BAB I PENDAHULUAN. Savunesse, Sawu, Rai Hawu. Di antara istilah-istilah itu, sebutan Sabu adalah istilah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan analisa mengenai perjumpaan budaya Sabudan

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN. perjumpaan budaya Sabu dengan budaya Sumba dan proses akulturasi budaya di Kambaniru

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tergambar dalam berbagai keragaman suku, budaya, adat-istiadat, bahasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena,

BAB I PENDAHULUAN. Do Tenu Hatu. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Nes Do Male atau

BAB I PENDAHULUAN. (stratifikasi sosial), yang mana terdiri dari kelas atas, kelas menengah dan

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. 1 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976, p. 5

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. asia, tepatnya di bagian asia tenggara. Karena letaknya di antara dua samudra,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap budaya dari suatu kelompok masyarakat, pada dasarnya memiliki cara untuk

BAB I. Pendahuluan. Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu

BAB IV MAKNA LIMBE BAGI MASYARAKAT DENGKA MASA KINI. masyarakat Nusak Dengka telah menganut agama Kristen, namun dalam

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. hakekatnya manusia adalah makhluk berbudaya yang hidup dan berkembang dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan budaya itu tersimpan dalam kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA DEWA JARA

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN. tersebut memiliki kaitan erat dengan cara pandang orang Sabu tentang sesama

BAB I PENDAHULUAN. akan berubah entah itu memerlukan proses yang lambat ataupun cepat.

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Nusa Teggara Timur ( ), membangun Keresidenan Timor di

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang multi culture yang berarti didalamnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB I PENDAHULUAN. kenal dengan istilah agama primitif, agama asli, agama sederhana. 1 Agama suku adalah

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat

AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan)

BAB I PENDAHULUAN. kepada semua orang agar merasakan dan mengalami sukacita, karena itu pelayan-pelayan

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dominan adalah Suku Dayak bukit sebagai penduduk asli kesamaan itu

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

BAB 1 PENDAHULUAN. belakang sosiokultural seperti ras, suku bangsa, agama yang diwujudkan dalam

Indonesia memiliki banyak suku bangsa, di mana setiap suku bangsa yang. melahirkan satu sudut pandang dan pola pikir tersendiri pada masyarakatnya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. 1 Bungaran A. Simanjuntak, Konflik, status dan kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal 10

BAB I PENDAHULUAN. Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lain

I. PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Setiap manusia hidup dalam suatu lingkaran sosial budaya tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

BAB I PENDAHULUAN. menyebar dari Sabang sampai Merauke. Termasuk daerah Sumatera Utara yang

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suku Batak merupakan salah satu suku yang tersebar luas dibeberapa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagai manusia kita telah dibekali dengan potensi untuk saling

I. PENDAHULUAN. masing-masing sukunya memiliki adat-istiadat, bahasa, kepercayaan,

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo)

BAB I PENDAHULUAN. keunikan tersendiri yang melambangkan kekhasan masing-masing daerah.

BAB I PENDAHULUAN. sampai merauke, menyebabkan Indonesia memiliki banyak pulau. dijadikan modal bagi pengembang budaya secara keseluruhan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia terdiri dari beranekaragam suku bangsa dan memiliki berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya,

BAB I PENDAHULUAN. cukup kaya akan nilai sejarah kebudayaannya.

BAB II KONDISI DESA BELIK KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG. melakukan berbagai bidang termasuk bidang sosial.

