BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN. perjumpaan budaya Sabu dengan budaya Sumba dan proses akulturasi budaya di Kambaniru
|
|
- Fanny Budiaman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya mengenai perjumpaan budaya Sabu dengan budaya Sumba dan proses akulturasi budaya di Kambaniru dan Umalulu, maka pada bab ini akan mencoba menganalisis hasil penelitian tersebut secara terperinci untuk dapat melihat faktor-faktor yang menyebabkan budaya Sabu tetap dipertahankan, faktor yang mempengaruhi proses akulturasi dan peran agama Kristen dalam mendukung jalannya proses akulturasi. A. Pelestarian Budaya Sabu E.B. Taylor memberikan defenisi kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks, yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. 1 Selanjutnya Malinowski melihat kebudayan sebagai unsur yang mempunyai fungsi serta pelembagaan/lembaga dalam setiap masyarakat. 2 Berdasarkan dua defenisi ini dapat dipahami bahwa kebudayaan Sabu meliputi semua hal yang dimiliki oleh orang Sabu seperti perilaku, perasaan dan akal pikiran yang dihasilkan, dipelajari, dianut dan diwarisi dalam kehidupan dari setiap orang Sabu. Meskipun telah mengalami perbedaan lokasi pemukiman dan proses adaptasi dengan masyarakat Sumba, tetapi orang Sabu yang telah menetap di Kambaniru dan Umalulu tetap melakukan upaya pelestarian dan mempertahankan budaya Sabu melalui berbagai pelaksanaan adat istiadat dan proses enkulturasi budaya Sabu.Hal ini disebabkan karena kebudayaan itu sendiri h Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h Phil. Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Jakarta : Putra A bardin, 1999), 99
2 sangat penting dalam kehidupan orang Sabu. Budaya Sabu tidak hanya bermakna sebagai kesenian asli, tetapi sebagaimana yang dipaparkan mengenai sifat dan fungsi kebudayaan pada bab II yang menunjukkan bahwa keberadaan kebudayaan mempunyai nilai dan fungsi yang besar bagi kehidupan manusia dan masyarakat. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Leslie White secara eksplisit menyebutkan tiga fungsi kebudayaan yaitu: (1) memberikan keamanan dan melestarikan kehidupan manusia; (2) menghubungkan manusia dengan lingkungannya di satu pihak dan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya; (3) memenuhi kebutuhan manusia, baik melalui pengolahan sumber daya alam maupun sumber daya manusia sendiri. 3 Demikianlah budaya Sabu menjadi bagian yang sangat penting dan bermakna bagi orang Sabu, tidak hanya mencirikan karakter dan komunitas orang Sabu tetapi menjadi penuntun dan pedoman perilaku orang Sabu dalam kehidupan bermasyarakat. Hal inilah yang mendasari upaya pelestarian budaya Sabu di Sumba baik melalui proses sosialisasi maupun proses akulturasi budaya. Koentjaraningrat memberikan penjelasan mengenai proses enkulturasi sebagai proses dimana seorang individu mempejalari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses enkulturasi sudah dimulai sejak kecil dalam alam pikiran warga suatu masyarakat; mula-mula dari orang-orang di dalam lingkungan keluarganya, kemudaian dari temantemannya bermain. Dengan berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur tindakan dibudidayakan. 4 Demikianlah dalam upaya pelestarian budaya Sabu (enkulturasi) di dalam komunitas orang Sabu dilakukan dari generasi ke generasi, yang dimulai sejak kecil di dalam lingkungan keluarga hingga pada lingkup masyarakat seperti penggunaan bahasa Sabu, pewarisan nilai dan norma serta dalam pelaksanaan adat istiadat budaya Sabu. 3 Leslie White, The Evoulution of Cuture, (London: MaqGraw-Hill Book Comp, 1959), h Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h
3 Menurut Davidson warisan budaya diartikan sebagai produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jati diri suatu kelompok atau bangsa. Dari gagasan ini, warisan budaya merupakan hasil budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intangible) dari masa lalu. 5 Warisan budaya fisik (tangible heritage) sering diklasifikasikan menjadi warisan budaya tidak bergerak (immovable heritage) dan warisan budaya bergerak (movable heritage). Warisan budaya tidak bergerak biasanya berada di tempat terbuka dan terdiri dari atas: situs, tempat-tempat bersejarah, bentang alam darat maupun air, bangunan kuno dan /atau bersejarah, patung-patung pahlawan. Warisan budaya bergerak biasanya berada di dalam ruangan dan terdiri dari: benda warisan budaya, karya seni, arsip, dokumen, dan foto, karya tulis cetak, audiovisual berupa kaset, video, dan film. 6 Sedangkan nilai budaya dari masa lalu (intangible heritage) yang berasal dari budayabudaya lokal yang ada di Nusantara, meliputi: tradisi, cerita rakyat dan legenda, bahasa ibu, sejarah lisan, kreativitas (tari, lagu, drama pertunjukan), kemampuan beradaptasi dan keunikan masyarakat setempat. 7 Berdasarkan pemahaman di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa warisan budaya Sabu yang dipelajari dan dilestarikan oleh orang Sabu di Kambaniru dan Umalulu menyangkut hasil budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intangible) yang berasal dari pulau Sabu. Adapun warisan budaya asli Sabu ini sudah dilakukan melalui penuturan cerita atau sejarah orang Sabu berada di Sumba, dan berbagai pelaksanaan adat istiadat dan hukum adat (uku). Upaya pelestarian budaya Sabu di Kambaniru dan Umalulu dilakukan demi mempertahankan identitas budaya Sabu yang mana menjadi ciri khas yang membedakan 5 Davison, G. dan C Mc Conville. A Heritage Handbook. St. Leonard, NSW: Allen & Unwin, h. 2 6 Galla, A. Guidebook for the Participation of Young People in Heritage. Brisbane: Hall and jones Advertising, 2001, h Ibid., h
