HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Ekstrak Bakteriosin Kasar

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Produksi Bakteriosin Kasar

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama

I. PENDAHULUAN. ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran gizi, dan perbaikan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Karakterisasi Isolat L. plantarum dan Bakteri Indikator

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Kemurnian Isolat Bakteri Asam Laktat dan Bakteri Patogen Indikator Morfologi Sel

Karakteristik mutu daging

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Y ij = µ + B i + ε ij

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

BAB I PENDAHULUAN. yang aman dan beberapa spesies digunakan sebagai terapi dalam proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

I. PENDAHULUAN. (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kemurnian Bakteri L. plantarum dan Patogen

PROSES FERMENTASI DENGAN BAKTERI ASAM LAKTAT TERHADAP SIFAT KIMIA DENDENG SAPI IRIS DAN GILING. Oleh : Akram Hamidi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merupakan sumber makanan yang bergizi tinggi. Jamur juga termasuk bahan pangan alternatif yang disukai oleh

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan adalah produk fermentasi berbasis susu. Menurut Bahar (2008 :

MATERI DAN METODE. Prosedur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TELUR ASIN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Salami Daging Kelinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Gram

SKRIPSI. APLIKASI KOMBINASI EKSTRAK FULI PALA (Myristica fragrans Houtt) DAN NaCl SEBAGAI PENGAWET PADA MI BASAH MATANG. Oleh : MAULITA NOVELIANTI

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai :(1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi

I. PENDAHULUAN. Buah naga (Hylocereus polyrhizus) merupakan buah yang saat ini cukup populer

PERTUMBUHAN MIKROORGANISME

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Jambi) ataupun yang berasal dari daging seperti sosis dan urutan/bebontot

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apokat (KBBI: Avokad), alpukat, atau Persea americana Mill merupakan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hasil kekayaan alam yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB I PENDAHULUAN. Kandungan gizi pada ikan adalah protein, lemak, vitamin-vitamin, mineral,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2)

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Harryara Sitanggang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. komposisi senyawanya terdiri dari 40% protein, 18% lemak, dan 17%

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kandungan nitrit

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

I. PENDAHULUAN. Tempoyak durian yang menjadi makanan khas daerah Lampung, merupakan aset daerah yang ternyata memiliki keunikan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pupuk merupakan suatu bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara bagi tanaman. Bahan tersebut dapat berasal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UJI KADAR PROTEIN DAN ORGANOLEPTIK DAGING SAPI REBUS YANG DILUNAKKAN DENGAN SARI BUAH NANAS (Ananas comosus) NASKAH PUBLIKASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang diijinkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. sehat juga semakin meningkat. Produk-produk fermentasi bisa berasal dari berbagai

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIS MEKANIS BAHAN PENGEMAS B. KARAKTERISASI AWAL YOGURT KACANG HIJAU

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya adalah tempe, keju, kefir, nata, yoghurt, dan lainlain.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Media Kultur. Pendahuluan

METODE Lokasi dan Waktu Materi Rancangan

BAB I PENDAHULUAN. nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu hasil perikanan budidaya

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung

I. PENDAHULUAN. populasi mikrobia dengan berbagai ukuran dan kompleksitas. Bakteri

Tabel 9. Rata-rata kadar air mi sagu MOCAL

5.1 Total Bakteri Probiotik

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bakso adalah jenis makanan yang dibuat dari bahan pokok daging dengan

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Ekstrak Bakteriosin Kasar Bakteriosin merupakan senyawa peptida antimikroba yang dapat dimanfaatkan sebagai pengawet alami. Bakteriosin dapat diproduksi oleh Lactobacillus plantarum. Tahap pembuatan bakteriosin kasar ada tiga, yaitu penyegaran dan perbanyakan kultur, purifikasi parsial dan dialisis. Kultur yang dipakai adalah Lactobacillus plantarum 2C12. Jenie dan Rini (1995) dalam penelitiannya menyeleksi bakteri asam laktat dari beberapa spesies Lactobacillus yang mempunyai kemampuan tinggi dalam menghambat bakteri patogen dan perusak pada makanan. Hasilnya yaitu bila dibandingkan dengan kultur lain, Lactobacillus plantarum mempunyai zona penghambatan terbesar terhadap semua bakteri patogen. Efek penghambatan terbesar dari Lactobaciilus plantarum adalah terhadap Staphylococcus aureus (4,0 mm) diikuti Eschericia coli (3,8 mm) dan Salmonella typhimurium (2,3 mm). Lactobacillus plantarum 2C12 merupakan bakteri yang diisolasi dari daging sapi pasar Ciampea dengan 21 jam postmortem (9 jam suhu kamar dan 12 jam suhu refrigerator). Bakteriosin aman untuk dikonsumsi karena mudah didegradasi oleh enzim proteolitik. Proteolitik merupakan mekanisme pemecahan protein menjadi asam amino dengan bantuan enzim protease dan menyebabkan struktur protein daging terdegradasi sehingga keeempukan daging meningkat. Media yang digunakan adalah MRSB dan yeast extract 3%. MRSB (deman Rogosa Sharp Broth) adalah media tumbuh yang kandungan nutrisinya cocok untuk media tumbuhnya bakteri khususnya bakteri asam laktat. Yeast extract 3% dibutuhkan Lactobacillus plantarum 2C12 untuk memicu produksi bakteriosin. Populasi bakteri Lactobacillus plantarum 2C12 yang dipakai sebagai kultur, yaitu 1,27 x 10 10 CFU/ml atau setara dengan 10,10 log CFU/ml. Arief (2000) menjelaskan bahwa kultur yang siap dijadikan kultur starter adalah kultur dengan populasi 10 8 CFU/g. Tingkat populasi yang tinggi tersebut baik untuk diproses menjadi bakteriosin. Purifikasi parsial berfungsi untuk menghasilkan endapan protein. Kultur yang sudah disegarkan dan diperbanyak, kemudian disentrifugasi dingin. Sentrifuge dingin pada suhu 4 C berfungsi untuk memisahkan endapan dengan supernatan. Supernatan kemudian disaring dengan membran saring Sartorius 26

