ASEAN Tanpa RDTL: Kegagalan Diplomasi Indonesia. Keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2011 ini tinggal menghitung hari sebelum posisi itu

Transkripsi

1 ASEAN Tanpa RDTL: Kegagalan Diplomasi Indonesia Keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2011 ini tinggal menghitung hari sebelum posisi itu diserahkan pada Kamboja 1 Januari Dapat dipastikan bahwa upaya Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), untuk menjadi anggota penuh ASEAN tak akan terjadi di masa Keketuaan Indonesia. Sesuatu hal yang harus dicatat sebagai kegagalan diplomasi Indonesia. Pasalnya, sejak diraihnya kemerdekaan RDTL dari PBB, RI sudah sibuk menempatkan diri sebagai negara sponsor bagi keanggotaan RDTL di ASEAN. Indonesia berhasil mendorong RDTL diterima sebagai negara peninjau sejak tahun Lalu sewaktu RDTL mengajukan lamaran resmi sebagai anggota penuh ASEAN 4 Maret 2011, RI secara terbuka menyatakan mendukung. Banyak pihak awalnya menduga bahwa sikap Indonesia sebagai negara terbesar dan paling berpengaruh di kawasan, yang dimasa lalu sering disebut sebagai big brother, dan sebagai Ketua ASEAN 2011, diperkirakan akan mulus diterima sebagai konsensus segenap negara kawasan. Tapi kemudian sebuah kejutan terjadi dalam dua minggu. Sebagaimana dikemukakan Menlu Marti Natalegawa pada Presiden Xanana Gusmao yang datang menemui Presiden SBY pada minggu ketiga Maret tahun ini, lamaran RDTL, memperoleh penolakan dari satu negara yang dirahasiakan 2. Itu cukup untuk merintangi RDTL segera menjadi anggota ASEAN, mengingat keputusan untuk menerima anggota baru harus diambil melalui konsensus kesepuluh anggotanya saat ini. 1 TIMOR LESTE Perlu Lima Tahun untuk Jadi Anggota ASEAN, Suara Karya, Jumat, 28 Juli Indonesia Dukung Timor Leste Masuk Asean Sebelum 2015, Sriwijaya Post - Selasa, 22 Maret :25 WIB 1

2 Secara politik, Indonesia kehilangan muka baik dimata negara-negara ASEAN maupun RDTL. Adalah teka-teki, apakah satu suara yang menolak keanggotaan RDTL dikalangan negara ASEAN adalah jumlah riil. Bisa saja sebenarnya jumlah negara yang cenderung menolak RDTL lebih dari satu. Hanya saja mereka bermain mata, sikap tidak mendukung tak perlu diungkapkan karena satu suara penolakan sudah menjadi veto. Dan lebih dari satu penolakan akan terlihat lebih mempermalukan RDTL dan Indonesia. Pemerintah RDTL juga sangat kecewa karena dukungan Indonesia ternyata bukan jaminan suksesnya diplomasi negara itu terhadap ASEAN. Meriahnya rangkaian persiapan dan megahnya acara seremonial KTT ASEAN dan Asia Timur, membuat hal ini tak terlalu diperhatikan publik nasional. Dari perspektif ASEAN ada beberapa alasan untuk menolak keanggotaan penuh RDTL. Faktor-faktor ini nampaknya tak dipertimbangkan oleh Indonesia dalam menangani isu hubungan RDTL dan ASEAN. Pertama, kehadiran anggota baru dapat mengganggu proses integrasi kawasan menuju Komunitas ASEAN Tiga pilar integrasi yaitu Asean Economic Community (AEC), Asean Security Community (ASC) dan Asean Socio-Cultural Community (ASCC) 3 yang sudah dirinci detail jadwal tahapan pelaksanaannya dalam sebuah cetak biru, didesain sesuai kondisi sepuluh negara ASEAN, tak mudah untuk direvisi. Sejauh ini dari segi proses integrasi ekonomi, perhatian khusus pada kelompok negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam) yaitu negara-negara yang bergabung belakangan dan status sosial ekonominya relatif tertinggal dari lima negara pendiri ASEAN, sudah merupakan beban berat. 3 Aida S.Budiman, artikel dalam Masyarakat Ekonomi Asean 2015, Editor: Sjamsul Arifin, et.al., Elex Media Komputindo (Jakarta:2008). Hal