4 komunitas dengan masyarakat Sumba. Liliweri mencoba memberikan pemahaman mengenai identias budaya Sabu sebagai rincian karakteristik atau ciri - ciri budaya Sabu yang dimiliki oleh komunitas orang Sabu tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri- ciri kebudayaan orang Sumba. 8 Oleh karena itu, ketika perjumpaan budaya Sabu dengan budaya Sumba terjadi, masing-masing kelompok akan menunjukkan dan mempertahankan identitas budaya sebagai gambaran akan perbedaan dan ciri khas dari masing-masing kelompok. Perbedaan identitas budaya inipun turut mempengaruhi proses adaptasi yang dilakukan oleh orang Sabu dalam berinteraksi dengan masyarakat Sumba. Akan tetapi dalam perkembangan proses perjumpaan antar budaya dan adaptasi, identitas budaya Sabu ini tetap dipertahankan, meskipun terdapat pengaruh budaya Sumba dalam komunitas orang Sabu. Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan pada Bab III dijelaskan bahwa meskipun terjadi perjumpaan dan kontak antar budaya Sabu dengan budaya Sumba, hal tersebut tidak menyebabkan terjadinya perubahan dalam budaya Sabu. Hal ini nampak dengan adanya sebagian besar unsur budaya Sabu yang tetap dilestarikan dan diwariskan, meski terdapat pengaruh budaya Sumba. Hal ini sesuai dengan Paursen yang menyampaikan bahwa kebudayaan itu merupakan cara hidup yang membentuk dan dibentuk, yang selalu berkesinambungan dengan komunitas manusia dari generasi ke generasi sehingga kebudayaan dari satu kelompok manusia itu merupakan hal yang asasi sebagai warisan yang sulit dihilangkan. 9 Berdasarkan pemahaman ini, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Sabu sebagai warisan turun temurun itu sulit untuk mengalami perubahan dan dihilangkan. Hal ini disebabkan karena identitas budaya Sabu itu tetap dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari dari komunitas orang Sabu. 8 Dr. Alo Liliweri, M. S. Makna budaya dalam komunikasi antarbudaya, (Yogyakarta : PT LkiS Pelangi Aksara, 2003), 72 9 Paursen Van, C. A., Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1976),
5 Jacobus Ranjabar mengemukakan bahwa pelestarian budaya lokal adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, luwes dan selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang. 10 Menurut Lewis, upaya pelestarian budaya lokal itu mempunyai muatan ideologis yaitu sebagai gerakan untuk mengukuhkan kebudayaan, sejarah dan identitas. 11 Demikianlah pelesatarian budaya Sabu di Sumba dilakukan sebagai sebuah tindakan sosial dari komunitas orang Sabu di Kambaniru dan Umalulu secara terus menerus dengan tujuan untuk mempertahankan dan mengukuhkan kebudayaan, sejarah, nilai-nilai tradisional dan identitas Sabu. Terkait dengan itu, dalam perjumpaan dan kontak antara budaya Sabu dengan budaya Sumba telah mendorong terjadinya proses akulturasi budaya Sabu. Berbicara mengenai akulturasi sebagai suatu proses antara akomodasi dan asimilasi, Harsono menggambarkan bahwa jika dilihat dari sudut pengaruh akulturasi pada kebudayaan, ketika dua kebudayaan yang sama kuatnya bertemu, masing masing akan saling mempengaruhi, dalam suatu proses seleksi. Yang mengalami perubahan atau pergantian biasanya adalah unsur yang tidak penting dari masing masing kebudayaan, tetapi kepribadian kebudayaan tidak mengalami perubahan. Dengan perkataan lain, seperti sistim kekerabatan, kebiasaan yang diperoleh dengan proses enkulturasi sejak kecil, seperti sistim kepercayaan dan pandangan hidup, dalam proses akulturasi tidak banyak mengalami perubahan perubahan. 12 Berdasarkan pemahaman ini, maka dapat dikatakan bahwa proses akulturasi dalam budaya Sabu yang terjadi di Kambaniru dan Umalulu, tidak serta merta dapat menimbulkan perubahan besar dalam budaya Sabu. Ada beberapa hal atau faktor yang 10 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2006), h M. Lewis,. Conservation: A Regional Point of View dalam M. Bourke, M. Miles dan B. Saini (eds). Protecting the Past for the Future. (Canberra: Austraalian Government Publishing Service : 1983), h.4 12 Harsono, op. cit., h
6 menyebabkan sebuah proses akulturasi tidak berlangsung dengan mudah. Hal ini disebabkan karena adanya pelestarian budaya Sabu yang terus dilakukan oleh komunitas orang Sabu di Kambaniru dan Umalulu melalui proses sosialiasi dan enkulturasi sejak kecil mengenai kebudayaan Sabu ataupun dalam pelaksanaan adat istiadat dan kepercayaan yang tetap dilakukan hingga saat ini. Adapun pelestarian budaya Sabu bertujuan untuk melakukan revitalisasi budaya sebagai upaya yang terencana dan bersinambungan agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh orang Sabu, melainkan juga membangkitkan segala wujud kreativitas dalam kehidupan sehari-hari dan dalam menghadapi berbagai tantangan dalam komunitas orang Sabu. 13 Selain itu, pola pemukiman orang Sabu di daerah tertentu seperti di kelurahan Kambaniru dan Kecamatan Umalulu juga turut mempengaruhi pelestarian budaya Sabu di Sumba sehingga sangat kecil kemungkinan terjadinya proses akulturasi. Meskipun perjumpaan dan interaksi antara orang Sabu dengan orang Sumba terjadi baik dalam pelaksanaan adat istiadat, dalam bidang pendidikan, agama, sosial dan ekonomi, tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi dan merubah seluruh unsur budaya Sabu. Hal ini nampak dalam temuan penelitian bahwa unsur budaya Sabu yang dipertahankan dan dipraktekkan lebih dominan dari pada unsur-unsur budaya Sabu yang mengalami perubahan akulturasi. Meskipun tidak semua unsur budaya Sabu mengalami perubahan akulturatif, akan tetapi dalam perjumpaan dan proses adaptasi budaya Sabu dengan budaya Sumba juga menimbulkan adanya penerimaan unsur-unsur budaya Sumba yang diolah menjadi bagian dari budaya Sabu. Berikut ini akan dijelaskan mengenai faktor yang mendukung terjadinya proses akulturasi dan faktor yang mempersulit berlangsungnya proses akulturasi. 13 Alwasilah, A. Chaedar, Pokoknya Sunda : Interprestasi Untuk Aksi, (Bandung: Kiblat, 2006), h
7 B. Faktor-Faktor yang Mendukung Proses Akulturasi Budaya Proses akulturasi bukanlah merupakan sebuah proses yang berlangsung dengan mudah. Perubahan akulturatif dapat terjadi ketika kontak antar budaya dan proses adaptasi secara terus menerus dalam waktu yang cukup lama, sehingga mendorong terjadinya penerimaan dan pengadopsian unsur-unsur budaya asing masuk ke dalam budaya sendiri. Hal ini sesuai dengan pemaparan defenisi akulturasi oleh Mulyana, yang mengatakan bahwa Akulturasi merupakan suatu proses dimana pendatang menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan. 14 Berdasarkan pemahaman ini, proses akulturasi terjadi ketika orang Sabu sebagai pendatang di Sumba melakukan kontak secara langsung dan terus menerus dengan masyarakat dan kebudayaan Sumba serta berupaya menyesuaikan diri dan budayanya dengan masyarakat Sumba. Tentunya dalam proses adaptasi yang dilakukan tidaklah mudah, yang mana disebabkan oleh perbedaan kebudayaan dan kepercayaan antara orang Sabu dengan masyarakat Sumba. Akan tetapi dalam kontak dan adaptasi yang terus menerus, yang terjadi dalam dua arah, lambat laun mengantar pada proses akulturasi budaya Sabu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Redfield, Linton dan Herskovits bahwa akulturasi harusnya dianggap sebagai proses dua arah (two-way process) atau saling mempengaruhi dua kelompok yang saling mengadakan hubungan. 15 Demikianlah proses akulturasi yang terjadi dalam budaya Sabu merupakan sebuah proses dua arah yang saling mempengaruhi antara budaya Sabu dan budaya Sumba. Menurut Bakker, ada empat syarat yang harus dipenuhi supaya proses akulturasi dapat berjalan dengan baik diantaranya ialah syarat persenyawaan/affinity (penerimaan 14 Mulyana, Deddy, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, h Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), h
