BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesadaran pemuda terhadap ASCC. Pemuda merupakan subyek

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. Implementasi ASEAN Community pada tahun 2015 dan kesepakatan WTO dalam General

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi

BAB I PENDAHULUAN. Association of South East Asian Nation (selanjutnya disebut ASEAN)

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012.

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

KESEMPATAN KERJA PERDAGANGAN. Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Jakarta, 5 Juli 2013

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan

BAB I PENDAHULUAN. Munculnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan membangun Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menjadi tahun 2015 pada

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dapat

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DEKLARASI BERSAMA TENTANG KEMITRAAN STRATEGIS ANTARA PERANCIS DAN INDONESIA

SEAMEO? SEAMEO : South East Asia Ministers of Education Organization

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kawasan Industri Utama Kota Bandung. Unit Usaha Tenaga Kerja Kapasitas Produksi

Efektivitas ASEAN Economic Community Terhadap Optimalisasi Kualitas Industri Kerajinan Keramik Dinoyo Malang

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

BAB I PENDAHULUAN. jasa, aliran investasi dan modal, dan aliran tenaga kerja terampil.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. satu kriterianya dilihat dari daya saing produk-produk ekspornya. Yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. < diakses 16 Juni 2016.

ASEAN Tanpa RDTL: Kegagalan Diplomasi Indonesia. Keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2011 ini tinggal menghitung hari sebelum posisi itu

PEMAHAMAN MAHASISWA TENTANG ASEAN COMMUNITY: STUDI PADA PENGURUS HIMAHI DI KOTA MALANG

LSM/NGO/ORMAS/OKP ERA MEA

KEYNOTE ADRESS RAFENDI DJAMIN WAKIL INDONESIA UNTUK AICHR

: Determinan Intra-Industry Trade Komoditi Kosmetik Indonesia dengan Mitra Dagang Negara ASEAN-5 : I Putu Kurniawan

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. dana yang berasal dari dalam negeri, seringkali tidak mampu mencukupi

BAB I PENDAHULUAN. kemudian terbagi dalam beberapa divisi yang terpecah dan kemudian mendorong terbentuknya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang krusial. Oleh karena itu, menjadi negara maju adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan-kebutuhan masyarakat tidak terlepas dari pranata-pranata hukum

ID No EQUIS Input Proses Output Predecessors. Membuat Visi. 3 N/A Membuat Misi 2

BAB I PENDAHULUAN. Asosiasi negara- negara Asia Tenggara (ASEAN) didirikan pada tanggal 8

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dibentuk sebagai organisasi regional pada 8 Agustus 1967 di Bangkok

BAB I PENDAHULUAN. Komunitas ASEAN atau ASEAN Community merupakan komunitas negaranegara

PERSIAPAN DAERAH dalam menghadapi

Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

SKEMA GRAND DESIGN LAM-PTKes

SKOR INDONESIA DALAM WORLD GOVERNANCE INDICATORS 2012

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

ASIA PACIFIC PARLIAMENTARY FORUM (APPF)

menjadi katalisator berbagai agenda ekonomi Cina dengan negara kawasan Indocina yang semuanya masuk dalam agenda kerja sama Cina-ASEAN.

BAB V KESIMPULAN. internasional, sebagai aktor dalam hubungan internasional, dalam hal pembentukan

BKPPD Kabupaten Bengkulu Utara RENSTRA BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KERJASAMA ASEAN DALAM BERBAGAI BIDANG

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengelola anggaran, bahkan legislatif dan yudikatif yang memiliki peran

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh bidang konstruksi pada suatu negara cukup besar. Bidang

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin

Forum ASEAN tentang Pekerja Migran (AFML) ke-9 Pertemuan Persiapan Tripartit Nasional

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2 pengaruhnya. Pola baru ini melahirkan penyelenggaraan perguruan tinggi yang mengandalkan pengambilan keputusan berbasis kebijakan strategis, standar

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darusalam, Vietnam,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

TERM OF REFERENCE MATERI: ASEAN COMMUNITY DAN REALITAS BANGSA

BAB I PENDAHULUAN. mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

LANDASAN HUKUM KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA. Dokumen 002

Kata kunci: Masyarakat Ekonomi ASEAN, Persaingan Usaha, Kebijakan, Harmonisasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MEMBANGUN TIM EFEKTIF

JURNAL ILMU EKONOMI & SOSIAL, VOL.VIII, NO. 2, OKTOBER 2017; p-issn: e-issn: SIAPKAH INDONESIA MENGHADAPI MEA?

TANTANGAN PUSTAKAWAN INDONESIA MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN. Sri Suharmini Wahyuningsih 1 Abstrak

Urgency Membangun Policy Circle. Dr Muhammad Taufiq DEA Deputi Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara

1. Visi BKPM Terwujudnya Iklim Penanaman Modal Yang Berdaya Saing Untuk Menunjang Kualitas Perekonomian Nasional.

ARAH PEMBANGUNAN HUKUM DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Oleh: Akhmad Aulawi, S.H., M.H. *

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. pembangunan, baik di bidang ekonomi, kesehatan, maupun di bidang lainnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SIARAN PERS. Masyarakat Bisnis Indonesia dan Eropa Mengidentifikasi Peluang Pertumbuhan Menuju Perjanjian Kemitraan Ekonomi Uni Eropa Indonesia

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

Ministry of National Development Planning/Bappenas Kerjasama Pembangunan Internasional dalam Rangka Pelaksanaan SDGs di Indonesia

