BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani merupakan sebuah badan usaha yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk mengelola hutan tanaman yang ada di Pulau Jawa dan Madura dengan menggunakan prinsip pengelolaan hutan lestari baik dari segi ekonomi, ekologi, dan social. Produk utama yang dikelola Perum Perhutani adalah jati, bisa dilihat dari total 2.426.206 Ha hutan yang dikelola Perum Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014). Menurut Miranda (2011) jati (Tectona grandis L.f) merupakan salah satu jenis kayu tropis yang paling berharga dan paling dikenal oleh masyarakat untuk digunakan dalam pembuatan kapal, peralatan outdoor, furniture dan pertukangan umum. Kayu jati ini cukup keras dan berat, mudah mengering serta memiliki sifat pengerjaan yang mudah. Hal ini berharga terutama untuk daya tahan alam dan stabilitas dimensi yg berkaitan dengan nilai estetika yang tinggi. Karena nilai estetika dan kualitas kayu yang unggul, jati menarik minat yang lebih besar dikalangan masyarakat umum daripada kayu keras tropis lainnya. Saat ini kebutuhan akan kayu jati terus meningkat. Akan tetapi, jati konvensional memiliki daur yang panjang sehingga bahan baku menjadi kurang terpenuhi. Hal ini menjadi peluang dan tantangan tersendiri bagi Perum Perhutani selaku pengelola hutan tanaman jati. Inilah yang mendorong Perhutani untuk 1
2 melakukan sebuah terobosan untuk terus meningkatkan produktivitas kayu jati guna memenuhi permintaan pasar yang selalu meningkat. Dalam hal ini Perhutani telah mengembangkan sebuah produk yang diberi nama Jati Plus Perhutani (Forest Trends, 2015). Pengembangan produk yang dilakukan Perum Perhutani ini merupakan salah satu metode untuk meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas hutan jati (Tectona grandis) yang disebut dengan pemuliaan pohon. Menurut Na iem (2005), pemuliaan pohon ditujukan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk melalui perpaduan genetik, slivikultur yang tepat dalam kegiatan pengelolaan hutan. Adanya keterpaduan antara kedua hal ini dinamakan teknik silvikultur intensif. Jati plus perhutani (JPP) adalah jati unggul produk Perhutani yang diperoleh dari program pemuliaan pohon. Pohon-pohon jati plus atau elit yang digunakan sebagai bibit yang dikloning untuk menghasilkan jati unggul ini merupakan hasil seleksi Perum Perhutani sejak tahun 1982 di Cepu, Jawa Timur. Dalam sejarahnya, jati plus atau elit yang menjadi cikal bakal jati unggul berasal dari 300 pohon plus yang diseleksi sebagai upaya peningkatan mutu genetik jati oleh Perum Perhutani yang kemudian ditanam sebagai bank klon dan kebun benih klonal. Hasilnya kemudian dijadikan sebagai sumber bibit melalui pembiakan vegetatif mikro (kultur jaringan) (Tini dan Amri, 2002). PHT I dan PHT II adalah dua klon unggulan hasil pemuliaan pohon Perhutani yang telah mendapatkan hak PVT dari Pusat Perlindungan Varietas Tanaman Departemen Pertanian pada tahun 2009 (Perhutani, 2015).
3 Perum Perhutani melakukan pengembangan Jati Plus Perhutani (JPP) melalui dua cara yaitu pembiakan vegetatif (stek pucuk, kultur jaringan, dll) dan pembiakan generatif (kebun benih klon dan kebun benih semai). Penggunanaan istilah JPP ini digunakan untuk seluruh produk yang dihasilkan dari benih hasil perbanyakan vegetatif maupun generatif. Kelebihan Jati Plus Perhutani (JPP) dari jati konvensional antara lain adaptif di berbagai tempat tumbuh karena berasal dari proses seleksi sangat ketat. JPP dapat tumbuh lebih cepat dari jati biasa, baik di lahan kurus maupun lahan subur, tingkat keseragaman tinggi, batang relatif lurus dan silindris serta mempunyai nilai ekonomis tinggi (Perum Perhutani, 2012). JPP akan tumbuh optimal di lahan yang memiliki ketinggian sampai dengan 600 mdpl, curah hujan per tahun 1500-2500 mm, temperatur siang 36ºC dan malam 20-30ºC, perbedaan musim hujan dan musim kemarau yang tegas, tanah dengan drainase baik dan sedikit berkapur, ph tanah berkisar antara 6,5-7,5 dan hindari penanaman di lahan becek atau tergenang air, rawa, gambut, dan padang pasir (Perhutani, 2011). JPP telah berhasil dikembangkan mulai tahun 2002 dengan menyebar 10 juta bibit JPP Puslitbang SDH ke beberapa KPH. Pada awal penanamannya menggunakan bibit JPP dari perbanyakan generatif (Perhutani, 2012). Penanaman JPP dengan perbanyakan vegetatif (stek pucuk) baru ditanam khususnya di KPH Saradan mulai tahun 2009 sampai saat ini dengan jarak tanam 3x3. Menurut keterangan pengelola KPH Saradan, penanaman JPP asal benih stek pucuk di KPH Saradan dilakukan setelah penanaman di KPH Ngawi dan KPH Madiun. Tanaman JPP saat ini telah ditanam pada lahan seluas 190.000 ha. Terlebih lagi
