BAB 2 LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : KEP-170/PJ/2002 TANGGAL : 28 Maret 2002

NO. JENIS PENGHASILAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO

PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA

244/PMK.03/2008 JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu.

LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : KEP-176/PJ/2000 TANGGAL : 26 JUNI 2000

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum ada beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh para

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 BAB IV

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PER-70/PJ/2007 JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AY

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rochmat Soemitro yang dikutip oleh Mardiasmo, (2003:1) :

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

Subjek Pajak PPh Pasal 23

BAB II KAJIAN PUSTAKA

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang

PPh pasal 23 dan Contoh Soalnya (1)

BAB II BAHAN RUJUKAN

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26

Modul Perpajakan PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

BAB II KAJIAN PUSTAKA

MINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

BUKTI PEMOTONGAN PPh PASAL 23. Jenis Penghasilan. Jumlah Penghasilan Bruto

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

Repositori STIE Ekuitas

Pertemuan 5 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23, 25, & 26

IBNU KHAYATH FARISANU 1 / 9 STIE

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (2002:1)

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara Cuma-Cuma).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Prof.Dr.Rochmat Soemitro,S.H. (Waluyo, 2000 : 2), pajak

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian Pajak menurut Resmi (2013) adalah kontribusi wajib kepada negara

BAB II BAHAN RUJUKAN. Para ahli di bidang perpajakan mendefinisikan pengertian pajak dengan berbagai pendapat yang berbeda antara lain :

BAB II ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DAFTAR OBJEK DAN TARIF PAJAK PENGHASILAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI (PKLM)

BAB II BAHAN RUJUKAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II. Tinjauan Pustaka. Menurut Rochmat Soemitro yang di kutip oleh Mardiasmo, (2003:1) :

BAB II BAHAN RUJUKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi. Pajak mempunyai definisi yang berbeda-beda menurut sudut pandang yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Pajak Secara Umum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN. Saiful Rahman Yuniarto, S.Sos, MAB

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pengertian Pajak Menurut Para Ahli

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)

BAB II Tinjauan Pustaka

PA JAK PENGHASILAN F INAL

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB III PEMBAHASAN TENTANG PENERAPAN PENGHITUNGAN, PEYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 ATAS WAJIB PAJAK BADAN.

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB I BENDAHARA DAN KEWAJIBAN PAJAKNYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTEK KERJA LAPANGAN MANDIRI. Praktik Kerja Lapangan Mandiri adalah kegiatan yang dilakukan

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

2.1 Definisi Pajak. Landasan Teori. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

A. Pengertian Laporan Keuangan

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dan Pasal 26. Disusun guna memenuhi tugas : Mata Kuliah : Perpajakan Dosen Pengampu : Agus Arwani, M.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

Transkripsi:

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Dasar Perpajakan 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian Pajak menurut : 1. Dr. Soeparman Soemahamidjaja Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. 2. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Sedangkan definisi resmi menurut UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 Nomor 28 Tahun 2007, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari ketiga pengertian pajak tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu: 1. Pembayaran pajak harus berdasarkan UU; 2. Sifatnya dapat dipaksakan; 3. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak; 7

8 4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta); dan 5. Pajak digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum. 2.1.2 Fungsi dan Pengelompokkan Pajak Ada dua fungsi pajak, yaitu: 1. Fungsi budgetair Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluarannya. 2. Fungsi mengatur (regulerend) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Pengelompokkan pajak dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Menurut golongannya a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai 2. Menurut sifatnya a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

9 3. Menurut lembaga pemungutnya a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas: 1. Pajak Provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 2. Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan. 2.1.3 Tatacara Pemungutan Pajak 1. Stelsel Pajak, dapat dilakukan 3 hal, yaitu: a. Stelsel nyata Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis.kelemahan pada stelsel ini adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui). b. Stelsel anggapan Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undangundang.kebaikan stelsel ini pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu akhir tahun.sedangkan kelemahan pada stelsel ini adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya. c. Stestel campuran Stestel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stestel anggapan.