8 kebudayaan tanpa rasa terkejut); syarat keseragaman/homogenity (adanya nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya); syarat fungsi (adanya nilai baru yang diserap hanya sebagai kegunaan yang tidak penting atau hanya tampilan); syarat seleksi : adanya pertimbangan yang matang dalam memilih kebudayaan asing yang datang. 16 Demikianlah keempat syarat ini menjadi faktor penentu dalam penerimaan unsur budaya Sumba untuk menjadi bagian dari budaya Sabu dalam proses akulturasi. Berikut ini beberapa faktor yang mendukung terjadinya proses akulturasi tersebut, diantaranya ialah : 1. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam komunitas orang Sabu dan masyarakat Sumba, diantaranya: a. Adanya kemiripan dalam budaya. 17 Salah satu potensi akulturatif yang mempermudah terjadinya proses akulturasi budaya Sabu ialah adaya kemiripan budaya asli Sabu dengan budaya Sumba. Kemiripan budaya ini dapat terlihat dari beberapa unsur budaya sebagai berikut : Dalam kepercayaan suku Sabu dan Sumba bahwa kedua suku budaya ini berasal dari 1 nenek moyang. Seperti dalam kisah Ishak dan Ismael, yang berasal dari keturunan Abraham namun karena pemisahan lokasi pemukiman yang berbeda dan adaptasi dengan keadaan alam dan masyarakat pribumi menyebabkan mereka menjadi dua bangsa yang berbeda. Tidak jauh berbeda dengan kepercayaan dalam suku Sabu dan Sumba, yang menyakini berasal dari nenek moyang yang bersaudara yakni Hawu Miha dan Humba Miha. Perbedaan budaya disebabkan karena pemisahan daerah pemukiman, keadaan geofrafis dan adaptasi 16 J. W. M. Bakker. SJ., Filsafat Kebudayaan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2014), h Ibid.,
9 pertama dengan daerah dan masyarakat pribumi yang dijumpai. Dengan kepercayaan mengenai sejarah asal muasal kedua suku ini, memungkin kedua budaya tersebut menjalin hubungan persaudaraan yang baik dari dahulu hingga sekarang ini. Terkait dengan kepercayaan ini, Orang Sabu pun mempercayai bahwa daerah Tanjung Sasar (Juli - Haba) yang berada di Sumba sebagai tempat pertemuan orang Sabu dengan leluhur mereka. 18 Kesamaan inilah menjadi salah satu faktor yang mempermudah terjadinya kontak di antara kedua kebudayaan yang berbeda dan proses penyesuaian budaya sehingga menyebabkan terjadinya proses akulturasi budaya Sabu di Sumba. Kemiripan budaya juga nampak pada kesamaan marga / kabihu (Sumba) / udu (Sabu). Sebagaimana yang diuraikan pada Bab III bahwa margamarga (Kabihu) di Sumba dan marga-marga (udu) di Sabu mempunyai hubungan persaudaraan. Hal ini didasarkan pada kepercayaan mengenai leluhur yang bersaudara. Adapun perbedaan yang nampak hanya terkait istilah/nama saja, misalnya : 19 kabihu Luku Walu (Sumba) sama dengan udu Do Na Luru (Sabu); kabihu Watupelitu (Sumba) sama dengan udu Do Na Taga (Sabu); kabihu Anamburung (Sumba) sama dengan udu Do Na Horo (Sabu), dan lain-lain sebagainya. Hubungan persaudaraan ini mempermudah orang Sabu untuk berinteraksi dan membangun hubungan sosial dengan masyarakat Sumba hingga saat ini, sehingga proses akulturasi pun berlangsung dengan mudah. Hal lain yang menjadi faktor pendukung berlangsungnya proses akulturasi dalam komunitas Sabu ialah adanya kemiripan dalam adat istiadat orang 18 Wawancara dengan Bpk. D. D. Hebi pada tanggal Selasa 15 Oktober Wawancara dengan Pdt. Pala Hambarandi, S. Si., Teol pada tanggal Sabtu, 12 Oktober
10 Sabu dan Sumba. Contohnya dalam sistem perkawinan yang menggunakan mas kawin (belis berupa hewan), yang mana pada komunitas Sabu juga memberlakukan belis, meskipun terdapat perbedaan dalam makna belis tersebut. 20 Tetapi hal ini mempermudah orang Sabu dalam menjalin hubungan sosial dengan orang Sumba. Selain itu, proses akulturasi pun berlangsung disebabkan karena kesamaan mata pencaharian di antara orang Sabu dan Sumba yakni di bidang pertanian dan nelayan. Dalam hal ini pun akan mendorong masing - masing individu untuk menjalin kerja sama dan terjalinnya hubungan saling mempengaruhi satu dengan yang lain dalam memperlajari cara bercocok tanam atau membuat perahu dan kiat menangkap ikan. Relasi yang terjalin ini pun berlanjut pada hubungan sosial yang terus menerus dari waktu ke waktu hingga mengarah pada perubahan akulturatif. Bentuk lain dari kemiripan budaya Sabu dan budaya Sumba ialah kesamaan berupa makanan khas yang selalu terkait dalam kedua budaya ini ialah sirih pinang. Adapun sirih pinang menjadi makanan sehari-hari dalam kehidupan orang Sabu dan masyarakat Sumba. Kesamaan untuk mengkonsumsi sirih pinang dan makna dari penyuguhan siri pinang sebagai simbol perkenalan, persaudaraan dan kekeluargaan ini sangat baik dan turut mempermudah orang Sabu untuk membangun interaksi dengan masyarakat Sumba dan mempermudah terjadinya proses akulturasi. b. Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab III mengenai budaya Sabu di Kambaniru dan Umalulu, menunjukkan bahwa orang Sabu memiliki karakter yang suka bergaul, suka bertoleransi, suka menolong dan menjunjung tinggi 20 Wawancara dengan Bpk Mahari pada tanggal Sabtu, 12 Oktober
11 nilai solidaritas dan kekeluargaan. Karakter orang Sabu ini menjadi sebuah potensi akulturasi yang menyebabkan mereka mudah diterima oleh masyarakat Sumba. Tanpa disadaripun, terjadi hubungan kekerabatan yang mengikat antara kedua budaya yang berbeda tersebut dan lambat laun mendukung terjadinya perubahan dalam budaya Sabu dan Sumba. c. Faktor lainnya ialah peran penguasa atau para raja yang memerintah dan memiliki kekuasaan tertinggi dalam masyarakat Sumba dan Sabu. Berdasarkan sejarah imigrasi orang Sabu ke pulau Sumba, orang Sabu yang ditransmigrasi ke Kambaniru dan Umalulu, bukan dianggap sebagai pendatang baru atau orang asing di tanah Sumba, tetapi mereka adalah orang Sabu yang sejak dahulu kala telah memiliki hubungan dengan orang Sumba. Mengingat pada kisah sebelumnya, adanya hubungan leluhur dan keluarga raja Sabu yang menjalin hubungan perkawinan dengan leluhur dan keluarga raja Sumba. Selain itu, peran orang Sabu sebagai pahlawan yang menolong para raja Sumba dalam peperangan yang terjadi pada masa lampau. Inilah yang melatar belakangi adanya perjanjian raja Sumba yang memberikan tanah sepanjang pesisir pantai Sumba Timur menjadi milik orang Sabu. Meskipun perjanjian ini berupa lisan, tetapi tetap diakui hingga masa sekarang ini. Hal ini jelas terlihat di daerah transmigrasi orang Sabu seperti di Kambaniru dan Umalulu, orang Sabu yang bermukim di daerah itu tetap merasa aman dan bebas menjalani kehidupan sehari-harinya. Selain itu, dengan adanya hubungan kawin-mawin di antara para raja dan keluarganya turut mempengaruhi kehidupan orang Sabu dan memiliki peran penting di Sumba. Pewarisan keluarga akibat hubungan perkawinan itu tetap terjaga dan berlangsung sepanjang memiliki hubungan darah. Contohnya ialah yang terjadi pada 109