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tesis ini akan membahas mengenai kerja sama regional dalam sektor pendidikan, yaitu tujuan harmonisasi standar pendidikan negara-negara Asia Tenggara. Proses kerja sama regional di bidang pendidikan telah lama dilakukan, salah satunya melalui organisasi Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO). Harmonisasi standar pendidikan dilakukan untuk mencakup segala level pendidikan di kawasan. Sejauh ini beberapa program telah dilakukan seperti pembentukan SEAMEO Strategic Plan (SSP) (2011-2020), dengan memasukan fokus harmonisasi standar pendidikan ke dalam tujuan strategis dan menandatangani SEAMEO Statement sebagai akselerator pencapaian tujuan tersebut. Tesis ini akan fokus membahas proses harmonisasi standar pendidikan yang dilakukan oleh SEAMEO melalui formulasi SSP 2011-2020. Secara lebih jauh, tesis ini akan memaparkan skema-skema terkait tujuan harmonisasi standar pendidikan dalam payung organisasi regional SEAMEO, hingga menganalisis bagaimana keberhasilan proses kerja sama tersebut jika ditinjau melalui derajat kepatuhan (compliance) para aktor. Kondisi pendidikan di kawasan Asia Tenggara datang dengan lanskap diversitas yang cukup kentara di segala aspek. Tidak hanya dalam hal sistem pendidikan, diversitas terjadi dalam hal akses, kualitas dan pembangunan pendidikan di tataran domestik. Meskipun demikian, upaya regionalisasi pendidikan di kawasan Asia Tenggara dapat dikatakan berjalan mendahului pembentukan ASEAN sebagai organisasi regional yang sekarang sedang mendapat banyak perhatian. Sejak tahun 1965, negara-negara Asia Tenggara telah membentuk SEAMEO untuk menjadi roda penggerak bagi proses regionalisasi dan kerja sama di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan di kawasan. Dasar pembentukan kerja sama multilateral tersebut adalah adanya keinginan untuk mendorong perdamaian, kemakmuran dan keamanan kawasan, mempersiapkan diri untuk menghadapi 1

perubahan dan tantangan di masa depan, dan kerja sama untuk pengembangan pendidikan. 1 Beragam program dan proses telah dilakukan, seperti kolaborasi dalam tata kelola dan manajemen, meningkatkan jaringan, penelitian, atau program inovatif lainnya mengenai pendidikan di kawasan. Kerja sama dan kolaborasi di dalamnya terus mengalami peningkatan seiring dengan proses globalisasi. Pendidikan secara umum menjadi fokus pengembangan negara-negara Asia Tenggara, terlebih seiring proses integrasi ekonomi, politik dan sosial-budaya di kawasan yang sedang dilakukan melalui pembentukan ASEAN Community. Komitmen negara-negara Asia Tenggara untuk meningkatkan kualitas pendidikan di kawasan mengalami peningkatan setelah institusi regional ASEAN sepakat membentuk ASEAN Community 2020, yang di dalamnya mencakup tiga pilar: ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Political-Security Community (APSC) dan ASEAN Social-Cultural Community (ASCC). Komitmen tersebut mengacu pada Deklarasi Bali Concord II yang disepakati pada 27 Oktober 2003 di Bali, Indonesia. Kurang dari empat tahun berselang pada 13 Januari 2007, KTT ASEAN ke-12 diselenggarakan di Cebu, Filipina, dan disepakati agar ASEAN Community dipercepat menjadi tahun 2015. Dalam konteks ASCC, ASEAN membentuk Cetak Biru sebagai acuan dalam membangun pilar tersebut, di mana pendidikan menjadi salah satu prioritas yang tujuannya adalah mendorong pembangunan manusia. Dalam Cetak Biru ASCC tertulis bahwa membentuk jaringan pendidikan di segala level institusi pendidikan, universitas, profesional dan peneliti, adalah merupakan bentuk aksi yang harus dilakukan. Termasuk mendorong kolaborasi antara ASEAN, SEAMEO dan ASEAN University Network (AUN) untuk meningkatkan kualitas pendidikan di kawasan. 2 Kebutuhan akan pendidikan berkualitas baik itu pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi mengalami perkembangan yang sangat pesat di era kontemporer. Mobilitas masyarakat internasional jelas terlihat mengalami kemajuan untuk mengakses pendidikan berkualitas. Selain itu, kerja sama regional di bidang pendidikan diyakini dapat membantu dalam meningkatkan kemampuan kompetisi 1-2. 1 SEAMEO, SEAMEO Charter (Revised edition), SEAMEO Secretariat, Bangkok, 2012, p. 1. 2 ASEAN, ASEAN Social-Cultural Community Blueprint, ASEAN Secretariat, Jakarta, 2009, pp. 2

