BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan taraf kehidupan yang disetujui oleh para pemimpin dunia pada millenium summit (pertemuan tingkat tinggi millenium) pada bulan september 2000. Pertemuan ini dihadiri oleh 189 negara yang menghasilkan millenium declaration yang mengandung 8 poin yang harus dicapai sebelum tahun 2015. Delapan poin MDGs yang disetujui tersebut salah satunya adalah pemberantasan atau perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, termasuk Tuberkulosis (TBC), dimana target ditahun 2015 adalah untuk menghentikan dan memulai pencegahan pengobatan dengan menurunkan angka prevalensi penyakit (United Nations Development Program [UNDP], 2009). Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. TB paru yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis merupakan penyakit kronis (menahun) yang telah lama dikenal oleh masyarakat luas dan ditakuti karena menular (Depkes, 2008). Sekitar 75% penderita TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan
pendapatan tahunan keluarganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial karena stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (BTKLPP Medan, 2013). Berdasarkan Global Report WHO (2010), jumlah penderita TB paru di dunia sebanyak 14,4 juta kasus. Penderita TB paru terbanyak terdapat pada lima negara, yaitu : India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia. Di negara-negara miskin, tingkat kematian akibat penyakit TB atau case fatality rate (CFR) sebesar 25% dari seluruh jumlah kematian. Wilayah Asia Tenggara menanggung bagian terberat TB paru global yakni sekitar 38% dari kasus TB paru dunia. Penyakit TB paru merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan dan merupakan nomor satu terbesar penyebab kematian dalam kelompok penyakit infeksi. Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007 menyatakan jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan Cina. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (WHO, 2010). Pada tahun 2010 didapatkan prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis sebesar 725 per 100.000 penduduk di Indonesia. Provinsi dengan prevalensi TB tertinggi yaitu Papua sebesar 1.441 per 100.000 penduduk diikuti oleh Banten sebesar 1.282 per 100.000
penduduk, dan Sulawesi Utara sebesar 1.221 per 100.000 penduduk. Sedangkan prevalensi terendah terdapat di Provinsi Lampung sebesar 270 per 100.000 penduduk, diikuti oleh Bali sebesar 306 per 100.000 penduduk, dan DI Yogyakarta sebesar 311 per 100.000 penduduk. Sampai saat ini, belum satupun negara di dunia yang terbebas dari TB Paru. Bahkan untuk negara maju yang pada mulanya angka tuberkulosis sudah menurun, belakangan naik lagi mengikuti peningkatan penderita HIV positif dan AIDS (Depkes, 2012). Berdasarkan jumlah penderita TB Paru di Indonesia tahun 2010, Sumatera Utara menempati urutan ke-7. Jumlah penderita TB Paru klinis di Sumatera Utara pada tahun 2010 sebanyak 104.992 orang setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 13.744 orang serta yang sembuh sebanyak 9.390 orang atau sekitar 68,32% (Dinkes Prov Sumatera Utara, 2011). Jumlah kasus TB paru meningkat pada tahun 2012, secara klinis sebanyak 123.790 orang setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 16.392 orang serta yang sembuh sebanyak 12.154 orang atau sekitar 74,15%. Kabupaten/kota yang mempunyai prevalensi TB Paru tertinggi di Sumatera Utara antara lain yaitu kabupaten Tapanuli Selatan, Sibolga, Nias, Tanjung Balai, Madina, Padang Lawas, Pematang Siantar dan Gunungsitoli (Dinkes Prov Sumatera Utara, 2012). Kota Tanjung Balai merupakan salah satu kabupaten/kota yang mempunyai jumlah penderita terbanyak. Pada tahun 2010, Tanjung Balai menduduki peringkat empat. Salah satu kendala yang dihadapi adalah masyarakat penderita TB Paru belum menyadari pentingnya keteraturan berobat selama enam bulan dengan program
strategi Directly Observed Treatment Short-Course (DOTS) (BTKLPP Medan, 2013). Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai didapatkan bahwa jumlah penemuan pasien TB paru BTA positif dan mendapatkan pengobatan pada tahun 2011 sebanyak 184 pasien. Berdasarkan evaluasi pengobatan yang dilakukan diketahui bahwa jumlah pasien yang meninggal sebanyak 6 pasien (3,26%) dan yang drop out sebanyak 26 pasien (14,13%) (Dinas Kesatan Kota Tanjung Balai, 2012). Tahun 2012 jumlah penderita mengalami peningkatan menjadi 189 pasien dengan jumlah yang meninggal sebanyak 4 pasien (2,12%) dan yang drop out sebanyak 43 pasien (22,75%) dan tahun 2013 sebanyak 189 pasien. Penderita TB Paru yang mendapatkan pengobatan tersebut tersebar dalam 10 unit pelayanan kesehatan (UPK), yakni RSUD dr. T. Mansyur, Lapas Tanjung Balai, Puskesmas Datuk Bandar, Puskesmas Semula Jadi, Puskesmas Mayor Umar Damanik, Puskesmas Kampung Baru, Puskesmas Kampung Persatuan, Puskesmas Sei Tualang Raso, Puskesmas Sipori-pori, dan Puskesmas Teluk Nibung (Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai, 2014). Faktor-faktor kepatuhan, pengetahuan, dukungan keluarga, motivasi minum obat dan KIE yang rendah memiliki pengaruh terhadap pengobatan TB Paru. Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Hal ini akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat
beban pemerintah. Dari berbagai faktor penyebab ketidakpatuhan minum obat penderita TB Paru, faktor manusia dalam hal ini penderita TB paru sebagai penyebab utama dari ketidak patuhan minum obat. Kepatuhan terhadap pengobatan adalah kesetiaan mengikuti program yang direkomendasikan sepanjang pengobatan dengan pengambilan semua paket obat yang ditentukan untuk keseluruhan panjangnya waktu yang diperlukan Untuk mencapai kesembuhan diperlukan kepatuhan atau keteraturan berobat bagi setiap penderita. Berbagai pengetahuan yang benar tentang tuberculosis perlu diketahui oleh para penderita dan keluarganya serta masyarakat luas pada umumnya. Penderita dan keluarganya tentu perlu tahu seluk-beluk penyakit ini agar kesembuhan dapat dicapai (Aditama, 2004). Dalam hal kepatuhan terhadap pengobatan TB Paru, dukungan keluarga memiliki peranan yang besar dalam hal memberikan dorongan berobat kepada pasien. Keluarga adalah orang yang pertama yang tahu tentang kondisi sebenarnya dari penderita TB Paru dan orang yang paling dekat serta berkomunikasi setiap hari dengan penderita. Dorongan anggota keluarga untuk berobat secara teratur dan adanya dukungan keluarga yang menjalin hubungan yang harmonis dengan penderita membuat penderita diuntungkan lebih dari sekedar obat saja, melainkan juga membantu pasien tetap baik dan patuh meminum obatnya. Pengaruh peran keluarga terhadap kepatuhan minum obat penderita sangat besar. Namun sebaliknya, penderita memiliki alasan tersendiri untuk tidak melanjutkan pengobatan. Pada umumnya alasan responden menghentikan pengobatan karena paket obat terlalu banyak dan
besar-besar, merasa sudah sembuh yang ditandai dengan batuk berkurang, perasaan sudah enak badan, sesak napas berkurang, nafsu makan baik. Penelitian yang dilakukan Limbu dan Marni (2004) tentang ketidakpatuhan pasien TB Paru dalam hal pengobatan menemukan bahwa pengobatan pasien TB Paru yang tidak lengkap disebabkan oleh peranan anggota keluarga yang tidak sepenuhnya mendampingi penderita. Akibatnya penyakit yang diderita kambuh kembali dan dapat menular kepada anggota keluarga yang lain. Penelitian Zuliana (2009) tentang faktorfaktor yang memengaruhi ketidakpatuhan berobat pada penderita tuberkulosis paru menunjukkan bahwa pendidikan, pengetahuan, dan pendapatan keluarga berpengaruh signifikan terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru dan yang paling dominan adalah faktor pendidikan. Sehubungan dengan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat anti tuberkulosis, penelitian Hutapea (2009) menunjukkan dukungan keluarga dapat meningkatkan kepatuhan minum obat penderita TB Paru. Perhatian atas kemajuan pengobatan memiliki pengaruh yang paling besar terhadap peningkatan kepatuhan minum obat penderita paru. Terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain karena kurang pengetahuan dari keluarga terhadap penyakit TB Paru serta kurang pengetahuan penatalaksanaan pengobatan dan upaya pencegahan penularan penyakit. Apabila penemuan kasus baru TB Paru tidak secara dini serta pengobatan penderita TB Paru positif tidak teratur atau droup out pengobatan maka resiko penularan pada masyarakat luas akan terjadi oleh karena cara penularan penyakit TB Paru untuk
keberhasilan pengobatan, oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dilakukan strategi DOTS (Directly Observed Treatmen Shortcourse). Strategi ini merupakan yang paling efektif untuk mengontrol pengobatan tuberkulosis. Faktor penting lainnya adalah pendidikan penderita. Pendidikan rendah mengakibatkan pengetahuan rendah. Masih banyak penderita berhenti berobat karena keluhan sakit sudah hilang, padahal penyakitnya belum sembuh. Ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang apa yang diterangkan oleh petugas. Penelitian lainnya yang berkaitan dengan TB Paru yaitu yang dilakukan oleh Wulandari (2011) di RSUP H. Adam Malik Medan, diketahui bahwa ada hubungan antara pengetahuan dan pendidikan responden terhadap keteraturan minum obat. Lamanya waktu pengobatan TB paru yang harus dilakukan selama 6 bulan, dapat saja dijadikan beban oleh penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Karakteristik Personal dan Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai. 1.2. Permasalahan Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaruh karakteristik personal dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien tuberkulosis paru di Kota Tanjung Balai?.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh karakteristik personal dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien tuberkulosis paru di Kota Tanjung Balai 1.4. Hipotesis Ada pengaruh karakteristik personal dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien tuberkulosis paru di Kota Tanjung Balai. 1.5. Manfaat Penelitian a. Bagi Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai, sebagai informasi mengenai masalah yang berkaitan dengan karakteristik dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien tuberkulosis paru di Kota Tanjung Balai. b. Bagi keluarga, sebagai acuan dalam rangka peningkatan dukungan keluarga serta memberikan motivasi kepada penderita TB Paru dalam rangka kesembuhanterhadap pengobatan TB Paru c. Secara teoritis dapat mendukung pengembangan ilmu promosi kesehatan dan ilmu perilaku, serta dapat dimanfaatkan sebagai acuan ilmiah untuk pengembangan ilmu kesehatan khususnya tentang TB Paru.