BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMILIHAN LOKASI TERMINAL PENUMPANG TIPE A DI KABUPATEN KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TERMINAL TOPIK KHUSUS TRANSPORTASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses

Outline. Klasifikasi jalan Dasar-dasar perencanaan geometrik Alinemen horisontal Alinemen vertikal Geometri simpang

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Berdasarkan, Juknis LLAJ, Fungsi Terminal Angkutan Jalan dapat ditinjau dari 3 unsur:

MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Interpretasi Citra dan Foto Udara

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari lima Kota Besar di Indonesia adalah Kota Medan dengan

2.1 ANALISA JARINGAN JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Dr. Nindyo Cahyo Kresnanto

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peraturan Perundangan di Bidang LLAJ. Pasal 3 yang berisi menyataan transportasi jalan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN. JUDUL : Terminal Bus Induk Tipe A di Kabupaten Klaten

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu daerah membutuhkan jasa angkutan yang

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bermanfaat atau dapat berguna untuk tujuan tujuan tertentu. Alat pendukung. aman, nyaman, lancar, cepat dan ekonomis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendahuluan 10/12/2009

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Warpani ( 2002 ), didaerah yang tingkat kepemilikan kendaraaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kepariwisataan merupakan salah satu dari sekian banyak gejala atau

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

TERMINAL BUS TIPE A DI SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berlangsung tanpa diduga atau diharapkan, pada umumnya ini terjadi dengan

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

BAB I PENDAHULUAN. kompleks dibanding daerah sekitarnya (Bintarto, 1977). perekonomian, atau sebagai pusat pemerintahan (Darmendra, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG TERMINAL TRANSPORTASI JALAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Terminal dibangun sebagai salah satu prasarana yang. sangat penting dalam sistem transportasi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota Semarang merupakan ibu kota propinsi Jawa Tengah. Kota

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KAPASITAS JALAN TERHADAP KEMACETAN

TERMINAL. Mata Kuliah : Topik Khusus Transportasi Pengajar : Ir. Longdong Jefferson, MA / Ir. A. L. E. Rumayar, M.Eng

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 2 TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI 3.1 PENDEKATAN MASALAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

BAB I PENDAHULUAN I-1

ANALISIS KEBUTUHAN JALAN DI KAWASAN KOTA BARU TEGALLUAR KABUPATEN BANDUNG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem transportasi adalah suatu kesatuan dari elemen elemen, komponen komponen yang saling mendukung dan bekerja sama dalam pengadaan transportasi yang memiliki jangkaun pelayanan tertentu (Miro, 1997). Transportasi adalah pergerakan sesuatu atau usaha pemindahan berupa barang atau orang dari lokasi asal ke lokasi tujuan untuk keperluan tertentu dengan mempergunakan alat tertentu pula (Miro, 1997). Sistem transportasi di suatu wilayah dapat dijadikan salah satu indikator perkembangan wilayah karena dalam suatu sistem transportasi terdapat keperluan dari adanya transportasi. Keperluan tersebut dapat berupa suatu kepentingan yang berkaitan dengan bidang ekonomi, sosial, budaya, dll. Moda transportasi yang digunakan juga beragam sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi dan juga sesuai dengan keperluan dari adanya transportasi tersebut. Sistem transportasi yang memadai dalam memenuhi pergerakan masyarakat dan juga pergerakan barang di wilayah tertentu akan dapat berpengaruh pada pengembangan wilayah. Sistem transportasi massal dalam suatu perkotaan harus bersinergi dengan rencana perkembangan perkotaan itu sendiri, karena jika suatu perkotaan berkembang secara pesat tanpa dibarengi perkembangan sistem transportasi pada umumnya dan sistem transportasi massal pada khususnya maka sistem transportasi tersebut dapat berpotensi sebagai suatu masalah di suatu perkotaan. Salah satu contoh masalah yang dapat muncul adalah adanya kemacetan yang semakin parah sehingga akan dapat menghambat perkembangan perkotaan tersebut. Perkotaan dapat diartikan sebagai suatu bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur - unsur alami dan non alami dengan adanya gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan memiliki kehidupan yang sifatnya heterogen dan materialistis jika dibandingkan dengan wilayah di sekitarnya (Bintarto, 1977). Perkembangan suatu perkotaan dapat dilihat salah satunya oleh jaringan 1

transportasi yang ada dan juga dari pertumbuhan penduduk serta ekonomi karena setiap unsur unsur yang ada di wilayah perkotaan membutuhkan pergerakan baik manusia atau barang untuk memenuhi kebutuhan. Interaksi keruangan dari wilayah satu ke wilayah yang lainnya dapat dilihat melalui jaringan transportasi yang ada di wilayah tersebut. Adanya interaksi antar wilayah tersebut dapat menunjang proses perkembangan suatu wilayah. Kabupaten Klaten pada tahun 2010 memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.307.562 dan rata rata mengalami pertumbuhan penduduk sebesar 0,2% 0,4% setiap tahunnya (Klaten Dalam Angka Tahun 2013). Kabupaten Klaten wilayahnya sebagian besar berupa area pertanian dan terdapat wilayah perkotaan sebagai pusat pemerintahan dan pusat perekonomian. Pusat perekonomian di Kabupaten Klaten bertumpu pada sektor pertanian, dan sekarang sektor lainnya juga sudah mulai berkembang seperti sektor industri. Adanya perkembangan wilayah tersebut juga diikuti dengan adanya perkembangan jaringan transportasi. Simpul jaringan jalan di Kabupaten Klaten juga semakin berkembang dengan adanya jalan lingkar selatan dan juga semakin baiknya jaringan jalan yang mengarah ke kota kecamatan yang ada di Kabupaten Klaten. Simpul jaringan jalan yang terdapat di Kabupaten Klaten juga mengarah ke wilayah perkotaan. Simpul jaringan jalan tersebut secara regional menghubungkan dua kota besar yaitu wilayah perkotaan Yogyakarta dan Surakarta. Keberadaan Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta di sebelah barat dan timur dari Kabupaten Klaten secara langsung mempengaruhi mobilitas penduduk dan juga barang baik yang berasal dari Kabupaten Klaten sendiri atau dari interaksi kedua kota tersebut. Oleh karena itu jaringan jalan dan juga prasarana transportasi jalan juga harus memadai agar dapat melayani mobilitas masyarakat di Kabupaten Klaten baik yang beraktivitas di dalam kota maupun yang beraktivitas hingga ke luar kota. Prasarana transportasi jalan yang utama di suatu kabupaten salah satunya adalah jaringan jalan dan juga fasilitas transportasi seperti terminal penumpang. Prasarana transportasi ini penting karena terminal penumpang memiliki fungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan pedesaan, perkotaan hingga angkutan 2