4 Perhutani berencana melakukan penanaman JPP sebesar 70 % dari keseluruhan lahan Perhutani yang ada (Perhutani, 2012). Meskipun akan dilakukan penanaman berskala besar, tetapi refrensi mengenai Jati Plus Perhutani masih terbatas. Dalam rangka penyediaan refrensi mengenai Jati Plus Perhutani maka perlu dilakukan penelitian mengenai pertumbuhannya. Pengamatan keberhasilan tanaman bisa dilihat dari pertumbuhannya. Pertumbuhan tanaman dapat diukur dari beberapa parameter yaitu diameter, tinggi, luas tajuk volume dan sebagainya (Bechtold, 2003). Menurut Thojib (1987), seiring dengan pertambahan usia maka parameter pertumbuhan tersebut akan mengalami pertambahan ukuran. Dengan demikian, ukuran individu pohon akan bertambah sehingga kebutuhan ruang tumbuh akan meningkat. Hal ini mengakibatkan tegakan semakin rapat dan memacu terjadinya kompetisi antar individu pohon. Menurut Sumadi (2011) kerapatan harus dikurangi untuk menyediakan ruang tumbuh bagi perkembangan tajuk dan daerah perakaran serta untuk memacu pertumbuhan lateral (diameter). Menurut Fraver (2014) interaksi kompetisi antar individu pohon pada umumnya ditunjukkan dengan adanya perbedaan ukuran antar individu pohon dimana ada yang lebih tertekan sehingga ukurannya lebih kecil dibanding individu di sekitarnya. Contreras (2011) menyebutkan jika kompetisi antar individu pohon bisa diakibatkan oleh adanya individu pohon lain di sekitarnya yang lebih mendominasi dalam mendapatkan sumber daya seperti cahaya, air, dan nutrisi. Intensitas kompetisi akan terus meningkat seiring pertambahan umur dan ukuran tanaman, misalnya kompetisi di bawah tanah terjadi karena adanya perebutan
5 unsur hara dan air sedangkan di atas tanah terjadi karena adanya perebutan cahaya dan udara. Tajuk merupakan salah satu parameter dalam kompetisi individu pohon. Tajuk yang tumpang tindih menimbulkan kompetisi dalam mendapatkan sinar matahari, mineral dan air dari tanah serta menjadikan ruang tumbuh berkurang. Semakin tinggi kompetisi antar individu pohon maka pertumbuhan tidak dapat optimal. Oleh karena itulah diperlukan referensi terkait pertumbuhan Jati Plus Perhutani stek pucuk yang nantinya dapat dijadikan acuan untuk pengelolaan tegakan. 1.2 Rumusan Masalah Ruang tumbuh merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu pohon. Ruang tumbuh yang diperlukan setiap pohon berbeda tergantung dari ukuran tajuk pohon tersebut. Pertumbuhan individu pohon mengakibatkan terjadinya peningkatan ukuran tajuk sehingga tajuk semakin membesar. Peningkatan ukuran tajuk ini akan mengakibatkan antar tajuk pohon bersinggungan sehingga terjadi kompetisi antar pohon untuk mendapatkan sinar matahari, air, dan mineral dalam tanah. Tegakan yang terlalu rapat menimbulkan kompetisi yang tinggi sehingga pertumbuhan diameter pohon menjadi lambat. Dengan demikian, perlu dilakukan pengaturan jarak tanam, pemeliharaan, dan penjarangan agar diperoleh diameter pohon yang optimal. Berkaitan dengan masalah tersebut maka peranan tajuk sangat besar dalam menentukan tingkat pertumbuhan pohon sehingga perlu dilakukan penelitian
6 mengenai tingkat kompetisi Jati Plus Perhutani dengan perbanyakan vegetatif (stek pucuk) pada umur 3 sampai 7 tahun. 1.3 Tujuan Penelitian Dari latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui referensi sudut buka pohon sampel dan nilai indeks kompetisi Jati Plus Perhutani stek pucuk pada umur 3 sampai 7 tahun di KPH Saradan. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui tingkat kompetisi tajuk Jati Plus Perhutani stek pucuk pada umur 3 sampai 7 tahun dan menjadi referensi dalam menentukan tindakan-tindakan silvikultur seperti penjarangan dan pengaturan jarak tanam. Selain itu berguna untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi bagi civitas akademisi, untuk mendukung kegiatan operasional, pengelolaan, dan perencanaan hutan.