agar tidak tercampur dengan endapan dan dinamakan dengan Supernatan Bebas Sel (SBS). Supernatan Bebas Sel kemudian dinetralkan ph nya menjadi 6 untuk menghilangkan efek asam laktat yang diproduksi oleh Lactobacillus plantarum. ammonium sulfat diberikan secara bertahap supaya protein mengendap secara sempurna (Arief et al., 2010). Dialisis adalah proses untuk desalting atau menghilangkan garam ammonium sulfat yang masih bercampur dengan presipitat bakteriosin. Proses dialisis menggunakan buffer kalium fosfat karena buffer tersebut ada di tubuh kita dan aman buat protein (Arief et al., 2010). Pengukuran konsentrasi protein ultraviolet (UV) dilakukan secara berkala dengan alat spektrofotometer. Konsentrasi protein UV adalah protein yang menyerap panjang gelombang UV dan bukan berasal dari hasil metabolisme. Pengukuran konsentrasi protein UV dari supernatan bebas sel, presipitat bakteriosin dan bakteriosin kasar dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Pengukuran Konsentrasi Protein Ultraviolet (UV) Sampel A260 A280 Konsentrasi Protein UV (mg/ml) Supernatan Bebas Sel (SBS) -0,02 A 0,09 A 8,05 Presipitat Bakteriosin 0,28 A 0,22 A 301,25 Bakteriosin kasar 0,31 A 0,50 A 60,40 Presipitat bakteriosin lebih menyerap ke panjang gelombang 260 nm dan proteinnya naik bila dibandingkan dengan konsentrasi protein UV pada Supernatan Bebas Sel (SBS) disebabkan protein dari media tumbuh MRSB (deman Rogosa Sharp Broth) juga ikut terendapkan sehingga protein presipitat bakteriosin yang terbaca di spektrofotometer juga meningkat. Kekeruhan menyebabkan presipitat menghalangi sinar ultraviolet sehingga dianggap terserap yang mengakibatkan nilai absorbansi dan konsentrasi protein ultraviolet (UV) meningkat. Konsentrasi protein UV dari bakteriosin kasar menurun dibandingkan dengan presipitat bakteriosin dikarenakan proses dialisis yang menyebabkan material dengan bobot molekul yang lebih kecil dari diameter pori-pori kantong dialisis (10 µm) akan keluar melalui poripori kantong dialisis. Riley dan Chavan (2007) menjelaskan bahwa bakteriosin jenis ini memiliki bobot molekul <10 kda. 27

Kualitas Daging Sapi Segar Daging sapi yang digunakan pada penelitian ini adalah pada bagian knuckle karena bagian tersebut rendah lemak, mengandung protein tertinggi dan warna lebih cerah. Knuckle adalah bagian dari daging paha belakang sapi yang berada di antara penutup (top side) dan pendasar atau gandik (silver side). Daging yang digunakan untuk pembuatan sosis diuji kualitas fisik dan kimia terlebih dahulu. Kualitas fisik yang diuji, meliputi ph, aktivitas air dan total asam tertitrasi. Hasil analisis kualitas fisik daging segar dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Analisis Kualitas Fisik pada Daging Segar Peubah Nilai ph daging 5,48±0,12 a w daging 0,87±0,01 Total asam tertitrasi(%) 0,39±0,07 Daging segar diuji secara kimia meliputi kadar air, protein, lemak, abu dan karbohidrat. Kandungan kimia daging segar yang dipakai kemudian dibandingkan dengan Lawrie (2003) dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Kandungan Kimia Daging Segar Parameter Daging Segar (%bb) Daging Segar (%bb)* Kadar air 69,46±2,03 75 Kadar protein 16,15±0,72 19 Kadar lemak 2,22±0,17 2,5 Kadar abu 1,23±0,05 - Kadar karbohidrat 0,11±0,00 1,2 Keterangan: *Lawrie (2003) Kualitas daging segar dapat dilihat dari nilai ph, a w, total asam tertitrasi (TAT) dan kadar air daging tersebut. Berdasarkan Tabel 7, nilai ph daging segar yang digunakan yaitu 5,48±0,12. Nilai ph tersebut sesuai dengan kisaran ph ultimat daging yaitu 5,4-5,8 (Soeparno, 2005). Nilai ph tersebut tidak memacu mikroorganisme untuk banyak tumbuh pada daging segar tersebut. Aktivitas air (a w ) daging yang dipakai adalah 0,87±0,01. Kisaran aktivitas air tersebut rendah 28