12 keturunan Watupelitu (bukan asli sumba), memiliki hubungan perkawinan dengan marga Palai Malamba, maka marga Watupelitu pun memiliki kedudukan dalam masyarakat Sumba. 21 Demikianlah dapat dikatakan bahwa salah satu faktor pendukung terjadinya akulturasi dalam komunitas Sabu di Sumba ialah karena keterlibatan peran para raja atau penguasa yang terlebih dahulu telah menjalin hubungan kekerabatan dengan orang Sumba. Adapun peran penguasa yakni para raja menjadi teladan dan panutan bagi rakyatnya baik dalam hal beribadah dan hubungan kekerabatan. Dengan demikian, interaksi sosial yang terjalin dari golongan atas hingga pada kalangan rakyat biasa antar komunitas Sabu dan masyarakat Sumba pun terjalin. Interaksi sosial yang terjalin terus menerus pun kemudian berlanjut pada tahap adaptasi, adopsi dan perubahan dalam kedua budaya yang berbeda. 2. Faktor eksternal yakni faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat, di antaranya: a) Pihak Belanda. Transmigrasi orang Sabu yang dilakukan oleh pihak kolonial Belanda menjadi pendukung terjadinya proses akulturasi budaya Sabu di Sumba. Pihak Belanda melibatkan orang Sabu dalam urusan politik, militer dan penyebaran agama Kristen dalam masyarakat Sumba. Pengiriman orang Sabu baik dengan tujuan peperangan, motivasi politik dan perebutan kekuasaan, mendorong terjadinya kontak dan interaksi sosial antar orang Sabu dengan masyarakat Sumba. Adapun hubungan orang Sabu dengan Belanda terjalin dengan baik, hal ini juga terkait dengan adanya hubungan kekerabatan antar raja Sabu dengan Belanda yakni dalam hubungan perkawinan. Contohnya Welhelmus Weo Hubi dan Philips Dida Hebi yang adalah 21 Wawancara dengan Bpk. Pdt Elias Rawambani, STh pada hari Jumat, 18 Oktober
13 keturunan Belanda- Sabu. Mereka berdua pun diutus ke Sumba (Umalulu) oleh Kolonial Belanda terkait dengan penyebaran agama Kristen. Mereka berdua menetap di Rae Kapu (Salah satu nama kampung orang Sabu di Umalulu). 22 Melalui kontak dan interaksi sosial yang berjalan baik dalam hubungan persaudaraan karena ikatan hubungan leluhur sebelumnya, itulah maka lambat laun mengantar orang Sabu ke dalam suasana pengadopsian unsur-unsur budaya Sumba ke dalam budaya Sabu. Selanjutnya proses akulturasi pun berlangsung dan menyebabkan terjadinya perubahan dalam budaya Sabu dan Sumba. b) Peranan pihak pemerintah NTT. Adapun transmigrasi orang Sabu ke pulau Sumba yang dilakukan oleh pihak pemerintah NTT dengan tujuan mata pencaharian dan mencapai kehidupan yang layak pun menjadi pendukung terjadinya proses akulturasi budaya Sabu di Sumba. Kehadiran orang Sabu di Sumba atas inisiatif pemerintah NTT mendorong orang Sabu sebagai imigran untuk dapat menjalin komunikasi dan hubungan yang baik dengan masyarakat Sumba. Hubungan yang baik ini berjalan terkait melalui kehidupan dan mata pencaharian orang Sabu sebagai nelayan yang berjumpa dengan orang Sumba sebagai petani. Pemenuhan kebutuhan ekonomi menjadi salah satu faktor pendorong masing-masing individu untuk menjalin hubungan barter dan berlanjut hingga proses pengadopsian unsur budaya asing yang dianggap bernilai dan bermanfaat dan diolah menjadi bagian kebudayaan sendiri. c) Peran dan pengaruh dari agama Kristen. Selain karena program imigrasi, kehadiran orang Sabu di Sumba dilatar belakangi oleh motivasi penyebaran agama Kristen. Adapun para imigran Sabu di Sumba adalah mereka yang telah 22 Wawancara dengan Bpk. D. D. Hebi 111
14 beragama Kristen Masuknya unsur-unsur budaya Sumba ke dalam masyarakat Sabu dan sebaliknya itu dapat terjadi melalui proses penyebaran agama Kristen. Misi penyebaran agama Kristen di Sumba mendorong terjadinya proses interaksi sosial, adaptasi budaya hingga pada tahap perubahan kebudayaan baik dalam masyarakat Sumba maupun komunitas Sabu, yang mana sebagai pengabar Injil, mau tidak mau, sadar atau tidak disadari, orang Sabu harus mampu mempelajari budaya bahkan mengadopsi bahasa dan kebiasaan sehari-hari dari masyarakat Sumba guna mendukung karya pekabaran Injil yang dilakukan. Berdasarkan sejarah pekabaran Injil, terlepas dari pihak pemerintah belanda, orang Sabu adalah pemerintah Injil pertama bagi masyarakat Sumba, yakni di Kambaniru dan Melolo (Umalulu). d) Identitas Nasional Indonesia. Contohnya : Semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kesediaan warga masyarakat untuk bersatu sebagai bangsa Indonesia tanpa menghilangkan keterikatannya pada suku bangsa, adat-istiadat, ras, dan agama. Contoh konkrit nya ialah dalam hubungan dan kerja sama antara orang Sabu dengan orang Sumba di bidang pemerintahan. Melalui hubungan kerja sama ini dapat menjadi salah satu saluran terjadinya proses akulturasi budaya. C. Faktor yang Mempersulit Berlangsungnya Proses Akulturasi Budaya Sabu : Meskipun tak biasa terjadi, ada kemungkinan kontak antara dua kebudayaan, benar-benar tidak dapat menghasilkan akulturasi. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah dimana masing-masing suku mempunyai pusat perhatiannya sendiri, dan kecil sekali kontribusinya terhadap yang lain. Terlebih lagi jika interaksi sosial antara sukusuku diatur oleh norma yang ketat, sehingga menghalangi jenis kontak tertentu yang 112
