1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan salah satu penyakit dengan kasus tertinggi di dunia terutama di negara miskin dan berkembang. Peningkatan kasus kanker dari tahun ketahun menjadi beban ekonomi bagi induvidu, keluarga maupun negara hingga adanya pengalokasian dana Jamkesmas sebanyak 143 milyar untuk rawat inap pengobatan kanker (Anonim a, 2012). Data riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 menyatakan prevalensi tumor di Indonesia sebesar 4,3 per 1000 penduduk (Anonim, 2007). Kanker serviks merupakan salah satu penyakit kanker yang banyak diderita para wanita dan mejadi kasus terbesar ketiga di dunia (Anonim, 2008). Kanker serviks banyak diderita wanita di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Vietnam (Domingo et al., 2008). Hampir 500.000 wanita di negara berkembang dideteksi adanya kasus baru dan 270.000 mati akibat kanker serviks tiap tahunnya. Sekitar 80-85% kematian terjadi di negara dengan pendapatan rendah dan menengah (Anonim b, 2012). Negara Indonesia diperkirakan terdapat 12,6 per 100.000 penduduk yang menderita kanker serviks (Anonim, 2008) Berbagai upaya yang telah dilakukan dalam pengobatan kanker belum memberikan penyembuhan secara efektif dan umumnya kurang selektif sehingga juga menyebabkan kematian sel normal. Penggunaan kemoterapi seringkali mengalami kegagalan dalam mengatasi pengobatan kanker karena rendahnya selektivitas obat-obat antikanker. Rendahnya selektivitas agen kemoterapi 1
2 menyebabkan peningkatan penggunaan dosis obat yang akhirnya mengakibatkan efek samping yang cukup serius (Zhang et al., 2011). Salah satu agen kemoterapi yang telah digunakan secara komersial untuk pengobatan kanker serviks yaitu cisplatin (Jamieson and Lippard, 1999). Cisplatin menjadi first line drug untuk kemoterapi beberapa jenis tumor. Penggunaan cisplatin sebagai agen antikanker dianggap efektif akan tetapi menimbulkan beberapa efek samping diantaranya mual, muntah, anemia (Wiltshaw, 1979) dan efek yang serius seperti kerusakan saraf pada pendengaran (Ravi et al., 1995), kerusakan sisten saraf tepi, myelotoxicity (Rabik and Dolan, 2007), nefrotoksisitas (Safirstein et al., 1987) dan menimbulkan resisten selular (Albert, 1991). Resistensi sel dan efek samping dari cisplatin disebabkan penggunaan dosis tinggi cisplatin untuk menghasilkan pengobatan yang lebih efektif (Barry et al., 1990; Jamieson and Lippard, 1999). Salah satu upaya peningkatan efikasi terapi sekaligus menurunkan toksisitas akibat peningkatan dosis obat dapat dilakukan melalui terapi kombinasi (ko-kemoterapi). Ko-kemoterapi merupakan strategi terapi kanker dengan mengkombinasikan suatu senyawa dengan agen kemoterapi (Sharma et al., 2004; Tyagi et al., 2004). Pengkombinasian beberapa obat secara bersamaan memungkinkan untuk dilakukan dan cukup menguntungkan dalam terapi kanker (Wiltshaw, 1979). Kombinasi dengan senyawa fitokimia dapat dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas agen kemoterapi terhadap sel target. Senyawa yang ideal digunakan sebagai ko-kemoterapi bersumber dari bahan alami yang berefek
3 sinergis dengan agen kemoterapi, sehingga dosis agen kemoterapi dapat diturunkan (Zhao et al., 2004; Zhang et al., 2011). Gibbs (2000) menyatakan bahwa banyak tanaman mengandung senyawa yang potensial sebagai agen ko-kemoterapi. C. sappan merupakan salah satu tanaman yang masih dalam pengembangan di Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC), Fakultas Farmasi UGM sebagai agen ko-kemoterapi. C. sappan secara tradisional sudah lama digunakan sebagai antiinflamasi, hemostatis, dan menginduksi kematian pada sel kanker serviks (Badami et al., 2003). C. sappan mengandung beberapa senyawa yang teridentifikasi sebagai protosappanin A, sappanchalcone, sappanone B, palmitic acid, (+)-(8S,8'S)- bisdihydrosiringenin, brazilein, 3-deoxysappanchalcone, (+)-lyoniresinol, 3- deoxysappanone B, protosappanin B, isoprotosappanin B, 3'-O-methylbrazilin dan brazilin (Fu et al., 2008). Senyawa utama yang terkandung dalam C. sappan adalah brazilin (Oliveira et al., 2002). Brazilin mudah teroksidasi oleh udara dan cahaya menjadi brazilein (Kim et al., 1997) yang telah diteliti memiliki aktivitas sitotoksik pada sel kanker HeLa (serviks) (Ueda et al., 2002), MCF-7 (payudara), HepG2 (hepar), dan A549 (paru-paru) (Yen et al., 2011). Fu et al. (2008) menyatakan bahwa brazilin dan brazilein lebih mudah larut dalam etil asetat. Fraksi etil asetat C. sappan yang diperoleh dari 5 gram ekstrak metanol sebesar 1,15 gram (23% b/b) (Laksmiani, 2013). Eksplorasi pemanfaatan brazilin dan brazilein C. sappan sebagai agen anti-tumor sudah dilakukan baik in vitro maupun in vivo. Salah satu kendala pemurnian senyawa adalah membutuhkan biaya yang cukup
