BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Setiap orang selalu mengharapkan kehidupan yang bahagia. Tak terkecuali orang tua. Salah satu bentuk kebahagiaan itu adalah memiliki anak yang sehat dan normal, baik secara fisik maupun mental. Tetapi tidak sedikit orang tua yang dikaruniakan anak yang tidak normal. Anak-anak tidak normal dapat juga dikatakan sebagai anak cacat atau lebih familiar dikehidupan masyarakat adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Mereka yang disebut anak kebutuhan khusus ini berbeda dari kebanyakan anak karena mereka memiliki kekurangan seperti keterbelakangan mental, kesulitan belajar, gangguan emosional, keterbatasan fisik, gangguan bicara dan bahasa, kerusakan pendengaran, kerusakan penglihatan, ataupun memiliki keberbakatan khusus. Beberapa karakteristik ini dapat menghambat anak berkebutuhan khusus mengembangkan diri secara optimal. Dalam hal ini retardasi mental atau keterbelakangan mental dapat dijadikan contoh dalam karakteristik anak berkebutuhan khusus yang dapat menghambat anak untuk mengembangkan diri (Mangunsong, 2012). American Association on Mental Retardation (AAMR) menjelaskan bahwa keterbelakangan mental menunjukkan adanya keterbatasan dalam fungsi, yang mencakup fungsi intelektual yang dibawah rata-rata, dimana berkaitan dengan keterbatasan pada dua atau lebih keterampilan adaptif seperti komunikasi, 1
2 merawat diri sendiri, ketrampilan sosial, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis, waktu luang, keadaan ini terlihat sebelum usia 18 tahun (Kumala, 2007). Retardasi mental merupakan masalah dunia terutama bagi negara berkembang. Sebagai sumber daya manusia tentunya mereka tidak dapat dimanfaatkan, karena sebagian dari anak-anak ini memerlukan perawatan, bimbingan serta pengawasan seumur hidup. Prevalensi retardasi mental diperkirakan 1-3 persen dari populasi penduduk Indonesia. Retardasi mental 1,3 kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan (Kaplan, 1997 dalam Kumala, 2007). Dari data jumlah anak retardasi diatas masih banyak anak retardasi mental di indonesia yang tidak diketahui jumlahnya secara pasti. Hal ini dikarenakan keluarga dan masyarakat yang mempunyai anggota keluarga dengan kebutuhan khusus sering kali menyembunyikannya sehingga mereka tidak dapat tersentuh pelayanan, serta kebanyakan orang tua yang merasa malu dan tertekan oleh stigma dari lingkungan. Sikap ini justru akan membuat anak tidak mampu mengembangkan diri ( Dikpora, 2012). Anak dengan retardasi mental jauh lebih banyak yang menunjukkan abnormalitas psikiatrik yang sedang dan berat dibandingakan anak dengan inteligensi normal. Dari penelitian di swedia didapatkan bahwa lebih dari setengah anak sekolah dengan retardasi mental ringan dan hampir duapertiga dari mereka dengan retardasi mental dapat menderita masalah psikiatrik dan perilaku yang berat (Gillberg et all, 1986 dalam Lumbantobing, 2006).
3 Permasalahan yang timbul pada anak retardasi mental selain perilaku anak itu sendiri adalah masalah yang disebabkan oleh lingkungan keluarga. Banyak anak mengalami tekanan oleh tuntutan orang tua akan kondisi anak dan ketakutan orangtua untuk menerima kenyataan bahwa anak memiliki kondisi yang berbeda dengan anak lain. Tuntutan orang tua yang tinggi pada anak yang menderita retardasi mental menyebabkan anak tampil sebagai anak yang terlihat takut, tidak punya kepercayaan diri, mudah menyerah ketika mengerjakan aktitivitas yang mudah (Gunarsa, 2004). Memiliki anak yang mengalami ketidakmampuan yang serius merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan bagi orang tua yang mempunyai anak retardasi mental (Ernawati, 2009). Reaksi orang tua terhadap diagnosa bervariasi seperti menangis, merasa hancur atau lemas dan ingin informasi yang lebih tentang anak serta banyak orang tua dan para profesional mengatakan bahwa anggota keluarga melalui proses berduka setelah mengetahui anaknya terdiagnosa retardasi mental. Orang tua merasa berduka karena mereka merasakan kehilangan anak yang normal yang mereka harapkan dan juga kehilangan gaya hidup yang mereka harapkan untuk mereka sendiri dan keluarga ( Horowits, 2004 ). Hull dan Johnston (2008) menjelaskan bahwa tidak diragukan lagi orang tua dari anak retardasi mental cenderung merasa sangat bersalah dan menderita mengenai anaknya. Perasaan-perasaan ini secara luar biasa tersalur kearah sikap penolakan atau perlindungan yang berlebihan, dan bukanlah sesuatu yang luar biasa bila orang tua tidak terlalu berharap banyak akan apa yang dapat diperbuat anaknya. Namun demikian sampai keadaaan cacat mental itu dapat diterima,
4 barulah orang tua berharap banyak yang seringkali tidak realistik. Pengharapan - pengharapan orang tua yang terlalu tingggi atau rendah dalam kaitannya terhadap kemampuan anaknya dapat memudahkan ketegangan dalam hubungan orang tuaanak, dan menimbulkan masalah-masalah emosi dan perilaku (Gupta dan Singhal, 2004). Orang tua dengan anak keterbelakangan mental melaporkan sedikit waktu untuk menggunakan aktivitas yang menyenangkan dan melaporkan tingginya tingkat stress yang berhubungan dengan mengatur perilaku yang mengacu setiap hari, tanggung jawab merawat yang besar dan perhatian terhadap masa depan anak ketika orang tua tidak mampu lagi merawat mereka (Koegu dan Schreibman, 1991 dalam Gupta dan Singhal, 2004). Orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan mental mengalami stress yang lebih tinggi dan tuntutan yang lebih besar dalam merawat anak mereka dimana tugas sehari-hari seperti memberi makan, toilet, rekreasi dan berkomunikasi telah menuntut lebih secara fisik dan emosi (Pritzlaf, 2001 dalam Asnani, 2006). Hauser (2001) dalam Asnani (2006) melaporkan ada bagian penting yang menarik yang menimbulkan stress yaitu masalah perilaku anak. Masalah perilaku anak ditemukan sebagai prediksi pada stress ibu dan ayah, sebagai tambahan masalah perilaku anak yang tinggi dihubungkan dengan stress ibu tetapi bukan stress ayah (Sullivan, Weisss dan Diamond, 2003).
