BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perekonomian saat ini memunculkan cara berfikir seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai peranan penting dalam pembangunan adalah pajak. Menurut Rochmat

HUKUM DAGANG. Panji Susilo ( ) 03 HUKMD 417 KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

Per June 2009 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN NIAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

BAB I PENDAHULUAN. Van Koophandel (WvK), buku Ketiga yang berjudul Van de Voordieningen in Geval

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

I. PENDAHULUAN. membutuhkan modal karena keberadaan modal sangat penting sebagai suatu sarana

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN. Pada pertengahan tahun 1997 negara negara Asia dilanda krisis moneter yang

Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum Kepailitan Indonesia. Oleh : Lili Naili Hidayah 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

Heri Hartanto - FH UNS

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Perbankan di Indonesia termasuk Hukum Perbankan Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kemampuan usahanya, bahkan untuk mempertahankan. kelangsungan kegiatan usaha tidak mudah. Kesulitan tersebut sangat

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa:

KEPAILITAN BAB I PENDAHULUAN. perkembangan hukum terutama hukum dagang yang merupakan roda penggerak

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dana yang diterima dari masyarakat, apakah itu berbentuk simpanan berupa

PERAN PENGADILAN NIAGA SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, baik orang perorangan (natural person) maupun

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

BAB I PENDAHULUAN. Masalah koperasi merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

TINJAUAN YURIDIS PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. Jepang, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Pada awal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian diskusi dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan,

BAB I PENDAHULUAN. badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya seperti kebutuhan untuk

ADHAPER J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D A T A ISSN Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2015

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana terkandung dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari Bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan banyak permasalahan penyelesaian hutang piutang dalam masyarakat. Bahwa krisis moneter yang melanda negara Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah, hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran hutangnya. Keadaan tersebut berakibat timbulnya masalahmasalah yang berantai, yang apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas, antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya. Keadaan perekonomian saat ini sangat memperihatinkan terlebih dengan terjadinya krisis global yang awalnya terjadi di Amerika Serikat yang secara otomatis merembet ke seluruh negara termasuk Indonesia dikarenakan ketergantungan dunia terhadap Dollar Amerika. Krisis finansial dalam perusahaan tidak dapat dihindarkan dimana perusahaan tidaklah selalu berjalan dengan baik dan terkadang mengalami kesulitan di bidang keuangan sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar hutang-hutangnya. Didalam menjalankan 1

usahanya, perusahaan membutuhkan modal, baik berupa uang ataupun berupa barang-barang. Didalam menjalankan usaha, satu hal yang pasti perusahaan akan memperoleh keuntungan atau kerugian. Jika perusahaan itu memperoleh keuntungan, tentu saja perusahaan itu akan terus berkembang bahkan bisa menjadi perusahaan besar, tetapi apabila perusahaan tersebut mengalami kerugian, maka untuk mempertahankan usahanya akan dirasakan sangat sulit. Untuk mempertahankan usahanya tersebut perusahaan dapat melakukan peminjaman uang yang dibutuhkan kepada pihak lain. Dalam kehidupan memang tersedia sumber-sumber dana bagi seseorang atau badan hukum yang ingin memperoleh pinjaman, dari sumber-sumber dana itulah kekurangan dana dapat diperoleh. Pemberian pinjaman oleh kreditur kepada debitur didasarkan pada asumsi bahwa kreditur percaya debitur dapat mengembalikan hutang tepat pada waktunya. Pelunasan hutang oleh debitur kepada kreditur tidak selalu dapat berjalan dengan lancar adakalanya debitur tidak membayar hutangnya kepada kreditur walaupun telah jatuh tempo. Debitur yang tidak mampu melunasi hutangnya, maka harta kekayaan debitur yang bergerak maupun tidak bergerak dan baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi jaminan atas hutangnya. Hal ini diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata, dengan kata lain Pasal 1131 tersebut tidak hanya menentukan bahwa harta kekayaan seseorang debitur demi hukum menjadi agunan bagi kewajiban yang berupa membayar hutangnya kepada kreditur yang menghutanginya, tetapi juga menjadi agunan bagi semua kewajiban lain yang timbul karena perikatan-perikatan lain, baik perikatan itu timbul karena undang-undang maupun karena perjanjian selain perjanjian kredit atau perjanjian pinjam-meminjam uang.

Ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata mengisyaratkan bahwa setiap kreditur memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditur lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya. Kedua Pasal yang tersebut di atas merupakan jaminan bagi kreditur untuk mendapatkan pelunasan bagi semua piutangnya, tapi untuk melaksanakan pembayaran hutang oleh debitur kepada kreditur dengan adil diperlukan peraturan khusus, salah satunya adalah peraturan khusus yang mengatur tentang kepailitan yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang. Ketentuan yang mengatur secara khusus tentang kepailitan pada awalnya terdapat dalam Wet Boek Van Koophandel (WVK) buku III, namun dicabut dan diganti dengan Staatblad 1905 No. 217 Tentang Faillissemens Verordening staatblad 1906 No.348. 1 Peraturan ini kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Kepailitan yang kemudian pada tanggal 9 September 1998 ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Kewajiban Pembayaran Hutang. Pada tahun 2004, peraturan ini disempurnakan lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang yang selanjutnya dikenal dengan Undang-Undang Kepailitan (UU Kepailitan). Menurut ketentuan Undang-Undang Kepailitan (UU Kepailitan) tersebut, kreditur dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga. Halaman 5 1 Sutan Remy Sjahdeini, 2002, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,

Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, dapat disimpulkan bahwa permohonan pernyataan pailit hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Debitur paling sedikit mempunyai dua kreditur dengan kata lain harus memiliki lebih dari satu kreditur. 2. Debitur paling sedikit tidak membayar satu hutang kepada kreditur, dan 3. Hutang yang tidak dibayar itu telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih. Didalam pelaksanaan perjanjian antara debitur dan kreditur biasanya tidak selalu berjalan dengan lancar sehingga dalam menyepakati suatu perjanjian para pihak adakalanya memasukkan klausul arbitrase dalam perjanjian tersebut, yang mana klausul arbitrase ini sangat diperlukan bagi para pihak, terutama apabila terjadi sengketa atau perselisihan diantara para pihak. Penyelesaian perselisihan yang terjadi dapat dilakukan para pihak melalui peradilan umum dan arbitrase, tetapi pada saat ini para pihak lebih banyak menggunakan arbitrase daripada peradilan umum karena lebih menguntungkan para pihak dan dengan waktu yang lebih singkat. Dasar pokok arbitrase adalah kesepakatan para pihak yang bersengketa yang dituangkan dalam perjanjian tertulis dan mereka menunjuk pihak ketiga yang diberi wewenang untuk memutuskan sengketa. Para pihak berjanji untuk mematuhi putusan yang diberikan oleh pihak ketiga tersebut. Selain itu, di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain :

1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; 2. Dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena prosedur dan administratif; 3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya; 4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan 5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Para pihak jika dalam perjanjiannya sepakat akan menggunakan arbitrase, jika ternyata dikemudian hari terjadi perselisihan atau sengketa terhadap pelaksanaan perjanjian yang mereka buat maka sengketa apapun yang terjadi, para pihak tersebut akan menggunakan arbitrase sebagai penyelesaiannya. Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, kreditur dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga apabila salah satu pihak dalam suatu perjanjian kreditur dan pihak yang lain debitur, pihak debitur yang dikarenakan oleh salah satu sebab tidak membayar/berhenti membayar hutangnya kepada kreditur Terhadap hal yang demikian apabila dalam perjanjian tersebut ada klausul arbitrase, apakah debitur atau kreditur dapat mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga yang berwenang untuk memeriksa perkara tersebut atau diselesaikan melalui prosedur arbitrase sesuai dengan isi perjanjian. Seperti dalam perkara kepailitan antara PT. Invironmental Network Indonesia sebagai pemohon pernyataan pailit/kreditur melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan PPF International Corporation sebagai termohon pailit/debitur, berdasarkan perjanjian pemohon menerima pekerjaan jasa manajemen termasuk kontruksi di bidang