10 2. Asas Pemungutan Pajak a. Asas domisili (asas tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam negeri. b. Asas sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. c. Asas kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. 3. Sistem Pemungutan Pajak a. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciricirinya: 1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. 2. Wajib Pajak bersifat pasif. 3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. b. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: 1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri, 2. Wajib Pajak aktif, mulai menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, 3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi c. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

11 2.2 Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakannya 2.2.1 Wajib Pajak Dalam Pasal 1 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP), disebutkan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perundangundangan perpajakan. 2.2.2 Surat Pemberitahuan (SPT) Menurut Mardiasmo (2011:31) pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak, dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan. Secara garis besar SPT dibedakan menjadi dua, yaitu: a. SPT Masa Surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak atau pada suatu saat. Masa pajak itu sendiri adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwin atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwin. SPT Masa ini terdiri dari: 1. SPT Masa PPh 2. SPT Masa PPN 3. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN b. SPT Tahunan

12 Surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. SPT ini meliputi SPT Tahunan PPh. Dalam penyampaian SPT, batas waktu yang ditetapkan adalah sebagai berikut: a. Untuk SPT Masa, disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak. b. Untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi, disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak. c. Untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan, disampaikan paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Apabila Wajib Pajak tidak dapat menyampaikan SPT dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, maka Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian SPT Tahunan dengan cara menyampaikan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak dengan melampirkan: a. Penghitungan sementaa pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang b. Laporan Keuangan sementara c. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan ini wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak dan dalam hal Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan ditandatangani oleh Kuasa Wajib Pajak, harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.

13 2.2.3 Surat Setoran Pajak (SSP) 1. Pengertian SSP Menurut Mardiasmo (2011:37) SSP adalah bukti pembayaran yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. 2. Fungsi dan Tempat Pembayaran SSP SSP berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapat validasi. Adapun tempat pembayaran atau penyetoran pajak tersebut adalah: a. Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan b. Kantor Pos 3. Batas Waktu Penyetoran Pajak Menurut PMK No. 80/PMK.03/2010, batas waktu penyampaian dan penyetoran pajak diatur sebagai berikut: a. PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. b. PPh Pasal 23 yang dipotong oleh pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. c. PPh Pasal 4 (2) yang dipotong oleh pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

14 2.3 Pajak Penghasilan 2.3.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak. 2.3.2 Subjek Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak. Yang menjadi Subjek Pajak adalah: 1. Orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, 2. Badan, 3. Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya disamakan dengan subjek pajak badan. Subjek pajak dibedakan menjadi dua yaitu subjek pajak dalam negeri dan luar negeri, yang dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Subjek pajak dalam negeri yang terdiri dari:

15 a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan, atau b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria. c. Warisan yang belum terbagi sebagai salah kesatuan menggantikan yang berhak. 2. Subjek pajak luar negeri yang terdiri dari: a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. b. Badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 2.3.3 Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak Penghasilan Dalam hal ini yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia atau yang berasal dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk:

16 a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pension atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini; b. hadiah dari undian, pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha; d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta; e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; f. bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; g. dividen, h. royalti; i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. penerimaan atau perolehanpembayaran berkala; k. keuntungan karena pembebasan utang; l. keuntungan selisih kurs mata uang asing; m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. premi asuransi;

17 o. iuran; p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak; q. penghasilan dari usaha berbasis syariah; r. imbalan bunga; s. surplus Bank Indonesia Penghasilan lain yang termasuk objek pajak dan dapat dikenai pajak bersifat final (UU No.36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)) adalah sebagai berikut: a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, b. penghasilan berupa hadiah undian, c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta, e. penghasilan tertentu lainnya, Sesuai dengan UU No.36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (3)), yang dikecualikan dari objek pajak, adalah: a. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat, harta hibahan yang terima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus,

18 b. warisan, c. harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan, d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi, f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara atau daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, 2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor, g. iuran yang diperoleh dari dana pension, h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,dsb, j. dihapus, k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura,

