BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan umum UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No.

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

KONDISI PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBD BANTEN 2013 CAPAI RP6.052 TRILIUN

BAB I PENDAHULUAN. ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai perekonomian Indonesia sehingga beberapa sektor ekonomi yang. menjadi indikator PDB mengalami pertumbuhan negatif.

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,61 persen.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

BAB I PENDAHULUAN. maka daerah akan lebih paham dan lebih sensitif terhadap kebutuhan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan pada tingkat nasional, regional, maupun lokal.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 278, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5767); MEMUTUSKAN: Menetap

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah). Dalam mengelola daerahnya, pemerintah daerah mendapatkan dana penyelenggaraan yang berasal dari bantuan pengembangan daerah persiapan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pendapatan asli daerah, dana perimbangan daerah induk dan sumber pendapatan lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pemerintah juga wajib membuat laporan pertanggungjawaban yang dibuat dalam bentuk Laporan Realisasi Anggaran, (LRA) yang berisi semua anggaran dan realisasi atas pengelolaan keuangan daerah. Pemerintah daerah bertanggungjawab atas pengelolaan daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintah daerah wajib terbuka mengenai laporan pertanggungjawaban daerahnya agar pihak eksternal seperti rakyat dan investor juga dapat mengakses serta membaca laporan pertanggungjawaban atas kinerja keuangan pemerintah daerah tersebut. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia, yakni 45.340.800 Jiwa, serta memiliki potensi pariwisata dengan budaya yang sangat kaya (www.jabarprov.go.id/infografis/#1#sekilas-jabar). Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah sebesar 35.377,76 Km 2 yang terdiri 1

dari 27 Kabupaten/Kota, yaitu 18 daerah Kabupaten dan 9 daerah Kota dengan rincian sebagai berikut : Gambar 1.1 Jumlah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat Sumber : http://jabar.bps.go.id/linktabelstatis/view/id/44 Jawa Barat ditetapkan sebagai salah satu provinsi di Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945. Namun pada tanggal 27 Agustus 1945, Provinsi Jawa 2

Barat menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat. Kemudian pada tahun 1950, Provinsi Jawa Barat kembali bergabung dengan Republik Indonesia. Selanjutnya, melalui Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2010 tentang Hari Jadi Provinsi Jawa Barat, menetapkan tanggal 19 Agustus sebagai Hari Jadi Provinsi Jawa Barat. Kontribusi Provinsi Jawa Barat terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional sebesar 14,33%, kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor industri manufaktur sebesar 60%, kontribusi Penanaman Modal Asing (PMA) Jawa Barat terhadap Nasional sebesar 34,46%, produsen beras nasional sebesar 17,76%, serta provinsi produsen komoditi ekspor nasional (Amerika Serikat 18,4% dan Jepang 12,52%). Sedangkan, kontribusi Provinsi Jawa Barat terhadap ibukota negara adalah sebagai penyedia air baku, penyedia bahan pangan, penyedia lahan dan infrastruktur pendukung (www.jabarprov.go.id/infografis/#1#sekilas-jabar). 1.2 Latar Belakang Krisis moneter dan transisi politik yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 90-an, merupakan faktor utama mengapa pemerintah Indonesia melahirkan undang-undang Otonomi Daerah, yang mulai ditetapkan terhitung sejak 1 Januari 2001 (Rahmatina, 2011). Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintah daerah mempunyai kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah. Pada hakikatnya otonomi daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD dengan dibantu oleh perangkat daerah. 3

Dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya, pemerintah daerah harus mempunyai sumber keuangan yang dapat diandalkan. Sumber keuangan yang baik diimplementasikan dalam bentuk fungsi-fungsi keuangan yang meliputi fungsi perencanaan (planning) serta fungsi pengendalian dan evaluasi (controling and evaluation). Fungsi perencanaan, pemerintah membuat perencanaan dana yang akan digunakan untuk dana operasional yang diaktualisasikan dalam bentuk anggaran dana. Fungsi pengendalian dan evaluasi, pemerintah melakukan pengendalian terhadap setiap kecurangan yang akan terjadi dan melakukan evaluasi agar kegiatan operasional pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Dengan adanya Otonomi Daerah, setiap pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mengelola keuangan daerahnya sendiri, mulai dari pengelolaan pendapatan daerah sampai dengan belanja daerah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya, pemerintah daerah memiliki kebutuhan fiskal daerah. Menurut undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, baik urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar dan tidak terkait pelayanan dasar maupun pemerintahan. Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah dan dana bagi hasil. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari pendapatan APBN yang dialokasikan untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi, sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN (Darise, 2009: 89-91). Namun tetap ada pemerintah daerah yang masih melakukan serapan DAU yang rendah. Seperti yang dilansir surat kabar 4