15 dapat mempermudah akulturasi. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa akulturasi itu tak mesti terjadi semata-mata karena adanya kontak. 23 Meskipun dalam hubungan orang Sabu dan masyarakat yang telah terjalin dengan baik sejak zaman dahulu kala, akan tetapi dalam masyarakat Sumba pun masih terdapat penolakan terhadap orang Sabu khususnya dalam hal perkawinan campuran (Sumba- Sabu). Hal ini terjadi disebabkan pola pemikiran yang masih sangat tradisional (feodalism) sehingga menutup diri dengan kontak secara terus menerus dengan komunitas Sabu. Adanya pandangan negatif terhadap orang Sabu sebagai musuh, hal ini terkait dengan pengaruh kolonial Belanda yang mengirim orang Sabu sebagai perantara mereka. Selain itu sikap etnosentris yang dimiliki oleh golongan orang Sabu dan orang Sumba tertentu. Adapun sikap ini dimaksudkan untuk menjaga identitas budaya dan mengangap budaya lain adalah tidak baik. Adanya rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada budaya yang telah dipertahankan, menyebabkan beberapa golongan masyarakat berupaya untuk menutup diri dan menghindari risiko ini dengan tetap mempertahankan diri pada pola kehidupan atau kebudayaan yang telah dimiliki. Demikianlah sikap etnosentris dan pola pemikiran yang masih tradisional menghambat terjadinya interaksi sosial di antara komunitas orang Sabu dengan masyarakat Sumba dan tentunya proses akulturasi tidak akan berlangsung bahkan kemungkinan terjadinya perpecahan dalam masyarakat Sumba. D. Peran Agama Kristen Dalam Proses Akulturasi Berdasarkan sejarah orang Sabu dan Sumba dan hasil penelitian yang diperoleh peneliti, ditemukan adanya peranan agama Kristen yang juga turut berpengaruh dalam 23 Robert H. Lauer, op.cit., h
16 mempertemukan kebudayaan pribumi Sumba dengan kebudayan Sabu yang berjalan dengan baik hingga saat ini. Peranan agama Kristen tidak hanya sebatas hal perjumpaan, tetapi peranan agama Kristen juga nampak dalam mengatur keteraturan dalam hubungan di antara dua suku budaya yang berbeda. Adapun agama Kristen menjadi penegah antar dua budaya tersebut sejak zaman dahulu hingga pada masa kini. Hal ini jelas nampak dalam peranan orang Sabu sebagai tokoh agama dan masyarakat dalam masyarakat Sumba, tidak hanya di Kambaniru dan Umalulu sebagai lurah atau camat. Tetapi dalam bidang keagaaman dan hubungan sosial pun, agam Kristen memberikan pengaruh bagi hubungan antara budaya Sabu dan Sumba. Adanya pemimpin agama Kristen (pendeta, vikaris, guru Injil) yang berasal dari suku Sabu memimpin gereja di daerah Sumba, serta mampu bekerja sama dengan masyarakat Sumba merupakan suatu bukti konkrit akan peranan besar dari agama Kristen di Sumba. Selain itu, peranan agama Kristen juga nyata dalam berbagai bentuk pelayanan gerejawi (diakonia, oikumene) yang melibatkan perjumpaan dan hubungan kasih persaudaraan di antara persekutuan umat Tuhan yang terdiri dari jemaat yang memiliki budaya Sabu dan Sumba. Di sini gereja hadir memberikan warna dan pemahaman bagi kedua budaya untuk dapat saling menerima dan terlibat aktif dalam satu persekutuan umat Tuhan. Penggunaan unsur budaya dalam pelayanan ibadah di gereja juga turut memberikan teladan bagaimana kedua budaya dapat saling melengkapi satu dengan yang lain. Contoh konkrit lainnya ialah terkait dalam pelaksanaan adat perkawinan campur antara orang Sabu dengan orang Sumba. Di sini gereja hadir sebagai penegah yang mempertemukan kedua budaya dalam pemaknaan iman Kristen serta gereja pun berperan dalam mengayomi kehidupan rumah tangga kristen hasil perkawinan campur budaya 114
17 Sabu dan Sumba. Perbedaan budaya tidak dijadikan persoalan, tetapi bagaimana mengintegrasikan kedua budaya menjadi sebuah hal baik bagi masyarakat di Sumba. 115
BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan analisa mengenai perjumpaan budaya Sabudan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisa mengenai perjumpaan budaya Sabudan proses akulturasi budaya Sabu di Sumba yang telah dilakukan sebelumnya, maka melalui penelitian ini
Lebih terperinciBUDAYA LOKAL SEBAGAI WARISAN BUDAYA DAN UPAYA PELESTARIANNYA )
BUDAYA LOKAL SEBAGAI WARISAN BUDAYA DAN UPAYA PELESTARIANNYA ) Oleh : Agus Dono Karmadi (Kepala Subdin Kebudayaan Dinas P dan K Jawa Tengah) I. Pendahuluan Sebenarnya judul yang diberikan oleh panitia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Savunesse, Sawu, Rai Hawu. Di antara istilah-istilah itu, sebutan Sabu adalah istilah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sabu adalah nama suku dengan beberapa sebutan berbeda, antara lain Savu, Savunesse, Sawu, Rai Hawu. Di antara istilah-istilah itu, sebutan Sabu adalah istilah
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia selalu diperhadapkan dengan berbagai keragaman, baik itu agama, sosial, ekonomi dan budaya. Jika diruntut maka banyak sekali keragaman yang
Lebih terperinciWARISAN BUDAYA, PELESTARIAN DAN PEMANFAATANNYA
WARISAN BUDAYA, PELESTARIAN DAN PEMANFAATANNYA Burhanuddin Arafah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (UNHAS) E-mail: burhan-arafah@unhas.ac.id 1. Pendahuluan Masyarakat terbentuk melalui sejarah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang terdiri dari berbagai suku-sukubangsa yang tinggal di berbagai daerah tertentu di Indonesia. Masing- masing
Lebih terperinci2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena, masyarakat adalah pencipta sekaligus pendukung kebudayaan. Dengan demikian tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang terkenal akan keanearagaman budaya yang dimiliki setiap suku bangsa yang mendiami wilayahnya. Kemajemukan Indonesia tercermin
Lebih terperinci2013 POLA PEWARISAN NILAI-NILAI SOSIAL D AN BUD AYA D ALAM UPACARA AD AT SEREN TAUN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. belakang sosiokultural seperti ras, suku bangsa, agama yang diwujudkan dalam
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai perbedaan latar belakang sosiokultural seperti ras, suku bangsa, agama yang diwujudkan dalam ciri-ciri fisik,
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. tentunya ada keinginan untuk dapat diterima dalam lingkungan tersebut. Salah
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Ketika seseorang atau sekelompok orang dihadapkan pada suatu lingkungan sosial budaya yang berbeda akibat adanya suatu perpindahan, tentunya ada keinginan untuk dapat diterima
Lebih terperinciBAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.
BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP 4.1. PENDAHULUAN Bertolak dari uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian yang terdapat dalam Bab I, yang dilanjutkan dengan pembahasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan kegiatan manusia untuk menguasai alam dan mengolahnya bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1
BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG EKSISTENSI PROYEK Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat
Lebih terperinciBAB IV TINJAUAN KRITIS. budaya menjadi identitasnya. Apabila manusia dicabut dari budayanya, ia bukan lagi orang
BAB IV TINJAUAN KRITIS Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya kita dapat melihat bahwa manusia selalu menyatu dengan kebudayaannya dan budaya itu pun menyatu dalam diri manusia. Karena itu budaya menjadi
