BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keamanan pangan merupakan salah satu isu yang harus menjadi perhatian baik pemerintah maupun masyarakat. Pengolahan makanan yang tidak bersih dapat memicu terjadinya keracunan makanan. Keracunan makanan akibat kontaminasi bakteri patogen atau foodborne disease (FBD) disebabkan karena bakteri patogen tersebut masuk ke dalam tubuh bersama makanan. Salah satu produk pangan yang banyak dikonsumsi dan rentan kontaminasi bakteri adalah susu. Hal ini dikarenakan susu mengandung kandungan nutrisi yang lengkap sehingga merupakan media yang ideal untuk tumbuhnya bakteri. Bakteri patogen yang ditemukan pada susu adalah bakteri Staphylococcus aureus. Proses pengolahan susu yang tidak bersih yang berasal dari proses pemerahan susu, penggunaan alat-alat dan distribusi dapat memicu kontaminasi susu oleh bakteri S. aureus (Zakary, 2011). Pekerja dalam industri makanan yang memiliki infeksi luka pada kulit biasanya merupakan sumber kontaminasi dari makanan, walaupun terkadang susu mentah dan produk olahan susu pada dasarnya sudah terkontaminasi oleh S.aureus (Hein et al., 2001). S. aureus merupakan bakteri gram positif, berbentuk bulat seperti bergerombol seperti anggur. S. aureus dapat ditemukan di lingkungan masyarakat seperti udara, debu, kotoran, air, susu dan makanan atau terdapat pada peralatan makan, manusia maupun pada hewan. Sumber utama penyebab kontaminasi makanan oleh S. aureus adalah individu yang mengolah makanan, di samping itu dapat juga dari peralatan masak dan lingkungan sekitar (LeLoir et al., 2003). S. aureus memproduksi staphylococcal enterotoxins (SE) yaitu bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan pangan. Gejala umum keracunan SE ditandai dengan mual, muntah, kram perut dan diare yang terjadi selama 24-48 jam, masa penyembuhan biasanya terjadi antara 1-3 hari (Balaban & Rasooly, 2000). Kasus keracunan makanan akibat kontaminasi S. aureus di Indonesia dilaporkan terjadi di beberapa daerah. Pada bulan September 2004 telah terjadi 1
2 keracunan setelah minum susu pada 72 siswa Sekolah Dasar (SD) di Tulung Agung, Jawa Timur, 300 siswa SD di Bandung, dan 73 karyawan di Surabaya. Menurut Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM), kasus tersebut disebabkan oleh E. coli dan S. aureus (Suwito, 2010). Kasus serupa terjadi pada Juni 2009, 10 siswa SD di Jakarta Timur dan 293 siswa SD di Bandung mengalami mual-mual setelah mengonsumsi susu dalam kemasan. Berdasarkan pemeriksaan BPOM, toksin yang dihasilkan S. aureus dianggap sebagai penyebab keracunan setelah minum susu. Pada Juni 2012, sedikitnya 20 warga Kabupaten Sukabumi keracunan massal setelah menyedot susu dalam kemasan yang dibeli dari suatu minimarket. Gejala yang dialami yaitu perut sakit, mengalami mual dan muntah-muntah. Gejala yang dialami memiliki kemiripan dengan gejala keracunan makanan akibat S. aureus. Bahaya yang ditimbulkan akibat susu terkontaminasi S. aureus memberikan efek yang besar terhadap kesehatan masyarakat. Oleh karena itu pengujian susu terhadap kemungkinan cemaran bakteri menjadi penting. Di Indonesia analisis cemaran bakteri pada makanan khususnya pada susu segar dan hasil olahannya hingga sejauh ini menggunakan metode konvensional yaitu dengan cara kultur dan uji sifat biokimia. Uji mikrobiologis ini merujuk pada SNI 2897:2008 tentang metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu serta hasil olahannya. Metode ini menetapkan pengujian cemaran mikroba S. aureus dengan menggunakan pengujian total perhitungan pelat (TPC) (Anonim, 2008). Metode konvensional ini mempunyai kelemahan karena umumnya memerlukan waktu 5-7 hari untuk mendapatkan hasil. Hal ini kurang menguntungkan karena apabila terjadi keracunan makanan harus segera diketahui penyebabnya agar dapat ditangani secara lebih cepat. Oleh karena itu upaya pengembangan untuk mendeteksi S. aureus terus dilakukan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak diusulkan metode analisis penyebab FBD dengan teknik biologi molekular yaitu Polymerase Chain Reaction (PCR). PCR merupakan metode amplifikasi fragmen dari DNA templat untuk menghasilkan fragmen DNA identik secara in vitro (Pelt-Verkuil et al., 2007). Tahap-tahap PCR meliputi tahap denaturasi, penempelan primer pada cetakan
