BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim selama tiga dekade terakhir telah meningkatkan suhu permukaan bumi. Suhu telah meningkat sekitar 0,8 dan menyebabkan lapisan es laut Artik berkurang rata-rata 40% saat musim panas sejak tahun 1979. Hal ini terjadi jauh lebih cepat daripada yang telah diprediksikan sebelumnya (Intergovernmental Panel Climate Change, 2014). Di Indonesia, terjadi peningkatan suhu rata-rata yang cukup signifikan sejak tahun 2008 hingga 2011 (Badan Pusat Statistik (BPS), 2014). Peningkatan suhu rata-rata ini mencapai 0,07 tiap tahunnya. Titik jenuh kelembaban akan naik sesuai dengan meningkatnya suhu udara (Karyono, 2001). Hal ini disebabkan oleh Indonesia yang merupakan negara beriklim tropis lembab, suhu tertinggi dapat mencapai 34 dengan kisaran kelembaban 70 90% RH (Sabarinah dan Ahmad, 2006). Gambar 1.1 menunjukkan suhu dan kelembaban rata-rata di 30 provinsi pada tahun 2008 sampai 2011. Gambar 1.1 Suhu dan kelembaban rata-rata di 30 provinsi (BPS, 2014) 1
2 Perpaduan antara suhu dan kelembaban tinggi dapat menyebabkan kematian. Minson (2012), menyatakan perpaduan antara suhu panas dan kelembaban tinggi dapat mendorong suhu tubuh seseorang mencapai zona bahaya yakni 40. Hal ini disebabkan keringat yang dihasilkan tubuh untuk menurunkan suhu tidak dapat menguap. Upaya yang dilakukan untuk menurunkan suhu dan tingkat kelembaban adalah dengan menggunakan alat pengkondisian udara seperti Air Conditioner (AC) (Stoecker et al,1996). Penggunaan AC yang meningkat akibat perubahan iklim membuat konsumsi energi negara juga meningkat tiap tahunnya. Menurut Outlook Energi Nasional, pada tahun 2000-2009 konsumsi energi Indonesia mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,2% pertahun. Gambar 1.2 menunjukkan peningkatan konsumsi energi dari tahun 2000-2009. Gambar 1.2 Konsumsi energi di Indonesia (Outlook Energi Nasional, 2011) Pada Gambar 1.2 dapat dilihat konsumsi energi dikuasai sektor rumah tangga. Hasil survei Wonorahardjo (2009) mencatat konsumsi energi sektor rumah tangga didominasi oleh peralatan pengkondisian udara seperti AC dan kipas angin sebesar 20%. Berdasarkan konsumsi listrik per jam dapat diketahui konsumsi listrik AC mencapai 400-600 watt, sedangkan kipas angin hanya 15-50 watt. Sehingga dapat disimpulkan bahwa AC penyebab utama tingginya konsumsi energi sektor rumah tangga.
3 Kesimpulan ini juga sesuai dengan pernyataan Ang (2014) bahwa penggunaan AC di Indonesia hampir mencapai 20 jam sehari. Selain itu jenis AC yang dipilih konsumen didominasi jenis standar sebesar 69%. AC pada jenis ini tidak memiliki fitur inverter dan tidak menggunakan teknologi rendah daya. Isu konsumsi energi di sektor rumah tangga yang didominasi penggunaan AC ditanggapi pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.0031 Tahun 2005 tentang tata cara pelaksanaan penghematan energi. Peraturan ini berisi 2 pasal tentang pengaturan suhu ruangan dengan air conditioning pada suhu minimal 25 dan menghidupkan AC pada awal jam kerja dan mematikan 1 jam sebelum jam kerja berakhir (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2014). Namun peraturan ini masih banyak dilanggar oleh masyarakat. BPS (2014) mencatat pengguna AC di 33 provinsi mengatur suhu di bawah 25 pada tahun 2013. Dapat diketahui bahwa 77,77% pengguna AC di Indonesia mengatur suhu di bawah 25 C. Gambar 1.3 menunjukkan perbandingan jumlah pengguna AC di 33 provinsi dengan pengaturan suhu di bawah (<25) dan di atas 25 (>25) pada tahun 2013. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% >25 <25 Gambar 1.3 Perbandingan jumlah pengaturan suhu AC di bawah dan di atas 25 pada 33 provinsi tahun 2013 (BPS, 2014)