elektronik Fajarnews.com (13 November 2015), pemerintah Kota Cirebon tidak melakukan penyerapan DAU 100% sehingga untuk DAU Kota Cirebon mengalami penurunan hingga mencapai 24 milyar rupiah yang mengakibatkan pada tahun 2016 pemerintah Kota Cirebon harus melakukan efisiensi terhadap anggaran di berbagai sektor. Berikut adalah tabel mengenai DAU pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014: Tabel 1.2 Dana Alokasi Khusus pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014 Sumber: Olahan Penulis (2016) (Dalam ribuan rupiah) No. Nama Daerah 2011 2012 2013 2014 1 Kota Bogor 472,888,334.00 603,531,550.00 686,520,759.00 732,337,058.00 2 Kota Bandung 1,005,642,188.00 1,323,681,042.00 1,485,941,032.00 1,671,683,661.00 3 Kota Sukabumi 330,723,383.00 401,102,986.00 449,179,037.00 484,938,664.00 4 Kota Cirebon 456,586,505.00 551,307,701.00 536,884,996.00 583,927,691.00 5 Kota Bekasi 736,741,305.00 935,205,053.00 1,051,235,707.00 1,133,417,253.00 6 Kota Tasikmalaya 475,087,274.00 582,124,220.00 657,012,125.00 732,508,313.00 7 Kota Banjar 235,862,566.00 281,851,254.00 317,122,023.00 342,267,848.00 8 Kota Depok 533,766,495.00 674,032,719.00 774,683,814.00 838,572,784.00 9 Kota Cimahi 354,745,460.00 440,860,307.00 489,174,792.00 537,371,615.00 Total 4,602,043,510.00 5,793,696,832.00 6,447,754,285.00 7,057,024,887.00 Maksimum 1,005,642,188.00 1,323,681,042.00 1,485,941,032.00 1,671,683,661.00 Minimum 235,862,566.00 281,851,254.00 317,122,023.00 342,267,848.00 Rata-rata 511,338,167.78 643,744,092.44 716,417,142.78 784,113,876.33 Berbanding terbalik dengan DAU, DAK pemerintah Kota Cirebon mengalami kenaikan dari 96 miliar rupiah pada tahun 2014 menjadi 180 miliar pada tahun 2015, sehingga pada tahun 2016 pemerintah Kota Cirebon akan menggunakan dananya secara seimbang dalam belanja daerahnya. Berbeda dengan Kota Cirebon, terdapat beberapa kota yang melakukan penyerapan DAK 5

rendah, seperti yang dilansir surat kabar elektronik jabar.pojoksatu.id (22 September 2015), pemerintah Kota Sukabumi sampai bulan September 2015 hanya mampu menyerap sebesar 10,8 milyar rupiah dari total 28,8 milyar rupiah DAK yang telah diterima, selain itu surat kabar elektronik economy.okezone.com (16 Mei 2016) juga melansir bahwa pemerintah Kota Cimahi melakukan pengendapan DAK sebesar 2 triliun rupiah yang disimpan di perbankan daerah, sedangkan menurut Dirjen Perimbangan Kementerian Keuangan terdapat tiga kota di Provinsi Jawa Barat yang melakukan pengendapatan DAK yang tinggi, yaitu Bogor, Bekasi, dan Bandung, sehingga mempengaruhi perlambatan pembangunan daerah karena tidak semua dana diserap untuk membiayai pembangunan daerah. Selain itu, penyerapan DAK yang rendah akan berdampak secara langsung pada pengalokasian belanja daerah yang diakibatkan menurunnya jumlah DAK yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terkait. Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, sejak tahun 2011 hingga Juni 2015 masih ada dana pemerintah daerah di perbankan (idle), yang tersimpan sebesar Rp. 273,5 triliun dan jumlahnya berpotensi meningkat, apabila tidak ada terobosan dalam hal pencairan anggaran. Kondisi ini bisa menghambat pendanaan belanja daerah, terutama belanja modal untuk menggairahkan kinerja perekonomian agar tidak terus-terusan mengalami kelesuan. Adapun sanksi yang diberikan berupa penyaluran non tunai dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Penyaluran non tunai dilakukan melalui konversi penyaluran dana alokasi umum atau dana bagi hasil dalam bentuk SBN bagi daerah yang mempunyai dana idle di bank dalam jumlah yang tidak wajar (Skalanews.com : 9 November 2015). Berikut adalah tabel mengenai DAK pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014: 6