antar kota antar provinsi bahkan angkutan antar negara jika wilayah tersebut berada di perbatasan dengan negara tetangga (Keputusan Menteri No 31 Tahun 1995). Mengingat pentingnya fungsi terminal penumpang maka setiap kabupaten / kota sebaiknya memiliki terminal sesuai dengan rencana umum jaringan transportasi jalan yang ditetapkan oleh Kementrian Perhubungan, agar mobilitas masyarakatnya dapat terpenuhi dan dapat menunjang perkembangan wilayah. Terminal penumpang di Kabupaten Klaten hingga pada tahun 2013 masih bertipe B dan dengan keberadaan Kabupaten Klaten sebagai jalur trayek antar kota dan antar provinsi serta berdasarkan penetapan Simpul Jaringan Transportasi Jalan untuk Terminal Penumpang Tipe A oleh Kementrian Perhubungan maka di Kabupaten Klaten harus memiliki Terminal Penumpang tipe A. Kajian mengenai pemilihan lokasi suatu Terminal Penumpang tipe A merupakan salah satu faktor yang penting karena terminal penumpang merupakan komponen utama dalam sistem jaringan transportasi jalan. Kegiatan pemilihan lokasi terminal tipe A sudah diatur pada Keputusan Menteri No 31 tahun 1995 tentang Terminal Transportasi Jalan. Untuk memudahkan dalam melakukan pemilihan lokasi tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dan dengan pengolahan melalui sistem informasi geografis. Data penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan pemilihan lokasi terminal penumpang tipe A adalah dengan menggunakan citra satelit resolusi sedang hingga tinggi. Salah satu keunggulan menggunakan data citra penginderaan jauh adalah dapat menyajikan gambaran objek, daerah dan gejala di permukaan bumi secara lengkap dengan wujud dan letak objek yang mirip dengan keadaan sebenarnya (Sutanto, 1986). Pengolahan data penginderaan jauh dan data sekunder dilakukan dengan sistem informasi geografis. Melalui sistem informasi geografis dapat dilakukan input data dari data penginderaan jauh dan data sekunder, kemudian manipulasi dan analisis data untuk pemilihan lokasi terminal penumpang tipe A. 3

1.2. Rumusan Masalah Sistem transportasi di suatu wilayah yang baik dan memadai akan dapat memenuhi kebutuhan pergerakan masyarakat baik untuk pemenuhan pergerakan barang ataupun orang. Semakin baik perkembangan suatu wilayah maka sistem transportasi yang ada juga harus semakin baik, apabila perkembangan wilayah tidak diikuti oleh perkembangan sistem transportasi maka hal tersebut akan dapat menimbulkan masalah seperti adanya kemacetan. Apabila suatu wilayah yang belum begitu berkembang memiliki sistem transportasi yang baik maka wilayah tersebut berpotensi dapat berkembang dengan baik karena pola distribusi jaringan yang ada sudah memadai dan menunjang untuk perkembangan suatu wilayah. Sistem transportasi yang baik harus ditunjang oleh prasarana transportasi yang baik. Salah satu prasarana transportasi adalah terminal penumpang. Keberadaan terminal penumpang merupakan tempat sejumlah bus atau penumpang mengawali dan mengakhiri perjalanan (Miro, 2012). Keberadaan terminal di suatu wilayah merupakan hal yang penting sebagai simpul transportasi utama baik transportasi secara lokal atau regional. Oleh karena itu penempatan suatu terminal penumpang merupakan hal yang penting dalam sistem transportasi suatu wilayah. Keputusan Dirjen Perhubungan Darat No 1361 tahun 2003 tentang Penetapan Simpul Jaringan Transportasi Jalan untuk Terminal Penumpang Tipe A di seluruh Indonesia. Berdasarkan surat keputusan tersebut kabupaten klaten termasuk dalam simpul jaringan transportasi jalan nasional dan harus memiliki terminal penumpang tipe A. Kabupaten Klaten hingga tahun 2013 terminal yang ada masih bertipe B. Adanya terminal penumpang tipe A juga akan digunakan sebagai terminal induk yang dapat memudahkan distribusi transportasi dengan pengaturan rute transportasi dari terminal penumpang tipe A hingga ke terminal penumpang tipe C sehingga distribusi tranportasinya akan semakin baik. Salah satu cara yang dapat mempermudah dalam melakukan pemilihan lokasi suatu Terminal Penumpang tipe A adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan citra resolusi tinggi seperti citra Geo Eye-1. Melalui citra Geo Eye-1 dapat dilakukan ekstraksi data yang dapat 4

digunakan untuk identifikasi parameter parameter yang digunakan untuk pemilihan lokasi terminal penumpang tipe A. Ketentuan untuk pemilihan lokasi Terminal Penumpang tipe A diatur oleh Keputusan Menteri No 31 tahun 1995 tentang Terminal Transportasi Jalan. Dalam peraturan tersebut telah ditetapkan beberapa kriteria dan untuk merumuskan kriteria tersebut dapat dipermudah dengan Sistem Informasi Geografis dalam pengolahan data hingga diperoleh pemilihan lokasi Terminal Penumpang Tipe A di Kabupaten Klaten. 1.3. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana cara memetakan parameter parameter yang digunakan untuk pemilihan lokasi terminal penumpang tipe A? 2. Bagaimana cara menentukan lokasi yang sesuai untuk terminal penumpang tipe A di Kabupaten Klaten dengan menggunakan sistem informasi geografis dan penginderaan jauh. 1.4. Tujuan Penelitian 1. Memetakan parameter parameter yang digunakan untuk pemilihan lokasi terminal penumpang tipe A. 2. Menentukan lokasi yang sesuai untuk terminal penumpang tipe A di Kabupaten Klaten dengan menggunakan sistem informasi geografis dan penginderaan jauh. 1.5. Kegunaan Penelitian 1. Memberikan informasi pemilihan lokasi untuk terminal penumpang tipe A di Kabupaten Klaten dengan menggunakan sistem informasi geografis dan penginderaan jauh. 2. Memberikan informasi mengenai pemilihan lokasi terminal penumpang tipe A di Kabupaten Klaten. 3. Memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu sistem informasi geografis dan penginderaan jauh terutama dalam bidang transportasi dan pemilihan fasilitas umum. 5

4. Memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah Kabupaten Klaten dalam merencanakan pembangunan transportasi terutama untuk pemilihan lokasi terminal. 1.6. Telaah Pustaka 1.6.1. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai suatu kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, memperbarui, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (ESRI, 1990). Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sejenis perangkat lunak, perangkat keras (manusia, prosedur, basis data, dan fasilitas jaringan komunikasi) yang dapat digunakan untuk memfasilitasi proses pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan, dan keluaran data / informasi geografis berikut atribut-atribut terkait (Prahasta, 2001). Sistem Informasi Geografis memiliki unsur unsur seperti proses pemasukan, penyimpanan, manipulasi hingga keluaran data / informasi yang dihasilkan. Proses dalam SIG tersebut pada setiap prosesnya memiliki fungsi seperti menurut Dulbahri (2008). Fungsi Sistem Informasi Geografis (Dulbahri, 2008) adalah : 1. Perolehan dan pemrosesan awal data 2. Pengelolaan, penyimpanan dan, pengambilan ulang data 3. Manipulasi dan analisis 4. Keluaran Aplikasi dari Sistem Informasi Geografis salah satunya adalah untuk mendukung pegambilan keputusan dan pengelolaan mengenai fasilitas kota. Salah atu fasilitas kota yang penting adalah mengenai keberadaan Terminal Penumpang di suatu wilayah. Untuk dapat menentukan lokasi Terminal Penumpang di suatu wilayah dapat menggunakan Sistem Informasi Geografis dengan perpaduan dari data spasial berupa citra satelit yang merupakan bagian dari ilmu penginderaan jauh. 6

Informasi-informasi spasial atau yang bereferensi geografi, dikembangkan suatu SIG otomatis. SIG tersebut antara lain digunakan untuk menangani pengorganisasian data dan informasi, menempatkan informasi pada lokasi tertentu, melakukan komputerisasi, serta memberikan ilustrasi hubungan antara satu objek dan objek lainnya. Oleh karena itu, SIG merupakan suatu teknologi informasi yang dapat digunakan untuk membantu pekerjaanpekerjaan yang berhubungan dengan bidang-bidang spasial, khususnya untuk membuat suatu model data spasial. Hal itu karena SIG mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam menggambarkan data-data spasial dan data-data atributnya. Sistem Informasi Geografis dapat melakukan analisis secara spasial antara lain dengan overlay (Prahasta, 2001). Dalam kaitannya dengan penentuan lokasi terminal maka Sistem Informasi Geografis akan sangat membantu untuk memperoleh rekomendasi mengenai pemilihan lokasi terminal yang sesuai dengan proses overlay. Overlay atau tumpang susun merupakan operasi untuk menggabungkan minimal dua layer data spasial baru yang memiliki unit spasial dan atribut gabungan dari dua layer tersebut. 1.6.2. Pendekatan dalam Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah suatu sistem yang dapat digunakan untuk menyimpan, mengolah, menganalisis, dan menghasilkan data dalam bentuk geospasial. Sistem Informasi Geografis memiliki empat fungsi utama, yakni mapping, monitoring, measurement, modelling. Salah satu teknik yang digunakan untuk melakukan modelling adalah teknik overlay atau tumpang susun. Overlay atau tumpang susun adalah teknik menggabungkan beberapa data geospasial atau peta yang mempunyai referensi sama untuk menghasilkan data atau peta baru sesuai dengan tujuan dari proses tumpang susun tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam teknik overlay atau tumpang susun adalah pendekatan matriks dua dimensional, pendekatan kuantitatif binary, pendekatan kuantitatif berjenjang, dan pendekatan kuantitatif berjenjang 7

tertimbang. Pendekatan dalam Sistem Informasi Geografis bertujuan untuk mempermudah penyelesaian masalah dalam lingkup geografi. Pendekatan matriks dua dimensional adalah pendekatan yang dilakukan pada peta dengan lokasi yang sama dan dengan tahun yang berbeda, dari kedua data tersebut akan dapat diketahui perubahan penggunaan lahan yang ada dalam rentang waktu pada peta. Analisis yang dapat dilakukan adalah perubahan penggunaan lahan dan luasan perubahannya. Pendekatan binary adalah pendekatan yang hanya memberikan dua pilihan dapat berupa sesuai dan tidak sesuai, benar dan salah, atau jika dalam bahasa pemrograman dapat berupa nilai 0 atau 1. Pendekatan kuantitatif berjenjang pada tiap unit dalam satu tema memiliki nilai atau harkat yang sama atau setara kontribusinya terhadap penentuan hasil dari modelnya. Pada pendekatan kuantitatif berjenjang setiap parameter memiliki bobot yang sama dan dianggap memiliki kontribusi yang sama dalam penentuan hasil akhir dari pembuatan model. Pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang pada setiap unit dalam satu tema memiliki nilai atau harkat yang disesuaikan dengan kontribusi terhadap penentuan hasil dari modelnya. Jadi pada beberapa parameter memiliki kontribusi yang berbeda dalam menentukan hasil akhir. Penelitian pemilihan lokasi untuk terminal penumpang tipe A di Kabupaten Klaten menggunakan pendekatan kuantitatif berjenjang. Jadi semua parameter yang digunakan memiliki kontribusi yang sama dalam menentukan hasil pemilihan lokasi. 1.6.3. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala, dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat, tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau gejala yang akan dikaji (Lillesand dan Kiefer, 2004). Melalui penginderaan jauh dapat dikembangkan untuk menganalisis informasi tentang bumi, terutama radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi sehingga akan membentuk objek hasil pemantulan dan pemancaran gelombang elektromagnetik. 8

Citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk melihat objek objek dengan perbesaran objek sesuai dengan resolusi spasialnya. Citra satelit dengan resolusi spasial yang tinggi, memberikan visual permukaan bumi sangat detail. Citra Satelit merupakan suatu gambaran permukaan bumi yang direkam oleh sensor (kamera) pada satelit penginderaan jauh yang mengorbit bumi, dalam bentuk image (gambar) secara digital. Pemanfaatan citra satelit saat ini sudah sangat luas jangkauannya, terutama dalam hal yang berkaitan dengan ruang spasial permukaan bumi, mulai dari bidang Sumber Daya Alam, Lingkungan, Kependudukan, Transportasi sampai pada bidang Pertahanan (militer). Di Indonesia penerapan teknologi penginderaan jauh ini telah dilakukan masih pada sebagian besar untuk keperluan inventarisasi potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup, namun intensitasnya masih sangat sedikit dan belum merata di seluruh wilayah. Citra satelit resolusi tinggi terdapat beberapa macam seperti citra Quickbird, citra Ikonos dan citra Geo-Eye 1, ketiga citra tersebut memiliki resolusi spasial yang berbeda beda. Interpretasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk dapat menemukenali objek yang ada pada citra sehingga di dapat hasil interpretasi berupa gambaran objek berdasarkan batasan yang dilakukan oleh interpreter. Ketelitian interpretasi terdiri dari ketelitian parameter, ketelitian hasil dan, ketelitian pemetaan. Ketelitian hasil diperoleh dengan membandngkan hasil akhir evaluasi dengan kebenaran yang dapat berupa suatu peta atau catatan formal. Kemampuan menginterpretsi suatu objek sangat dipengaruhi oleh resolusi spasial sistem penginderaan jauh yang digunakan, rasio kontras, kompleksitas lingkungan, kemampuan interpreter dan skala peta (Sutanto, 1997) Citra satelit Geo Eye-1 pertama kali diluncurkan pada 6 september 2008 di California, Amerika Serikat. Pembuatan citra satelit Geo Eye 1 didukung oleh Google dan National Geographic Intelligence Agency (NGA). Satelit Geo Eye 1 memiliki sensor pankromatik hitam putih dengan resolusi spasial 0,41 meter dan untuk sensor multispektral memiliki resolusi spasial 1,65 meter. Resolusi spasial yang tinggi mendukung citra satelit Geo Eye 1 untuk aplikasi mengenai penginderaan jauh dengan tema kajian : Perkotaan, Pertanian, Pemetaan dengan 9

layanan berbasis lokasi, Transportasi. Spesifikasi dan karakteristik dari citra satelit Geo Eye 1 adalah sebagai berikut. Tabel 1.1. Spesifikasi dan karakteristik citra Geo Eye 1 Informasi Peluncuran 6 september 2008 Cara perekaman Pankromatik dan multispektral Resolusi spasial 0,41 m / 1,34 feet (pankromatik) 1,65 m / 5,41 feet (multispektral) Resolusi spektral Pankromatik : 450 800 nm Biru : 450 510 nm Merah : 655 690 nm Inframerah dekat : 780 920 nm Akurasi metrik CE stereo : 2 m / 6,6 feet LE stereo : 3 m / 9,84 feet CE mono : 2,5 m / 8,2 feet Sumber : www.geoeye.com, 2015 Citra satelit Geo-eye 1 merupakan citra satelit dengan resolusi spasial tinggi yaitu 0,41 m untuk saluran pankromatik dan 1,65 m untuk saluran multispektral. Resolusi spasial yang tinggi memungkinkan untuk mengamati objek yang kecil seperti atap rumah atau jalan. Oleh karena itu citra ini sesuai untuk kajian di bidang perkotaan. Informasi yang dapat diperoleh melalui citra resolusi spasial tinggi adalah informasi penggunaan lahan, kondisi geometri jalan. Penggunaan citra satelit Geo-eye 1 pada perolehan data untuk pemilihan lokasi terminal penumpang tipe A ditekankan pada interpretasi secara visual. Kemampuan citra satelit Geo-eye 1 dalam pemilihan lokasi terminal penumpang tipe A yaitu dapat memperoleh informasi penggunaan lahan, kondisi geometri jalan serta pengukuran jarak antar terminal. Di mana informasi tersebut harus dilalukan uji lapangan untuk menguji tingkat akurasi dari hasil interpretasi. 1.6.4. Interpretasi Citra Interpretasi citra adalah penyadapan data dari citra dan menggunakan data tersebut untuk tujuan tertentu (Sutanto, 1997). Interpretasi citra menggunakan unsur interpretasi yang terdiri atas rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan, situs dan asosiasi. 10

1. Rona dan Warna Rona adalah tingkat kecerahan pada citra. Rona memiliki tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya, sedangkan warna memiliki tingkatan lebih beragam dengan beberapa kombinasi hasil penangkapan cahaya yang membentuk suatu warna. 2. Ukuran Ukuran adalah perbandingan antara objek yang ada di lapangan dengan kenampakan objek tersebut pada citra. Pemanfaatan unsur interpretasi ukuran harus memperhatikan skala citra. 3. Bentuk Bentuk adalah kerangka suatu objek, sehingga dapat mengetahui ciri suatu kenampakan yang ada pada citra dapat diidentifikasi dan dapat dibedakan antar objek. 4. Tekstur Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok objek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual. Tekstur sering dinyatakan dari kasar sampai halus. 5. Pola Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek bentukan manusia dan bagi beberapa objek alamiah lainnya. Pengulangan bentuk tertentu dalam hubungan merupakan karakteristik bagi objek alamiah akan memberikan suatu pola yang membantu interpretasi. 6. Bayangan Bayangan bersifat menyembunyikan objek di daerah gelap, tetapi bayangan penting untuk interpretasi beberapa objek yang justru lebih mudah diamati dari bayangannya. Unsur bayangan dapat menentukan arah mata angin serta pengenalan terhadap suatu objek yang kemungkinan sulit diinterpretasi sebelumnya. 7. Situs Situs atau lokasi suatu objek merupakan hubungan satu objek dengan objek lain yang dapat membantu dalam menginterpretasi citra. 11

8. Asosiasi Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara objek yang satu dengan objek yang lain. Interpretasi citra dalam menentukan suatu objek dapat menggunakan beberapa unsur interpretasi secara bersamaan agar lebih mendapatkan gambaran objek yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Hasil interpretasi citra perlu dilakukan uji ketelitian dengan membandingkan objek yang ada di lapangan sehingga hasil interpretasi memiliki tingkat akurasi yang baik dengan kondisi objek sebenarnya di lapangan. 1.6.5. Tipe dan Fungsi Terminal Terminal Penumpang adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan menurunkan dan menaikkan penumpang, perpindahan intra dan/atau antar moda transportasi serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan kendaraan umum (Keputusan Menteri No 31 Tahun 1995). Menurut Ditjen Perhubungan Darat terminal angkutan umum dapat diartikan sebagai titik simpul berbagai moda angkutan, tempat berpindahnya penumpang dari suatu moda ke moda transportasi lainnya. Terminal merupakan alat pemroses dalam kegiatan transportasi, dimana suatu urutan kegiatan tertentu harus dilakukan untuk memungkinkan satuan lalu lintas diproses hingga sampai pada tujuan. (Morlok, 1991) Tipe terminal penumpang terdiri dari : 1. Terminal penumpang tipe A Terminal penumpang tipe A berfungsi untuk melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota antar provinsi dan/atau angkutan lintas batas negara, angkutan antar kota dalam provinsi, angkutan kota dan angkutan pedesaan. 12