dan kesejahteraan suatu kawasan. Sadar akan hal itu, negara-negara Asia Tenggara semakin mengintensifkan kerja sama multilateral mereka, salah satunya dengan membentuk SEAMEO Strategic Plan (SSP) (2011-2020) di bawah arahan organisasi regional SEAMEO. Ini merupakan implementasi dari SEAMEO High Officials Meeting ke-32 di Bangkok, Thailand pada 23 November 2009. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa SEAMEO membutuhkan suatu rencana strategis yang mampu meningkatkan citra dan visibilitas regional. Hingga pada SEAMEO Council Conference (SEAMEC) ke- 45 tahun 2010 muncul suatu kesepakatan agar membentuk SEAMEO Strategic Planning Workshop yang diselenggarakan sepanjang tahun 2010 2011. 3 Rencana strategis ini menjadi panduan bagi negara-negara anggota SEAMEO 4 untuk terus meningkatkan komitmen kerja sama dan kolaborasi di bidang pendidikan: meningkatkan pemahaman regional, jaringan-kemitraan untuk kualitas hidup kawasan, pembuatan kebijakan, dan pembangunan sumber daya manusia yang berkelanjutan. Dalam SSP tertuang sembilan poin tujuan yang ingin dicapai, yaitu salah satunya poin ke delapan di mana SEAMEO ingin memfasilitasi pembangunan standar pendidikan yang harmonis, sehingga menurut penulis ini menarik untuk menjadi sorotan. Dalam proses mencapai tujuan dan komitmen tersebut, SEAMEO membentuk strategi kolaborasi lanjutan agar dapat mengakselerasi pembangunan dan implementasi dari poin-poin yang tekandung di dalam SSP. Pada SEAMEC ke-47 yang diselengarakan di Hanoi, Vietnam, Maret tahun 2013, para menteri pendidikan Asia Tenggara menyepakati dan menandatangi SEAMEO Statement dengan judul SEAMEO Strategic Collaborations toward Regional Development. 5 Dalam SEAMEO Statement terdapat empat strategi kerja sama regional, di mana poin ke tiga adalah mengharmoniskan kualifikasi dan standar, baik akademik maupun profesional, untuk meningkatkan mobilitas di kawasan yang lebih besar. Sadar akan pentingnya 3 SEAMEO, SEAMEO Strategic Plan (2011-2020), SEAMEO Secretariat, Bangkok, 2013, pp. 16-18. 4 Negara-negara anggota SEAMEO (SEAMEO Member Countries) adalah negara anggota tetap SEAMEO, yaitu Brunei Darussalam, Cambodia, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Philippines, Singapore, Thailand, Timor-Leste dan Vietnam. Kesebelas negara anggota memiliki perwakilan Menteri Pendidikan dari negara masing-masing dan dikenal dengan nama SEAMEO Council. Kepaniteraan SEAMEO atau SEAMEO Secretariat terletak di Bangkok, Thailand. 5 Dapat dikatakan SEAMEO Statement merupakan ringkasan sekaligus akselerator dari berbagai program dan mekanisme kerja sama dalam SSP. Lihat SEAMEO Strategic Plan 2011-2020, p. 41. 3

mobilitas masyarakat dalam keberhasilan proses integrasi kawasan, SEAMEO bersama AUN 6 dan ASEAN diharapkan dapat mengintensifkan kerja sama dengan platform tersebut untuk mendorong kualitas sumber daya manusia di kawasan. 7 Kerja sama dan kepatuhan setiap negara diyakini dapat membantu keberhasilan dalam pencapaian tujuan di atas. Adanya upaya untuk saling berbagi informasi dan pengalaman juga dapat membantu proses distribusi kapabilitas agar menjadi lebih seimbang. Tujuan dari rencana strategis dalam SSP memiliki muara yang jelas, yakni mengharmoniskan diversitas dalam hal kualitas sistem, sumber daya dan pembangunan pendidikan, selaras dengan meminimalkan disparitas yang terjadi dalam aspek-aspek tersebut di antara negara-negara SEAMEO. Ini tentu menjadi ruang menarik untuk dianalisis. Selain untuk memaparkan skema-skema dalam proses harmonisasi standar pendidikan, menarik untuk mengukur keberhaslian kerja sama dalam tujuan tersebut melalui derajat kepatuhan (compliance) para aktor di kawasan, khususnya negara-negara SEAMEO. Dalam proses implementasi suatu rezim kerja sama internasional tidak pernah lepas dari pengaruh kepentingan serta berbagai faktor lain yang bersifat determinan. Peran organisasi internasional atau regional tentu dibutuhkan sebagai fasilitator untuk mendorong efisiensi kerja sama dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Di sisi lain, pendidikan merupakan faktor penting yang mempengaruhi pembangunan suatu kawasan dan mobilisasi masyarakat. Secara lebih jauh, dalam penelitian ini penulis akan mengelaborasi sektor pendidikan secara umum. Meskipun tidak mengesampingkan sektor pendidikan tinggi yang memiliki pengaruh cukup besar dalam mendorong mobilitas masyarakat di kawasan dan merupakan sektor yang sedang mendapat fokus perhatian. 6 AUN merupakan organisasi otonom di bawah payung ASEAN yang memiliki mandat untuk pembangunan sektor pendidikan tinggi. 7 SEAMEO, SEAMEO Strategic Plan (2011-2020), pp. 41-42. 4