dikarenakan kadar air daging segar tersebut juga rendah. Sejumlah bakteri dapat tumbuh dengan baik pada kisaran tersebut adalah Staphylococcus aureus (Buckle et al., 2009). Total asam tertitrasi daging segar tersebut sebesar 0,39%. Persentase tersebut cenderung rendah yang berarti bahwa jumlah asam laktat yang terbentuk selama fermentasi juga rendah. Total asam tertitrasi merupakan hasil pemecahan laktosa oleh bakteri asam laktat. Kadar air daging segar yang dipakai 69,46%±2,03%. Kadar air tersebut lebih rendah dari penjelasan Lawrie (2003) yang menyatakan bahwa kadar air daging segar adalah 75% bb. Daging segar dapat dikatakan baik karena kisaran kadar air tersebut dalam kisaran yang dapat mengurangi terjadinya pertumbuhan bakteri. Semakin rendah kadar air suatu bahan pangan, maka semakin tinggi daya tahan bahan pangan tersebut (Winarno, 1992). Kadar protein daging segar yang dipergunakan yakni sebesar 16,15%, lebih rendah dari kadar protein yang ditetapkan Lawrie (2003) yaitu 19%. Kadar lemak daging segar juga sesuai dengan Lawrie (2003), yaitu 2,22%. Kadar karbohidrat dari daging segar yang dipakai kurang dari standar. Kualitas Fisik Sosis Sapi Nilai Derajat Keasaman (ph) Sosis Sapi Bakteri asam laktat dapat tumbuh dengan baik pada kisaran nilai ph 3,0-6,0 dan sering dibuat sebagai asidofil. Nilai ph berpengaruh pada daya mengikat air, tekstur, kekenyalan, stabilitas emulsi, warna produk dan masa simpan (Soeparno, 2005). Nilai ph sosis daging sapi dilihat dari perbedaan perlakuan pengawet dan lama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai ph Sosis Daging Sapi Selama Penyimpanan Perlakuan Lama Penyimpanan (hari) Rata-rata 0 3 6 9 Kontrol Nitrit Bakteriosin 5,56±0,24 5,92±0,07 5,74±0,22 5,69±0,11 5,73±0,07 5,65±0,04 5,92 ± 0,14 5,73 ± 0,19 5,56 ± 0,25 5,79 ±0,10 5,91 ±0,10 5,83 ±0,09 5,74±0,20 5,82±0,14 5,69±0,18 Rata-rata 5,74±0,23 5,69±0,08 5,74 ± 0,23 5,84±0,10 5,75±0,18 29

Berdasarkan uji Kruskal-wallis, lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap nilai ph yang didapatkan artinya jumlah asam laktat yang dihasilkan dari proses glikolisis menunjukkan pola konstan sehingga nilai ph juga menjadi konstan hingga hari ke-9. Nilai ph yang cenderung konstan juga dikarenakan tidak timbulnya senyawa yang bersifat basa seperti amonia, H 2 S, indol dan amin selama penyimpanan. Nilai ph sosis baik kontrol (tanpa pengawet), nitrit, maupun sosis dengan pengawet bakteriosin relatif sama dikarenakan kemampuan hidrogen untuk mengikat H + cenderung sama. Nilai kisaran ph rata-rata sosis yaitu 5,57 hingga 5,93. Nilai ph tersebut cenderung sama dibanding penelitian Putri (2009) yang membandingkan ph sosis yang diberi substrat antimikroba dengan tanpa perendaman substrat antimikroba. Kisaran ph sosis rata-rata menurut Putri (2009) yakni 5,89 hingga 5,91. Sosis tersebut juga berkualitas baik karena nilai ph tersebut di luar dari kisaran mikroorganisme untuk dapat tumbuh, sesuai dengan Soeparno (2005) yang menjelaskan bahwa sebagian besar bakteri patogen tumbuh optimal pada ph kira-kira 7,0. Jamur dapat tumbuh pada kisaran ph antara 2,0 dan 8,0. Umumnya, nilai ph bahan pangan berkisar antara 3,0 sampai 8,0 (Buckle et al., 2009). Aktivitas Air (a w ) Aktivitas air adalah banyaknya air bebas dalam bahan makanan yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Nilai aktivitas air dengan perbedaan perlakuan pengawet dan lama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai Aktivitas Air Sosis Daging Sapi Selama Penyimpanan Perlakuan Lama Penyimpanan (hari) Rata-rata Kontrol Nitrit Bakteriosin 0,94 ±0,02 0 3 6 9 0,92 ± 0,01 0,93 ±0,01 0,93 ± 0,01 0,89 ± 0,01 0,89 ± 0,01 0,90 ± 0,01 0,89 ± 0,00 0,89 ± 0,00 0,92±0,02 0,93±0.03 0,91±0,01 Rata-rata 0,93 ±0,02 a 0,90 ± 0,03 ab 0,89 ± 0,01 b 0,92±0,02 a Keterangan: 0,92±0,02 0,91±0,02 0,91±0,08 superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) 30