4 mahal, sehingga eksplorasi pemanfaatan fraksi etil asetat C. sappan sebagai agen kombinasi kemoterapi cisplatin diharapkan dapat menekan biaya dan lebih efisien. Kanker merupakan penyakit seluler yang ditandai dengan ketidakstabilan genomik karena hilangnya kemampuan protein penghambat tumor sehingga terjadi progresi tumor tidak terkendali (Hanahan and Weinberg, 2011). Protein penghambat tumor berperan dalam regulasi proliferasi sel disamping protooncogen (Weinberg, 1996). p53 merupakan salah satu protein penghambat tumor yang aktif karena adanya kerusakan DNA, yang memicu berhentinya siklus sel, senescence, dan apoptosis (Rodier et al., 2007). Degradasi protein p53 oleh protein E6 dari HPV pada kanker serviks (Minaguchi et al., 1998) menyebabkan hilangnya kemampuan p53 dalam regulasi proliferasi sel (Weinberg, 1996). Oleh karena itu modulasi ekspresi p53 dapat digunakan sebagai salah satu penanda mekamisme molekular yang memperantarai efek kombinasi pada ko-kemoterapi kanker serviks. Penelitian in vitro menggunakan model kanker sel HeLa dilakukan dalam upaya untuk mengetahui potensi fraksi etil asetat C. sappan sebagai agen kokemoterapi cisplatin pada kanker serviks. Kombinasi fraksi etil asetat C. sappan dengan cisplatin diharapkan mampu menurunkan dosis cisplatin dalam upaya mengurangi efek samping dan timbulnya resistensi sel kanker akibat penggunaan kemoterapi cisplatin yang berlebihan. Penelitian ini dilakukan dengan melihat efek sitotoksik melalui pemacuan apoptosis, modulasi siklus sel dan pengaruhnya terhadap ekspresi protein p53 yang kemungkinan berperan dalam regulasi siklus sel.
5 1.2 Permasalahan Eksplorasi kayu secang (Caesalpinia sappan L.) telah dilakukan baik in vitro maupun in vivo. Penelitian in vitro terhadap fraksi etil asetat C. sappan yang dikombinasikan dengan agen kemoterapi cisplatin belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, permasalahan dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimanakah mekanisme penghambatan kombinasi fraksi etil asetat C. sappan dengan cisplatin pada efek sitotoksik sel HeLa? 2. Apakah fraksi etil asetat C. sappan meningkatkan induksi apoptosis sel HeLa oleh cisplatin? 3. Apakah fraksi etil asetat C. sappan mempengaruhi siklus sel HeLa oleh cisplatin? 4. Apakah fraksi etil asetat C. sappan meningkatkan jumlah ekspresi p53 dalam inti pada sel HeLa oleh cisplatin? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan umum Mendapatkan bukti ilmiah potensi fraksi etil asetat Caesalpinia sappan sebagai agen ko-kemoterapi cisplatin sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian lanjutan. 1.3.2 Tujuan khusus Penelitian ini bertujuan untuk:
6 1. mengkaji efek sitotoksik kombinasi fraksi etil asetat C. sappan dengan cisplatin pada sel HeLa 2. mengkaji efek induksi apoptosis pada kombinasi fraksi etil asetat C. sappan dengan cisplatin pada sel HeLa 3. mengkaji pengaruh kombinasi fraksi etil asetat C. sappan dengan cisplatin terhadap siklus sel HeLa 4. mengkaji pengaruh kombinasi fraksi etil asetat C. sappan dengan cisplatin terhadap jumlah ekspresi p53 dalam inti pada sel HeLa 1.4 Manfaat Pengembangan C. sappan sebagai agen bahan alam yang dapat digunakan untuk kombinasi kemoterapi cisplatin memerlukan penelitian dasar. Penelitian in vitro digunakan untuk eksplorasi pengaruh fraksi etil asetat C. sappan sebagai agen kombinasi cisplatin terhadap efek sitotoksik, persentase apoptosis, siklus sel dan ekspreasi p53 pada kanker serviks. Adanya penelitian ini maka dapat diketahui potensi fraksi etil asetat C. sappan untuk dikembangkan sebagai agen kombinasi kemoterapi kanker serviks dengan cisplatin. 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian yang dilakukan menggunakan fraksi etil asetat C. sappan sebagai agen kombinasi cisplatin melalui peningkatan efek sitotoksik, induksi apoptosis, modulasi siklus sel dan peningkatan level p53 pada kanker serviks belum pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian relevan yang telah
7 dilakukan menyebutkan adanya potensi efek sitotoksik C. sappan pada beberapa jenis sel kanker baik in vitro maupun in vivo. Ekstrak air dan metanol C. sappan berefek antiproliveratif pada sel HeLa (serviks) (Ueda et al., 2002) Senyawa utama yang terkandung dalam fraksi etil asetat C. sappan berupa brazilin dan brazilein juga terbukti memiliki efek sitotoksik pada kanker hati (HepG2 dan Hep3B), payudara (MDA-MB-231 dan MCF-7), paru-paru (A549), gingival (Ca9-22) (Yen et al, 2011), dan kanker darah (T24) (Ren et al., 2011). Ekstrak etanolik C. sappan berpotensi sebagai agen ko-kemoterapi doksorubisin pada MCF-7 (CCRC unpublished data). Efek sitotoksik ekstrak kloroform C. sappan meningkatan level p53 dan p21 WAF1/CIP1 pada sel kanker kepala dan leher (HNSCC4 dan HNSCC31) (Kim et al., 2005).