Lebih terperinciBAB I. Pendahuluan. Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu
BAB I Pendahuluan I. Latar Belakang Tesis ini menjelaskan tentang perubahan identitas kultur yang terkandung dalam Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu Negeri
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai suku bangsa, golongan, dan lapisan sosial. Sudah tentu dalam kondisi yang demikian
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. bangsa yang kaya akan kebudayaan dan Adat Istiadat yang berbeda satu sama lain
1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki berbagai macam suku bangsa yang kaya akan kebudayaan dan Adat Istiadat yang berbeda satu sama lain dikarenakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Manusia mengalami perubahan tingkat-tingkat hidup (the life cycle), yaitu masa
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia mengalami perubahan tingkat-tingkat hidup (the life cycle), yaitu masa anak-anak, remaja, nikah, masa tua, dan mati (Koenthjaraningrat, 1977: 89). Masa pernikahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam suku, yang dapat di jumpai bermacam-macam adat istiadat, tradisi, dan kesenian yang ada dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang begitu unik. Keunikan negara ini tercermin pada setiap dimensi kehidupan masyarakatnya. Negara kepulauan yang terbentang dari
Lebih terperinciB A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan
5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna
Lebih terperinciBAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI
BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI Dalam bab ini berisi tentang analisa penulis terhadap hasil penelitian pada bab III dengan dibantu oleh teori-teori yang ada pada bab II. Analisa yang dilakukan akan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan
116 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari hasil analisis semiotika dengan unsur tanda, objek, dan interpretasi terhadap video iklan pariwisata Wonderful Indonesia episode East Java, serta analisis pada tiga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bantuan dari sesama di sekitarnya, dan untuk memudahkan proses interaksi manusia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dilahirkan, manusia hidup dalam suatu ruang lingkup sosial tertentu yang menjadi wadah kehidupannya. Manusia dalam aktivitasnya setiap saat memerlukan bantuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesenian merupakan hasil dari kebudayaan manusia yang dapat didokumentasikan atau dilestarikan, dipublikasikan dan dikembangkan sebagai salah salah satu upaya
Lebih terperinciPARTISIPAN : (Yang menjual anak) Nama : Alamat : Umur : Pekerjaan : Pendidikan : Jabatan dalam gereja/masyarakat :
PARTISIPAN : (Yang menjual anak) Nama : Alamat : Umur : Pekerjaan : Pendidikan : Jabatan dalam gereja/masyarakat : Pertanyaan-pertanyaan : 1. Aspek manusia : penjual, pembeli dan si anak (Pada saat wawancara,
Lebih terperinciDinamika Kebudayaan. surono
Dinamika Kebudayaan surono Mainstream General Psychology Stimulus (Independen variabel) Respon (Dependen variabel) Etnografi Budaya Religi (belief), dll Sifat Kebudayaan Apakah Statis atau Dinamis? Mengapa
Lebih terperinciIndonesia memiliki banyak suku bangsa, di mana setiap suku bangsa yang. melahirkan satu sudut pandang dan pola pikir tersendiri pada masyarakatnya,
BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak suku bangsa, di mana setiap suku bangsa yang satu berbeda dengan suku bangsa yang lain. Perbedaan suku bangsa yang
Lebih terperinci14Ilmu. Komunikasi Antar Budaya. Asimilasi dan Akulturasi Budaya. Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si. Komunikasi. Modul ke: Fakultas
Modul ke: Komunikasi Antar Budaya Asimilasi dan Akulturasi Budaya Fakultas 14Ilmu Komunikasi Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si Program Studi Periklanan Jenis-jenis Kebudayaan: Hidup-kebatinan manusia,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dalam proses penyebarluasan firman Tuhan, pekabaran Injil selalu berlangsung dalam konteks adat-istiadat dan budaya tertentu, seperti halnya Gereja gereja di
Lebih terperinciPENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Identifikasi Permasalahan Adanya ikatan persaudaraan ibarat adik kakak yang terjalin antar satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,
Lebih terperinciBAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus
BAB V Penutup 5.1 Kesimpulan dan Refleksi Upacara slametan sebagai salah satu tradisi yang dilaksanakan jemaat GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus sebagai juruslamat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang merupakan daerah yang memiliki potensi budaya yang masih berkembang secara optimal. Keanekaragaman budaya mencerminkan kepercayaan dan kebudayaan masyarakat setempat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. masing-masing sukunya memiliki adat-istiadat, bahasa, kepercayaan,
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki berbagai macam suku bangsa yang masing-masing sukunya memiliki adat-istiadat, bahasa, kepercayaan, keyakinan dan kebiasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang diwajibkan untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang diwajibkan untuk berinteraksi satu sama lain antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Dimana dalam berinteraksi
Lebih terperinciBAB VI SIMPULAN DAN SARAN
234 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Perkawinan merupakan rentetan daur kehidupan manusia sejak zaman leluhur. Setiap insan pada waktunya merasa terpanggil untuk membentuk satu kehidupan baru, hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan yang biasanya dilakukan setiap tanggal 6 April (Hari Nelayan)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Upacara Adat Labuh Saji berlokasi di Kelurahan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, pada tahun ini upacara dilaksanakan pada tanggal 13 Juni hal tersebut dikarenakan
Lebih terperinciSOSIOLOGI PERTANIAN ( )
SOSIOLOGI PERTANIAN (130121112) Pertemuan ke-3 MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN AGRARIS (1) Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Kompetensi Khusus: Mahasiswa mampu menemukan perbedaan masyarakat dan kebudayaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada
Lebih terperinciPendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan
Latar Belakang Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang menuju pribadi yang mandiri untuk membangun dirinya sendiri maupun masyarakatnya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budaya merupakan simbol peradaban. Apabila sebuah budaya luntur dan tidak lagi dipedulikan oleh sebuah bangsa, peradaban bangsa tersebut tinggal menunggu waktu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu berupa kekayaan alam maupun kekayaan budaya serta keunikan yang dimiliki penduduknya. Tak heran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976, p. 5
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia yang hidup dalam dunia pada umumnya menginginkan suatu hubungan yang didasari rasa saling mencintai sebelum memasuki sebuah perkawinan dan membentuk sebuah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya yang berada di daerah-daerah di dalamnya. Kebudayaan itu sendiri mencakup pengertian yang sangat luas. Kebudayaan merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji sastra maka kita akan dapat menggali berbagai kebudayaan yang ada. Di Indonesia
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terkenal sebagai salah satu negeri terbesar penghasil kain tenun tradisional yang
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang kaya budaya dan keberagaman etnis, bahasa, tradisi, adat istiadat, dan cara berpakaian. Indonesia terkenal
Lebih terperinciBAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,
BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang
Lebih terperincilambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm
BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya adalah makhluk berbudaya, karena itu manusia tidak dapat lepas dari budaya yang dianutnya. Suatu budaya memiliki nilai
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Papua terkenal dengan pulau yang memiliki banyak suku, baik suku asli Papua maupun suku-suku yang datang dan hidup di Papua. Beberapa suku-suku asli Papua
Lebih terperinciBAB II. umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Woodruf. dan bermakna, suatu pengertian tentang suatu objek, produk subjektif yang
BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI dan TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Secara umum konsep adalah suatu abstraksi yang menggambarkan ciri ciri umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Woodruf mendefinisikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. buddayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara yang terdiri atas berbagai suku bangsa. Masing-masing suku bangsa memiliki warisan budaya yang tak ternilai harganya.kata budaya
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DATA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan
BAB IV ANALISIS DATA DAN REFLEKSI TEOLOGIS A. Kaus Nono dalam Perkawinan Meto Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
Lebih terperinci2015 PENANAMAN NILAI-NILAI KESUND AAN MELALUI PROGRAM TUJUH POE ATIKAN ISTIMEWA D I LINGKUNGAN SEKOLAH KABUPATEN PURWAKARTA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan sesuatu bersifat abstrak yang mempengaruhi tingkat pengetahuan dengan gagasan atau sistem ide yang di dalamnya terdapat sebuah pikiran manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki berbagai macam budaya. Dari Sabang sampai Merauke dapat ditemukan keanekaragaman ciri khas budaya daerah masing-masing.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa di dunia yang mendiami suatu daerah tertentu memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, setiap bangsa memiliki
Lebih terperinci- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA
- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu suku bangsa mempunyai berbagai macam kebudayaan, tiap
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Dalam suatu suku bangsa mempunyai berbagai macam kebudayaan, tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan sistem nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan yang membentuk lapis-lapis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, dan dari kebiasaan itu yang nantinya akan menjadi kebudayaan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang masalah Manusia merupakan makhluk individu dan juga makhluk sosial yang hidup saling membutuhkan. Sebagai makhluk sosial manusia saling berinteraksi satu dengan lainnya,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi komunikasi dan media massa, mengakibatkan munculnya New
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Informasi merupakan suatu hal terpenting dalam kehidupan. Banyak cara untuk mendapatkan informasi, melalui media televisi maupun radio. Majalah dan koran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masyarakat dan kebudayaan merupakan hubungan yang sangat sulit dipisahkan. Sebab masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian
Lebih terperinciBAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual
BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN 2.1 Pengertian Ritual Ritual adalah tehnik (cara metode) membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ternyata tidak
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ternyata tidak semata-mata mengakibatkan permusuhan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya, melainkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kearifan. Tradisi Mesatua di Bali lambat laun semakin tergerus dengan roda
BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang kaya dengan adat dan istiadat, budaya serta suku memiliki berbagai macam tradisi. Salah satunya adalah Mesatua Bali (Mendongeng), sebagai
Lebih terperinci2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat budaya. Setiap suku
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kekompleksitasan Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah membuat Indonesia menjadi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan kesatuan hidup
8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kehidupan Masyarakat Istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah maupun bahasa sehari-hari adalah masyarakat.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu dapat dikenali dari keanekaragaman budaya, adat, suku, ras, bahasa, maupun agama. Kemajemukan budaya menjadi
