BAB I PENDAHULUAN. Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan

BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG ZONA LARANGAN TERBANG A. PENGERTIAN ZONA LARANGAN TERBANG

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat

BAB III PENERAPAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE (ADIZ) DALAM KONVERSI PARIS wilayah yang dimaksud. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek

Lampiran. Timeline Konflik Yang Terjadi Di Suriah Kekerasan di kota Deera setelah sekelompok remaja

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

BAB I PENDAHULUAN. khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

*46879 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 6 TAHUN 1997 (6/1997)

BAB I PENDAHULUAN. wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2)

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TANGGUNG JAWAB NEGARA UKRAINA ATAS JATUHNYA PESAWAT MALAYSIA AIRLINES MH17 DITINJAU DARI HUKUM UDARA INTERNASIONAL

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB SKRIPSI

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Khusus bagi Indonesia sebagai negara kepulauan angkutan udara

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PERANAN LIGA ARAB DALAM USAHA MENYELESAIKAN KONFLIK DI SURIAH. Organisasi yang bertujuan untuk menciptakan perdamaian antar negara-negara

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG. Inggris yang dikenal dengan istilah souveregnity yang kemudian berakar dari

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara

KEPPRES 83/1996, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi

BAB I PENDAHULUAN. Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara. Dari

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPBULIK INDONESIA,

2017, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. intervensi militer oleh pasukan koalisi Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Kanada dan

BAB I. Pendahuluan. Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II OPEN SKY POLICY SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM UDARA. 1. Sifat dan Tujuan / Jenis Hukum Udara Internasional

BAB IV KESIMPULAN. Dalam bab ini, penulis akan menuliskan kesimpulan dari bab-bab. sebelumnya yang membahas mengenai kelompok pemberontak ISIS dan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971

BAB VI. 6.1 Kesimpulan Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada masa Hafiz al-

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ARAB SURIAH MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA KONDISI PERANG MENGGUNAKAN CLUSTER BOMBS DAN KAITANNYA DENGAN TEORI JUST WAR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Nomor : SKEP / 300 / V / 2011 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 dan 3 (tiga) perjanjian internasion

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014 Online di

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. baik sengketa dalam negeri maupun luar negeri. Sengketa-sengketa tersebut dapat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

2015, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sistem transportasi nasional yang keberadaannya memiliki posisi dan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau krisis Suriah adalah konflik senjata berkelanjutan di Suriah antara pasukan pendukung pemerintah Ba'ath dan pengunjuk rasa yang menuntut pemunduran diri Presiden Bashar al - Assad. Kerusuhan dimulai pada tanggal 15 Maret 2011, dengan demonstrasi yang semakin berkembang secara nasional sejak April 2011 hingga saat ini. 4 Perang saudara Suriah ini telah mengakibatkan banyak terjadi kehancuran di negara tersebut, baik berupa kehancuran fisik negara, seperti hancurnya bangunan bangunan di berbagai tempat, sampai pada terlukanya para korban hingga tewas. Untuk mencegah keadaan yang semakin buruk, maka pihak oposisi pasukan pembebasan Suriah mengajukan rencana untuk pemberlakuan zona larangan terbang di Suriah. Pada dasarnya wilayah udara suatu negara adalah tertutup bagi aktivitas penerbangan negara lain. Oleh karena itu, setiap penerbangan yang melintasi wilayah udara suatu negara oleh pesawat asing negara lain tanpa izin negara kolong, merupakan pelanggaran wilayah udara. Setiap negara mempunyai sifat kedaulatan yang melekat padanya. Karena kedaulatan merupakan sifat atau ciri hakiki dari suatu negara. Bila dikatakan suatu 4 en.wikipedia.org/wiki/syrian_civil_war, 2013

