERMENDAGRI NOMOR 32 TAHUN 2011 PERMENDAGRI NOMOR 39 TAHUN 2012 PERMENDAGRI NOMOR 14 TAHUN 2016

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas

BABl PENDAHULUAN. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab. Akuntansi yang dipraktikkan dalam suatu wilayah negara sebenamya

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia telah bergulir selama lebih dari satu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. berlebih sehingga untuk mengembangkan dan merencanankan daerah yang

PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI

BAB VI PENUTUP. Langsung Pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Adanya reformasi pada tahun 1998, mengakibatkan terjadinya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

Outlook Dana Desa 2018 Potensi Penyalahgunaan Anggaran Desa di Tahun Politik

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2008

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU PILKADA KOMISI II DPR RI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2012

PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2012

BAB I PENDAHULUAN. sebelumnya yang menerapkan sistem sentralisasi dimana segala kekuasan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. kelola yang baik diperlukan penguatan sistem dan kelembagaan dengan berdasarkan

BAB II LANDASAN TEORI

MENTERI DALAM NEERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 57 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

PROVINSI SUMATERA BARAT WALIKOTA PADANG

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 10 TAHUN 2007 TENTANG

WALIKOTA KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

1.1 Latar Belakang PPAS APBD 2016 BAB I 1

Jurnal Akuntansi dan Bisnis Vol. 16, No. 2, Agustus 2016:

BAB I PENDAHULUAN. keuangan tahunan pemerintah daerah yang memuat program - program yang

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan

BUPATI LANDAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih efisien, efektif, dan bertanggung jawab. Kemudian diikuti dengan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB1 PENDAHULUAN. Tahun-tahun awal pelaksanaan otonomi daerah merupakan masamasa. yang berat dan penuh tantangan bagi sebagian besar daerah dalam

LSM: ADA GEJALA KORUPSI DALAM PEMILUKADA DKI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

BAB I PENDAHULUAN. daerah dimana kepala daerah adalah Gubernur, Bupati dan. Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakian Rakyat Daerah (DPRD)

BUPATI LANDAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGAH NOMOR 31 TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. peraturan perundang-undangan baik berupa Undang-Undang (UU) maupun

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BARRU

BAB I PENDAHULUAN. dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu

1.1. Latar Belakang Masalah

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2008

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dan pengeluaran yang terjadi dimasa lalu (Bastian, 2010). Pada

BAB II KAJIAN PUSTAKA. prinsipal dan agen untuk menganalisis hubungan antara perusahaan dengan

Transkripsi:

digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, mengamanatkan bahwa mulai tahun 2015 Pemilihan Umum Kepala Daerah dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali dan diadakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri disebutkan bahwa pada tahun 2015 Pemilihan Umum Kepala Daerah akan dilaksanakan secara serentak di 170 Kabupaten, 26 Kota dan 8 Provinsi di Indonesia tanggal 9 Desember 2015 (Kemendagri 2014). Efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilukada langsung masih banyak diperdebatkan oleh berbagai pihak baik pemerintah pusat maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Beberapa kalangan berpendapat bahwa pemilukada langsung di beberapa daerah di Indonesia memberikan beban keuangan sangat besar bagi daerah (Ritonga dan Alam 2010) serta rawan konflik. Permasalahan klasik yang akan muncul ketika pemilukada dilaksanakan secara langsung salah satunya adalah penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kepentingan pribadi kepala daerah menjelang pelaksanaannya (Sjahrir et al. 2013). Hal tersebut ditandai banyaknya terjadi kasus pengalokasian anggaran 1