D. Dinamika Kependudukan Indonesia

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan. 1) Gambaran umum tentang orang Tionghoa yang ada di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

menghubungkan satu kebudayaan dengan kebudayaan lain.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

B. Rumusan Masalah C. Kerangka Teori 1. Pengertian Pernikahan

I. PENDAHULUAN. Sumarsono (2009) mengemukakan bahwa bahasa sebagai alat manusia untuk. apabila manusia menggunakan bahasa. Tanpa bahasa, manusia akan

I. PENDAHULUAN. suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1 A Sopaheluwakan, Tjeritera tentang Perdjandjian Persaudaraan Pela (Bongso-bongso) antara negeri

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 1 Y, Wartaya Winangun, Tanah Sumber Nilai Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal

BAB I PENDAHULUAN. Aceh secara geografis terletak di jalur perdagangan Internasional yaitu

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman adat istiadat dalam pelaksanaan perkawinan. Di negara. serta dibudayakan dalam pelaksanaan perkawinan maupun upacara

BAB III. (Di Kelurahan Kambaniru dan Kecamatan Umalalu)

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan suatu hasil cipta rasa dan karsa manusia yang

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia kaya akan budaya, adat istiadat, dan tradisi yang dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

BAB I PENDAHULUAN. hal yang tercakup seperti adat serta upacara tradisional. Negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang tergabung dalam suku-suku, baik suku yang besar maupun. kepercayaan yang melandasi tata aturan hidup keseharian.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. universal artinya dapat di temukan pada setiap kebudayaan. Menurut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PERADIGMA. Digunakannya istilah hukum waris adat dalam skripsi ini adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Letak wilayah yang strategis dari suatu daerah dan relatif mudah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu suku bangsa mempunyai berbagai macam kebudayaan, tiap

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sabu adalah nama suku dengan beberapa sebutan berbeda, antara lain Savu, Savunesse, Sawu, Rai Hawu. Di antara istilah-istilah itu, sebutan Sabu adalah istilah resmi yang digunakan oleh pemerintah dan saat ini tampaknya juga merupakan sebutan yang paling banyak digunakan oleh penduduk Sabu sendiri untuk menyebut daerah mereka. Sabu juga dikenal sebagai nama sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Orang Sabu sendiri mempercayai bahwa asal-muasal mereka berasal dari satu leluhur bernama Hawu Ga. Dalam kesehariannya, orang Sabu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asli Sabu yang memiliki beberapa dialek, antara lain dialek Raijua, Mesara, Timu, dan Seba. Namun, hampir semua orang Sabu dapat mengerti bahasa yang digunakan meskipun dengan dialek yang berbeda-beda. Bahasa Sabu juga diperkaya oleh bahasa-bahasa lainnya, seperti bahasa Bima atau Sumba. Orang Sabu menganut dua sistem kekerabatan yakni localized patrilineal group (menurut garis laki-laki dan terikat dengan tanah tempat diam : udu dan kerogo) dan nonlocalized matrilineal group (menurut garis perempuan dan tidak terikat dengan tanah kediaman : hubi dan wini). Setiap orang Sabu mempunyai garis keturunan rangkap, yaitu udu dan kerogo dari pihak bapak serta hubi dan wini dari pihak ibu. Masyarakat Sabu dikenal sebagai masyarakat agraris (menyadap nira/udaya lontar, memasak gula dan lain-lain), nelayan dan beternak. Kesenian yang paling menonjol adalah seni tari dan tenun ikat. 1 Masyarakat Sabu menganut agama asli jingitiu 2 sebelum agama kristen masuk di pulau Sabu. Kini 80 % masyarakat Sabu menganut agama Kristen Protestan. Meskipun 1 http://melayuonline.com/ind/opinion/read/439/mengenal-suku-sabu-sawu-atau-savu; bnd. Nico L. Kana, Dunia Orang Sawu, (Jakarta : Sinar Harapan, 1983), h. 122-128 2 Jingitiu merupakan sistem religi animisme dan dinamisme. Dalam sistem kepercayaan ini penghormatan dan pemujaan terhadap arwah leluhhur menduduki tempat yang sangat penting, khususnya nenek 1