B. Review Literature Dalam poin ini, penulis akan melakukan pemetaan karya akademik terkait proses harmonisasi dan regionalisasi pendidikan di kawasan Asia Tenggara. Beberapa literature terkait topik ini menjadikan institusi pendidikan tinggi di kawasan sebagai fokus kajian. Dalam penelitiannya, Nguyen secara fokus membahas mengenai proses kerja sama organisasi regional dalam sektor pendidikan tinggi di kawasan Asia Timur. Meskipun demikian, ia juga memaparkan mengenai pendekatan yang dipakai oleh organisasi kawasan lain dalam proses kerja sama pendidikan tersebut. Nguyen memaparkan bahwa proses harmonisasi standar pendidikan di kawasan Asia Tenggara dapat menemui tantangan karena luasnya disparitas di begitu banyak aspek. Nguyen menyoroti tentang persamaan karakteristik antara Asia Timur dan Asia Tenggara, di mana kedua kawasan samasama memiliki keberagaman di antara negara-negaranya. Asia Tenggara adalah kawasan yang begitu multikultur dalam aspek etnis, budaya, bahasa, agama, latar belakang sosial, politik, ekonomi dan sejarah seperti kawasan Asia Timur. Sama halnya ketika berbicara mengenai sistem pendidikan, di mana Asia Tenggara adalah kawasan dengan latar belakang sistem pendidikan yang berbeda-beda. 8 Globalisasi telah berdampak pada intensifikasi kerja sama regional dan integrasi pendidikan termasuk salah satunya sektor pendidikan tinggi. Negara berkembang sedang dihadapkan pada permasalah seperti akses, pemerataan, perluasan partisipasi, dan kualitas sektor pendidikan tinggi, sehingga membutuhkan kerja sama lintas negara di seluruh kawasan. Menurut Nguyen, keja sama regional dalam sektor pendidikan tinggi merupakan metode penting untuk membangun perdamaian dan saling pengertian satu kawasan. Organisasi regional memiliki peranan penting dalam membentuk platform dan jaringan di antara negara, institusi dan individu dalam upaya kolektif untuk harmonisasi dan integrasi sektor pendidikan tinggi. 9 Dalam konteks pendidikan tinggi di Asia Tenggara, masing-masing negara jelas memiliki disparitas satu sama lain, termasuk perebedaan kualitas pendidikan 8 A. T. Nguyen, The Role of Regional Organizations in East Asian Regional Cooperation and Integration in the Field of Higher Education, 2009, <https://goo.gl/zpfkqj>, diakses pada 5 Desember 2014. 9 Nguyen, pp. 69-70. 5

tinggi dan perbedaan institusional. Di mana perbedaan ini tidak hanya dapat dilihat dalam konteks regional, melainkan dalam konteks domestik antar universitas di masing-masing negara. Ini kelak akan berimplikasi pada sulitnya meningkatkan kerja sama dan integrasi antara seluruh universitas di kawasan. Secara konkret perbedaan ini akan mempengaruhi perbedaan kemampuan dalam mencapai tujuan atau perbedaan prioritas dalam pembangunan. 10 Nguyen juga memaparkan mengenai strategi dan proses regionalisasi pendidikan di kawasan lain di antaranya Eropa. Kasus di Eropa menunjukan bahwa upaya mengharmoniskan dan meningkatkan kompatibelitas kualitas dan fleksibilitas dari sistem pendidikan di kawasan mampu mengakselerasi mobilitas pelajar, profesional, dan kolaborasi riset. Sehingga secara lebih jauh dapat mendorong daya kompetensi masyarakat atau penyebaran nilai-nilai bersama dalam kehidupan sosial dan budaya mereka ini dikenal dengan nama Proses Bologna pada tahun 2003. 11 Lebih jauh, dalam penelitiannya Nguyen memaparkan bagaimana organisasi regional memiliki peran dalam mendorong kerja sama dan integrasi sektor pendidikan tinggi di kawasan. Harmonisasi kebijakan, credit transfer, dan jaminan kualitas (mutu) adalah cara penting dalam meningkatkan integrasi pendidikan tinggi. 12 Contohnya, AUN telah berupaya mendorong standar akademik dan jaminan mutu universitas di kawasan dengan membentuk AUN Quality Assurance Network sehingga diharapkan dapat mempersempit kesenjangan di setiap negara anggota. SEAMEO-RIHED ( Regional Centre for Higher Education and Development) telah mendorong keja sama dan integrasi regional dengan berfokus pada kebijakan harmonisasi di antara negara-negara anggotanya. Konsep harmonisasi ini sebetulnya banyak meniru regionalisasi yang dilakukan di Eropa melalui Proses Bologna, di mana menekankan pada mekanisme mobilitas pelajar, credit tranfer, dan jaminan mutu institusi pendidikan. Proses ini dipercaya secara bertahap akan mengintensifkan kerja sama, integrasi dan harmonisasi. 13 Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa hasil yang dicapai dapat dikatakan tidak begitu positif mengingat masih tingginya perbedaan sistem 10 Nguyen, pp. 76-77. 11 Nguyen, pp. 70-72. 12 Nguyen, p. 79. 13 Nguyen, pp. 77-79. 6

pendidikan tinggi di masing-masing negara, perbedaan bahasa, sistem kredit, kurikulum, sistem penilaian dan disparitas kualitas institusi pendidikan tinggi di kawasan. Selain itu, hambatan lain datang karena masih kurangnya kemampuan finansial, kapasitas organisasi regional, komitmen kerja sama dan integrasi, baik di tingkat domestik maupun regional. 14 Meskipun demikian, Nguyen belum membahas secara konkret mengenai dalam hal apa kurangnya kerja sama yang dimaksud. Saat ini SEAMEO telah membentuk SSP 2011-2020, sehingga ini sebetulnya dapat menjadi platform bagi strategi jangka panjang dan implementasi secara konkret. Penelitian lain dilakukan oleh Akhir dan Akhir, mereka memaparkan mengenai strategi dan kebijakan institusi regional dan domestik di Asia Tenggara dalam mendorong kerja sama di sektor pendidikan dalam konteks ASEAN. Mereka juga menyoroti strategi yang dilakukan AUN, yaitu program jaminan mutu dan credit transfer. Selain itu, mereka memaparkan bahwa ASEAN telah membentuk suatu rezim untuk mendorong keberhasilan integrasi pendidikan dan menyukseskan pilar ASEAN Socio-Cultural, yaitu ASEAN 5-Year Work Plan on Education 2011-2015. Rencana kerja lima tahun tersebut berorientasi pada lima prioritas utama yakni mempromosikan kesadaran ASEAN dan identitas regional; peningkatan akses pada pendidikan dasar dan menengah berkualitas; peningkatan performa pendidikan, standar, pendidikan seumur hidup dan pengembangan profesional; mobilitas lintas batas dan internasionalisasi pendidikan; dan mendukung sektor lain yang memiliki kepentingan dalam sektor pendidikan. Mereka menambahkan jika AUN dan SEAMEO merupakan partner kunci bagi implementasi program ini di mana program ini juga berperan penting dalam mobilisasi masyarakat dan penguatan ASEAN Community. 15 Dalam penelitian itu juga mereka menyoroti perlunya dilakukan kolaborasi riset antar universitas, di mana ini dapat meningkatkan rasa saling-pemahaman di kawasan. Selain itu, mereka menganggap perlu untuk mendorong kerja sama melalui pengembangan jaringan di antara universitas; pertukaran para ahli; dan saling berbagi pengalaman terkait kurikulum. Dalam penelitian itu dipaparkan bahwa riset kolaborasi dapat membantu dalam memformulasikan data dan pengetahuan baru bagi 14 Nguyen, p. 79. 15 A. M. Akhir & N. M. Akhir, Sustaining ASEAN Through Enhancing Regional Cooperation in Higher Education, ASEAN Studies Center, Universitas Gadjah Mada, dipresentasikan dalam acara International Conference on ASEAN Studies pada 1 Oktober 2014, pp. 31-52. 7