digilib.uns.ac.id 2 yang berujung penyimpangan anggaran dan korupsi yang dilakukan kepala daerah pada saat menjelang pelaksanaan pemilihan (Mietzner 2011). Pemilihan umum kepala daerah di Indonesia menjadi salah satu penyebab terjadinya praktik korupsi, money politics dan hubungan patronase yang kuat antara pemilih dan kandidat (Hadiz 2010; Mietzner 2010). Fenomena adanya money politics dalam pemilu kepala daerah perlu mendapatkan perhatian khusus. Diduga ada potensi penyimpangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) ketika kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan maju kembali menjadi calon kepala daerah (Ritonga dan Alam 2010). Hessami (2014) menyatakan bahwa penyalahgunaan kewenangan politik berhubungan dengan penyusunan komposisi anggaran publik. Bukti empiris penelitian menunjukkan adanya penyimpangan pada penyusunan dan penetapan anggaran ini di antaranya dilakukan oleh Mauro dan Paolo (1998), Keefer dan Keemani (2003), Tanzi dan Davoodi (1998), Gupta, Davoodi dan Tiongson (2000), Garamfalvi (2003), Abdullah dan Asmara (2006). Alokasi anggaran menurut Permendagri 21 tahun 2011 dikelompokkan menjadi untuk kategori belanja langsung dan tidak langsung. Pada kategori belanja tidak langsung terdapat pos anggaran yang tidak didasarkan pada target kinerja tertentu atau disebut sebagai dana kebijakan (discretionary funds). Kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan akan maju kembali menjadi calon kepala daerah akan cenderung menggunakan dana kebijakan (discetionary funds) untuk meningkatkan popularitasnya (Sjahrir et al. 2013). Belanja hibah dan belanja bantuan sosial termasuk dalam kategori belanja tidak langsung dan 2

digilib.uns.ac.id 3 merupakan salah satu pos belanja yang dapat dipakai bagi calon kepala daerah incumbent untuk memikat hati masyarakat pemilih untuk mendapatkan dukungan (Ritonga dan Alam 2010; Sjahrir et al. 2013). Hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan nominal dana hibah dalam APBD yang cenderung meningkat dalam pada periode 2011-2013. Dari Rp15,9 triliun pada 2011, menjadi Rp 37,9 triliun (2012) dan Rp 49 triliun (2013). Ada daerah yang persentase kenaikannya mencapai 117 kali lipat pada 2011-2012, dan 206 kali lipat pada kurun 2012-2013. Kenaikan dana bantuan sosial, mencapai 5,8 kali lipat pada 2011-2012 dan 4,2 kali lipat pada tahun 2012-2013. Bila dilihat dari persentase dana hibah terhadap total belanja, nilainya juga cukup signifikan. Bahkan, terdapat sebuah daerah yang anggaran dana hibahnya mencapai 37,07 persen dari total APBD (KPK 2014). Dalam upaya mengantisipasi politisasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial oleh kepala daerah pada pemilukada 2015, maka pemerintah menerbitkan Permendagri 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang diubah menjadi Permendagri 39 tahun 2012 dengan proses pencairan hibah dan bantuan sosial yang lebih ketat dari pada proses sebelumnya. Tahapan dan mekanisme proses perumusan anggaran belanja hibah dan bantuan sosial mulai tahun 2009 s/d 2013 tidak ada perbedaan yang mendasar (Eftriani 2014). Setelah terbitnya permendagri 39 tahun 2012, penganggaran hibah dan bantuan sosial tidak lagi menggunakan sistem paket, melainkan dengan mencantumkan nama penerima, alamat penerima serta besaran nilai hibah dan bantuan sosial pada 3

digilib.uns.ac.id 4 lampiran III Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun demikian, ketatnya aturan tersebut belum menjamin anggaran belanja hibah dan bantuan sosial ini tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik kepala daerah khususnya menjelang pemilukada 2015. Berdasarkan Permendagri 21 tahun 2011 yang merupakan perubahan kedua dari Permendagri 13 tahun 2006 menyebutkan bahwa belanja hibah dan bantuan sosial ini masuk dalam kategori belanja tidak langsung yang pengalokasiannya tidak didasarkan pada target kinerja tertentu sehingga penentuan besaran anggarannya cenderung bersifat subyektif (Ritonga dan Alam 2010) dan rentan dengan penyimpangan (Eftriani 2014). Oleh sebab itu perlu dilakukan evaluasi tentang besarnya alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial dengan melihat proporsinya terhadap total belanja. Permendagri 32 tahun 2011 jo. Permendagri 39 tahun 2012 pada pasal 4 dan pasal 22 menyebutkan bahwa pengalokasian anggaran belanja hibah dan bantuan sosial harus memperhatikan kemampuan keuangan daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan wajib dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas dan manfaat bagi masyarakat. Kemampuan keuangan daerah ditinjau dari sudut pandang anggaran sebagai alat pengendalian manajerial menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai uang yang cukup untuk memenuhi kewajibannya (Mardiasmo 2009). Dengan demikian, kemampuan keuangan daerah bisa diukur berdasarkan ruang fiskal pemerintah daerah. 4