Nilai aktivitas air sosis tanpa pengawet (kontrol), dengan pengawet nitrit atau sosis dengan pengawet bakteriosin tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan kadar air di dalam sosis tersebut juga tidak berbeda nyata. Semakin tinggi kadar air suatu bahan pangan, maka jumlah air bebas meningkat memacu mikroorganisme lebih mudah untuk tumbuh, dinamakan dengan aktivitas air. Perlakuan lama penyimpanan yang berbeda sangat berpengaruh terhadap nilai aktivitas air sosis daging sapi (P<0,01). Nilai aktivitas air sosis dari hari ke-0 sampai hari ke-6 turun, kemudian naik lagi pada hari ke-9. Hal tersebut membuktikan bahwa pendinginan atau penyimpanan dingin (suhu refrigerator 4,2 C) mampu menurunkan atau mengurangi laju reaksi kimia dan aktivitas mikroba sampai hari ke-6. Hal ini sesuai dengan Estiasih dan Ahmadi (2011) yang menyatakan bahwa pengaruh pendinginan terhadap mikroba yakni memperpanjang fase lag dan menghambat pertumbuhan atau menurunkan kecepatan pertumbuhan. Penurunan a w ini juga disebabkan oleh selongsong sosis yang bersifat permeabel terhadap air dan udara sehingga air pada lapisan monolayer sosis akan lebih mudah untuk keluar. Ada dua bentuk kurva isoterm sorpsi air pada bahan pangan, yaitu kurva adsorpsi dan kurva desorpsi. Penurunan a w selama penyimpanan sampai hari ke-6 disebabkan sosis mengalami proses desorpsi (dehidrasi). Kusnandar (2010) menyebutkan bahwa kisaran nilai aktivitas air ini termasuk tipe air yang berada di daerah 3, yaitu air bebas. Rata-rata aktivitas air sosis berkisar dari 0,89 hingga 0,93. Clostridium perfringens dan Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang dimungkinkan ada di dalam sosis tersebut (Kusnandar, 2010). Winarno (2002) menjelaskan bahwa beberapa mikroorganisme mempunyai a w minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya a w minimum bakteri 0,90; khamir 0,80-0,90; dan kapang 0,60-0,70. Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) Total asam tertitrasi adalah jumlah asam baik terdisosiasi maupun tidak mengalami disosiasi melalui proses metabolisme karbohidrat oleh bakteri asam laktat. Pengukuran nilai total asam tertitrasi ini dimaksudkan untuk mengetahui kandungan asam laktat yang telah terfermentasi (Puspitasari, 2008). Perlakuan perbedaan pengawet tidak berpengaruh terhadap nilai total asam tertitrasi sosis 31

daging sapi. Nilai total asam tertitrasi dengan perbedaan perlakuan pengawet dan lama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) Sosis Daging Sapi Selama Penyimpanan Perlakuan Lama Penyimpanan (hari) Rata-rata Kontrol Nitrit Bakteriosin 0 3 6 9 -------------------------------------- % --------------------------------------------- 0,30 ± 0,05 0,29 ± 0,03 0,28 ± 0,01 0,62 ± 0,10 0,71 ± 0,10 0,71 ± 0,25 0,27 ± 0,05 0,25 ± 0,03 0,24 ± 0,05 0,31±0,06 0,35±0,01 0,39±0,04 Rata-rata 0,29±0,03 bc 0,68 ± 0,15 a 0,26±0,04 c 0,35±0,05 ab Keterangan: 0,38±0,16 0,40±0,19 0,41±0,22 superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) Hal ini berarti bahwa mikroorganisme yang terdapat di dalam sosis masingmasing pengawet berkembang biak dan menghasilkan jumlah asam laktat yang sama besarnya dikarenakan bakteriosin berasal dari bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum 2C12 yang diisolat dari daging sapi. Perlakuan lama penyimpanan yang berbeda sangat berpengaruh terhadap nilai total asam tertitrasi sosis daging sapi. Total asam tertitrasi sosis pada hari ke-0 sampai hari ke-3 naik drastis disebabkan mikroorganisme yang terdapat di dalam sosis memasuki fase log atau fase pertumbuhan ditandai dengan peningkatan jumlah asam laktat yang sangat nyata. Mikroorganisme pada fase ini telah dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan mulai berkembang biak (Estiasih dan Ahmadi, 2011). Total asam tertitrasi turun pada hari ke-6 karena jumlah zat gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba berkurang (Estiasih dan Ahmadi, 2011). Total asam tertitrasi naik lagi pada hari ke-9 karena ada bakteri yang tumbuh pada sosis pada temperatur refrigerasi yang dapat menghasilkan asam laktat. Soeparno (2005) menjelaskan bahwa mikroorganisme psychrophilic dapat tumbuh pada temperatur refrigerasi, tetapi temperatur optimalnya adalah 20 C sampai 30 C. Bakteri psychrophilic yang dapat ditemukan selama penyimpanan refrigerasi adalah Pseudomonas, Achromobacter, Micrococcus, Lactobacillus, Streptococcus, Leuconostoc, Pediococcus, Flavobacterium dan Proteus. 32