negara berdaulat, maka makna yang terkandung adalah bahwa negara itu mempunyai suatu kekuasaan tertinggi dan secara de facto menguasai. 5 Prinsip yang menyatakan bahwa wilayah udara nasional suatu negara tertutup bagi penerbangan asing, diimplementasikan oleh setiap negara yang memiliki kemampuan serta kekuasaan udara, yang kemudian menetapkan bagian bagian wilayah udaranya yang tertentu dan khusus berdasarkan pertimbangan keamanan dan pertahanan yang perlu dilindungi. Pada bagian wilayah udara tertentu, tersebutlah istilah zona udara terlarang atau zona larangan terbang, dimana dinyatakan dengan tegas bahwa kawasan tersebut terlarang bagi penerbangan asing. Istilah zona larangan terbang digunakan untuk menggambarkan suatu daerah atau wilayah sebuah negara yang dijaga dan diawasi dengan menggunakan kekuatan udara oleh suatu negara berdaulat lainnya atau suatu koalisi. 6 Zona larangan terbang diatur dalam Pasal 3 dan 4 Konvensi Paris 1919. Menurut kedua pasal tersebut setiap negara berhak untuk menetapkan zona larangan terbang atas pertimbangan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional dengan ancaman hukuman bilaman terdapat pelanggaran. Ketentuan ini sesuai dengan usul yang disampaikan oleh delegasi Prancis pada saat Konferensi Paris 1910. Pada saat Konferensi Paris 1910 Prancis mengusulkan negara kolong berhak melarang setiap penerbangan pesawat udara militer melalui ruang udara di atas wilayah udaranya (right of the subjacent state of deny passanger of foreign military and police aircraft trough such airspace), namun demikian zona larangan terbang tersebut tidak boleh 5 Suherman, E., Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Penerbit Alumni, Bandung, 1989, hal 4. 6 Bernard, Alexander., Lessons from Iraqn and Bosnia on the Theory and Practice of No Fly Zones, The Journal of Strategic Studies, 2004, page 455.

diskriminasi anatar pesawat udara sipil nasional dengan atau pesawat udara sipil asing satu terhadap yang lain. Dalam hal terjadi pesawat udara sipil masuk zona larangan terbang, begitu menyadari berada dalam zona larangan terbang secepatnya meninggalkan zona larangan terbang tersebut sebelumnya harus dipublikasikan kepada negara anggota lainnya. Zona larangan terbang yang telah diatur dalam pasal 3 dan pasal 4 Konvensi Paris 1919 kemudian diubah dengan protokol yang ditandatangani tanggal 15 Juni 1929. Perubahan tersebut antara lain memberi kekuasaan kepada negara berdaulat untuk mengizinkan pesawat udara sipil nasional terbang di zona larangan terbang dalam hal sangat penting dan darurat. Demikian pula dikatakan dalam masa damai negara tersebut berhak untuk menetapkan zona larangan terbang seluruh atau sebagian wilayahnya. Semua bentuk penerbangan dilarang terbang di zona larangan terbang. Zona larangan terbang, di samping diatur dalam Konvensi Paris 1919, juga diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Berdasarkan pasal 1 jo pasal 9 Konvensi Chicago 1944 setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional berhak menetapkan zona larangan atau pembatasan terbang atas pertimbangan keamanan umum, pertimbangan militer, asalkan tidak ada perlakuan yang bersifat diskriminatif antara pesawat negara nasional dengan negara asing atau pesawat udara asing satu dengan yang lain. Meskipun setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas teritorialnya, tetapi apabila sampai mengancam pertahanan dan keamanan negara tersebut, maka pihak lain dapat turut intervensi demi kesejahteraan dunia. Demikianlah yang terjadi di Suriah, dimana terjadi konflik/ perang yang melibatkan pihak pemerintah dengan pihak anti pemerintah. Serangan bersenjata

yang dilakukan oleh kedua belah pihak, bahkan pihak pemerintah sampai melakukan serangan serangan dari udara, mengakibatkan banyaknya jumlah korban yang berjatuhan yang kebanyakan berasal dari penduduk sipil, sehingga tindakan ini dipandang sebagai tindakan yang mengancam pertahanan dan keamanan di Suriah. Sehubungan dengan konflik yang berkepanjangan itu, maka pihak Oposisi Nasional Suriah (SNC) menuntut komunitas internasional memberlakukan larangan terbang pada Damaskus untuk penggunaan kekuatan udara di daerah perkotaan, disamping senjata kimianya. Selain melarang penggunaan kekuatan udara, SNC juga menyerukan rencana untuk memindahkan persenjataan berat jauh dari daerah padat penduduk dan melarang penggunaannya di kota kota, dan desa. Namun demikian, pemberlakuan zona larangan terbang terhadap suatu negara masih menuai pro dan kontra hingga saat ini. Hal inilah yang menarik minat penulis untuk mengangkat sebagai judul skripsi penulis, yaitu: PEMBERLAKUAN ZONA LARANGAN TERBANG DI SURIAH. B. RUMUSAN MASALAH Dalam penulisan skripsi, penulis membatasi permasalahan pada : 1. Bagaimanakah pandangan umum tentang Zona Larangan Terbang? 2. Bagaimanakah peranan pasukan pembebasan suriah terhadap konflik yang terjadi? 3. Bagaimanakah kedudukan Zona Larangan Terbang di Suriah? C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi tugas akhir penulis sebagai pemenuhan syarat syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum, Medan. Manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pandangan umum tetang Zona Larangan Terbang 2. Untuk mengetahui peranan pasukan pembebasan suriah terhadap konflik yang terjadi. 3. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan Zona Larangan Terbang di Suriah. D. KEASLIAN PENULISAN Skripsi ini berjudul ZONA LARANGAN TERBANG DI SURIAH. Di dalam penulisan ini, penulis memulai dengan melakukan pengumpulan bahan bahan yang berhubungan dengan masalah zona larangan terbang, konflik yang terjadi di Suriah, serta mengenai pemberlakuan zona larangan terbang di Suriah menurut Konvensi Jenewa. Bahan bahan tersebut, penulis peroleh dari lieratur di perpustakaan, media cetak maupun media elektronik. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, penulis melakukan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum untuk membuktikan bahwa judul skripsi ini belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum. Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau yang telah tertulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab penulis itu sendiri.