strategi dan rencana aksi dalam hal politik-kemanan, ekonomi dan sosial-budaya bagi institusi kawasan. 16 Penelitian lain dilakukan oleh Jones, ia menyoroti tentang pentingnya aspek pendidikan dalam proses integrasi regional di Asia Tenggara. Ia berfokus pada dimensi modal sosial yang merupakan penentu keberhasilan regionalisme. 17 Jones berpendapat bahwa modal sosial yang terdidik akan berpengaruh pada proses demokratisasi, kemakmuran dan partisipasi aktif dalam proses integrasi. Sikap empati dan kemampuan berkomunikasi lintas budaya sangat dibutuhkan masyarakat mengingat arus mobilisasi diharapkan dapat lebih bebas selama proses integrasi. Untuk itu, hal-hal di atas penting untuk masuk dalam komponen inti dari pendidikan di kawasan, sehingga dapat membentuk modal sosial yang memiliki karakteristik tersebut. Jones memaparkan bahwa negara-negara ASEAN perlu membentuk kurikulum yang mampu secara harmonis menanamkan nilai-nilai multikulturalisme kawasan dan meningkatkan kualitas tenaga pengajar agar dapat menciptakan sumber daya manusia yang lebih memiliki kapabilitas. Ketiga literature di atas telah membantu penulis dalam menganalisa implementasi SSP 2011-2020, terutama tujuan strategis kedelapan yaitu harmonisasi standar pendidikan. Nguyen telah memberikan sedikit gambaran mengenai proses yang harus dilakukan dalam harmonisasi standar pendidikan tinggi di Asia Tenggara dan kendala yang mempengaruhi keberhasilan kerja sama dalam proses tersebut. Akhir dan Akhir telah memberikan gambaran mengenai platform kerja sama sektor pendidikan tinggi oleh beberapa organisasi di kawasan. Sedangkan, Jones telah membantu penulis dalam memahami pentingnya meningkatkan kualitas pengajar, sebagai bagian dari sistem pendidikan, untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat di kawasan. Namun, ketiga literature di atas belum secara spesifik membahas mengenai proses harmonisasi standar pendidikan dalam platform SSP. Selain itu, ketiganya belum membahas mengenai bagaimana ukuran keberhasilan kerja sama dan kepatuhan negara-negara jika dibentuk suatu platform harmonisasi standar pendidikan di kawasan Asia Tenggara. 16 Akhir & Akhir, pp. 47-50. 17 M. E. Jones, Forging an ASEAN Identity: The Challenge to Construct a Shared Destiny, ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies), Vol. 26, No. 1, 2004, pp. 140-154. 8

C. Rumusan Masalah Secara spesifik penelitian ini akan berusaha menjawab dua pertanyaan utama, yakni: Apa skema dalam tujuan harmonisasi standar pendidikan di kawasan SEAMEO dan bagaimana mengukur keberhasilannya jika ditinjau melalui derajat kepatuhan (compliance) para aktor? D. Kerangka Konseptual Untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas, akan digunakan konsep kerja sama regional untuk menganalisis skema-skema kerja sama pendidikan di tataran regional dalam tujuan harmonisasi, konsep compliance untuk mengukur keberhasilan melalui derajat kepatuhan para aktor dalam tujuan tersebut, serta konsep SEAMEO Strategic Plan (SSP) 2011-2015 untuk memberikan gambaran terkait tujuan harmonisasi standar pendidikan secara lebih konkret. 1. Kerja sama regional Dalam memahami kerja sama regional, maka akan sangat erat kaitannya dengan regionalisme, di mana kerja sama regional merupakan salah satu proses yang menjadi ciri regionalisme. Menurut Hurrel (1995), ada lima proses berlangsungnya regionalisme, yaitu: (1) regionalisasi, (2) kesadaran dan identitas regional, (3) kerja sama regional antar negara, (4) integrasi regional yang didukung negara, dan (5) kohesi regional. Dalam proses pertama yakni regionalisasi, elemen ini merujuk pada proses pertumbuhan integrasi kemasyarakatan dalam suatu wilayah. Yaitu, adanya proses interaksi sosial dan ekonomi yang cenderung tidak terarah. Proses ini terjadi secara alamiah, di mana negara-negara yang saling bertetangga dan memiliki kedekatan geografis melakukan serangkaian kerja sama demi memenuhi berbagai kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sendiri. 18 Kedua adalah kesadaran dan identitas regional, elemen ini menekankan pada persepsi bersama tentang rasa saling memiliki pada suatu komunitas tertentu dengan faktor internal sebagai pengikat misalnya dipengaruhi oleh kesamaan budaya, sejarah atau tradisi agama. Kesadaran regional juga dapat dipengaruhi oleh hal yang sifatnya eksternal, misalnya menyangkut masalah kemanan yang berasal dari luar 18 A. Hurrel dalam Nuraeni S., D. Silvya & A. Sudirman, Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, pp. 6-7. 9