Daya Serap Air Daya serap air merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan untuk menyerap air di sekelilingnya untuk berikatan dengan partikel bahan. Daya serap air (DSA) sangat penting dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti sosis. Daya serap air dipengaruhi oleh kondisi saat postmortem (Melody et al., 2004). Daya serap air dapat mempengaruhi mutu sosis. Daya serap air akan meningkat pada ph yang lebih rendah atau lebih tinggi dari titik isoelektrik protein daging (Soeparno, 2005). Nilai daya serap air dengan perbedaan perlakuan pengawet dan lama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Nilai Daya Serap Air Sosis Daging Sapi Selama Penyimpanan Perlakuan Lama Penyimpanan (hari) Rata-rata Kontrol Nitrit Bakteriosin 0 3 6 9 1,93±0,15 1,02±0,54 1,65±1,30 0,85±0,13 1,00±0,22 0,97±0,19 0,77 ± 0,10 0,68 ± 0,19 0,58 ± 0,24 0,87±0,10 0,69±0,02 0,62±0,28 Rata-rata 1,53±0,82 a 0,94±0,17 ab 0,68±0,18 b 0,73±0,19 b Keterangan: 1,10±0,51 0,85±0,31 0,96±0,73 superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P5<0,0) Perlakuan perbedaan pengawet tidak berpengaruh terhadap nilai daya serap air sosis daging sapi. Laju penyerapan air ini tidak berbeda nyata disebabkan oleh kadar air sosis dengan berbagai pengawet yang juga tidak berbeda nyata atau sama. Semakin lama penyimpanan, daya serap air sosis semakin rendah. Muchtadi et al. (1993) menjelaskan bahwa daya serap air atau hidrasi merupakan salah satu sifat fungsional protein yang penting. Protein merupakan komponen yang berpengaruh terhadap daya serap air suatu bahan. Sosis memerlukan daya serap air yang tinggi untuk pembentukan teksturnya, sesuai dengan Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa daya serap air tinggi menyebabkan kehilangan air yang sedikit selama pemasakan sehingga keempukan dan tekstur sosis lebih baik. Daya serap air rendah pada ph isoelektrik protein antara 5,4-5,5 menyebabkan rendemen sosis rendah dan tekstur sosis kurang baik. Semakin tinggi daya serap air, keempukan sosis semakin meningkat. 33

Kualitas Kimia Sosis Daging Sapi Sosis diuji kualitas kimianya, meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat dan residu nitrit. Pengujian kadar air dan kadar abu dilakukan selama penyimpanan, yaitu hari ke-0, hari ke-3, hari ke-6 dan hari ke-9. Kadar Air Kadar air menjadi patokan sebagai pengukur bagian bahan kering atau padatan, penentu indeks kestabilan selama penyimpanan serta penentu mutu organoleptik terutama rasa dan keempukan (Andarwulan et al., 2011). Kadar air sosis dengan pengawet yang berbeda selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Kadar Air Sosis Daging Sapi Selama Penyimpanan Perlakuan Lama Penyimpanan (hari) Rata-rata 0 3 6 9 ---------------------------------------(%bb)------------------------------------- Kontrol Nitrit Bakteriosin 58,52 ± 0,81 59,19 ± 1,95 57,57 ± 1,30 58,10 ± 1,15 62,78 ± 4,49 55,77 ± 4,08 58,23 ± 0,83 58,30 ± 0,29 58,20 ± 1,31 58,08±1,90 60,44±2,31 58,44±2,51 58,23±1,08 58,34±2,74 59,25±3,17 Rata-rata 58,43 ±1,42 58,77 ± 4,36 58,25 ± 0,79 58,99±2,24 58,61±2,49 Jika dilihat berdasarkan kadar air, sosis mempunyai kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan daging segar karena telah mengalami proses pengolahan yaitu pemasakan (perebusan). Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, perbedaan perlakuan pengawet dan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air sosis daging sapi. Kadar air produk pangan dipengaruhi oleh bahan baku utama, bahan baku tambahan, proses pengolahan, pengemasan produk dan metode penyimpanan. Daging yang dipakai sebagai bahan baku utama adalah daging yang sama pada semua perlakuan dan pengulangan sehingga nilai kadar air bahan baku utama tidak berbeda. Bahan baku tambahan yang dipakai dalam persentase yang sama di antara semua perlakuan. Proses pengolahan yaitu penggilingan juga dijaga supaya suhu tetap dingin. Plastik yang dipakai untuk adonan sosis merupakan plastik poly etilen yang dilekatkan dengan sealer dan disimpan di refrigerator. Kadar air sosis semua perlakuan pengawet dan lama 34