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Dalam memahami isi skripsi ini, maka sebaiknya harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan zona larangan terbang. Istilah zona larangan terbang digunakan untuk menggambarkan suatu daerah atau wilayah sebuah Negara yang dijaga dan diawasi dengan menggunakan kekuatan udara oleh suatu Negara berdaulat lainnya atau suatu koalisi. 7 Zona larangan terbang diatur dalam Konvensi Paris 1919 yang kemudian diperbaiki dengan Protokol Paris 1929. Pada pasal 3 Protokol Paris 1929 diatur mengenai bentuk zona larangan terbang, yaitu terdiri dari dua bentuk 8 : 1. Zona larangan terbang yang ditetapkan atas dasar alasan pertahanan dan keamanan atau militer. Zona dengan bentuk semacam ini bersifat permanen, kecuali jika ada perubahan mengenai kepentingan militer atau pertahanan dan keamanan dari Negara yang bersangkutan. 2. Zona larangan terbang yang dinyatakan untuk seluruh atau sebagian udara nasional Negara kolong tertutup sama sekali bagi pesawat asing, karena keadaan darurat. Zona dengan bentuk penutupan wilayah udara hanya akan dilakukan sampai situasi dan kondisi pulih kembali. Zona larangan terbang, di samping diatur dalam Konvensi Paris 1919, juga diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Berdasarkan pasal 1 jo pasal 9 Konvensi Chicago 7 Ibid 8 Enna Nurhaina Burhan, Konsep Zona Larangan terbang dan Hukum Udara Internasional, Waspada, 26 Februari 1999.

1944 9 setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional berhak menetapkan zona larangan atau pembatasan terbang atas pertimbangan keamanan umum, pertimbangan militer, asalkan tidak ada perlakuan yang bersifat diskriminatif antara pesawat negara nasional dengan negara asing atau pesawat udara asing satu terhadap yang lain. Penetapan zona larangan terbang atau pembatasan tersebut harus wajar dan tidak mengganggu penerbangan internasional. Rincian zona larangan terbang maupun pembatasan tersebut harus segara diberitahukan kepada Organisasi Penerbangan Sipil Internasional serta negara anggota lainnya. Dalam keadaan yang sangat mendesak atau darurat atau kepentingan keselamatan umum negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional juga berhak melarang seluruh maupun sebagian wilayah asalkan tidak bersifat diskriminatif. Bilamana pesawat udara menyadari di zona larangan terbang, segera meninggalkan zona larangan tersebut dan mendarat di Bandar udara atau pangkalan udara terdekat. Berdasarkan hal inilah, penulis kemudian mengetengahkan skripsi mengenai rencana pemberlakuan zona larangan terbang Suriah, dimana terjadi konflik yang melibatkan pihak pemerintah yang dipimpin oleh Bashar al Assad melawan pihak pemberontak yang didominasi oleh penduduk sipil. Serangan bersenjata yang dilakukan 9 Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 : (a) Each Contracting state may, for reason of military necessity or publich safety, restrict or prohibit uniformly the aircraft of other state from flying over certain areas of its territory, provided that no distinction in this respect is made between the aircraft of the state whose territory is involved, engaged in international scheduled airlines service, and the aircraft of the other contracting states likewise engaged. Such prohibited area shall reasonable extent and location so as not to interference unnecessarily with navigation, description of such prohibited areas in the teritory of contracting states, as well as any subsequent alteration therein, shall be communicated as soon as possible to the other contracting states and to international civil aviation organization;(b) Each contracting states reserves also the right, in exceptional circumstances or during a period of emergency, or in the interest of public safety, and with immediate effect, temporary to ristrict or to prohibit flying over the whole or any part of its territory, on conditions that such ristriction or prohibition shall be applicable without distinction of nationality to aircraft of all other states;(c) Each contracting state, under such regulations as it may prescribe, may require any aircraft entering the areas contemplated in the subparagraphs (a) or (b) above to effect a landing as soon as practicable thereafter at some designted airport within its territory.