Gambar 1.1. Terminal Tipe A Giwangan Yogyakarta Sumber : waktoe/ibrahim, 2014 2. Terminal penumpang tipe B Terminal penumpang tipe B berfungsi untuk melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota dalam provinsi, angkutan kota dan/atau angkutan pedesaan. Gambar 1.2. Terminal Tipe B Jonggrangan Klaten Sumber : infosoloraya.com-klaten, 2012 3. Terminal penumpang tipe C Terminal penumpang tipe C berfungsi untuk melayani kendaraan umum untuk angkutan pedesaan. 13

1.6.6. Penentuan Lokasi Terminal Gambar 1.3. Terminal Tipe C Delanggu Klaten Sumber : JIBI/SOLOPOS/Moh Khodiq Duhri, 2012 Lokasi terminal penumpang tipe A, tipe B dan tipe C, ditetapkan dengan memperhatikan (Keputusan Menteri No 31 Tahun 1995) : 1. rencana umum tata ruang; 2. kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan di sekitar terminal; 3. keterpaduan moda transportasi baik intra maupun antar moda; 4. kondisi topografi lokasi terminal; 5. kelestarian lingkungan. Penetapan lokasi terminal penumpang tipe A selain harus memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, harus memenuhi persyaratan (Keputusan Menteri No 31 Tahun 1995) : 1. terletak dalam jaringan trayek antar kota antar provinsi dan/atau angkutan lalu lintas batas negara; 2. terletak di pinggir jalan arteri dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas IIIA; 3. jarak antara dua terminal penumpang tipe A, sekurang-kurangnya 20 km di Pulau Jawa, 30 km di Pulau Sumatera dan 50 km di pulau lainnya; 4. luas lahan yang tersedia sekurang-kurangnya 5 ha untuk terminal di Pulau Jawa dan Sumatera, dan 3 ha di pulau lainnya; 14

5. mempunyai akses jalan masuk atau jalan keluar ke dan dari terminal dengan jarak sekurang kurangnya 100 m di Pulau Jawa dan 50 m di pulau lainnya, dihitung dari jalan ke pintu keluar atau masuk terminal. Penetapan lokasi Terminal dilakukan oleh : 1. Tipe A : ditentukan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat setelah mendengar pendapat dari Gubernur 2. Tipe B : ditentukan oleh Gubernur setelah mendengar pendapat dari Dinas Perhubungan Provinsi setempat 3. Tipe C : ditentukan oleh Bupati setelah mendengar pendapat dari Dinas Perhubungan Provinsi setempat dan mendapat persetujuan dari Gubernur Terdapat beberapa konsep dalam penentuan lokasi terminal penumpang. Konsep yang pertama yaitu mengembangkan satu terminal terpadu di tengah kota yang melayani semua jenis angkutan. Sehingga terminal penumpang tersebut akan menjadi terminal induk untuk rute AKAP, AKDP hingga angkutan pedesaan. Konsep yang kedua adalahan dengan mengembangkan sejumlah terminal di tepi kota yang merupakan jalur antar kota (Abubakar, 1995). Terminal penumpang harus memiliki kemudahan dalam melakukan sirkulasi kendaraan dan manusia (Iskandar, 2011). Penentuan lokasi terminal dengan beberapa kriteria dalam penerapannya beberapa kriteria tersebut dapat dilihat melalui teknologi penginderaan jauh dengan cara interpretasi visual dengan menggunakan citra beresolusi tinggi. Hasil interpretasi tersebut hasil di uji dengan keadaan sesungguhnya di lapangan (Sutanto, 1997). Hasil interpretasi tersebut dapat diproses dengan menggunakan konsep sistem informasi geografis yaitu overlay dengan metode pendekatan kuantitatif berjenjang. Pada pendekatan kuantitatif berjenjang setiap unit dalam satu tema memiliki nilai atau harkat yang sama. Untuk penentuan kelasnya berdasarkan klasifikasi dari hasil harkat secara keseluruhan. 15

1.6.7. Jaringan Jalan sebagai Sistem Transportasi Sistem transportasi adalah suatu kesatuan dari komponen yang saling mendukung dan berkerja sama dalam pengadaan pelayanan jasa transportasi yang melayani mulai dari tingkat lokal hingga tingkat nasional dan internasional (Miro, 2012). Jaringan jalan merupakan bagian dari sistem transportasi, peran dari jaringan jalan cukup besar terutama pada transportasi darat karena dengan adanya jaringan jalan yang memadai maka suatu kesatuan transportasi tersebut akan dapat berjalan dengan baik mulai dari transportasi barang ataupun manusia. Oleh karena itu terdapat klasifikasi jalan dengan berbagai jenis. Menurut UU RI no 38 tahun 2004 tentang Jalan, sistem jaringan jalan terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. 1. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan. 2. Sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. Sistem jaringan transportasi memiliki fungsi untuk rencana pengembangan jaringan jalan agar sesuai dengan fungsinya. Untuk jalan berdasarkan fungsinya dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan (UU RI no 38 tahun 2004). 1. Jalan arteri adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. 2. Jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi. 16

3. Jalan lokal adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. 4. Jalan lingkungan adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah. Menurut UU RI no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, pengelompokan jalan menurut kelas jalan terdiri dari : 1. Jalan Kelas I merupakan jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 meter, ukuran panjang tidak melebihi 18 meter, ukuran paling tinggi 4,2 meter, dan muatan sumbu terberat 10 ton. 2. Jalan Kelas II merupakan jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 meter, ukuran panjang tidak melebihi 12 meter, ukuran paling tinggi 4,2 meter, dan muatan sumbu terberat 8 ton. 3. Jalan Kelas III merupakan jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,1 meter, ukuran panjang tidak melebihi 9 meter, ukuran paling tinggi 3,5 meter, dan muatan sumbu terberat 8 ton. 4. Jalan Kelas Khusus merupakan jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2,5 meter, ukuran panjang melebihi 18 meter, ukuran paling tinggi 4,2 meter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 ton. 17