digilib.uns.ac.id 5 Menurut DJPK (2014), ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah, maka akan semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan belanjanya. Fleksibilitas yang lebih besar menimbulkan kecenderungan eksekutif maupun legislatif untuk berperilaku menyimpang dalam penganggaran (Mauro 1998; Keefer dan Keemani 2003; Tanzi dan Davoodi 1998; Gupta et al. 2000, Garamfalvi 2003; Abdullah dan Asmara 2006). Menurut (Supriyanto 2015), bahwa ruang fiskal mempunyai pengaruh positif pada kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah, namun sebaliknya dapat dimanfaatkan sebagai peluang melakukan korupsi. Pengalokasian belanja hibah dan bantuan sosial dengan motif pribadi kepala daerah juga merupakan salah satu indikasi korupsi yang tersamar. Penganggaran juga dapat diasumsikan sebagai sebuah proses politik (Eftriani 2014), termasuk didalamnya pengalokasian anggaran belanja hibah dan bantuan sosial. Hasil penelitian Ritonga dan Alam (2010) menyebutkan bahwa rasio anggaran belanja hibah dan bantuan sosial terhadap total belanja terjadi peningkatan lebih tinggi ketika kepala daerah incumbent mencalonkan kembali menjadi calon kepala daerah dibanding yang tidak mencalonkan lagi. Perumusan kedua anggaran tersebut bersifat elitis (pencitraan elit politik) dan kepentingan pribadi bukan mencerminkan kepentingan publik (Eftriani 2014). Namun demikian, penelitian Rohmatullah (2014) menyebutkan bahwa faktor politik ini tidak berpengaruh terhadap pemberian commit bantuan to user sosial. Hal ini bertolak belakang 5

digilib.uns.ac.id 6 dengan pendapat Vijaykumar (1995) yang menyatakan bahwa dalam pengelolaan pemerintahan di daerah, politik merupakan faktor penting yang menentukan dalam pengambilan keputusan/kebijakan. Selanjutnya besarnya alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial tidak terlepas dari karakteristik masing-masing daerah. Beberapa penelitian menghubungkan karakteristik pemerintah daerah dengan belanja daerah diantaranya Madona (2014), Rohmatullah (2014) dan Mustoffa (2015). Karakteristik pemerintah daerah tersebut bisa terdiri dari aspek keuangan maupun non keuangan. Madona (2014) menghubungkan dengan karakteristik keuangan daerah dengan belanja operasi, sedangkan Rohmatullah (2014) memasukkan berbagai karakteristik pemerintah daerah sebagai determinan dari pengalokasian belanja bantuan sosial pada pemerintah kabupaten/kota. Mustoffa (2015) menghubungkan karakteristik daerah dengan seluruh alokasi belanja pemerintah daerah, namun hasilnya banyak yang tidak signifikan. Berasarkan beberapa penelitian, karakteristik pemerintah daerah menunjukkan pengaruh yang berbeda-beda pada alokasi belanja daerah. Karakteristik ukuran daerah menjadi determinan dari pengalokasian bantuan sosial (Rohmatulloh 2014), namun menurut Mustofa (2015) ukuran daerah hanya berpengaruh pada belanja pegawai dan belanja barang saja, dan tidak berpengaruh pada alokasi belanja hibah dan bantuan sosial. Karakteristik SiLPA daerah baru dapat diketahui setelah tahun anggaran berakhir (Mahmudi 2010), namun penelitian Rohmatulloh (2014) menyebutkan bahwa SiLPA tahun sebelumnya berpengaruh terhadap alokasi belanja commit bantuan to user sosial, padahal penentuan besarnya 6