19 l. beasiswa yang memenuhi syarat tertentu, m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan atau penelitian penelitian dan pengembangan yang telah terdaftar di instansi terkait, n. bantuan atau santunan yang dibayarkan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu. 2.3.4 PPh Pasal 15 1. Pengertian PPh Pasal 15 Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 416/kmk.04/1996, PPh Pasal 15 adalah: PPh yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang sehubungan dengan pengangkutan orang dan/atau barang dari satu pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia atau dari Indonesia ke luar Indonesia. 2. Norma Penghitungan Khusus PPh Pasal 15 Norma Penghitungan Khusus tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2.1. Norma Penghitungan Khusus PPh Pasal 15 No. Jenis Usaha WP Tarif Dasar Perhitungan Sifat 1 Pelayaran dalam negeri 1,20% Imbalan bruto yang diterima/diperoleh untuk Final pengangkutan orang dan/atau

20 barang, termasuk penyewaan (charter) kapal laut oleh perusahaan pelayaran dalam negeri 2 Penerbangan dalam Imbalan bruto charter negeri 1,80% pesawat udara yang dibayarkan/terutang kepada perusahaan penerbangan Tak Final dalam negeri 3 Pelayaran dan/atau Imbalan bruto yang penerbangan luar negeri diterima/diperoleh untuk pengangkutan orang dan/atau 2,64% barang, termasuk charter kapal laut dan/atau pesawat Final udara oleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri yang memiliki BUT 4 WP luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia bukan BUT dan tidak ada tax treaty/ P3B 0,44% Nilai ekspor bruto Final 5 Pihak-pihak yang Jumlah bruto dari nilai Final melakukan perjanjian bangunan guna serah 5% tertinggi antar nilai pasar dan NJOP dari bangunan yang atau Tak diserahkan Final Sumber: Perpajakan Indonesia, Edisi 2 Revisi, hal 263-264

21 Dari tabel 2.1 diatas dapat dilihat bahwa PPh Pasal 15 ada yang final dan nonfinal. Dasar peraturan,subjek, dan pemotongannya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.2 Dasar peraturan,subjek, dan pemotongan PPh Pasal 15 No Jenis Penghasilan /Peraturan Subjek Pajak Pemotong Pajak Objek Pajak Tarif Pajak Sifat Penge naan 1 Norma WP Dibayar Penghasilan 1,2% x Final Penghitungan Pelayaran Sendiri WP Peredaran Khusus dalam pelayaran Bruto Penghasilan negeri dalam Neto bagi WP negeri Pelayaran Dalam Negeri Dasar Hukum: 416/KMK.04/1 996 2 Norma WP Dibayar Penghasilan 1,8% x Tidak Penghitungan penerbang sendiri WP Peredaran Final Khusus an dalam atau Penerbanga Bruto Penghasilan negeri penyewa n dalam Neto bagi WP (pen- negeri Penerbangan charter) Dalam Negeri Dasar Hukum : 475/KMK.04/1 996 3 Norma WP Dibayar Penghasilan 2,64% x Final

22 Penghitungan Pelayaran sendiri WP Peredaran Khusus Neto dan/atau pelayaran Bruto bagi WP penerbang dan/atau Pelayaran/Pener an luar penerbanga bangan Luar negeri n luar Negeri negeri Dasar Hukum: 417/KMK.04/1 996 4 Norma WP luar Dibayar Penghasilan 0,44 x Final Penghitungan negeri sendiri WP luar Nilai Khusus yang negeri yang ekspor Penghasilan mempuny mempunyai bruto Neto bagi WP ai kantor kantor kepada luar negeri yang perwakila perwakilan orang mempunyai n dagang dagang di pribadi kantor di Indonesia atau badan perwakilan Indonesia yang dagang di berada Indonesia non atau BUT bertempat Dasar Hukum: kedudukan di 634/KMK.04/1 Indonesia 994, KEP- 667/PJ/2001, SE- 02/PJ.03/2008, S- 279/PJ.312/20