Setiap jaringan jalan membutuhkan perawatan dan pengelolaan. Untuk mempermudah melakukan perawatan dan pengelolaan maka diperlukan status jalan. Jalan menurut statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa (UU RI no 38 tahun 2004). 1. Jalan nasional adalah jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antaribukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol. 2. Jalan provinsi adalah jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi. 3. Jalan kabupaten adalah jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer, yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten. 4. Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota. 5. Jalan desa adalah jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antarpermukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan. Ketentuan untuk pembuatan Terminal tipe A terletak di jalan arteri dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas IIIA. Selain mengenai jenis jenis jalan terdapat pula kapasitas jalan. Kapasita jalan merupakan kemampuan dari suatu jalan untuk menampung arus maksimal pada ruas jalan tertentu dan pada 18

satuan waktu tertentu. Faktor jenis jalan dan kapasitas jalan merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi untuk Terminal tipe A. 1.6.8. Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai sistem informasi geografis tentang transportasi ataupun penelitian tentang studi transportasi sudah banyak dilakukan. Beberapa penelitian tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. Murti (2004) melakukan penetilitian skripsi dengan judul Pemanfaatan Foto Udara dan Sistem Informasi Geografis untuk Pemilihan Lokasi Terminal Bus di Kota Cilacap. Penelitian ini memiliki tujuan untuk memanfaatkan foto udara pankromatik berwarna skala 1 : 20.000 dalam identifikasi karakteristik fisik lahan daerah perkotaan sebagai dasar untuk pemilihan lokasi terminal bus serta menentukan lokasi untuk pembangunan terminal bus baru di kota Cilacap. Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah melakukan analisis dari setiap parameter fisik. Parameter fisik tersebut diperoleh dari interpretasi dan pengukuran pada foto udara. Parameter yang digunakan adalah bentuklahan, tekstur tanah, penggunaan lahan, kemiringan lereng, daya dukung tanah, kedalaman muka airtanah, drainase permukaan dan kerentanan bencana. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif berjenjang dan menghasilkan peta kesesuaian lahan untuk terminal bus sesuai dengan parameter fisik yang dikombinasikan dengan data sekunder. Hasil dari penelitian ini adalah Peta kelas kesesuaian lahan untuk lokasi pembangunan terminal bus dan Peta rekomendasi akhir lokasi pembangunan terminal bus di Cilacap. Persamaan dari penelitian Murti (2004) dengan penelitian ini adalah pada pendekatan yang digunakan yaitu dengan menggunakan pendekatan kuantitatif berjenjang. Untuk perbedaannya adalah dengan menggunakan foto udara dan citra Geo Eye-1. Noviyanti (2012), melakukan penelitian dengan tema evaluasi keberadaan terminal tipe A. Judul dari penelitian tersebut adalah Evaluasi Kriteria Penetapan Lokasi Terminal Tipe A (Studi Kasus : Terminal Leuwipanjang, Bandung dan Terminal Giwangan, Yogyakarta). Tujuan dari penelitian ini adalah agar dapat menyusun kriteria penempatan lokasi terminal tipe 19

A berdasarkan parameter yang ada di Keputusan Menteri No 31 tahun 1995 tentang Terminal Transportasi Jalan, serta memberikan masukan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait prioritas kriteria penempatan lokasi terminal tipe A. Metode analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan Analityc Hierarchy Process. Pengertian dari Analityc Hierarchy Process (AHP) adalah metode pengambilan keputusan yang dikembangkan untuk suatu permasalahan yang kompleks. Hasil dari metode AHP adalah peringkat antar prioritas kriteria penempatan lokasi terminal tipe A. Hasil dari penelitian ini adalah urutan kriteria utama dalam menentukan lokasi terminal berdasarkan bobot kriteria yaitu deman terminal (0,39), kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan (0,17), kelestarian lingkungan (0,13), keterpaduan antar moda (0,10), RUTR (0,09), kondisi topografi (0,07), dan keamanan serta keselamatan (0,06). Melalui urutan bobot kriteria tersebut juga akan dijabarkan lagi urutan bobot untuk sub kriteria sehingga setiap parameter yang digunakan diketahui bobotnya. Persamaan penelitian dari Noviyanti (2012) adalah mengenai tema mengenai terminal penumpang tipe A dan beberapa parameter yang digunakan seperti parameter tingkat pelayanan jalan. Untuk perbedaannya adalah mengenai metode yang digunakan dengan menggunakan AHP. Iskandar (2011), melakukan penelitian dengan judul Evaluasi Kebutuhan Fasilitas Terminal Tipe A Asal Tujuan dan Tipe A Transit (Studi Kasus Terminal Tirtonadi dan Terminal Kota Klaten). Penelitian ini bertujuan untuk menyusun kebutuhan fasilitas terminal penumpang Tipe A sesuai dengan jumlah penumpang dan volume/karakteristik kendaraan yang akan ditampung di dalamnya. Tujuan yang kedua adalah untuk mengevaluasi pembangunan terminal tipe A asal-tujuan atau terminal tipe A transit. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan survei lapangan untuk setiap lokasi terminal di Terminal Tirtonadi dan Terminal Kota Klaten. Survei yang dilakukan adalah menghitung jumlah kendaraan, jumlah penumpang, jumlah bus dan juga menghitung jumalah serta luasan fasilitas yang ada di terminal baik fasilitas utama dan juga fasilitas penunjang. Berdasarkan hasil tersebut dianalisis dan akan 20

mendapatkan kebutuhan fasilitas terminal sesuai dengan fungsinya. Hasil dari penelitian ini adalah Terminal Kota Klaten sebagai terminal transit dan Terminal Tirtonadi sebagai terminal asal-tujuan dilihat dari kebutuhan fasilitasnya membutuhkan pengembangan lahan terminal dan kebutuhan fasilitas pada terminal yang berujung pada luasan terminal untuk selanjutnya dapat ditentukan berdasarkan fungsi; yaitu fungsi pelayanan, fungsi demand kendaraan, fungsi penumpang dan fungsi kebijakan oleh pemerintah. Prayoga (2016), penelitian ini memiliki kesamaan tema dengan Murti (2004) yaitu mengenai kesesuaian lokasi untuk terminal tipe A dan dengan Noviyanti (2012) memiliki kesamaan melalui parameter yang digunakan yaitu parameter untuk ketentuan pembuatan terminal tipe A berdasarkan Keputusan menteri No 31 tahun 1995 tentang Terminal Transportasi jalan. Judul dari penelitian Prayoga (2016) adalah Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh untuk Pemilihan Lokasi Terminal Penumpang Tipe A di Kabupaten Klaten. Untuk perbedaan dalam penelitian ini adalah pada sumber data spasial yang digunakan pada penelitian Murti (2004) menggunakan foto udara dan pada penelitian ini menggunakan citra Geo Eye-1. Perbedaan dengan penelitian dari Noviyanti (2012) adalah pada metode, metode yang digunakan adalah AHP dan pada penelitian ini menggunakan metode scoring atau pengharkatan dengan pendekatan kuantitatif berjenjang. Tujuan penelitiannya adalah mengkaji peran penginderaan jauh untuk mengidentifikasi parameter parameter yang digunakan untuk pemilihan lokasi terminal penumpang tipe A. Melakukan pemilihan lokasi untuk terminal penumpang tipe A di Kabupaten Klaten dengan menggunakan aplikasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Menganalisis kesesuaian pemilihan lokasi terminal penumpang tipe A. Tahapan penelitian yang dilakukan adalah melakukan ekstraksi data penggunaan lahan dan geometrik jaringan jalan melalui citra resolusi tinggi yaitu citra Geo-eye 1. Untuk parameter yang lainnya berupa data sekunder dan data pengukuran lapangan. Metode yang digunakan adalah overlay / tumpang susun dengan pendekatan kuantitatif berjenjang. Hasil dari penelitian ini adalah analisis 21

kemampuan citra penginderaan jauh dalam memperoleh data melalui citra Geoeye 1 berdasarkan parameter pembuatan terminal penumpang tipe A dalam Keputusan Menteri No 31 tahun 1995 tentang Terminal Transportasi Jalan dan peta kesesuaian lahan untuk pembangunan terminal penumpang tipe A di Kabupaten Klaten serta analisis kesesuaian keberadaan terminal penumpang tipe A. 22