penyimpanan berkisar 58%-59%. Kadar air sosis tersebut sesuai dengan kadar air maksimal dalam sosis menurut Badan Standardisasi Nasional (1995) yaitu 67% b/b. Kadar Abu Abu adalah residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan tersebut (Andarwulan et al., 2011). Kadar abu maksimal dalam sosis adalah 3% b/b (Badan Standardisasi Nasional, 1995). Nilai kadar abu dengan perbedaan perlakuan pengawet dan lama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Kadar Abu Sosis Daging Sapi Selama Penyimpanan Perlakuan Lama Penyimpanan (hari) Rata-rata Kontrol Nitrit Bakteriosin 0 3 6 9 ------------------------------------(%bb)----------------------------------- 2,67 ± 0,10 2,83 ± 0,03 3,15 ± 0,14 2,67 ± 0,07 3,58 ± 2,13 2,67 ± 0,72 3,17 ± 0,74 2,91 ± 0,30 3,14 ± 0,09 2,78 ± 0,12 3,02 ± 0,15 3,27 ± 0,09 Rata-rata 2,88 ± 0,23 2,97 ± 0,97 3,07 ± 0,42 3,02 ± 0,24 Keterangan: 2,82±0,39 b 2,86±0,36 ab 3,29±0,70 a superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) Perlakuan perbedaan pengawet sangat berpengaruh terhadap kadar abu sosis daging sapi. Kadar abu sosis dengan penambahan bakteriosin lebih besar dibandingkan dengan kontrol atau tanpa pengawet karena pengaruh bakteriosin yang ditambahkan. Proses pembakaran atau pengabuan menyebabkan bakteriosin kemungkinan masih mengandung bakteri asam laktat, juga akan berubah bentuk menjadi mineral abu. Perlakuan lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap kadar abu sosis daging sapi karena kemasan plastik yang digunakan kedap udara sehingga memungkinkan mineral lain tidak dapat masuk ke dalam sosis. Hal ini membuktikan bahwa semakin lama sosis tersebut disimpan, abu yang berada di dalam sosis tetap. Kadar abu sosis meningkat dibandingkan dengan kadar abu pada daging segar karena pada pembuatan sosis, ditambahkan mineral dari garam (berupa natrium dan khlor), bawang putih (berupa kalium, zink, mangan, magnesium, zat besi, kalsium dan selenium), lada (berupa kalsium, mangan, besi, fosfor, kalium dan 35

selenium), jahe (berupa zat besi dan kalsium) dan pala (berupa tembaga, potassium, kalsium, mangan, besi, zink dan magnesium). Sosis diuji kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat dan residu nitrit tanpa dilakukan penyimpanan. Kandungan kimia sosis, yakni kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Kadar Protein, Kadar Lemak dan Kadar Karbohidrat Sosis Kandungan kimia Sosis Standar SNI Kontrol Bakteriosin Nitrit Sosis* ------------------------------ %bb--------------------------------- Kadar Protein 15,47±0,50 13,92±0,28 12,87±0,43 13 (minimal) Kadar Lemak 11,51±0,27 3,65±0,03 9,21±0,06 25 (maksimal) Kadar Karbohidrat 6,37±0,00 6,90±0,02 6,79±0,00 8 (maksimal) Keterangan: *Badan Standardisasi Nasional (2005) Kadar Protein Protein adalah molekul polipeptida berukuran besar yang disusun lebih dari 100 buah asam amino yang berikatan satu sama lain secara kovalen dan merupakan sumber gizi utama yaitu sebagai sumber asam amino (Andarwulan et al., 2011). Kadar protein sosis dengan pengawet bakteriosin lebih tinggi dari sosis dengan nitrit, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Bakteriosin pada dasarnya terbuat dari protein, tetapi Savadogo et al. (2006) menyebutkan bahwa bakteriosin dapat berupa kombinasi protein, karbohidrat dan lemak. Kadar protein sosis tanpa pengawet dan sosis dengan pengawet bakteriosin telah memenuhi standar. Badan Standardisasi Nasional (2005) menyatakan bahwa kadar protein minimal dari produk sosis adalah 13%. Kadar Lemak Lemak adalah senyawa yang larut dalam pelarut organik tetapi tidak larut dalam air dan merupakan komponen gizi utama penyumbang energi dalam tubuh. Konversi energi dari lemak mencapai 9 kkal/g. Lemak selain sebagai sumber kalori, juga sebagai sumber asam lemak esensial dan pelarut vitamin A, D, E dan K, serta dapat menghantarkan panas dengan baik pada saat menggoreng, melembutkan produk dan meningkatkan palatabilitas produk (Andarwulan et al., 2011). 36

Kadar lemak pada sosis meningkat jika dibandingkan pada daging segar karena pembuatan sosis ditambahkan lemak sapi. Kadar lemak pada sosis dapat mempengaruhi keempukan, jus daging dan kelezatan sosis (Soeparno, 2005). Kadar lemak sosis baik tanpa pengawet maupun sosis dengan pengawet bakteriosin atau nitrit telah memenuhi standar yang ditetapkan Badan Standardisasi Nasional (1995) yaitu maksimal 25%. Kadar lemak sosis dengan pengawet bakteriosin (3,65%) paling rendah dibandingkan dengan kadar lemak sosis tanpa pengawet atau dengan pengawet nitrit karena nilai presentase kadar abu komposit sosis dengan bakteriosin paling besar (18,53%). Kadar Karbohidrat Karbohidrat adalah komponen bahan pangan yang terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen, digunakan sebagai sumber energi utama dan serat makanan serta mempengaruhi proses fisiologi tubuh. Karbohidrat juga berfungsi dalam pengolahan makanan yaitu sebagai bahan pengisi, bahan pengental, penstabil emulsi, pengikat air, pembentuk flavor, aroma dan tekstur (seperti sifat renyah, lembut dan pembentuk gel (Andarwulan et al., 2011). Kadar karbohidrat sosis dengan pengawet bakteriosin paling tinggi dibandingkan dengan sosis tanpa pengawet atau dengan nitrit karena bakteriosin selain terdiri dari protein, juga terdiri dari karbohidrat dan lemak. Kadar karbohidrat sosis tanpa pengawet, dengan pengawet nitrit, atau dengan pengawet bakteriosin telah memenuhi Badan Standardisasi Nasional (1995) yaitu maksimal 8%. Kurang lebih 2 g karbohidrat per kg berat badan diperlukan setiap hati untuk mencegah ketosis (Muchtadi et al., 1993). Residu Nitrit Residu nitrit sangat penting untuk menganalisa bahan pangan tersebut masih baik untuk dikonsumsi atau tidak. Residu nitrit merupakan jumlah kandungan nitrit yang berada di dalam bahan pangan setelah pemasakan. Pemakaian nitrit yang berlebihan dapat menyebabkan karsinogenik (penyebab kanker). Residu nitrit sosis daging sapi masing-masing perlakuan pengawet dapat dilihat pada Tabel 16. 37