23 02 5 Pihak-pihak Pemegang Pemegang Bangunan 5% dari Final yang melakukan hak atas hak atas yang jumlah untuk kerjasama dalam tanah, baik tanah atau diserahkan bruto nilai orang bentuk Orang penerima investor yang pribad perjanjian Pribadi bangunan kepada tertinggi i dan Bangun Guna maupun pemegang antara Yayas Serah Badan hak atas nilai pasar an, Dasar Hukum: tanah setelah dengan NJOP Tidak Final 248/KMK.04/1 perjanjian bangunan untuk 995 BOT badan berakhir (meru pakan pemb ayara n PPh 25 yang dapat menja di kredit pajak) Sumber: Perpajakan Indonesia, Edisi 2 Revisi, hal 264-265

24 3. Tatacara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 15 1. Penghasilan dari persewaan Apabila penghasilan diperoleh dari perjanjian persewaan (charter) dengan penyewa sebagai pemotong pajak, maka penyewa wajib memotong pajak yang terutang selanjutnya menyetor dan melaporkannya dengan tatacara sebagai berikut: a. Pemotongan PPh Pemotongan PPh dilakukan pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan/nilai pengganti dengan menggunakan formulir Bukti Pemotongan PPh atas Imbalan yang Dibayarkan/Terutang kepada Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final) (kode formulir F.1.1.33.13) yang diisi rangkap 3, dengan peruntukkan: lembar-1 untuk yang menyewakan, lembar-2 untuk KPP, dan lembar-3 untuk penyewa. b. Penyetoran PPh. Penyetoran PPh menggunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP, yang diisi rangkap 4 serta mencantunkam kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 410. Penyetoran PPh ke kas Negara melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran/terutangnya imbalan atau pada hari kerja berikutnya apabila tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional. c. Pelaporan PPh. PPh yang telah dipotong dan disetor wajib dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak pemotong terdaftar menggunakan formulir SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 15 (kode formulir F.1.1.32.05) dengan cara mengisi pada angka 1 Imbalan yang Dibayarkan/Terutang kepada Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri. Batas waktu pelaporan SPT Masa tersebut dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran/terutangnya imbalan, atau pada hari kerja berikutnya apabila batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional.

25 2. Penghasilan dari selain persewaan Apabila penghasilan diperoleh bukan dari perjanjian persewaan kapal dan persewaan oleh Wajib Pajak orang pribadi atau bukan subjek pajak, maka Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri wajib menyetor dan melaporkan sendiri PPh yang terutang dengan tatacara sebagai berikut: a. Penyetoran PPh. Penyetoran PPh menggunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP, yang diisi rangkap 4 serta mencantumkan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 410. Penyetoran PPh ke kas Negara melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterima penghasilan atau pada hari kerja berikutnya apabila tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional. b. Pelaporan PPh. PPh yang telah dipotong dan disetor wajib dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat terdaftar menggunakan formulir SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 15 (kode formulir F.1.1.32.05) dengan cara mengisi pada angka 2 Imbalan yang Diterima/Diperoleh Sehubungan dengan Pengangkutan Orang dan/atau Barang termasuk Penyewaan Kapal Laut oleh Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri. Batas waktu pelaporan SPT Masa tersebut dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya penghasilan, atau pada hari kerja berikutnya apabila batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional.

26 2.3.5 PPh Pasal 23 1. Pengertian PPh Pasal 23 Menurut Diaz P. (2013:337) ketentuan dalam pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. 2. Pemotong PPh Pasal 23 Pemotong PPh pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan, yang terdiri atas: 1. Badan pemerintah. 2. Subjek Pajak badan dalam negeri. 3. Penyelenggara kegiatan. 4. Bentuk usaha tetap. 5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. 6. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukan dari Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak PPh Pasal 23, yang, meliputi: a. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas. b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.