3 DNA (annealing) dan tahap pemanjangan primer melalui reaksi polimerisasi nukelotida. Bakteri S.aureus memproduksi nuklease termostabil (TNase). TNAse merupakan endonuklease yang berhubungan dengan DNA dan RNA. Pengujian ini kemudian dijadikan dasar untuk analisis PCR dengan target gen nuc pada S. aureus. Pendekatan PCR untuk mendeteksi kontaminasi S. aureus pada makanan telah dilakukan sebelumnya. Hein et al. (2001) menggunakan nuc target primer untuk mendeteksi S.aureus pada sampel keju. Pendekatan PCR menggunakan nuc target primer juga telah terbukti spesifik untuk mendeteksi dari S. aureus pada sampel daging (Alarcon et al., 2005). Penelitian tentang analisis bakteri S. aureus dengan PCR masih memiliki kekurangan. Hal ini dikarenakan pendeteksian hasil dilakukan dengan teknik elektroforesis yang hanya dapat dilakukan setelah seluruh reaksi amplifikasi selesai (titik akhir). Pengembangan metode yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kekurangan tersebut adalah teknik Real-Time PCR (RTi-PCR). Pada teknik ini amplifikasi fragmen DNA dimonitor secara realtime dengan sinyal fluoresens sehingga analisis hasil dapat diketahui secara langsung sebelum reaksi amplifikasi selesai (Fajardo et al., 2010). Sinyal fluoresens pada RTi-PCR dapat dihasilkan dari molekul fluoresens yang berikatan dengan DNA. Jika pada PCR spesifisitas hasil PCR ditunjukkan oleh ukuran fragmen hasil elektroforesis, spesifisitas produk RTi-PCR ditunjukkan dengan hasil Melting Curve Analysis (MCA). Deteksi produk amplifikasi RTi-PCR dengan senyawa fluoresen juga menjadikan teknik dapat menghasilkan data kuantitatif. Hal ini menjadikan RTi-PCR lebih efisien dibandingkan dengan metode PCR konvensional (Camma et al., 2011). Berdasarkan uraian di atas, penelitian yang dilakukan saat ini difokuskan untuk menentukan metode deteksi yang efektif dan cepat dalam mengetahui keberadaan cemaran bakteri S. aureus pada produk pangan yaitu susu. Oleh karena itu, dilakukan pengembangan metode deteksi S. aureus pada susu dengan RTi-PCR yang dikombinasikan dengan MCA. Untuk menentukan kebenaran dan keakuratan dari pengembangan metode, perlu dilakukan validasi metode. Validasi metode perlu dilakukan untuk mengetahui spesifitas metode dalam mendeteksi S.aureus dalam susu, mengetahui presisi dari uji repitabilitas (uji pengulangan
4 metode) dan penentuan cut off detection dari metode. Metode yang telah tervalidasi diharapkan dapat menghasilkan data yang akurat apabila diaplikasikan pada analisis kontaminasi S. aureus dalam susu yang dijual di masyarakat. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ini akan menerapkan metode RTi-PCR sebagai metode deteksi cemaran bakteri S.aureus dengan rumusan masalah: 1. Apakah primer gen nuc mampu mendeteksi cemaran S.aureus secara spesifik dengan RTi-PCR? 2. Bagaimana tingkat spesifitas, presisi dan cut off detection metode RTi-PCR untuk deteksi cemaran bakteri S.aureus pada susu? 3. Bagaimana hasil aplikasi metode RTi-PCR terhadap sampel susu yang dijual di masyarakat? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan yakni: 1. Mengembangkan metode deteksi cemaran bakteri S. aureus dengan pendekatan molekular DNA. 2. Mempelajari penggunaan metode RTi-PCR untuk mendeteksi cemaran bakteri S.aureus pada susu. 3. Melakukan validasi metode RTi-PCR untuk mendeteksi cemaran S.aureus pada susu. 4. Mengaplikasikan metode RTi-PCR untuk mendeteksi cemaran S.aureus pada susu. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Metode RTi-PCR yang telah tervalidasi dapat digunakan untuk pengujian cemaran S. aureus pada makanan sehingga didapatkan informasi yang tepat dan cepat.
5 2. Memberikan kontribusi dalam pengembangan metode deteksi cemaran bakteri pada makanan dengan pendekatan molekular DNA yang dapat dijadikan alternatif selain pengujian secara konvensional yang selama ini dilakukan.