Tabel 16. Residu Nitrit Sosis Daging Sapi Perlakuan Kontrol Nitrit Bakteriosin Kadar Nitrit -----------ppm---------- 6,87 10,00 1,37 Residu nitrit sosis daging sapi dengan pengawet nitrit sebesar 10,00 ppm. Residu nitrit sosis daging sapi dengan pengawet nitrit tersebut paling besar di antara residu nitrit sosis tanpa pengawet dan sosis dengan pengawet bakteriosin. Jumlah ini dapat dikatakan masih dalam kisaran baik untuk dikonsumsi karena menurut Soeparno (2005), kadar nitrit maksimal dalam bahan pangan itu sebesar 200 ppm. Sosis dengan pengawet bakteriosin masih mengandung nitrit diduga daging sapi yang digunakan berasal dari sapi yang mengkonsumsi hijauan yang mengandung nitrat atau makan makanan yang tercemar oleh serbuk nitrat atau nitrit. Aliambar et al. (1994) dalam penelitiannya memeriksa beberapa sampel rumput yang berada di kawasan Bogor dan hasilnya ada rumput lapang yang tidak dipupuk tetapi sering kontak dengan urin dan kotoran ternak dan mengandung kandungan nitrat tertinggi yaitu sebesar 6000 ppm. Keracunan nitrat-nitrit pada hewan ruminansia tidak mudah terjadi dalam waktu yang singkat walaupun diberi makanan atau rumput yang mengandung nitrat cukup tinggi. Diperlukan adanya akumulasi nitrat atau nitrit selama periode yang lama. Adanya mikroba di dalam rumen akan mereduksi nitrat menjadi nitrit. Terjadinya keracunan nitrit tergantung dari beberapa hal, antara lain jumlah nitrat yang dikonsumsi, jenis makanannya (pellet/rumput/daun-daunan), jumlah karbohidrat dalam makanannya dan tingkat adaptasi nitrat di dalam campuran makanan tersebut (Aliambar et al., 1994). Residu nitrit sosis daging sapi dengan pengawet nitrit meningkatkan 45,56% residu nitrit jika dibandingkan dengan sosis tanpa pengawet (kontrol). Residu nitrit sosis daging sapi dengan pengawet bakteriosin menurunkan 80,06% residu nitrit jika dibandingkan dengan sosis tanpa pengawet, sedangkan jika dibandingkan dengan sosis dengan pemberian nitrit, menurunkan 86,3% residu nitrit. Nitrosamin adalah senyawa pemicu kanker yang ditimbulkan dari nitrit. Mekanisme bakteriosin dapat menurunkan residu nitrit yaitu sebagai berikut. Savadogo et al. (2006) menjelaskan 38

bahwa bakteri asam laktat mengeluarkan enzim, yakni glukuronidase, azoreduktase dan nitroreduktase. Enzim-enzim ini berfungsi untuk mengurangi jumlah nitrit. Hasil proses purifikasi parsial, berupa presipitat bakteriosin diduga masih bercampur dengan supernatan yang mengandung enzim-enzim yang dikeluarkan oleh bakteri asam laktat tersebut sehingga ekstrak bakteriosin kasar dapat mengurangi jumlah nitrit dalam sosis daging sapi. Arief (2000) menambahkan bahwa reduksi nitrit dipercepat dengan adanya reduktan, yaitu garam NaCl yang ditambahkan dalam pembuatan sosis. Prinsip pengawetan NaCl dilakukan dengan cara osmosis ion Cl - ke dalam sel. Ion Cl - menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan pembusuk melalui delapan mekanisme, yaitu mengganggu metabolisme mikroorganisme dengan cara menghambat oksidasi glukosa oleh grup sulfihidril dan menghambat kerja enzim (aldosa); mengganggu sintesa protein; dekarboksilasi oksidatif; bereaksi dengan asam nuklet purin dan pirimidin; merusak kromosom sehingga DNA juga mengalami kerusakan; menghambat oksidasi; membentuk turunan N klor sitosin yang bersifat racun; serta merusak membran sel. Penilaian Organoleptik Sosis Sapi Penilaian organoleptik merupakan pengujian dengan menggunakan alat indera. Penilaian organoleptik ini meliputi parameter warna, rasa, aroma, tekstur dan kekenyalan. Sosis daging sapi diuji secara mutu hedonik. Penilaian organoleptik secara mutu hedonik lebih kepada kesan baik atau buruknya produk sosis itu. Gambar 2. Penampilan Fisik Sosis 39

