BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak kasus pertama dilaporkan pada tahun 1981, Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) menjadi agenda penting baik dikalangan kedokteran maupun dikalangan politisi pengambil keputusan, pemimpin agama dan masyarakat dunia pada umumnya (Djoerban, 2000). Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah menjadi salah satu penyebab utama pandemik yang mengkuatirkan dan menjadi sebuah isu yang besar dalam sejarah. Selain menjadi masalah kesehatan yang besar, HIV tekah mengancam tatanan ekonomi dan sosial dibanyak komunitas (SDKI, 2012). Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus yang disebut HIV (Djoerban, 2000). Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan penyakit terutama dengan merusak sisitem kekebalan tubuh. Virus ini dapat menginfeksi sel sel manusia dengan target utamanya adalah limfosit CD4 dimana limfosit CD4 ini bertanggungjawab untuk mengendalikan atau mencegah infeksi oleh banyak virus yang lain, bakteri, jamur dan parasit dan juga beberapa jenis kanker (Gallant, 2010). Menurut data UNAIDS sampai dengan tahun 2012 terdapat 35.300.000 orang yang hidup dengan HIV di dunia, dimana remaja dan orang muda yang berusia 10-24
tahun berjumlah 5.400.000 orang. Diperkirakan remaja dan orang muda yang baru terinfeksi sampai dengan tahun 2012 bekisar 780.000 orang (UNAIDS, 2013). Di Indonesia semakin banyak ditemukan kasus HIV AIDS. Hasil laporan Ditjen PPM & PL Kemenkes RI menyatakan jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Maret 2014 sebanyak 134.053 kasus. Persentase HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (72,3%) diikuti kelompok umur 20-24 tahun (15%) dan kelompok 50 tahun (5,8%) dimana rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Persentase faktor resiko HIV tertinggi adalah hubungan sex beresiko pada heteroseksual (55,6%), pengguna jarum suntik tidak steril pada penasun (7%) dan lelaki sex lelaki LSL (14,7%). Jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2014 sebanyak 54.231 orang (KPA, 2014). Kasus HIV/AIDS menyebar di 368 (72%) dari 497 kabupaten/kota di seluruh Provinsi di Indonesia. Kasus HIV tertinggi terdapat di DKI Jakarta,diikuti oleh Jawa Timur, Papua, Jawa Barat dan Bali, sedangkan kasus AIDS tertinggi terdapat di Papua, diikuti oleh Jawa Timur, Jawa Barat dan Bali (KPA, 2014). Menurut Kadis Kesehatan Sumut, pertambahan kasus baru di Sumut cukup tinggi. Setiap bulan, setidaknya ada 100-120 kasus baru yang ditemukan. Banyaknya temuan ini karena sudah banyak klinik Voluntary Conseling and Testing (VCT) yang dapat melayani masyarakat untuk konseling dan memeriksakan diri (Harian analisa, 2014). Data di Profil Sumut pada tahun 2012 menunjukkan Kota Medan sebagai kota tertinggi pertama penderita baru HIV AIDS yaitu 506 orang dan tertinggi kedua adalah Kabupaten Karo yaitu 347 orang (Profil Sumut, 2012). Jumlah kumulatif HIV
di Sumatera Utara sampai dengan Maret 2014 mencapai 8316 orang dan AIDS 1468 orang (KPA, 2014). Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) adalah sebutan bagi mereka yang secara positif didiagnosa terinfeksi HIV. Belum adanya obat untuk menyembuhkan mereka menjadi suatu ketakutan akan ancaman kematian. Reed dalam Taylor (1999) dalam Tuapattinaja (2004) menyatakan bahwa menghadapi kemungkinan meninggal merupakan stressor utama bagi ODHA yang menimbulkan depresi dan reaksi mengisolasi diri dari orang lain. Obat ARV (Anti Retro Viral) yang tersedia hanya untuk menghambat reproduksi virus HIV. Selain ketiadaan obat yang dapat menyembuhkan mereka, stigma dan