digilib.uns.ac.id 7 alokasi belanja daerah terjadi pada saat penganggaran sebelum tahun anggaran berakhir. Karakteristik ukuran legistatif mempunyai pengaruh terhadap kebijakan fiskal (Giligan dan Matsusaka 2001), namun pada penelitian Mustoffa (2015) ukuran legislatif ini tidak berpengaruh pada semua alokasi belanja daerah. Karakteristik daerah lainnya adalah letak geografis, yang menurut Skoufias dan Olieveri (2013) mempunyai tujuan yang berbeda dalam pengalokasian belanja hibah dan bantuan sosial, sedangkan Rohmatullah (2014) memasukkan karakteristik geografis ini sebagai determinan pengalokasian belanja bantuan sosial, sehingga belum diketahui apakah juga berpengaruh pada pengalokasian belanja hibah. Masih terbatasnya penelitian yang menghubungkan karakteristik daerah dengan belanja daerah serta banyaknya perbedaan hasil uji karakteristik pemerintah daerah ini menjadikan peneliti memasukkan karakteristik daerah ini untuk melihat lebih jauh pengaruhnya terhadap proporsi alokasi belanja hibah dan bantuan sosial menjelang pemilukada 2015. B. Perumusan Masalah Hasil identifikasi fenomena dan review beberapa penelitian sebelumnya memotivasi penulis untuk meneliti dan menganalisis lebih jauh proporsi alokasi anggaran hibah dan bantuan sosial sebelum dan menjelang pemilukada 2015. Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan kemungkinan adanya indikasi penyalahgunaan anggaran hibah dan bantuan sosial untuk kepentingan politik kepala daerah menjelang pemilukada 2015. Selain itu penting juga untuk mengetahui faktor apa saja yang kemungkinan mempengaruhi besarnya alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan commit to sosial user sebagai bahan masukan untuk 7

digilib.uns.ac.id 8 membuat kebijakan pengalokasian belanja tersebut khususnya menjelang pemilukada 2015. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka masalah penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut. 1. Apakah terdapat perbedaan proporsi alokasi belanja hibah dan bantuan sosial sebelum dan menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah 2015? 2. Apakah faktor kemampuan anggaran daerah (ruang fiskal) berpengaruh pada besarnya alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah 2015? 3. Apakah faktor politik berpengaruh terhadap penentuan besarnya alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah 2015? 4. Apakah faktor karakteristik pemerintah daerah berpengaruh terhadap penentuan besarnya alokasi anggaran belanja dana hibah dan bantuan sosial menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah 2015? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian akan dijelaskan sebagai berikut ini. 1. Memperoleh bukti empiris mengenai perbedaan proporsi alokasi belanja hibah dan bantuan sosial sebelum dan menjelang pemilihan umum kepala daerah 2015. 2. Memperoleh bukti empiris tentang pengaruh faktor kemampuan anggaran daerah (ruang commit fiskal) to terhadap user besarnya alokasi anggaran 8

digilib.uns.ac.id 9 belanja hibah dan bantuan sosial menjelang pemilihan umum kepala daerah 2015. 3. Memperoleh bukti empiris tentang pengaruh faktor politik terhadap besarnya alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial menjelang pemilihan umum kepala daerah 2015. 4. Memperoleh bukti empiris tentang pengaruh faktor karakteristik pemerintah daerah terhadap besarnya alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial menjelang pemilihan umum kepala daerah 2015. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada beberapa pihak, diantaranya: 1. Bagi Kementerian Dalam Negeri, hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan untuk evaluasi peraturan pemberian hibah dan bantuan sosial yang tertuang dalam peraturan menteri dalam negeri. 2. Bagi penyusun kebijakan anggaran pemerintah daerah baik eksekutif dan legilatif, hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan dalam melakukan monitoring dan evaluasi pengalokasian anggaran belanja hibah bantuan sosial di daerah masing-masing. 3. Bagi akademisi, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dan tambahan pengetahuan atau dikembangkan menjadi penelitian berikutnya di bidang akuntansi sektor publik. 9