komunitas tersebut. Elemen ketiga merujuk pada proses kerja sama regional dengan cara pembentukan suatu rezim atau negosiasi bilateral yang bertujuan memelihara kesejahteraan, meningkatkan nilai-nilai bersama, dan memecahkan masalah bersama berkat adanya peningkatan interdependensi regional. Keempat merujuk pada proses integrasi yang melibatkan campur tangan pemerintah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong fleksibilitas kerja sama. Elemen terakhir adalah kohesi regional, yang diharapkan dapat terbentuk karena kombinisasi dari keempat elemen sebelumnya, sehingga dapat menghasilkan suatu unit regional yang terkonsolidasi. Misalnya, melalui intensifikasi kerja sama atau pembentukan rezim-rezim baru agar berjalan lebih efektif. 19 Kerja sama regional dapat dipahami melalui beragam bentuk, misalnya; kerja sama fungsional yang disepakati oleh setiap negara pada area-area yang sifatnya terbatas; kerja sama ekonomi dengan ekspektasi peningkatan pembangunan; kerja sama politik yang meliputi komitmen bersama dalam penerapan suatu nilai dan praktik tertentu; dan kerja sama keamanan yang mendorong sinergi antar negara. Keberadaan organisasi regional yang merupakan salah satu dimensi dari regionalisme, telah mendorong pada peningkatan kerja sama dan menjadi wadah bagi negara-negara dalam mengatasi permasalahan yang timbul akibat interaksi di antara mereka. Organisasi regional diikat oleh kesamaan tujuan berdasarkan ikatan geografis, sosial, budaya, ekonomi atau politik dan kesepakatan formal antar pemerintah negara-negara anggotanya. Secara umum, kerja sama regional memiliki empat tingkatan yaitu asosiasi, koordinasi, harmonisasi dan integrasi. 20 Pertama, asosiasi dapat dipahami sebagai pertemuan antar negara untuk membahas isu tertentu, namun belum sampai pada tingkat merumuskan aturan bersama. Dalam tahap ini bisa saja telah dibentuk suatu aturan bersama melalui konstitusi, namun sifatnya tidak mengekang negara. Kedua, koordinasi dapat dipahami sebagai pertemuan antar negara, di mana telah terdapat kesepakatan dari masing-masing negara untuk saling membantu dalam menangani isu tertentu. Koordinasi, dengan kata lain, merupakan sebuah cara untuk membuat kebijakan bersama di antara para aktor secara legal-formal dan harus memenuhi tiga unsur, yakni; adanya kebebasan bagi setiap aktor dalam menentukan pilihan kebijakannya 19 A. Hurrel dalam Nuraeni S., D. Silvya & A. Sudirman, pp. 8-11. 20 Nuraeni S., D. Silvya & A. Sudirman, pp. 79-82. 10

masing-masing; kebijakan yang disesuaikan mengarah pada kesepakatan bersama; dan kebijakan tersebut dilaksanakan dalam suatu program yang dianggap akan menguntungkan masing-masing pihak. 21 Tingkatan ketiga yaitu harmonisasi, dalam tahap ini masing-masing negara saling melakukan penyesuaian terhadap kebijakan luar negeri negara lain. Namun, dalam tahap ini belum disepakati suatu kewenangan otoritas, norma-norma yang akan dipakai bersama, apalagi mengenai struktur kerja sama. Keberadaan suatu forum merupakan wujud dari harmonisasi. Menurut Harrison dan Mungal (1990), terdapat empat teknik bagi suatu organisasi untuk melakukan harmonisasi, di mana teknik tersebut meliputi riset, peninjauan kembali, uji kebijakan dan forum. Riset atau penelitian yakni membandingkan atau mendistribusikan informasi yang diperlukan dalam rangka penyesuaian kebijakan masing-masing negara anggota organisasi tersebut. Peninjauan kembali yakni melakukan peninjauan secara periodik terhadap kebijakan nasional masing-masing negara, dengan tujuan aktivitas yang menyebabkan ketidaksesuaian oleh suatu negara dapat kembali diselaraskan dan diharmoniskan dengan negara lain. 22 Teknik ketiga yaitu uji kebijakan nasional mengenai satu isu atau aspek dengan didasarkan pada aktivitas saling bertukar informasi, masukan atau pengetahuan antar negara dalam mengatasi permasalah tertentu. Saling bertukar informasi ini penting untuk menjadi rujukan suatu negara ketika permasalah sama yang pernah terjadi di suatu negara muncul kembali di negara lain. Teknik terakhir adalah forum sebagai wujud dari harmonisasi. Dalam proses ini setiap aktor negara maupun non-negara berusaha menyelaraskan berbagai kepentingan mereka dan menjaga situasi kondusif yang telah dibangun. Harmonisasi dapat tercipta ketika masing-masing negara meningkatkan kesadaran saling ketergantungan, kesadaraan akan permasalah bersama dan kesesuaian terkait prinsip setiap negara. 23 Tingkatan keempat dalam kerja sama regional yaitu integrasi. Dalam tahap ini kerja sama telah mengarah pada pembentukan norma bersama dan terwujud dalam organisasi regional yang memiliki otoritas. 24 Griffiths (2002) mendefinisikan 21 Nuraeni S., D. Silvya & A. Sudirman, pp. 82-83. 22 Nuraeni S., D. Silvya & A. Sudirman, pp. 83-84. 23 Nuraeni S., D. Silvya & A. Sudirman, pp. 84-85. 24 Nuraeni S., D. Silvya & A. Sudirman, p. 85. 11