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN 1.1.1 Latar Belakang Masalah Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah Gereja mandiri bagian dari Gereja Protestan Indonesia (GPI) sekaligus anggota Persekutuan Gereja-Gereja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat mempersatukan dan mempertahankan spiritualitas hingga nilai-nilai moral yang menjadi ciri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan Orang Kristen memiliki tugas dan panggilan pelayanan dalam hidupnya di dunia. Tugas dan panggilan pelayanannya yaitu untuk memberitakan Firman Allah kepada dunia ini.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. majemuk. Sebagai masyarakat majemuk (plural society) yang terdiri dari aneka
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara yang mempunyai masyarakat yang majemuk. Sebagai masyarakat majemuk (plural society) yang terdiri dari aneka ragam suku bangsa dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat lebih dari 500 etnis di Indonesia (Suryadinata, 1999). Suku Batak merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap etnik (suku) di Indonesia memiliki kebudayaan masing-masing yang berbeda
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap etnik (suku) di Indonesia memiliki kebudayaan masing-masing yang berbeda antara kebudayaan yang satu dengan yang lain. Namun, Perbedaan tersebut tidak menjadikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. informal dalam keluarga, komunitas suatu suku, atau suatu wilayah.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa Indonsia adalah suatu kekayaan yang tak ternilai harganya, oleh karenanya perlu mendapat dukungan serta kepedulian bersama dari
Lebih terperinciKetika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari
Ketika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari Kuwati, M. Martosupono dan J.C. Mangimbulude Magister Biologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Email: kuwatifolley@yahoo.co.id Pendahuluan Kabupaten
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki makna sesuatu yang beragam, sesuatu yang memilik banyak perbedaan begitupun dengan masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sehingga kita dapat memberikan arti atau makna terhadap tindakan-tindakan
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah adalah peristiwa yang terjadi di masa lampau. Untuk mengetahui kejadian di masa lampau itu kita dapat dipelajari dari buktibukti yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. antaranya, waris menurut hukum BW (Burgerlijk Wetboek), hukum Islam, dan. Ika ini tidak mati, melainkan selalu berkembang.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan. Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris di antaranya, waris menurut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa serta budaya. Keanekaragaman kebudayaan ini berasal dari kebudayaan-kebudayaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dina Astrimiati, 2014 MOTIF HUKUMAN PADA LEGENDA GUNUNG PINANG KECAMATAN KRAMATWATU KABUPATEN SERANG, BANTEN
A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Legenda bagian dari folklor merupakan bentuk refleksi dari kehidupan masyarakat yang membesarkan cerita tersebut. Umumnya memiliki kegunaan sebagai alat pendidik,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. macam suku bangsa termasuk agamapun banyak aliran yang berkembang.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia memiliki berbagai macam adat dan kebudayaan yang berbeda, karena masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (stratifikasi sosial), yang mana terdiri dari kelas atas, kelas menengah dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum dalam setiap komunitas masyarakat memiliki struktur sosial yang mengkategorikan anggota masyarakatnya ke dalam kelas sosialnya masingmasing (stratifikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki beranekaragam budaya yang berbeda-beda, namun saling
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki beranekaragam budaya yang berbeda-beda, namun saling melengkapi satu sama lain. Menurut Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi (Darwis,2008:40) kebudayaan
Lebih terperinci2017 DAMPAK MODERNISASI TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT KAMPUNG BENDA KEREP KOTA CIREBON TAHUN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberagaman dalam budaya Indonesia tercermin dalam berbagai kebudayaan lokal yang berkembang di masyarakat. Keragaman tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, ialah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Kebudayaan Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi
Lebih terperinciA. LATAR BELAKANG MASALAH
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seperti marsombuh sihol dan rondang bittang serta bahasa (Jonris Purba,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Simalungun merupakan salah satu suku dengan ragam keunikan yang dimiliki, tanah yang subur, masyarakat yang ramah dan lemah lembut. Memiliki kekayaan warisan budaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. nasional di Indonesia, harus didahului dengan pengetahuan tentang latar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemahaman mengenai peranan pendidikan dalam pembangunan nasional di Indonesia, harus didahului dengan pengetahuan tentang latar belakang sosial budaya bangsa Indonesia.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Selain merubah status seseorang dalam masyarakat, pernikahan juga merupakan hal yang
Lebih terperinci2015 KEHID UPAN MASAYARAKAT BAD UY LUAR D I D ESA KANEKES KABUPATEN LEBAK BANTEN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling bergaul, atau dengan istilah ilmiah, saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terletak diujung pulau Sumatera. Provinsi Aceh terbagi menjadi 18 wilayah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia yang terletak diujung pulau Sumatera. Provinsi Aceh terbagi menjadi 18 wilayah kabupaten dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan budaya Indonesia mengalami pasang surut, pada awalnya, Indonesia sangat banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang kita terdahulu, hal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Keanekaragaman suku bangsa dengan budayanya di seluruh Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman suku bangsa dengan budayanya di seluruh Indonesia merupakan kebudayaan bangsa dan perlu mendapat perhatian khusus. Setiap suku bangsa memiliki budaya
Lebih terperinciD. Dinamika Kependudukan Indonesia
D. Dinamika Kependudukan Indonesia Indonesia adalah negara kepulauan dengan potensi sumber daya manusia yang sangat besar. Jumlah penduduk yang tinggal di Indonesia mencapai 256 juta jiwa (Worl Population
Lebih terperinci