4 Penentuan suhu minimal ruangan dengan air conditioning pada peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.0031 Tahun 2005 berpedoman pada standar American Society of Heating Refrigating Air conditioning Engineer (ASHRAE) tahun 1992. Standar ini membuat ketentuan kenyamanan termal (thermal comfort) yang direkomendasikan yaitu pada rentang suhu 22,5-26. Standar ini dinilai kurang sesuai untuk diterapkan di Indonesia karena banyaknya masyarakat yang melanggar pengaturan suhu AC. Ketidaksesuaian ini dibuktikan dengan penelitian Hwang dan Cheng (2007) di Taiwan yang juga merupakan negara beriklim tropis. Penelitian tersebut menunjukkan rentang suhu berdasarkan standar ASHRAE lebih rendah 0,8 dari hasil observasi. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menganalisis kenyamanan termal di ruangan dengan air conditioning bagi masyarakat Indonesia. Dewasa ini, penelitian tentang kenyamanan termal yang berfokus pada perbedaan jenis kelamin menunjukkan peningkatan cukup pesat (Karjalainen, 2012). Perbedaan jenis kelamin membuat perbedaan yang tidak signifikan. Akan tetapi, lebih dari 50% penelitian dengan tingkat kepercayaan 95% menyebutkan bahwa perempuan lebih sensitif terhadap penyimpangan suhu optimal dan sering mengungkapkan ketidakpuasan terhadap suhu sekitar (Fanger, 1973). Oleh karena sifat tersebut, maka kenyamanan termal yang diteliti akan difokuskan untuk perempuan. 1.2 Rumusan Masalah Selama ini peraturan Menteri ESDM tentang tata cara penghematan energi masih menggunakan standar ASHRAE. Standar ini dinilai kurang sesuai diterapkan karena banyak masyarakat yang melanggar dan juga belum mempertimbangkan faktor jenis kelamin. Padahal perempuan lebih sensitif dan merasa tidak puas terhadap suhu sekitar dibanding laki-laki. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai kenyamanan termal dalam ruangan dengan air conditioning yang berfokus untuk perempuan.
5 1.3 Batasan Masalah Masalah yang akan diselesaikan pada penelitian ini memiliki batasanbatasan sebagai berikut: 1. Penelitian ini dikhususkan pada kenyamanan termal di ruangan dengan air conditioning. 2. Penelitian ini bersifat eksperimental yang dilakukan di laboratorium. 3. Responden penelitian adalah perempuan WNI yang berumur 20-25 tahun. 4. Responden penelitian akan diberikan perlakuan pengaturan suhu dengan bantuan alat AC, Humidifier, dan Dehumidifier. 5. Faktor lain seperti jenis pekerjaan, tingkat kegemukan, tingkat kesehatan, jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi, warna kulit, dan ethnicity tidak termasuk dalam analisis penelitian. 6. Pakaian yang digunakan responden saat eksperimen akan diseragamkan dengan nilai insulasi 0,21 clo. 7. Aktivitas yang dilakukan responden saat eksperimen adalah duduk santai dengan perkiraan metabollic rate sebesar 1 Met (Standar ISO 7730). 8. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu luar, ukuran ruangan, pencahayaan, dan warna cat tembok ruangan tidak termasuk dalam analisis penelitian. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan oleh Peneliti dibedakan menjadi dua yaitu tujuan umum dan spesifik 1.4.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh suhu dan kelembaban ruangan dengan air conditioning terhadap respon subyektif dan kenyamanan termal pada perempuan.
6 1.4.2 Tujuan Spesifik Tujuan spesifik dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi pengaruh perubahan suhu dan kelembaban ruangan dengan air conditioning terhadap prediksi kenyamanan termal pada perempuan. 2. Mengidentifikasi pengaruh perubahan suhu dan kelembaban ruangan dengan air conditioning terhadap respon subyektif aktual pada perempuan. 3. Menentukan zona kenyamanan termal bagi perempuan di ruangan dengan air conditioning. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu dan kelembaban ruangan dengan air conditioning terhadap respon subyektif dan kenyamanan termal, serta mengetahui zona kenyamanan termal bagi perempuan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam peraturan Menteri ESDM tentang tata cara pelaksanaan penghematan energi. Selain itu juga dapat digunakan oleh perusahaan yang memproduksi AC untuk pengembangan fitur produk.