integrasi sebagai pergerakan menuju kerja sama antar negara; transfer otoritas pada institusi supranasional; penyamaan nilai-nilai; dan perubahan menuju masyarakat global atau pembentukan komunitas masyarakat politik baru. 25 2. Kepatuhan (compliance) Meningkatnya interaksi antar negara ditunjukan dengan semakin intensifnya kerja sama dan kondisi saling ketergantungan satu sama lain. Hal tersebut dipertegas melalui kecenderungan negara-negara yang membentuk regionalisme dan integrasi dalam aspek ekonomi, sosial dan politik, seperti dalam kasus Asia Tenggara melalui intensifikasi kerja sama SEAMEO atau integrasi ASEAN Community. Sebelumnya telah dipahami bahwa kerja sama regional menjadi jalan pembentukan suatu rezim atau negosiasi antar negara demi mencapai kesejahteraan dan memecahkan permasalahan bersama, di mana hal tersebut dipengaruhi oleh adanya peningkatan interdependensi regional. SEAMEO sebagai organisasi regional telah membentuk SSP, sekaligus menjadi rezim yang di dalamnya memuat tujuan strategis harmonisasi standar pendidikan, khususnya komitmen untuk mengaharmoniskan kualifikasi standar akademik yang telah disepakati dalam SEAMEO Statement. Tentu untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan upaya kooperatif dari masing-masing negara anggota yang telah membuat kesepakatan. Bentuk dari upaya kooperatif atau kerja sama yang dimaksud adalah kepatuhan (compliance) terhadap kesepakatan yang telah dibuat. Chayes dan Chayes memaparkan bahwa terdapat 3 (tiga) alasan utama yang mendorong sebuah negara mau patuh terhadap perjanjian atau kesepakatan internasional, yaitu: (1) efisiensi, (2) kepentingan dan (3) norma. Pertama, patuh pada aturan atau kesepakatan yang diformulasikan dalam perjanjian internasional, sama halnya dengan melakukan efisiensi. Keuntungan dapat diperoleh oleh aktor atau negara, karena aturan-aturan yang telah termuat dalam kesepakatan internasional dapat meminimalisir pengeluaran dalam formulasi kebijakan di tataran domestik. Kedua adalah kepentingan, negara mau patuh pada kesepakatan internasional karena formulasi dalam kesepakatan tersebut sesuai dengan kepentingan nasional masing-masing negara. Dalam dimensi ini dapat dipahami bahwa proses ketika pejanjian tersebut dirumuskan, hasil akhirnya diharapkan dapat 25 Martin Griffiths dalam Nuraeni S., D. Silvya & A. Sudirman, p. 103. 12

mengakomodir kepentingan para aktor. 26 Dimensi ketiga yang mempengaruhi kepatuhan negara dalam perjanjian internasional adalah norma. Norma diyakni sebagai elemen yang dapat mendorong sebuah negara untuk patuh pada perjanjian internasional. Perjanjian internasional sering kali dipahami secara normatif sebagai sesuatu yang legally binding oleh negara-negara yang meratifikasinya. 27 Secara lebih jauh, penulis mengelaborasi dua kondisi yang mungkin menjadi penyebab ketidakpatuhan ( noncompliance) yang dikemukakan oleh Chayes dan Chayes, yakni: (1) ambiguitas dan ketidakpastian bahasa perjanjian, dan (2) keterbatasan kapasitas para aktor untuk melaksanakan upayanya, sehingga ketidakpatuhan lebih dipahami sebagai kondisi tidak disengaja. Pertama, ambiguitas atau ketidakjelasan bahasa perjanjian pada gilirannya menyebabkan ketidakpatuhan negara karena para pihak tidak dapat menangkap maksud dari isi kesepakatan atau menafsirkannya dengan cara yang berbeda-beda. Kedua, keterbatasan kapasitas mempengaruhi ketidakpatuhan para aktor untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam kesepakatan internasional. Dengan kata lain implementasi kesepakatan sangat bergantung pada kemampuan setiap negara partisipan perjanjian. Ketidakpatuhan merupakan akibat dari ketidakmampuan atau keterbatasan dalam hal sumber daya para aktor. 28 3. SEAMEO Strategic Plan 2011-2020 SEAMEO atau Organisasi Para Menteri Pendidikan Asia Tenggara merupakan organisasi regional yang secara konsisten berfokus pada pembangunan kualitas masyarakat Asia Tenggara. Organisasi ini telah lama eksis dan terus mengembangkan kerja sama mereka dalam aspek pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan di kawasan. Tuntutan perubahan regional dan global telah mendorong negara-negara anggota untuk meningkatkan peluang kerja sama. Dengan membentuk SEAMEO Strategic Plan (SSP) (2011-2020), maka diharapkan rencana yang sejak awal telah dirumuskan oleh organisasi dapat didorong pada peningkatan kerja sama. 29 26 A. Chayes & A. H. Chayes, The New Sovereignty: Compliance with International Regulatory Agreements, Harvard University Press, London, 1995, p. 4. 27 Chayes & Chayes, p. 8. 28 Chayes & Chayes, pp. 9-15. 29 SEAMEO, SEAMEO Strategic Plan (2011-2020), p. 10. 13