27 3. Objek Pemotongan PPh Pasal 2 Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah: 1. Dividen. 2. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. 3. Royalti. 4. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 21. 5. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi 6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. 7. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 4. Tarif Pemotongan PPh Pasal 23 Berdasarkan Pasal 23 UU PPh, tarif pemotongan PPh Pasal 23 dapat dilihat pada tabel 2.4. Tabel 2.3. Tarif Pemotongan PPh Pasal 23 No Tarif Jenis Penghasilan 1. 15% x jumlah bruto 1) Dividen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (1) huruf g. 2) Bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f. 3) Royalti 4) Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya, selain yang telah dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam

28 Pasal 21 ayat (1) huruf e UU PPh. 2. 2% x jumlah bruto 1) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan pengunaan harta yang telah dikenai PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh. 2) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa laiin selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. 100% lebih tinggi Semua penghasilan, jika wajib pajak yang menerima tidak memiliki NPWP. Sumber: Perpajakan Indonesia, Edisi 2 Revisi, hal 338-339 Jasa lain yang dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh dan diatur dalam PMK No.244/PMK.03/2008 terlihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.4. Keterangan Jasa Lain menurut PMK No.244/PMK.03/2008 No. Jenis Jasa Lain Keterangan 1. Jasa penilai (apraisal). 1) Tarif PPh Pasal 23 atas jasa lain adalah 2% x jumlah bruto. 2. Jasa aktuaris. 2) Sifat daftar ini adalah

29 limitatif bukan ilustratif, artinya daftar ini menjadi positive list, di mana jasajasa di luar yang ada dalam tabel bukanlah obyek PPh Pasal 23. 3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan. 3) Tarif pemotongan dinaikkan 100% (menjadi 4%) dalam hal wajib pajak penerima peghasilan tidak memiliki NPWP. 4. Jasa perancang (design) 5. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap.

30 6. Jasa penunjang di bidang penambangan migas, yaitu jasa-jasa sebagai berikut: a. Jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen secara tepat diantara pipa selubung dan lubang sumur. b. Jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk dimaksud: 1) Penyumbatan kembail formasi yang sudah kosong, 2) Penyumbatan kembail formasi yang sudah kosong, 3) Penyumbatan kembali zona yang berproduksi air, 4) Perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal, 5) Penutupan sumur. c. Jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa.

31 d. Jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi yang menaikan produktivitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak di inginkan. e. Jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan jika cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil. f. Jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur. g. Jasa uji kandung lapisan (drill stem testing), penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi. h. Jasa reparasi pompa reda (reda repair).

32 i. Jasa pemasangan instalasi dan perawatan. j. Jasa penggantian peralatan / material. k. Jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur. l. Jasa mud engineering. m. Jasa well logging dan perforating. n. Jasa stimulasi dan secondary decovery. o. Jasa well testing dan wire line service. p. Jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling. q. Jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling. r. Jasa lainnya yang sejenisnya di bidang pengeboran migas.

33 7. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas: 1) Jasa pengeboran. 2) Jasa penebasan. 3) Jasa pengupasan dan pengeboran. 4) Jasa penambangan. 5) Jasa pengangkutan/sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum. 6) Jasa pengolahan bahan galian. 7) Jasa reklamasi tambang. 8) Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian / pemindahan tanah. 9) Jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum. 8. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara: 1) Bidang aeronautika, termasuk: a. Jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara dan jasa lain sehubungan dengan pendaratan pesawat udara. b. Jasa penggunaan jembatan pintu (avio bridge). c. Jasa pelayanan penerbangan.

34 d. Jasa ground handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan pesawat, udara baik yang berangkat maupun yang datang, selama pesawat udara di darat. e. Jasa penunjang lain di bidang aeronautika. 2) Bidang non-aeronatika, termasuk: a. Jasa catering di pesawat dan jasa pembersihan pantry pesawat. b. Jasa penunjang lain di bidang nonaeronatika. 9. Jasa pengolahan limbah. 10 Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services). 11. Jasa perantara atau keagenan. 12. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI. 13. Jasa custodian atau penyimpanan atau penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI.

35 14. Jasa pengisian suara (dubbing) atau silih suara. 15. Jasa mixing film. 16. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan. 17. Jasa instalasi atau pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi. 18. Jasa perawatan / perbaikan / pemeliharaan mesin, perawatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi / kendaraan / bangunan selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi. 19. Jasa maklon, yaitu jasa pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan penolong / pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.