pola pikir mereka masih banyak dipengaruhi oleh kepercayaan Jingitiu. Norma kepercayaan mereka masih tetap berlaku dengan kalender adat yang menentukan saat menanam dan upacara lainnya. 3 Dalam Kehidupan orang Sabu, khususnya dalam kehidupan religi, terkait erat dengan aspek-aspek kehidupan lain, yakni : bidang, ekonomi sosial dan budaya atau adat istiadat. Hal ini bermula dari pandangan bahwa semuanya harus didasarkan pada keselarasan dengan agama suku, atau atas pandangan bahwa segala sesuatu adalah merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa yang disebut dengan nama : Deo Mone Ae. Dalam segala segi kehidupan, setiap kegiatan selalu harus diawali dengan ritual-ritual keagamaan dengan maksud untuk memohon bimbingan, petunjuk, berkat serta penjagaan dari Deo. 4 Dalam sejarah kebudayan manusia, terdapat gerak perpindahan suku bangsa yang disebut dengan istilah migrasi. Adapun migrasi menyebabkan terjadinya perjumpaan antar kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Akibatnya, individu dalam kelompok itu dihadapkan dengan unsur kebudayaan para migran. Kontak hubungan ini menyebabkan masing-masing kelompok manusia mengalami proses sosial. 5 Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang perorangan dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem serta bentukbentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. Atau dengan perkataan lain, proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal-balik antara pelbagai segi kehidupan moyang pertama. Semua yang ada dibumi ini, Rai Wawa (tanah bawah) berasal dari Deo Ama atau Deo moro dee penyi (dewa mengumpulkan membentuk mancipta). Deo Ama sangat dihormati sekaligus ditakuti, penuh misteri. Menurut kepercayaan ini, Deo Ama mempunyai berbagai roh yaitu Pulodo Wadu (roh yang mengatur musim kemarau; Deo Rai (roh yang mengatur musim hujan); Deo Heleo (roh yang mengawasi kehidupan manusia). 3 http://orangsabu.blogspot.com/2006/06/budaya-sabu_25.html 4 http://orangsabu.blogspot.com/2009/03/agama-suku-sabu-fokus-pada-wilayah.html 5 Tri Widiarto, Pengantar Antorpologi Budaya (Dasar-dasar Antropologi Budaya), (Salatiga: Widya Sari Press, 2007), h.56 2

bersama. Bentuk umum dari proses sosial ialah interaksi sosial. Syarat terjadinya interaksi sosial ialah adanya kontak sosial dan komunikasi. 6 Demikian halnya ketika orang Sabu migrasi ke pulau Sumba. Oleh karena keadaan geografis pulau sabu yang kecil dan sumber daya alam dan manusia yang kurang mendukung untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti musim kemarau panjang dengan musim hujan yang rendah, mata pencaharian bergantung pada iklim dan cuaca, lahan yang sangat kering, berbatu dan tidak subur, serta pendidikan yang masih rendah, sehingga mendorong terjadinya mobilitas penduduk Sabu yang sangat tinggi dan menyolok di seluruh daerah NTT. Maka terkenallah orang Sabu sebagai suku perantau yang mencari kehidupan lebih baik di luar pulaunya. Sumba menjadi salah satu pulau rantauan yang didatangi oleh suku Sabu. Migrasi orang Sabu ke Sumba terdiri dari beberapa gelombang, yang disesuaikan dengan faktor pendorong terjadinya mobilitas tersebut. Gelombang pertama, migrasi orang Sabu dalam jumlah yang kecil, dilakukan karena inisiatif sendiri dari mereka sendiri untuk mencari kehidupan yang lebih baik lagi. Gelombang kedua, dipengaruhi oleh kebijakan dan kepentingan Belanda. Pada awalnya berjumlah kecil namun sehubungan dengan kepentingan Belanda maka sekitar 400 orang sabu dipindahkan ke Sumba. Seiring perkembangan zaman, Golombang migrasi orang Sabu ke Sumba selanjutnya semakin meningkat jumlahnya dan sulit dikontrol, disebabkan kepentingan pribadi dari setiap individu yang bermigrasi. 7 Berdasarkan data sensus yang diperoleh Kana, dinyatakan bahwa orang Sabu masuk ke pulau Sumba pada tahun 1838. Mereka diekspedisi oleh Belanda (sesuai kesepakatan kontrak antara Sabu dan Belanda) untuk menghentikan kebiasaan orang Ende yang menyerang Sumba demi mendapatkan budak. Migrasi orang Sabu ke Sumba 6 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali, 1982), h.53-545 7 F. D. Wellem, Injil dan Marapu, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004 ), h.127; bnd. Wielenga, De Zending op Soemba (Hoenderloo,Ned. Zendingsraad, 1949), h. 12; Oe H. Kapita, Sumba di dalam Jangkauan Jaman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976), h. 27 3