agrikultur atau proyek tambak udang dari termohon I dengan mengeluarkan biaya terlebih dahulu, termasuk membayar tenaga kerja yang diperlukan, dan secara berkala akan diganti oleh termohon I dengan menggunakan uang dari termohon II selaku penyandang dana, akan tetapi sebelum perjanjian berakhir pihak termohon mengakhiri secara paksa perjanjian tersebut, selain itu terdapat perbedaan jumlah hutang yang harus dibayarkan oleh termohon kepada pemohon. Berdasarkan fakta tersebut pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Akan tetapi majelis Hakim tidak mengabulkan permohonan tersebut karena para pihak memasukkan klausul arbitrase dalam perjanjiannya. Perkara kepailitan antara PT. Invironmental Network Indonesia melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan PPF International Corporation tersebut diselesaikan sampai dengan upaya hukum Peninjauan Kembali. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menulis skripsi tentang : Tinjauan Yuridis Atas Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Memutus Perkara Kepailitan Dengan Adanya Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Para Pihak Yang Bersengketa. B. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas dan dikaitkan dengan judul skripsi, maka penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kewenangan Pengadilan Niaga mengadili perkara kepailitan dalam kaitannya dengan keberadaan perjanjian arbitrase? 2. Bagaimana Proses penanganan perkara kepailitan pada Pengadilan Niaga? 3. Bagaimana akibat hukum putusan pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga terhadap para pihak yang telah melakukan perjanjian arbitrase?

C. Tujuan dan manfaat penulisan 1. Tujuan penelitian. a. Untuk mengetahui pihak-pihak yang berhak dalam kepailitan serta syaratsyarat yuridis dalam mengajukan proses permintaan kepailitan. b. Untuk mengetahui Rancangan Undang-undang tentang pengadilan niaga, pengangkatan hakim niaga serta peraturan-peraturan hukum acara perdata dalam pengadilan niaga dan arbitrase. c. Untuk mengetahui kewenangan pengadilan niaga mengadili perkara kepailitan dan kaitannya dengan perjanjian arbitrase. 2. Kegunaan penelitian a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan Ilmu Hukum, khususnya Hukum Kepailitan. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian yang akan datang. D. Keaslian Penulisan Adapun judul tulisan ini adalah Tinjauan Yuridis Atas Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Memutus Perkara Kepailitan Dengan Adanya Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Para Pihak Yang Bersengketa. Judul skripsi ini belum pernah ditulis, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum USU. Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Kepailitan 1.1. Pengertian Kepailitan Dalam Black s Law Dictionary pengertian pailit atau bankrupt adalah : The state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) whois unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filled, or who has filled a voluntary petition, or whohas been adjudged a bankrupt. Berdasarkan pengertian yang diberikan dalam Black s Law Dictionary tersebut, dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seseorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Sedangkan pada UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan PembayaranUtang sebagai pengganti dari UU No. 4 Tahun 1998 definisi mengenai kepailitan dapat kitalihat di dalam Pasal 1 angka 1 yaitu : Kapailitan adalah Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan pendapat para ahli, dikemukakan bahwa Kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran semua piutang secara adil. 1.2. Peraturan Perundang-undangan tentang Kepailitan Sejarah perundang-undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu yakni sejak 1906, sejak berlakunya Verordening op het

Faillissement en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 348 Faillissements Verordening. Dalam tahun 1960-an, 1970-an secara relatif masih banyak perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak 1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan negeri. Tahun 1997 krisis moneter melanda Indonesia, banyak hutang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang-undangan dibidang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau biasanya disingkat PKPU. Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135). Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatbladstahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah. Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut, maka tiba-tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali. Sejak itu, pengajuan permohonan-

permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculanlah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan. 1.3. Tujuan Utama Kepailitan. Adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing. 1.4. Lembaga Kepailitan Pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu : a) Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutanghutangnya kepada semua kreditur. b) Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. 1.5. Para Pihak yang dapat mengajukan kepailitan yaitu : a) Atas permohonan debitur sendiri. b) Atas permintaan seorang atau lebih kreditur.

c) Oleh kejaksaan atas kepentingan umum. d) Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga Bank. e) Oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek. 1.6. Syarat Yuridis untuk kepailitan adalah : a) Adanya hutang. b) Minimal satu hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. c) Adanya debitur. d) Adanya kreditur (lebih dari satu). e) Permohonan peryataan pailit. f) Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga. 1.7. Adapun para pihak yang dapat melakukan permintaan kepailitan adalah : a) Debitur. b) Kreditur. c) Kejaksaan demi kepentingan umum. d) Bank Indonesia. e) Badan Pengawas Pasar Modal. 2. Hukum Niaga dan Pengadilan Niaga 2.1. Pengertian Hukum Niaga Hukum Niaga adalah Seperangkat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hal yang berhubungan dengan Kepailitan, Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang (PKPU), Hak atas Kekayaan Intelektuan (HaKI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-undang.