36 20. Jasa penyelidikan dan keamanan. 21. Jasa pengepakan. 22. Jasa penyediaan tempat dan waktu dalam media masa, media luar atau media lain untuk penyampaian informasi. 23. Jasa pembasmian hama. 24. Jasa kebersihan atau cleaning service. 25. Jasa catering atau tata boga. Sumber: Perpajakan Indonesia, Edisi 2 Revisi, hal 340-342 5. Saat Terutang, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23 Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pada bulan dilakukannya pembayaran atau pada bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan. Atas PPh Pasal 23 yang telah dipotong, pihak pemotong pajak mempunyai kewajiban menyetorkannya ke kas negara melalui kantor pos dan giro atau melalui bank persepsi dengan menggunakan surat setoran pajak (SSP) paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. Apabila pada tanggal 10 jatuh pada hari libur atau jatuh pada tanggal nasional, maka penyetoran pajak dilakukan pada hari kerja berikutnya.

37 PPh Pasal 23 yang telah dipotong dan disetorkan ke Kas Negara harus dilakukan pelaporan ke kantor pelayanan pajak (KPP) setempat, dan selambat-lambatnya tanggal 20 setelah bulan saat terutang pajak. Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur maka pelaporan dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Cara pelaporan PPh Pasal 23 yaitu dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23 dan dilampirin lembar ke 3 surat setoran pajak, lembar ke 2 bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan daftar bukti pemotongan PPh Pasal 23. Sebagai bukti pelaporan, wajib pajak akan memperoleh bukti penerimaan surat dari kantor pajak. 6. Sanksi Keterlambatan Pembayaran dan Penyetoran PPh Pasal 23 Dalam melakukan kewajiban pajaknya, wajib pajak seringkali melakukan pelanggaran. Misalnya, terlambat melaporkan Surat Pemberitahuan Masa (SPM), tidak atau terlambat menyetorkan pajak yang terutang, atau menyetorkan pajaknya lebih kecil dari jumlah yang harus dibayarkan sehingga menimbulkan utang pajak. Atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak tersebut, pemerintah menetapkan sanksi, yaitu: 1. Sanksi Administrasi a. Bunga 2% per bulan maksimal 24 bulan bagi wajib pajak yang memiliki pajak kurang bayar. b. Denda administrasi SPT Masa Rp 50.000,00 bagi wajib pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh pasal 23. c. Kenaikan sebesar 50% (pasal 8 ayat 5 UU No. 16 tahun 2000) untuk pajak yang kurang bayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 2. Sanksi Pidana Dalam pasal 39 Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa bagi wajib pajak yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan

38 kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. 2.3.6 PPh Pasal 4 (2) 1. Pengertian PPh Pasal 4 (2) Adalah pajak atas penghasilan sebagai berikut: 1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; 2. Penghasilan berupa hadiah undian; 3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; 4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari Persewaan tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.

39 Yang tidak termasuk persewaan tanah dan atau bangunan yang terutang adalah Pajak Penghasilan yang bersifat final apabila persewaan kamar dan ruang rapat di hotel dan sejenisnya 2. Pemotong PPh Pasal 4(2) Pemotong PPh atas penghasilan yang diterima dari persewaan tanah dan/atau bangunan adalah : 1. Apabila penyewa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan, dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilian perusahaan luar negeri lainnya dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dipotong oleh penyewa dan penyewa wajib memberikan bukti potong kepada yang menyewakan atau yang menerima penghasilan; 2. Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan selain yang tersebut pada butir 1 di atas, maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan. 3. Ketentuan Yang Berlaku Umum 1. PPh tersebut wajib dipotong oleh penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai Pemotong Pajak 2. Dalam hal penyewa bukan sebagai Pemotong Pajak maka PPh terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan.