diawali oleh hubungan perkawinan antara anak Raja Melolo di Sumba Timur dan anak Raja Sawu di Haba. 8 Tahun 1876 dilaporkan bahwa jumlah orang Sawu di Sumba sudah cukup besar sehingga menunjukkan semacam supermasi. Kebanyakan mereka yang pindah ke Sumba adalah yang telah beragama Kristen. Imigran dari Sawu umumnya meneruskan cara hidup tradisionalnya di pemukiman yang baru ini, sebagai penyadap nira dan peladang. Namun migrasi di masa berikutnya lebih didorong oleh kehausan pendidikan lanjutan atau untuk mendapatkan lapangan kerja yang lebih sesuai. 9 Menjelang akhir abad ke-19, 10 pemerintah Hindia-Belanda mentransmigrasikan sejumlah orang Sabu ke Sumba. Mereka ditempatkan di Melolo (Umalulu), wilayah kerajaan Melolo, dan di Kambaniru, wilayah kerajaan Kambera, pantai Utara Pulau Sumba. Mereka merupakan koloni tersendiri, terisolasi dan terpisah dari masyarakat Sumba. Di sana mereka tetap memelihara adat-istiadat, budaya asli mereka. Orang-orang Sabu ini tidak berada di bawah kekuasaan Raja Melolo dan Raja Kambera, melainkan mereka di bawah kekuasaan Raja Seba di Sabu. Pemerintahan sehari-hari atas orang Sawu di Sumba dilaksanakan oleh seorang raja muda, masing-masing seorang di Melolo dan seorang di Kambaniru. Orang Kristen asal Sabu ini kemudian membentuk dua jemaat di Sumba, yaitu di Kambaniru dan Melolo. Inilah jemaat-jemaat Kristen pertama di Sumba. 11 Selain kisah di atas, terdapat juga kisah lain mengenai orang Sabu di Sumba. Menurut cerita rakyat Sumba, pada mulanya orang Sabu berdiam di Tanjung Sasar, di sebuah kampung yang bernama Paraingu Hau, artinya kampung Orang Sawu, sebelum 8 Menurut F.D. Wellem, pada waktu itu terjadi perkawinan orang Sabu dengan orang Sumba, misalnya anak Raja Mangili dan Melolo menikah dengan anak Raja Seba (Sabu) sehingga Raja Mangili dan Melolo memandang Raja Seba sengai saudaranya. Mereka saling membantu, seperti memberi tempat tinggal kepada orang Sabu, serta memberikan bantuan dalam memerangi musuhnya. Inilah sebabnya, di Mangili terdapat sekelompok orang Sabu. Kebanyakan transmigran Sabu beragama Kristen sehingga terbentuklah jemaat Melolo. Lih. F. D. Wellem, Injil dan Marapu, h. 127. 9 Nico L. Kana, op.cit., h. 19 10 Menurut F.D Wellem, perpindahan ini terjadi sekitar tahun 1870-an, karena pada tahun 1876 telah terbentuk jemaat Sabu di Kambaniru. 11 F. D. Wellem, op. cit., h. 127-128 4