diskriminasi di lingkungan masyarakat juga memperberat keadaan mereka. Masih banyak ODHA yang mengalami stigma dari lingkungannya sehingga merahasiakan status HIV mereka dari keluarga dan lingkungannya (Haroen dkk, 2009). Perlakuan negatif dan pembatasan-pembatasan kesempatan mulai dari pergaulan sosial, kesempatan memperoleh pendidikan dan pekerjaan, pelayanan kesehatan, bepergian dan lain-lain dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan ODHA. Tingginya stigma masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS menyebabkan banyak perlakuan diskriminatif baik dalam hal pekerjaan, perawatan, pengobatan, pendidikan maupun dalam hal lainnya (Djoerban, 2000). Hal ini sejalan dengan penelitian Siregar (2012) di Desa Buntu Bedimbar Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang dimana terdapat pengaruh stigma kesopanan (tindakan) terhadap penerimaan masyarakat pada ODHA. Masyarakat Desa Buntu Bedimbar
masih ada yang beranggapan bahwa ODHA adalah orang yang harus mendapatkan hukuman sosial sehingga harus dikeluarkan atau diusir dalam kehidupan masyarakat. Stigma yang ada dalam masyarakat dapat menimbulkan diskriminasi. Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi meliputi para staf rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada ODHA, atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan status atau prasangka akan status HIV mereka, atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup dengan HIV/AIDS. Bentuk lain dari stigma berkembang melalui internalisasi oleh ODHA dengan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri mereka sendiri. Hal ini bisa mendorong terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak, atau bisa pula menyebabkan mereka yang telah terinfeksi meneruskan praktek seksual yang tidak aman karena takut orang-orang akan curiga terhadap status HIV mereka (Yusnita, 2012). Pada tahun 2006 Kepengurusan Pusat GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) yang disebut Moderamen yang ada di Kabupaten Karo membentuk komisi HIV/AIDS dan NAPZA. Komisi ini dibentuk atas kepedulian tentang masalah HIV/AIDS yang
ada di Tanah Karo. Kegiatan yang dilakukan masih sebatas sosialisasi HIV/AIDS. Pada tahun 2009 kegiatan komisi ini semakin bertambah yaitu adanya kegiatan pendampingan ODHA dan kerjasama dengan RS Pusat Haji Adam Malik Medan. Pada bulan November 2011, Komisi HIV/AIDS dan NAPZA GBKP memberanikan diri mengontrak satu rumah di belakang Rumah Sakit Adam Malik untuk dijadikan sebagai rumah singgah. Adapun tujuan awal dari rumah singgah ini adalah untuk membantu ODHA dan keluarganya agar tidak perlu khawatir akan tempat tinggal sementara setelah opname di rumah sakit. Pada umumnya mereka yang baru menerima ARV akan banyak mengalami efek samping, oleh karena itu, mereka harus tetap tinggal di sekitar Rumah Sakit Adam Malik untuk dapat berkonsultasi dengan dokter kapan saja (Moderamen GBKP, 2014). Adapun yang menjadi prioritas pelayanan dalam program Komisi HIV/AIDS dan NAPZA GBKP yaitu kegiatan pencegahan meliputi sosialisasi, edukasi dan advokasi, kegiatan membantu/meringankan beban para ODHA/OHIDA dengan mendirikan rumah singgah bagi ODHA. Kegiatan di Rumah Singgah Moderamen GBKP meliputi Pastoral Counseling kepada ODHA dan OHIDA, pendampingan dan kunjungan dokter setiap hari sabtu serta kegiatan rutin memberikan kebutuhan beras, susu, vitamin dan obat-obatan tambahan diluar ARV. Sampai dengan akhir Juli 2013, ada 18 orang yang tinggal di Rumah Singgah Moderamen GBKP terdiri dari 11 orang laki-laki, 5 orang perempuan dan 2 orang anak kecil (Barus, 2013). Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan, diketahui Rumah singgah Moderamen GBKP sudah 2x pindah, yang pertama disebabkan jumlah ODHA yang