Tabel 1.2 Dana Alokasi Khusus pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014 Sumber: Olahan Penulis (2016) (Dalam ribuan rupiah) No. Nama Daerah 2011 2012 2013 2014 1 Kota Bogor 8,524,950.00 15,235,050.00 19,667,663.00 33,477,500.00 2 Kota Bandung 44,307,900.00 37,047,460.00 67,312,530.00 63,607,140.00 3 Kota Sukabumi 19,644,400.00 18,138,860.00 25,048,763.00 27,957,170.00 4 Kota Cirebon 10,006,407.00 20,172,180.00 28,845,610.00 32,145,380.00 5 Kota Bekasi 39,095,952.00 24,730,838.00 18,669,315.00 71,420,080.00 6 Kota Tasikmalaya 35,504,300.00 30,936,991.00 36,374,200.00 42,397,940.00 7 Kota Banjar 20,664,300.00 16,460,070.00 19,192,147.00 25,380,740.00 8 Kota Depok 14,235,000.00 52,061,511.00 13,495,607.00 44,913,130.00 9 Kota Cimahi 1,967,400.00 26,916,070.00 25,643,550.00 35,913,670.00 Total 193,950,609.00 241,699,030.00 254,249,385.00 377,212,750.00 Maksimum 44,307,900.00 52,061,511.00 67,312,530.00 71,420,080.00 Minimum 1,967,400.00 15,235,050.00 13,495,607.00 25,380,740.00 Rata-rata 21,550,067.67 26,855,447.78 28,249,931.67 41,912,527.78 Selain mendapatkan sumber pendanaan yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mendapatkan pendanaan yang berasal dari dalam daerahnya sendiri, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD merupakan pendapatan yang diperoleh dari dalam wilayah daerah sendiri dan dipungut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah tersebut. Pendapatan asli daerah terdiri atas empat komponen yaitu, pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pendapatan asli daerah lain-lain yang sah. Sehingga apabila salah satu diantara empat komponen tersebut bermasalah, maka akan mempengaruhi penerimaan PAD. Seperti pada pemerintah Kota Bogor, yang dilansir oleh surat kabar elektronik Metropolitan.com (30 Desember 2015), penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan 7

(PBB) Kota Bogor tidak maksimal dikarenakan sebanyak 400 bangunan liar yang tidak membayar pajak. Sehingga menurut Wakil Walikota Bogor, Usmar Hariman, potensi penerimaan PAD pun menjadi tidak maksimal. Penerimaan pajak yang maksimal maka akan peningkatkan potensi penerimaan PAD dan dapat membantu pemerintah daerah untuk membiayai pembangunan daerahnya dan meningkatkan alokasi belanja daerahnya. Berikut adalah tabel mengenai PAD pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014: Tabel 1.3 Pendapatan Asli Daerah pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014 Sumber: Olahan Penulis (2016) (Dalam ribuan rupiah) No. Nama Daerah 2011 2012 2013 2014 1 Kota Bogor 230,449,644.42 252,280,722.00 463,368,420.00 413,249,213.00 2 Kota Bandung 834,505,864.97 1,005,583,425.00 1,442,775,239.00 1,762,952,227.00 3 Kota Sukabumi 115,351,808.00 148,387,666.00 174,959,121.00 201,242,474.00 4 Kota Cirebon 120,130,531.00 149,489,858.00 206,019,070.00 224,468,022.00 5 Kota Bekasi 568,344,299.00 730,735,134.00 969,741,298.00 1,042,728,151.00 6 Kota Tasikmalaya 110,369,865.91 153,027,660.00 172,877,461.00 173,254,830.00 7 Kota Banjar 45,952,391.99 54,684,691.00 70,625,136.00 63,864,729.00 8 Kota Depok 282,747,544.89 474,705,361.00 581,207,571.00 588,606,351.00 9 Kota Cimahi 116,677,729.31 144,540,602.00 191,599,457.00 182,394,096.00 Total 2,424,529,679.49 3,113,435,119.00 4,273,172,773.00 4,652,760,093.00 Maksimum 834,505,864.97 1,005,583,425.00 1,442,775,239.00 1,762,952,227.00 Minimum 45,952,391.99 54,684,691.00 70,625,136.00 63,864,729.00 Rata-rata 269,392,186.61 345,937,235.44 474,796,974.78 516,973,343.67 Dalam menyelenggarakan daerah otonomi, pemerintah daerah juga diwajibkan untuk mengatur anggaran belanja daerah yang didasarkan pada pembangunan sarana dan prasarana publik. Belanja daerah adalah semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi saldo anggaran 8