Rencana strategis ini menjadi katalisator bagi kolaborasi yang akan mendorong pada pembangunan nasional setiap negara anggota. Dalam praktiknya, SSP akan diarahkan pada kolaborasi dan kerja sama dengan berbagai mitra dan organisasi dalam kawasan untuk mendorong pertumbuhan kawasan melalui daya saing masyarakat. Ini juga kemudian akan secara kolektif diimplementasi oleh seluruh unit dalam organisasi SEAMEO. SSP sekaligus menjadi kendaran bagi organisasi untuk mencapai visi besar Golden SEAMEO pada tahun 2020. 30 Untuk mencapai visi tersebut maka disusun kesembilan poin yang menjadi tujuan strategis dalam SSP 2011-2020, yaitu (1) To develop regional centres of excellence, (2) To provide relevant and responsive programmes that address national and regional issues in SEAMEO s areas of specialization, (3) To strengthen the organisational capability to initiate and manage change and development to meet the challenges of globalisation, (4) To ensure continued financial viability, (5) To promote research and development (R&D) in education, science and culture and improve the dissemination mechanism, (6) To enhance collaboration among Member Countries and relevant organisations, (7) To be ASEAN s strategic partner for the advancement of education, science and culture, (8) To facilitate the development of harmonized education standards, (9) To be a regional leader in the advancement of education, science and culture. 31 Selain untuk mendorong pembangunan nasional dan regional, ini juga diharapkan dapat membantu untuk menjawab segala tantangan di depan yang mungkin muncul. Maka diharapkan kerja sama dari setiap negara anggota dan organisasi baik itu organisasi regional dan internasional dapat dilakukan secara intensif. Salah satuh rencana strategis yang diupayakan adalah memfasilitasi pengembangan standar pendidikan yang harmonis poin ke delapan. Strategi ini dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan mobilitas masyarakat di kawasan. Selain itu, upaya harmonisasi dilakukan untuk menekan disparitas di antara negara-negara Asia Tenggara, sehingga dapat diarahkan pada kepentingan bersama yang lebih luas. 30 SEAMEO, SEAMEO Strategic Plan (2011-2020), p. 11. 31 SEAMEO, SEAMEO Strategic Plan (2011-2020), p. 26. 14

E. Argumen Utama SEAMEO sebagai organisasi regional Asia Tenggara menjadikan SEAMEO Strategic Plan (2011-2020) sebagai platform kerja sama pendidikan regional dengan mengupayakan tujuan harmonisasi standar pendidikan sebagai strategi untuk menyelaraskan pendidikan di kawasan. Tujuan tersebut diimplementasi melalui skema-skema yang diupayakan oleh setiap elemen organisasi, termasuk pemerintah dari negara-negara SEAMEO dan regional centre. Skema harmonisasi yang dipakai meliputi, menerapkan standar dan meningkatkan kualitas tenaga pendidik, membentuk network dan menyusun framework sistem jaminan mutu regional, transfer kredit, hingga membentuk program mobilitas pelajar. Meskipun demikian, jika mengukur keberhasilan kerja sama melalui konsep compliance yang dikemukakan oleh Chayes dan Chayes, terdapat dua variable yang dapat menunjukan kepatuhan dan ketidakpatuhan melalui pola perilaku para aktor. Ukuran kepatuhan dalam kerja sama harmonisasi dipengaruhi oleh adanya efisensi dalam meningkatkan kualitas sistem pendidikan bagi negara-negara yang secara pembangunan pendidikan belum mapan. Serta, adanya alasan kepentingan negara yang sedang mendorong pembangunan pendidikan di level nasional. Dan kepentingan untuk meningkatkan fleksibilitas penyebaran tenaga kerja berkualitas di kawasan. Lebih jauh, ketidakpatuhan negara dalam upaya harmonisasi besar dipengaruhi oleh ambiguitas kesepakatan kerja sama dalam SSP dan disparitas kapasitas dalam hal kualitas sistem pendidikan yang mempengaruhi komitmen kerja sama. F. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan memberikan gambaran melalui fakta-fakta yang tersedia untuk selanjutnya menganalisis dari data-data yang berhasil dikumpulkan. 32 Untuk mengumpulkan data-data penelitian tersebut, penulis menggunakan metode studi literatur. Literatur yang dimaksud bersumber dari buku, jurnal, artikel dalam seminar internasional, artikel dari berbagai media online, media resmi pemerintah atau institusi 32 N. Hadari, Metode Penelitian Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, p. 63. 15

internasional, serta data-data dari situs-situs resmi seperti: SEAMEO, SEAMEO Regional Centres, ASEAN, World Bank, World Economic Forum, UNESCO dan lain-lain. G. Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari lima bab. Setelah bab pertama yang berisi tentang pendahuluan, di bab kedua penulis akan memberikan deskripsi mengenai diversitas pendidikan di Asia Tenggara. Bab ketiga akan membahas mengenai SEAMEO, signnifikansi kerja sama pendidikan di kawasan, hingga arahan kebijakan terkait harmonisasi standar pendidikan di Asia Tenggara. Bab keempat akan memberikan analisis mengenai kerja sama pendidikan regional melalui skema-skema harmonisasi standar pendidikan, yakni peran sebagian elemen organisasi SEAMEO, mekanisme yang diterapkan, serta analisis keberhasilan kerja sama dilihat dari kepatuhan dan ketidakpatuhan aktor dalam tujuan tersebut. Penelitian ini diakhiri dengan bagian kelima yang merupakan kesimpulan, di mana memuat hasil analisis dan inferensi yang dapat diambil dari penelitian ini. 16