40 3. Jumlah Bruto Persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan / terutang termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan/fasilitas lain dan service charge, baik perjanjiannya dipisah maupun disatukan dengan perjanjian sewa menyewa. 4. Dikecualikan dari pemotongan adalah sewa tanah dan atau bangunan dengan cara sewa guna usaha dengan hak opsi (Capital Lease). 4. Tarif PPh Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan 1. Wajib pajak badan termasuk Koperasi yang usaha pokoknya mengalihkan hak atas tanah dan atau bangunan dikenakan tarif PPh Pasal 17 UU PPh. 2. Wajib pajak badan termasuk Koperasi yang bukan usaha pokoknya mengalihkan hak atas tanah dan atau bangunan dikenakan PPh sebesar 5% dari jumlah bruto dan tidak bersifat final. 3. Wajib pajak orang pribadi, yayasan atau organisasi sejenis yang mengalihkan hak atas tanah dan atau bangunan baik yang usaha pokoknya maupun bukan usaha pokoknya dikenakan PPh sebesar 5% dari jumlah bruto dan bersifat final. 5. Pengecualian pengenaan PPh atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan: 1. Warisan, hibah kepada keluarga sedarah satu derajat sepanjang tidak ada hubungan usaha. 2. Hibah kepada badan keagamaan, sosial, pendidikan, dan pengusahan kecil yang ditetapkan Menteri Keuangan. 3. Merger, likuidasi dalam rangka go public dan hubungan istimewa.

41 4. Pembebasan tanpa SKB (Surat Keterangan Bebas) PPh atas Pengalihan atas Tanah dan Bangunan dikenakan terhadap orang pribadi yang menjual tanah dan atau bangunan kurang dari Rp. 60.000.000,- dan tidak terpecah-pecah. 5. Pengalihan kepada pemerintah untuk kepentingan umum. 6. PPh atas hasil penjualan saham di bursa efek terdiri dari : 1. Bukan Saham Pendiri Diterapkan tarif sebesar 0,1% dari nilai saham pada saat transaksi penjualan di bursa efek. 2. Saham Pendiri Diterapkan tarif 0,1% dari nilai saham pada saat transaksi penjualan ditambah 0,5% dari nilai saham pada saat Initial Public Offering (Penawaran Umum Perdana), dalam hal saham diperdagangkan di bursa setelah 1 Januari 1997. Diterapkan tarif 0,1% dari nilai saham pada saat transaksi penjualan ditambah 0,5% dari nilai saham per 30 Desember 1996, dalam hal saham diperdagangkan di bursa sebelum 31 Desember 1996. 7. PPh atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Sertifikat SBI Bunga yang dibayar oleh bank dipotong PPh dengan tarif 20%. Termasuk kategori bunga bank adalah bunga deposito, tabungan dan sertifikat SBI (PP No. 131 Tahun 2000) tidak semua bunga bank dipotong PPh. Penghasilan bunga yg dikecualikan dari pemotongan PPh adalah : 1. Penghasilan bunga deposito, tabungan dan sertifikat SBI yang nominalnya tidak melebihi Rp. 7.500.000,-

42 2. Bunga tabungan pada Bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana, dan sangat sederhana, kavling siap bangun untuk RS dan RSS atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri. 8. PPh atas Bunga Obligasi yang diperdagangkan di Bursa Efek Tarif atas bunga obligasi yang di perdagangkan di bursa efek yaitu sebesar 20 % Dikecualikan Pemotongan PPh yang Dilakukan Bursa Efek dari Penghasilan Berupa Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh : 1. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia. 2. Dana pensiun yang pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 3. Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha. 2.3.7 PPh Pasal 26 1. Pengertian PPh Pasal 26 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).

43 2. Pemotong PPh Pasal 26 Dalam hal ini yang termasuk pemotong PPh Pasal 26 adalah: a. Badan Pemerintah; b. Subjek Pajak dalam negeri; c. Penyelenggara Kegiatan; d. BUT; e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia. 3. Tarif dan Objek PPh Pasal 26 1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa : a. dividen; b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; e. hadiah dan penghargaan f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya. g. Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau h. Keuntungan karena pembebasan utang. 2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa : 1. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia; 2. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri. 3. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia;

44 4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia. 5. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan 4. Saat Terutang, Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 26 1. PPh Pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terlebih dahulu. 2. Pemotong PPh Pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 26 rangkap 3: a. lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri b. lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak c. lembar ketiga untuk arsip pemotong 3. PPh Pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. 4. SPT Masa PPh, dengan dilampiri SSP lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling 20 hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh: Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2009, penyetoran paling lambat tanggal 10 Juni 2009 dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2009. Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 26 bertepatan degan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