mereka berlayar ke arah Timur untuk mencari tempat tinggal yang baru. Mereka yang tidak ikut pindah ke Sabu, menetap dan berintegrasi dengan masyarakat Sumba. Di samping itu, terdapat tuturan silsilah, baik yang beredar di kalangan suku Sumba maupun suku Sabu, yang mengatakan bahwa nenek moyang mereka bersaudara kandung, yaitu Hawu Meha dan Humba Meha. Humba Meha adalah saudara perempuan, sedangkan Hawu Meha adalah seorang laki-laki yang sulung. Humba Meha kawin dengan Umbu Walu Mandoku. Oleh karena itu, orang Sabu dihormati sebagai keturunan laki-laki. 12 Berdasarkan pemaparan sejarah migrasi orang Sabu ke pulau Sumba di atas, dapat dikatakan bahwa perpindahan orang Sabu ke Sumba, disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya ialah faktor ekonomi yakni untuk memperbaiki tingkat kehidupan yang lebih baik, untuk memperoleh lapangan pekerjaan. Faktor lainnya ialah unsur politis-keamanan, yang mana disebabkan oleh kolonialisasi Belanda sehubungan dengan faktor keamanan dan politik serta kegiatan pekabaran Injil. 13 Ketika orang Sabu bermigrasi ke Sumba, mereka membangun komunitas sendiri yang menunjukkan identitas budaya mereka dan selalu bermukim pada suatu tempat yang khusus dan ekslusif, seperti di pinggiran pantai, satu kelurahan seperti di Kambaniru, kecamatan Umalulu, serta daerah transmigrasi yang disiapkan oleh pemerintah NTT. 14 Ketika bermigrasi, orang Sabu tetap membawa dan memelihara adat istiadat dan budaya nenek moyang mereka. Namun dalam kehidupan sehari-hari di daerah Sumba, terjadi perjumpaan dan kontak antara orang Sabu dengan masyarakat Sumba (budaya lokal). Perjumpaan dan interaksi sosial antara orang Sabu dan orang Sumba ini terjadi melalui hubungan kawin-mawin, persaudaraan, hubungan dalam mata pencaharian, kerja sama bahkan juga permusuhan seperti perang antara orang Sabu dengan orang Sumba di 12 F. D. Wellem, op. cit., h. 126-127 13 Lih. F. D. Wellem, op. cit., h. 128-130, 167; D. K. Wielenga, De Savoeneezen op Soemba (Sejarah orang Sabu di Sumba), h. 235 240. 14 Wawancara Pdt. Pala Hambarandi S. Si., Teol pada tanggal Kamis, 8 Maret 2011 5

Mbatakapidu, Mangili dan lain sebagainya. Kehadiran orang Sabu ke Sumba dan interaksi sosial yang terjadi di antara dua budaya ini terus terjalin hingga saat ini dan tetap dipertahankan. Adat istiadat dan budaya orang Sabu tetap terpelihara dengan baik. Sehingga ketika perjumpaan dan interaksi dengan orang Sumba, orang Sabu menunjukkan nilai budaya yakni ramah, saling menghormati, bertoleransi, suka bergaul dan bersolidaritas. 15 Dengan sikap seperti ini, kehadiran orang Sabu pun dengan mudah diterima dalam masyarakat Sumba dan proses interaksi sosial diantara dua budaya yang berbeda dapat berjalan dengan baik. Dalam proses perjumpaan dan interaksi sosial ini, sebagai pendatang, orang Sabu harus berupaya menyesuaikan diri dengan lingkungan dan adat istiadat pribumi yaitu masyarakat Sumba. Sehingga dalam proses interaksi itu terjadi proses adaptasi terhadap lingkungan dan budaya Sumba dan juga proses pemeliharaan identitas budaya Sabu. Dalam mempertahankan identitas budaya Sabu, orang Sabu di Sumba tetap melakukan berbagai adat istiadat mereka. Dalam proses adaptasi, orang Sabu berupaya untuk berinteraksi dan menyesuaikan budaya Sabu dengan lingkungan dan budaya Sumba. Dalam perkembangannya selanjutnya, akibat pejumpaan atau hubungan sosial antara komunitas orang Sabu dengan masyarakat Sumba dalam berbagai kegiatan, terjadilah perjumpaan bahkan pengadopsian dan pencampuran antara kebudayaan Sabu dengan kebudayaan Sumba tidak akan terhindarkan. Fenomena inilah yang disebut dengan istilah akulturasi budaya Sabu dengan budaya Sumba. Adapun pengertian akulturasi mengacu pada pengaruh satu kebudayan terhadap kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayan, yang mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan. Definisi antroplog klasik Redfield, Linton, dan Herskovits: Akulturasi meliputi fenomena yang dihasilkan sejak dua kelompok yang 15 Wawancara dengan Bpk. Makana pada tanggal Kamis, 8 Maret 2011 6