Terlihat pada Gambar 2 bahwa sosis secara penampilan fisik tidak berbeda nyata yaitu coklat. Perbedaan pengawet tidak berpengaruh terhadap warna, rasa, tekstur dan kekenyalan sosis daging sapi secara mutu hedonik, tetapi berpengaruh terhadap aroma dari sosis tersebut. Hasil penilaian organoleptik sosis daging sapi secara mutu hedonik dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Penilaian Organoleptik Secara Mutu Hedonik Perlakuan Parameter Warna Rasa Aroma * Tekstur Kekenyalan Kontrol 3,79 ± 0,05 2,39 ± 0,30 2,20 ± 0,35 b 3,27 ± 0,12 2,71 ± 0,15 Nitrit 4,09 ± 0,27 2,71 ± 0,15 2,59 ± 0,12 a 2,93 ± 0,17 2,55 ± 0,39 Bakteriosin 3,99 ± 0,22 2,80 ± 0,30 2,59 ± 0,34 a 3,11 ± 0,23 2,84 ± 0,21 Rata-rata 3,96 ± 0,75 2,63 ± 1,65 2,46 ± 1,06 3,10 ± 1,04 2,70 ± 1,00 Keterangan: * superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Warna : 1: sangat merah, 2: merah, 3: merah kecoklatan, 4: coklat, 5: sangat coklat Rasa : 1: sangat berasa daging. 2: berasa daging, 3: netral, 4: tidak berasa daging, 5: sangat tidak berasa daging Aroma : 1: sangat beraroma kaldu sapi, 2: beraroma kaldu sapi, 3: netral, 4: tidak beraroma kaldu sapi, 5: sangat tidak beraroma kaldu sapi Tekstur : 1: sangat halus, 2: halus, 3: netral, 4: kasar, 5: sangat kasar Kekenyalan : 1: sangat kenyal, 2: kenyal, 3: netral, 4: tidak kenyal, 5: sangat tidak kenyal Warna Perbedaan pengawet tidak berpengaruh terhadap warna sosis (P>0,05). Warna sosis daging sapi rata-rata yakni merah kecoklatan sampai coklat. Winarno (2002) menjelaskan warna coklat yang timbul dari sosis yang diberi pengawet nitrit dikarenakan mioglobin (pigmen warna daging) yang berwarna ungu merah teroksidasi menjadi metmioglobin (protein berikatan dengan Fe 2+ (fero) dan porfirin sehingga menghasilkan warna coklat atau mioglobin terdenaturasi menjadi heme (protein dan Fe 2+ berikatan dengan porfirin) kemudian teroksidasi menjadi hemin (Fe 3+ (feri) yang berikatan dengan porfirin)). Rasa Perlakuan pengawet tidak berpengaruh terhadap rasa sosis daging sapi tersebut. Masing-masing sosis berasa daging sapi. Hal ini disebabkan ph dari 40

masing-masing pengawet tidak berbeda nyata sehingga tidak ada perubahan rasa yang dihasilkan. Aroma Aroma sosis masak ini terutama dari bahan curing yang dipergunakan selama pengolahan, yaitu garam dan nitrit. Aroma sosis tersebut dipengaruhi oleh perbedaan pengawet jika dilihat dari mutu hedonik atau kesan baik atau buruknya. Aroma sosis tanpa pengawet adalah beraroma kaldu sapi, sedangkan sosis dengan nitrit maupun bakteriosin hasilnya sama hampir netral. Soeparno (2005) menjelaskan bahwa aroma daging masak banyak ditentukan oleh prekursor yang larut dalam air dan lemak dan pembebasan substansi atsiri (volatile) yang terdapat di dalam daging (Soeparno, 2005). Tekstur Tekstur juga merupakan salah satu parameter dalam penilaian sifat organoleptik. Tekstur sosis dengan perlakuan pengawet yang berbeda tidak berpengaruh nyata atau cenderung sama (P<0,05). Hal ini disebabkan oleh ph sosis yang tidak berbeda sehingga menyebabkan tektur sosis dengan perbedaan pengawet juga cenderung sama (Soeparno, 2005). Rata-rata tekstur sosis daging sapi berada dalam kisaran halus sampai kasar. Kekenyalan Kekenyalan merupakan sifat reologi yang menggambarkan daya tahan untuk lepas atau pecah karena adanya tekanan pada produk pangan elastis yang bersifat deformasi. Gaya yang diberikan mula-mula pada pengukuran kekenyalan, menyebabkan perubahan bentuk produk, kemudian memecahkan produk setelah gaya yang diberikan melewati daya tahannya (Andarwulan et al., 2011). Kekenyalan sosis dengan pengawet yang berbeda tidak berbeda nyata (P>0,05). Rata-rata sosis berada dalam kisaran kenyal sampai tidak kenyal. Kekenyalan berhubungan dengan nilai ph dari sosis tersebut. Nilai ph dengan perlakuan pengawet cenderung sama sehingga kekenyalan sosis yang dihasilkan sama (Soeparno, 2005). 41