45 5. Pengecualian untuk PPh Pasal 26 1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat: a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan; b. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut; c. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurangkurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil. 2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 2.4 Bentuk Usaha Tetap (BUT) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: 1. tempat kedudukan manajemen; 2. cabang perusahaan; 3. kantor perwakilan; 4. gedung kantor; 5. pabrik; 6. Bengkel; 7. Gudang; 8. ruang untuk promosi dan penjualan; 9. pertambangan dan penggalian sumber alam; 10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;

46 11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; 12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; 13. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; 14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; 15. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia;dan 16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. 2.4.1 Tempat Pendaftaran dan Pelaporan Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap Dalam hal ini pemerintah Indonesia yaitu Direktorat Jenderal Pajak, membentuk Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora) yang khusus menangani wajib pajak bentuk usaha tetap dan orang asing. Seperti halnya Kantor Pelayanan Pajak lain, Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing bertugas melaksanakan kegiatan

47 operasional pelayanan perpajakan di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Tidak Langsung Lainnya. 2.4.2 Bentuk Usaha Tetap yang bergerak di Bidang Usaha Pelayaran dan Penerbangan Besarnya penghasilan neto dari wajib pajak bentuk usaha tetap yang bergerak di bidang usaha pelayaran dan penerbangan luar negeri adalah sebesar 6% dari peredaran bruto. Peredaran bruto ialah imbalan atau nilai pengganti berupa uang yang diterima atau diperoleh wajib pajak perusahaan pelayaran dan penerbangan luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia dari pengangkutan orang dan atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya di Indonesia atau pelabuhan Indonesia ke pelabuhan luar negeri. Besarnya pajak penghasilan yang dikenakan adalah sebesar 2,64% dari peredaran bruto dan bersifat final. 2.4.3 Kewajiban Perpajakan Bentuk Usaha Tetap Dalam Undang Undang Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap termasuk dalam subjek pajak luar negeri, namun kewajiban perpajakan Bentuk usaha tetap tidak jauh berbeda dengan kewajiban wajib pajak dalam negeri. Bentuk usaha tetap yang berkedudukan di Indonesia wajib memiliki NPWP sebagai identitas perpajakan dan juga wajib dikukuhkan sebagai PKP jika Bentuk Usaha Tetap tersebut melakukan pemungutan PPN. Setelah memiliki NPWP dan atau dikukuhkan sebagai PKP, Bentuk usaha tetap berkewajiban menjalankan hak dan kewajiban perpajakan yang sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri. Bentuk usaha tetap wajib menyampaikan SPT PPh Badan, SPT PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 4(2) dan/atau PPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

48 Perbedaan mendasar dalam perlakuan PPh antara Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan BUT terletak pada: a. Sumber Penghasilan bentuk usaha tetap yang dikenakan PPh adalah penghasilan dari Indonesia saja karena BUT termasuk Wajib Pajak Luar Negeri b. Adanya perlakuan khusus tentang penghasilan yang menjadi objek pajak Bentuk Usaha Tetap dan Biaya yang boleh dikurangkan bagi bentuk usaha tetap yang diatur dalam Pasal 5 UU PPh Yang menjadi Objek pajak bentuk usaha tetap adalah: a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dari harta yang dimiliki atau dikuasai; b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia; c. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud. Biaya biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana disebut diatas boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap. Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap: a. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. b. Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah:

49 1. Royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak hak lainnya; 2. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya; 3. Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan. c. Pembayaran sebagaimana tersebut diatas yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan. d. Adanya kewajiban khusus pemotongan PPh Pasal 26 atas Penghasilan Kena Pajak setelah dikurang pajak di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 2.5 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Antara Indonesia dengan Jepang 1. Pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa: Istilah pendirian tetap terutama meliputi: a. suatu tempat ketatalaksanaan b. suatu cabang c. suatu kantor d. suatu pabrik e. suatu tempat kerja f. suatu pertanian atau perkebunan