Tabel 1.2. Perbandingan dengan peneliti sebelumnya Penulis/Judul Tujuan Metode Hasil (1) (2) (3) (4) Firdaus Krisna Murti, 2004.Pemanfaatan Foto Udara dan Sistem Informasi Geografis untuk Pemilihan Lokasi Terminal Bus di Kota Cilacap. Skripsi 1. Memanfaatkan foto udara pankromatik berwarna skala 1 : 20.000 dalam identifikasi karakteristik fisik lahan daerah perkotaan sebagai dasar untuk pemilihan lokasi terminal bus 2. Menentukan lokasi untuk pembangunan terminal bus baru di Kota Cilacap Melakukan analisis dari setiap parameter fisik. Parameter fisik tersebut diperoleh dari interpretasi dan pengukuran pada foto udara. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif berjenjang dan menghasilkan peta kesesuaian lahan untuk terminal bus. 1. Peta kelas kesesuaian lahan untuk lokasi pembangunan terminal bus 2. Peta rekomendasi akhir lokasi pembangunan terminal bus di Cilacap Noviyanti, 2012. Evaluasi Kriteria Penetapan Lokasi Terminal Tipe A (Studi Kasus : Terminal Leuwipanjang, Bandung dan Terminal Giwangan, Yogyakarta). Jurnal Rudy Arya Iskandar, 2011. Evaluasi Kebutuhan Fasilitas 1. Menyusun kriteria penempatan lokasi terminal tipe A 2. Memberikan masukan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait prioritas kriteria penempatan lokasi terminal tipe A 1. Menyusun kebutuhan fasilitas terminal penumpang Tipe A sesuai dengan jumlah penumpang Metode analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan Analityc Hierarchy Process. Analityc Hierarchy Process (AHP) adalah metode pengambilan keputusan yang dikembangkan untuk suatu permasalahan yang kompleks. Hasil dari metode AHP adalah peringkat antar prioritas kriteria penempatan lokasi terminal tipe A Metode penelitian ini adalah dengan menggunakan survei lapangan untuk setiap lokasi terminal di Terminal 1. Urutan kriteria utama dalam menentukan lokasi terminal berdasarkan bobot kriteria yaitu deman terminal (0,39), kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan (0,17), kelestarian lingkungan (0,13), keterpaduan antar moda (0,10), RUTR (0,09), kondisi topografi (0,07), dan keamanan serta keselamatan (0,06) 1. Terminal Kota Klaten sebagai terminal transit dan Terminal Tirtonadi sebagai terminal asal- 23

Lanjutan Tabel 1.2. Perbandingan dengan peneliti sebelumnya Penulis/Judul Tujuan Metode Hasil Terminal Tipe A Asal Tujuan dan Tipe A Transit (Studi Kasus Terminal Tirtonadi dan Terminal Kota Klaten). Tesis dan volume/karakteristik kendaraan yang akan ditampung di dalamnya 2. Mengevaluasi pembangunan terminal tipe A asal-tujuan atau terminal tipe A transit Fuad Rosyadi Prayoga, 2016 Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh untuk Pemilihan Lokasi Terminal Penumpang Tipe A di Kabupaten Klaten (Penelitian saat ini) 1. Mengkaji peran penginderaan jauh untuk mengidentifikasi parameter parameter yang digunakan untuk pemilihan lokasi terminal penumpang tipe A. 2. Melakukan pemilihan lokasi untuk terminal penumpang tipe A di Kabupaten Klaten dengan menggunakan aplikasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. 3. Menganalisis kesesuaian pemilihan lokasi terminal penumpang tipe A Tirtonadi dan Terminal Kota Klaten. Survei yang dilakukan adalah menghitung jumlah kendaraan, jumlah penumpang, jumlah bus dan juga menghitung jumalah serta luasan fasilitas yang ada di terminal baik fasilitas utama dan juga fasilitas penunjang. Berdasarkan hasil tersebut dianalisis dan akan mendapatkan kebutuhan fasilitas terminal sesuai dengan fungsinya. Melakukan ekstraksi data penggunaan lahan dan geometrik jaringan jalan melalui citra resolusi tinggi. Untuk parameter yang lainnya berupa data sekunder dan data pengukuran lapangan. Metode yang digunakan adalah overlay / tumpang susun dengan pendekatan kuantitatif berjenjang. tujuan dilihat dari kebutuhan fasilitasnya membutuhkan pengembangan lahan terminal 2. Kebutuhan fasilitas pada terminal yang berujung pada luasan terminal untuk selanjutnya dapat ditentukan berdasarkan fungsi; yaitu fungsi pelayanan, fungsi demand kendaraan, fungsi penumpang dan fungsi kebijakan oleh pemerintah 1. Analisis kemampuan citra penginderaan jauh dalam memperoleh data melalui citra Geo-eye 1 berdasarkan parameter pembuatan terminal penumpang tipe A dalam Keputusan Menteri No 31 tahun 1995 tentang Terminal Transportasi Jalan 2. Peta kesesuaian lahan untuk pembangunan terminal penumpang tipe A di Kabupaten Klaten 3. Analisis kesesuaian keberadaan terminal penumpang tipe A 24