2.2. Pengertian Pengadilan Niaga Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang dibentuk dalam lingkungan peradilan umum dan satu-satunya pengadilan yang memiliki wewenang untuk mengadili perkara-perkara niaga sebagai berikut : 1. Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang (PKPU), serta halhal yang berkaitan dengannya, termasuk kasus-kasus actio pauliana dan prosedur renvoi tanpa memperhatikan apakah pembuktiannya sederhana atau tidak; 2. Hak atas Kekayaan Intelektual : a) Desain Industri. b) Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. c) Paten. d) Merek. e) Hak Cipta. 3. Lembaga Penjamin Simpanan : a. Sengketa dalam proses likuidasi. b. Tuntutan pembatalan segala perbuatan hukum Bank yang mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban Bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha. 4. Perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-undang. F. Metode Penelitian Untuk memperoleh data yang akurat sesuai dengan permasalahan yang ada maka perlu adanya metode dalam penelitian tersebut. Pada penulisan ini metode yang dipakai adalah :

1. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan kepailitan dan arbitrase. 2. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer. Bahan penelitian yang berasal dari peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang berkaitan dengan penulisan yang dilakukan. b. Bahan Hukum Sekunder. Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku dan literatur-literatur yang ada hubungannya dengan penulisan. c. Bahan Hukum Tersier atau Bahan Hukum Penunjang. Bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Penghimpunan data-data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan, mempelajari, dan menganalisa teori-teori dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. 4. Pengolahan dan Analisis Data Setelah bahan hukum dikumpulkan dan diolah, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan kerangka berpikir secara deduktif dan induktif untuk menjawab permasalahan. Metode induktif yaitu menggunakan pola pikir yang berangkat dari kenyataan yang bersifat khusus kemudian digeneralisasikan kepada aturan-aturan atau teori-teori yang bersifat umum.

Sedangkan metode deduktif yaitu menggunakan pola pikir yang berangkat dari teori-teori atau aturan-atuiran yang bersifat umum kemudian dikonkritisasi kepada fakta-fakta yang bersifat khusus yang ditemui di dalam penelitian. Selanjutnya hasil penelitian ini disusun secara sistematis dalam bentuk skripsi. G. Sistematika Penulisan Sistematika Penulisan bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan sistematis, sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut : Bab I. Merupakan pendahuluan yang terbagi dalam 7 (tujuh) sub bab, yaitu latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan yang di dalamnya menguraikan tentang pendekatan masalah, sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data, serta diuraikan pula mengenai sistematika penulisan. Bab II. Merupakan pembahasan mengenai Tinjauan Umum tentang Kepailitan yang membahas tentang Pengertian dan latar belakang Kepailitan, Lembaga Kepailitan dan pihak-pihak yang berhak dalam Kepailitan dan Syaratsyarat yuridis dan proses dalam mengajukan dan melakukan permintaan Kepailitan. Bab III. Merupakan pembahasan mengenai Pengadilan Niaga dan Klausula Arbitrase. Pengertian, sejarah lahirnya Pengadilan Niaga, Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Pengadilan Niaga, peraturan-peraturan hukum acara perdata dalam pengadilan niaga dan Arbitrase, pengangkatan Hakim Niaga serta pengertian Klausula Arbitrase.

Bab IV. Merupakan pembahasan mengenai bagaimana Kewenangan Pengadilan Niaga Mengadili Perkara Kepailitan Dan Kaitannya Dengan Perjanjian Arbitrase. Bab V. Kesimpulan dan Saran. Berisikan tentang kesimpulan dan saransaran dari penulis. Adapun isi dari kesimpulan adalah tentang jawaban dari rumusan masalah baik permasalahan yang pertama kedua, maupun permasalahan yang ketiga agar lebih jelas. Dan bagian kedua adalah saran. Saran merupakan rekomendasi penulis kepada dunia ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya hukum kontrak bisnis.