5 Orang tua yang memiliki anak retardasi mental berada dalam situasi yang sulit dengan sikap masyarakat, mereka mungkin merasa malu karena anak mereka cacat dan perasaan malu mungkin mengakibatkan anak itu ditolak baik secara terang terangan maupun tidak terang-terangan. Konsep diri orang tua juga mengalami gangguan sebagai akibat mempunyai anak retardasi mental (Asmadi, 2008). Penelitian yang dilakukan Ein (2007) orang tua yang memiliki anak retardasi mental cenderung mengalami keadaan mental yang tidak baik. Keadaan mental yang tidak baik ini dirasakan orang tua anak retardasi mental dengan mengungkapkan bahwa setiap saat perasaan-perasaan yang selalu ada yaitu tidak percaya, marah, sedih, merasa bersalah, lelah, cemas, bingung sampai putus ada. Orang tua juga harus menghadapi tekanan sosial dari lingkungannya yang dapat memberikan tekanan psikologis sedemikian besar bagi orang tua dengan hambatan perkembangan yang dimiliki anaknya. Hal ini dapat menambah depresi dan putus asa pada orang tua. Untuk menghadapi hal tersebut dibutuhkan mekanisme koping yang baik. Adapun koping yang baik didapatkan dari kesehatan spiritual yang baik. Hasil penelitian di bidang psikologi klinis menunjukkan bahwa religiusitas dan spiritualitas menunjukkan hubungan yang positif dengan kemampuan mengontrol kecemasan (Harris, Schoneman, & Carrera, 2002), kemampuan beradaptasi (Salsman, Brown, Brechting, & Carlson, 2005), kesehatan mental (Abdel-Khalek, 2006), kebahagiaan (Abdel-Khalek, 2006), kepuasan hidup (Fiori, Brown, Cortina, & Antonucci, 2006), keinginan untuk terus hidup (Shreve-Nieger & Edelstein, 2002), kesejahteraan psikologis
6 (Ardelt & Koenig, 2006) dan kualitas hidup (Craig, Weinert, & Walton, 2006). Dalam hal ini sangat diperlukan oleh orang tua anak retardasi mental untuk dapat membimbing serta mendukung perkembangan anak retardasi mental. Spiritualitas tidak selalu berhubungan dengan aspek ketuhanan. Akan tetapi, spiritualitas juga mengacu pada hal yang dapat memberikan makna, kedamaian hati dan tujuan hidup dari seseorang (Stanworth, 2002). Individu dikuatkan melalui spirit mereka, yang mengakibatkan peralihan kearah kesejahteraan. Ketika penyakit, kehilangan, atau nyeri mempengaruhi seseorang, energi orang tersebut menipis, dan spirit orang tersebut terpengaruhi (Potter and Perry, 2005). Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan spiritualitas pada orang tua terhadap perilaku adaptif anak retardasi mental. 1.2. Tujuan penelitian 1.2.1. Mengidentifikasi spiritualitas orang tua anak retardasi mental di SLB E Negeri Kecamatan Sei Agul 1.2.2. Mengidentifikasi perilaku adaptif anak retardasi mental di SLB E Negeri Kecamatan Sei Agul 1.2.3. Mengetahui hubungan spiritualitas orang tua terhadap perilaku adaptif anak retardasi mental di SLB E Negeri Kecamatan Sei Agul
7 1.3. Pertanyaan Penelitian 1.3.1. Bagaimana spiritualitas orang tua anak retardasi mental di SLB E Negeri Kecamatan Sei Agul 1.3.2. Bagaimana perilaku adaptif anak retardasi mental di SLB E Negeri Kecamatan Sei Agul 1.3.3. Bagaimana spiritualitas orang tua terhadap perilaku adaptif anak retardasi mental di SLB E Negeri Kecamatan Sei Agul 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi berharga untuk penelitian lebih lanjut berkaitan dengan gambaran spiritualitas orang tua yang memiliki anak retardasi mental terutama terhadap perilaku adaptif anak retardasi mental. 1.4.2. Bagi Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai masukan bagi pendidikan keperawatan tentang gambaran tingkat spiritualitas orang tua yang memiliki anak retardasi mental untuk diintegrasikan pada materi perkuliahan khususnya materi spiritualitas. 1.4.3. Bagi Sekolah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak sekolah untuk lebih meningkatkan peran orang tua dalam kegiatan proses belajar mengajar dengan memberikan fasilitas konseling untuk membimbing orang tua dalam mengatasi perilaku anak retardasi mental.