1.7. Kerangka Pemikiran Perkembangan suatu wilayah selalu diikuti oleh pertambahan penduduk di wilayah tersebut termasuk di Kabupaten Klaten. Pertambahan penduduk yang semakin banyak akan menyebabkan kebutuhan ruang yang semakin banyak, termasuk kebutuhan ruang untuk melakukan mobilitas. Ruang yang dibutuhkan untuk melakukan mobilitas merupakan sistem jaringan transportasi dan juga sarana pendukungnya. Sistem transportasi yang memadai merupakan suatu hal yang penting dalam menunjang pergerakan masyarakat dalam melakukan aktifitasnya. Keberadaan terminal penumpang tipe A dalam suatu sistem jaringan transportasi merupakan komponen utama karena terminal berfungsi untuk melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota antar provinsi dan/atau angkutan lintas batas negara, angkutan antar kota dalam provinsi, angkutan kota dan angkutan pedesaan (Keputusan Menteri No 31 Tahun 1995). Melihat fungsi terminal yang penting untuk mobilitas masyarakat di suatu daerah maka diperlukan kajian yang baik untuk penentuan lokasi terminal penumpang tipe A agar dapat berfungsi dengan baik. Data penginderaan jauh berupa citra satelit dengan resolusi tinggi seperti citra Geo-eye 1 baik digunakan dalam interpretasi di wilayah perkotaan baik untuk interpretasi penggunaan lahan dan juga interpretasi jaringan jalan. Dalam kajian penentuan lokasi terminal penumpang tipe A dibutuhkan informasi penggunaan lahan dan juga jaringan jalan yang dapat diperoleh dari citra satelit resolusi tinggi. Selain data tersebut untuk penentuan lokasi terminal penumpang tipe A parameternya didasarkan pada Keputusan Menteri No 31 Tahun 1995 tentang Terminal Transportasi Jalan. Parameter yang digunakan adalah peta penggunaan lahan, peta kelas jalan, kapasitas jalan, peta rencana tata ruang wilayah Klaten, jarak antar terminal, daya dukung tanah, dan peta status lahan. Pengolahan data data melalui parameter yang digunakan adalah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Melalui SIG dapat mengolah, menganalisis dan menghasilkan data bereferensi geografis untuk mendukung pengambilan keputusan, salah satunya adalah pengambilan keputusan tentang penentuan lokasi terminal penumpang tipe A. Metode yang digunakan adalah 25

metode pengharkatan berjenjang dengan menggunakan skor kesesuaian. Hasil metode pengharkatan berjenjang tersebut akan di dapat tiga kelas kesesuaian. Peta kesesuaian lahan untuk lokasi terminal penumpang tipe A merupakan hasil dari penelitian ini. Di mana melalui peta kesesuaian tersebut akan dianalisis lagi mengenai kesesuaian keberadaan terminal penumpang tipe A di Kabupaten Klaten. Keberadaan terminal penumpang tipe A di Kabupaten Klaten yang baru dibangun dan hingga awal tahun 2015 masih berlangsung pembangunannya tetapi sudah mulai dioperasikan mulai juli 2014 perlu di analisis kesesuaian lahannya. 26

Pertambahan Penduduk menyebabkan bertambahanya kebutuhan ruang untuk mobilitas penduduk Kebutuhan akan sistem transportasi yang memadai di Kabupaten Klaten Pentingnya penentuan lokasi terminal penumpang yang sesuai agar sesuai fungsi Keberadaan terminal penumpang merupakan salah satu komponen utama dalam sistem jaringan transportasi Data penginderaan jauh dan pengolahan dengan SIG sebagai salah satu alternatif untuk pemilihan lokasi terminal penumpang Parameter yang digunakan berdasarkan Keputusan Menteri No 31 Tahun 1995 Metode yang digunakan adalah pengharkatan berjenjang (scoring) Peta Hasil Pemilihan Lokasi Terminal Penumpang Tipe A Gambar 1.4. Diagram Kerangka Pemikiran 27

1.8. Batasan Istilah Operasional : 1. Kapasitas jalan : jumlah tiap jam maksimum dimana orang atau kendaraan diperkirakan akan dapat melintasi sebuah titik atau suatu ruas jalan selama periode waktu tertentu pada kondisi jalan, lalu lintas dan pengendalian biasa (MKJI No.036/T/BM/1997). 2. Satuan mobil penumpang : faktor pengubah untuk pembedaan tipe kendaraan dalam pengaruhnya terhadap kapasitas jalan sebagai suatu pembanding untuk satu mobil penumpang (Dirjen Bina Marga, 1997). 3. Tingkat pelayanan jalan (level of service) : suatu ukuran kualitatif yang menjelaskan kondisi kondisi operasional di dalam suatu aliran lalu lintas dan persepsi dari pengemudi dan penumpang terhadap kondisi kondisi tersebut (MKJI No.036/T/BM/1997). 4. Citra digital penginderaan jauh merupakan gambaran yang menggambarkan kenampakan permukaan (atau dekat permukaan) bumi yang diperoleh melalui proses perekaman pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetik secara serentak dengan sensor pelarik yang terpasang pada suatu wahana seperti pesawat udara (Danoedoro, 1996). 5. Ekivalen mobil penumpang merupakan faktor pengubah berbagai jenis kendaraan dibandingkan dengan mobil penumpang atau kendaraan ringan (MKJI No.036/T/BM/1997). 6. Interpretasi citra merupakan suatu proses penafsiran atau pemberian makna dibalik objek dengan ukuran dan bentuk yang nampak pada citra (Lilesand dan Kiefer, 1999). 7. Jalur merupakan bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan (MKJI No.036/T/BM/1997). 8. Kapasitas jalan merupakan jumlah lalu lintas kendaraan maksimum yang dapat ditampung pada ruas jalan selama kondisi tertentu berdasarkan desain geometri, lingkungan dan komposisi lain yang dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp/jam) (MKJI No.036/T/BM/1997). 28

9. Lajur merupakan bagian dari jalur lalu lintas tempat lalu lintas bergerak, untuk satu kendaraan (MKJI No.036/T/BM/1997). 10. Satuan mobil penumpang merupakan satuan arus lalu lintas, dimana arus dari berbagai tipe kendaraan telah diubah menjadi kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan emp (MKJI No.036/T/BM/1997). 11. Status lahan adalah informasi yang menggambarkan kepemilikan lahan yang ada suatu wilayah tertentu (UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria). 12. Geometrik jalan adalah karakteristik fisik jalan yang mencakup lengkung horizontal (belokan/tikungan), lengkung vertikal (tanjakan) dan penampang melintang (Miro, 2012). 13. Penggunaan lahan meliputi segala jenis kenampakan dan sudah dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan, sedangkan penutup lahan mencakup segala jenis kenampakan yang ada di permukaan bumiyang ada pada lahan tertentu (Malingreau, 1979). 14. Kemiringan Lereng (Slope) adalah perbandingan antara tinggi vertikal antara dua titik dengan jarak horisontal kedua titik tersebut dan dapat dinyatakan dalam satuan derajat atau prosentase (ESRI, 2008). 29