berbeda kebudayaannya mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli salah satu atau kedua kelompok itu. Akulturasi adalah pola perubahan di mana terjadi penyatuan antara dua kebudayan. Penyatuan ini dihasilkan dari kontak yang berlanjut. Kontak ini dapat terjadi menurut sejumlah cara. Kolonisasi, perang, penaklukan dan pendudukan militer, migrasi, misi penyebaran agama, perdagangan, pariwisata, bersempadan, adalah sebagian di antara cara-cara yang memungkinkan dua kebudayaan dapat melanjutkan kontak. 16 Pemahaman ini menunjukkan pada sifat kebudayaan yang mengalami perubahan. Perubahan budaya ini terjadi sebagai bentuk adaptasi dan hasil dari kontak dan perjumpaan budaya Sabu dengan masyarakat Sumba. Meskipun demikian, kebudayaan Sabu tidak dengan mudahnya dapat berubah dan meninggalkan identitas aslinya. Hal ini nampak dengan adanya unsur-unsur budaya Sabu yang masih tetap dipertahankan dalam komunitas orang Sabu di Kelurahan Kambaniru dan kecamatan Umalulu. Berdasarkan realita ini, maka penulis ingin melakukan suatu penelitian mengenai budaya Sabu dalam perjumpaan dengan masyarakat Sumba Timur, khususnya di Kambaniru dan Kecamatan Umalulu yang tetap mempertahankan identitas budaya asli dan juga mengalami proses akulturasi budaya. Alasan peneliti memilih Kambaniru dan Umalulu, ialah karena pada dua wilayah tersebutlah merupakan wilayah pertama, di mana orang Sabu datang, menetap dan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Sumba Timur hingga sekarang ini. Sedangkan persoalan-persoalan yang ingin diteliti ialah mengenai bagaimana proses perjumpaan orang Sabu dengan masyarakat Sumba, yang tentunya memiliki perbedaan budaya dan agama? Unsur budaya Sabu apa saja yang tetap dipertahankan meskipun telah berada di luar pulau Sabu dan ketika berjumpa dengan masyarakat Sumba dan budayanya? Mengapa orang Sabu tetap mempertahankan 16 Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001), hal 402-405 7

budaya asli nya ketika mereka telah berada di Sumba dan berjumpa dengan masyarakat Sumba? Bagaimana proses akulturasi itu terjadi? Faktor-faktor pendukung orang Sabu, yang dengan latar belakang budaya dan identitas sosial yang berbeda, dapat berintegrasi dengan masyarakat Sumba dan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Sumba (bidang pemerintahan, bidang sosial budaya dan dalam bidang agama)? Apa yang menjadi faktor pendukung proses akulturasi tersebut? Apakah kesamaan agama membuka peluang terjadinya integrasi dan akulturasi kedua budaya tersebut? Unsur budaya Sumba apa yang diadopsi oleh orang Sabu menjadi bagian dari kebudayaannya? B. Rumusan Masalah 1.Unsur-unsur budaya Sabu apa saja yang tetap dilakukan di Sumba dan unsur budaya Sabu apa saja yang mengalami perubahan akulturasi di kelurahan Kambaniru dan kecamatan Umalulu? 2.Mengapa unsur-unsur budaya Sabu tersebut tetap dipertahankan dan mengalami perubahan akulturasi? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai ialah antara lain : 1. Mendiskripsikan unsur-unsur budaya Sabu yang tetap dipelihara di Sumba dan unsur budaya yang mengalami perubahan akulturasi dalam masyarakat Sumba Timur khususnya di kelurahan Kambaniru dan kecamatan Umalulu. 2. Menganalisa alasan pelestarian budaya Sabu dan faktor terjadinya perubahan akulturasi dalam budaya Sabu di kelurahan Kambaniru dan kecamatan Umalulu. D. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan ialah kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll, secara holistik dan 8

dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata, bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. 17 Metode yang digunakan ialah deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu usaha dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu objek, kondisi, suatu pemikiran ataupun peristiwa-peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistimatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. 18 a. Teknik pengumpulan data. Untuk penelitian ini sejumlah teknik diajukan, yaitu studi kepustakaan, wawancara, dan observasi. Penggunaan berbagai teknik penelitian diterapkan kepada para informan maupun sumber data yang berwujud dokumen yang relevan dengan fokus penelitian. b. Lokasi dari Penelitian adalah keluharan Kambaniru dan kecamatan Umalulu, kabupaten Sumba Timur c. Subjek Analisa dari penelitian ini adalah komunitas orang Sabu dengan tujuan untuk menggali pemahaman mengenai pelestarian budaya dan perubahan akulturasi yang terjadi dalam kehidupannya di Sumba Timur khususnya di Kambaniru dan kecamatan Umalulu. d. Waktu Penelitian : penelitian dengan teknik wawancara observasi ini akan dilakukan selama 2-3 minggu. e. Informan : penelitian ini akan mendapatkan berbagai informasi dari para informan antara lain : Tokoh-tokoh adat dalam masyarakat Sabu dan Sumba di Kambaniru dan kecamatan Umalulu Tokoh Intelektual Sabu-Sumba 17 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 6 18 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), 63 9

E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian diharapkan dapat memberi masukan bagi : Bagi komunitas Sabu dan masyarakat Sumba, hasil penelitian ini sebagai sumbangsih pemikiran untuk mengetahui dengan jelas sejarah berbagai suku (khususnya suku Sabu) dan budaya yang ada di masyarakat Sumba Timur, dan membangun hubungan antar budaya yang harmonis dengan melakukan interaksi sosial dan mengambil bagian atau berpartisipasi dalam hubungan sosial. Bagi Fakultas Teologi : diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi pelengkap dan tambahan pengetahuan khususnya sehubungan dengan studi agama suku dan kebatinan; agama dan budaya serta teologi kontekstual, antropologi budaya, konseling lintas budaya dan sebagainya. Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi mahasiswa teologi yang berminat pada studi anthropologi-sosiologi serta yang akan terjun dalam pelayanan di masyarakat Indonesia yang memiliki keberagaman budaya. Bagi peneliti, selain menambah wawasan mengenai budaya Sabu dan Sumba, juga menjadi bekal bagi pelayanan peneliti di pulau Sumba dalam membangun hubungan dan komunikasi lintas budaya. F. Sistematika Penulisan Secara garis besar, penelitian tesis ini akan disusun dalam lima bab. Pada Bab I, Penulis memaparkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Pada Bab II, penulis memaparkan mengenai landasan teori sebagai pisau analisa untuk menganalisis penelitian ini. Teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori mengenai kebudayaan mengenai proses pelestarian budaya (enkulturasi) dan perubahan kebudayaan (akulturasi). Pada Bab III, penulis akan memaparkan hasil penelitian 10

berdasarkan rumusan masalah: unsur-unsur budaya Sabu apa saja yang tetap dipertahankan dan unsur budaya yang mengalami perubahan akulturasi. Pada Bab IV, penulis menganalisis alasan yang menyebabkan terjadinya pelestarian budaya Sabu dan perubahan akulturasi dalam budaya Sabu sesuai dengan pemaparan hasil penelitian di dalam bab III dengan memakai landasan teori bab II. Pada Bab V, penulis mengakhiri penulisan ini berupa kesimpulan dan saran. 11