oleh kedua belah pihak, bahkan pihak pemerintah sampai melakukan serangan serangan dari udara, mengakibatkan banyak korban berjatuhan yang kebanyakan berasal dari penduduk sipil, sehingga tindakan ini dipandang sebagai tindakan yang mengancam pertahanan dan keamanan Suriah. Oleh karena itu, pihak oposisi menuntut untuk memberlakukan zona larangan terbang di Suriah. F. METODE PENELITIAN Suatu karya tulis ilmiah haruslah dibuat berdasarkan fakta fakta dan data data yang objektif dari suatu analisa, disusun secara sistematis dan rasional agar dapat dipandang sebagai suatu karya ilmiah yang baik. Oleh sebab itu, karya ilmiah harus dapat diuji dengan metode ilmiah agar kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka dipergunakanlah metode penelitian yuridis normatif. Dikatakan sebagai penelitian yuridis normatif, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan perundang undangan dan bahan bahan hukum yang lain, dimana dalam melakukan penelitian ini, penulis membaca, mempelajari, mentransfer dari konvensi, media cetak maupun elektronik yang menurut penulis berhubugan dengan zona larangan terbang Suriah. Adapun metode penulisan yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu metode Deskriptif Analitis, dimana penulis menggambarkan dan menjelaskan semua permasalahan dan kemudian menguraikannya lebih lanjut agar diperoleh keterangan dan jawaban yang jelas.

Dalam penulisan skripsi ini, sumber data yang penulis gunakan sebagai bahan skripsi adalah berupa data sekunder yang terdiri atas : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan bahan hukum yang mengikat yang merupakan landasan utama yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, seperti konvensi dan peraturan perundang undangan lainnya. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menunjang, yang member penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku buku dan pendapat para ahli hukum. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum. Dalam hal pengumpulan data bagi penulisan skripsi ini, penulis lakukan dengan cara kepustakaan atau library research, yaitu pengumpulan data yang diperlukan dengan bantuan bermacam macam buku yang terdapat di perpustakaan, juga melalui media cetak dan elektronik. G. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk memberikan uraian yang sebaik baiknya serta agar sistematis, skripsi ini terbagi atas lima bab, dan setiap bab terbagi atas beberapa sub bab yang pembagiannya disesuaikan dengan isi dari masing masing bab. BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini diuraikan alasan pemilihan judul skripsi yang dilajutkan dengan rumusan masalah, kemudian tujuan dan

manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, lalu metode penelitian dan sistematika penulisannya. BAB II : PANDANGAN UMUM TENTANG ZONA LARANGAN TERBANG Bab ini terbagi atas tiga sub bab, yaitu pengertian dan pengaturan Zona Larangan Terbang, kemudian sejarah munculnya penerapan Zona Larangan Terbang, serta diakhiri dengan pengaturan Zona Larangan Terbang Berdasarkan Konvensi Internasional. BAB III : PERANAN PASUKAN PEMBEBASAN SURIAH TERHADAP KONFLIK YANG TERJADI Bab ini terbagi atas tiga sub bab, yaitu mengenai latar belakang konflik / perang saudara Suriah, kemudian pengaruh konflik terhadap Suriah, dan diakhiri dengan tuntutan oposisi pasukan pembebasan Suriah terhadap konflik yang terjadi. BAB IV : KEDUDUKAN ZONA LARANGAN TERBANG DI SURIAH Bab ini terbagi atas tiga sub bab, yaitu mengenai pemberlakuan Zona Larangan Terbang sebelum Konflik Suriah, kemudian pihak pihak yang setuju dan tidak setuju terhadap rencana pemberlakuan Zona Larangan Terbang di Suriah, dan diakhiri dengan pemberlakuan Zona Larangan Terbang Suriah menurut Konvensi Jenewa. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, penulis menyampaikan kesimpulan serta saran yang diperoleh dirangkum dari keseluruhan isi skripsi ini.