terus bertambah membuat Rumah Singgah Moderamen GBKP yang ada di Jalan Petunia Raya Perumahan BS No 36 Medan tidak memadai lagi dalam menampung ODHA sehingga berpindah ke rumah yang lebih besar yang ada di Jalan Bunga Law Gang Bunga Law No 1 Medan. Alasan kedua perpindahan Rumah Singgah dari Jalan Bunga Law ke Berastagi adalah penduduk sekitar Rumah Singgah Moderamen GBKP tersebut menolak keberadaan ODHA di daerah mereka, hal ini terkait dengan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Padahal Rumah Singgah tersebut sangat membantu mereka dalam akses ke Rumah Sakit Pusat Haji Adam Malik, informasi seputar HIV AIDS, pendampingan saat berobat ke Rumah Sakit Pusat Haji Adam Malik dan layanan konseling spiritual yang dapat memotivasi mereka untuk tetap semangat dalam menjalani pengobatan. Mereka merasa nyaman dan mendapat dukungan materil maupun spiritual disana. Ada kehidupan saling menguatkan dan saling mendukung sesama ODHA, mereka saling mengingatkan dalam kedisiplinan minum obat dan hidup sehat. Perpindahan rumah singgah ini membuat ODHA yang ada di rumah singgah ini mengalami masalah baru, tempat yang jauh membuat mereka kesulitan mengakses RSP H. Adam Malik, hingga beberapa ODHA memutuskan untuk tidak ikut pindah ke Berastagi dan kembali kerumah masing- masing. Dari cerita seorang ODHA yang awalnya tinggal dirumah singgah tersebut menyatakan kekecewaannya ketika rumah singgah yang ada di Jalan Bunga Law ditutup dan memutuskan kembali ke kampungnya, ia sekarang mengalami kesulitan mengakses obat, dan merasa kehilangan teman-teman yang selama ini saling mengingatkan minum obat dan
mendukung kesehatannya. Dari seorang kerabat yang mengenalnya, peneliti mendapat kabar kalau kondisinya semakin menurun setelah keluar dari rumah singgah tersebut. Meskipun demikian, ada 10 orang yang memutuskan untuk tetap memilih pindah ke Rumah Singgah Moderamen GBKP yang ada di Berastagi. Mereka menyatakan kalau Rumah Singgah tersebut adalah tempat yang bisa menerima keberadaan mereka ketika mereka ditolak oleh keluarga dan sangat terbantu dalam pemenuhan kebutuhan makanan, nutrisi dan obat obatan. ODHA yang ada di Rumah Singgah Moderamen GBKP ini telah kehilangan pekerjaan, sehingga mereka sangat membutuhkan Rumah Singgah Moderamen GBKP tersebut. 1.2. Perumusan Masalah Bagaimana perilaku Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), stigma dan diskriminasi di Rumah Singgah Moderamen GBKP Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), stigma dan diskriminasi di Rumah Singgah Moderamen GBKP Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan, sebagai bahan masukan dalam pengembangan program kesehatan akan perlunya rumah singgah bagi ODHA untuk tempat tinggal
sementara selama perawatan ketika ODHA ditolak oleh keluarga, lingkungan ataupun masyarakat dan terus melakukan sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat dalam upaya penghapusan stigma dan diskriminasi ODHA. 2. Bagi LSM atau organisasi diluar pemerintah untuk mengetahui pentingnya pendirian rumah singgah bagi ODHA sebagai sumber informasi dan tempat yang nyaman bagi mereka selama perawatan. 3. Bagi Masyarakat, agar mengetahui pentingnya rumah singgah bagi ODHA sehingga ketika masyarakat mengetahui ada rumah singgah untuk ODHA disekitarnya, agar tidak melakukan pengusiran ataupun penolakan terhadap keberadaan rumah singgah tersebut. 4. Bagi Peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan HIV/AIDS.