lebih dalam periode tahun anggaran bersangkutan yamg tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah daerah (PERMENDAGRI Nomor 64 Tahun 2013). Menurut Undang-undang nomor 23 tahun 20014 tentang Pemerintahan Daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Belanja daerah diprioritaskan untuk mendanai urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar yang ditetapkan dengan standar pelayanan minimal. Pemerintah daerah menentukan anggaran belanja daerah berdasarkan dengan penerimaan DAU dan DAK, serta PAD yang diterima setiap tahunnya sehingga apabila DAU, DAK, serta PAD pemerintah daerah bermasalah maka akan berpengaruh terhadap belanja daerah pada pemerintah daerah terkait. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian terdahulu, seperti penelitian yang dilakukan oleh Putra dan Dwirandra (2015), DAU, DAK, dan PAD berpengaruh positif terhadap alokasi belanja daerah, sedangkan menurut Masdjojo dan Sukartono (2009), DAU dan PAD berpengaruh terhadap alokasi belanja modal, tetapi DAK tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja daerah. Namun, dalam menganggarkan belanja daerah, pemerintah daerah perlu merumuskan seberapa besar porsi DAU dan DAK, dan seberapa besar porsi PAD agar fenomena flypaper effect tidak terjadi dalam anggaran belanja daerah pemerintah sehingga pemerintah daerah tersebut dapat dikatakan daerah mandiri. Menurut Merdiansyah (2015:6) flypaper effect adalah kondisi keuangan pemerintah daerah dimana pemerintah dalam belanja lebih banyak menggunakan dana transfer pemerintah pusat (DAU) daripada dana pribadi (PAD). Hal tersebut juga didukung oleh Maryati (2010:5) yang menyatakan bahwa flypaper effect merupakan suatu kondisi yang terjadi saat pemerintah daerah merespon belanja lebih banyak dengan menggunakan dana transfer (DAU) daripada menggunakan kemampuan sendiri (PAD). Maka dapat disimpulkan bahwa fenomena flypaper 9

effect merupakan fenomena pada suatu kondisi ketika pemerintah daerah dalam belanja daerahnya lebih banyak menggunakan dana alokasi umum daripada pendapatan asli dari daerahnya. Sudrajat (2010) dalam penelitiannnya menyatakan bahwa terjadi flypaper effect pada belanja daerah pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Lampung, sedangkan menurut Putra dan Dwirandra (2015) dalam penelitiannya tidak ditemukan fenomena flypaper effect pada belanja daerah pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali. Dari uraian di atas, kita akan mengerti bahwa betapa pentingnya pengaruh DAK, DAU, dan PAD terhadap pengalokasian belanja daerah pemerintah daerah. Oleh karena itu penulis akan menganalisis fenomena flypaper effect pada kota di Provinsi Jawa Barat dengan judul penelitian ANALISIS FLYPAPER EFFECT PADA DANA ALOKASI KHUSUS (DAK), DANA ALOKASI UMUM (DAU), DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP ALOKASI BELANJA DAERAH PEMERINTAH KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2011-2014, dalam hal ini penulis membatasi laporan APBD pada tahun anggaran 2011-2014 dengan asumsi nilai mata uang rupiah stabil dan penulis lebih memfokuskan penelitian terhadap kota di Provinsi Jawa Barat dikarenakan fenomena yang penulis dapatkan terjadi di beberapa kota di Provinsi Jawa Barat. 1.3 Rumusan Masalah Laporan pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi daerah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang berisi mengenai perbandingan realiasi dan anggaran pendapatan serta belanja pemerintah. Pendapatan dan belanja pemerintah saling terkait satu sama lain, sehingga dalam menganggarkan belanja daerah, pemerintah juga melihat anggaran serta realisasi pendapatan daerah yang diterima. Pengalokasian belanja daerah pemerintah daerah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain DAU, DAK, PAD, Rasio Keuangan Daerah, Sisa 10

Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) dan lain-lain. Namun belum dapat dipastikan faktor mana yang benar-benar berpengaruh terhadap pengalokasian belanja modal pemerintah daerah. 1.4 Pertanyaan Penelitian Dengan penjelasan yang telah diuraikan pada latar belakang dan rumusan masalah, maka pertanyaan penelitian pengaruh DAK, DAU, dan PAD adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana DAK, DAU, PAD dan belanja daerah pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014? 2. Apakah DAK, DAU, dan PAD berpengaruh secara simultan terhadap alokasi belanja daerah pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat? 3. Apakah terdapat pengaruh secara parsial: a. DAK terhadap alokasi belanja daerah pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014? b. DAU terhadap alokasi belanja daerah pemerintah kota Jawa Barat tahun 2011-2014? c. PAD terhadap alokasi belanja daerah pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014? 4. Apakah terjadi Flypaper Effect pada hubungan pengaruh PAD dan DAU terhadap belanja daerah pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014? 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian pengaruh DAK, DAU, dan PAD terhadap alokasi belanja daerah pemerintah daerah adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan DAK, DAU, PAD, dan belanja daerah pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014. 11

2. Mengetahui pengaruh secara simultan DAK, DAU, dan PAD terhadap alokasi belanja daerah pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014. 3. Mengetahui pengaruh secara parsial: a. DAK terhadap alokasi belanja daerah pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014. b. DAU terhadap alokasi belanja daerah pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014. c. PAD terhadap alokasi belanja daerah pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014. 4. Mengetahui apakah terjadi Flypaper Effect pada pengalokasian belanja daerah pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014. 1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1. Manfaat Praktis Manfaat praktis yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah masyarakan dapat mengetahui bagaimana DAK, DAU, dan PAD pemerintah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014, selain itu melalui penelitian ini juga dapat dijadikan masukan bagi pemerintah daerah agar memperbanyak pembangunan di bidang-bidang khusus seperti infrastruktur daerah, kesehatan dan pendidikan dan memaksimalkan penyerapan dana perimbangan dan pendapatan asli daerah sehingga dapat meningkatkan pembangunan daerah dan pemerataan ekonomi daerah. 1.6.2. Manfaat Akademis Maanfaat akademis dari penelitian pengaruh DAK, DAU, dan PAD terhadap belanja daerah pemerintah daerah kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2014 ini diharapkan dapat menjadi acuan penelitian selanjutnya dan 12

menambah literatur dalam bidang Akuntansi Sektor Publik terutama dalam hal faktor-faktor yang dapat digunakan dalam pengalokasian belanja daerah. 1.7 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk meneliti fenomena Flypaper Effect pada Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum, dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah dengan menggunakan Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum, dan Pendapatan Asli Daerah sebagai variabel independen. Penelitian ini dilakukan pada kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2012-2014. 1.8 Sistematika Penulisan Sistematika dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan menyajikan gambaran mengenai objek penelitian, latar belakang penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab tinjauan pustaka menyajikan teori-teori terkait penelitian dan penelitian terdahulu, kerangka penelitian, dan hipotesis penelitian. BAB III METODE PENELITIAN Bab metode penelitian menegaskan pendekatan, metode, dan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data, yang meliputi karakteristik penelitian, alat pengumpulan data, tahapan penelitian, populasi dan sampel, pengumpulan data dan sumber data, validasi dan reliabilitas, serta teknik analisis data dan pengujian hipotesis. 13

BAB IV BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan hasil penelitian dan pembahasannya sesuai dengan perumusan masalah serta tujuan penelitian. Bab penelitian dan pembahasan menyajikan karakteristik responden, hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian. KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini menyajikan penafsiran dan pemaknaan peneliti terhadap hasil penelitian, serta memberikan kesimpulan dan saran yang berhubungan dengan masalah penelitian. 14