3 RDTL bukan hanya tergolong negara termiskin di Asia tetapi performa ekonominya selama ini buruk. Menerima RDTL pasti akan memberikan konsekuensi berubahnya citra ASEAN dimata dunia sebagai organisasi regional yang beranggotakan negara-negara berkembang yang sukses atau setidaknya menjanjikan secara ekonomi. Dari sisi teknis, ASEAN yang sudah direpotkan oleh agenda perbaikan sistem koordinasi antar sepuluh Pemerintahan harus memberikan perhatian dan menyusun skema khusus untuk RDTL. Dalam konteks ini, kepentingan ekonomi negara-negara mitra +3 (China dengan CAFTA, Jepang dengan EPA bilateral dan Korea Selatan), juga perlu diperhitungkan karena integrasi ekonomi ASEAN sudah menjadi bagian dari strategi ekonomi nasional mereka masingmasing. Kedua, kerentanan politik domestiknya membuat prospek ekonomi RDTL diyakini suram. Sejarah menunjukkan bahwa wilayah itu rawan pergolakan. Implikasi politisnya, kekuatan hegemonik dari luar selalu dibutuhkan untuk menopang stabilitas. Hal ini pernah diperankan Portugal serta Indonesia dan kemudian hingga sekarang digantikan aliansi kekuatan Barat dibawah koordinasi Australia dengan baju PBB. Dari dimensi tersebut, posisi RDTL akan dianggap sebagai pesaing oleh negara ASEAN tertentu yang selama ini menyediakan dirinya sebagai pintu masuk kepentingan Barat kedalam kawasan. Di sisi lain, bagi mereka yang mencita-citakan kemandirian ASEAN, bertambahnya jenis negara yang seperti ini, adalah tambahan beban untuk menciptakan kemandirian kawasan. Ketiga, ASEAN bukan perhimpunan yang identitasnya semata bersifat geografis. Kebersamaan dalam ASEAN terbangun dari adanya kesamaan budaya politik sebagai kumpulan negara bertradisi harmoni khas peradaban Timur. Sikap RDTL di berbagai fora yang terus mengeksploitasi kelemahan Indonesia dalam mengelola HAM di wilayah itu dimasa lalu guna meraih empati internasional dan menihilkan 3

4 jasa Indonesia yang memberikan warisan pembangunan peradaban yang tidak sedikit, menunjukkan karakter budaya politik elite RDTL yang berbeda dengan budaya politik arus utama di Asia Tenggara. Kritik terbukanya terhadap praktek HAM di Myanmar, tergolong berlawanan dengan prinsip non-intervensi yang dipegang teguh ASEAN. Alasan letak geografis, tidak mengharuskan ASEAN menerima RDTL. ASEAN tanpa RDTL adalah suatu keniscayaan. Seperti Uni Eropa (UE) yang tak menyertakan Monaco dan Andorra sebagai anggota meskipun ada diwilayah Eropa Barat, ASEAN mungkin tak perlu harus menerima semua negara di Asia Tenggara menjadi anggota. Secara umum, konstruksi kebijakan terhadap RDTL dalam hubungannya dengan ASEAN, yang sudah sejak Oktober 2004 ada dibawah kendali Presiden SBY ini patut dipertanyakan. Untuk sebuah kebijakan yang berproses selama tujuh tahun, konstruksi kebijakan mengenai hal ini tidak terlihat bersifat institusional. Cenderung hanya dijadikan bagian dari politik pencitraan Presiden SBY sebagai pemuncak otoritas politik luar negeri. Berbeda dengan situasi didalam negeri, pendekatan model ini tak mempan pada elite penguasa negara-negara ASEAN. Sebuah kebijakan luar negeri yang institusional pasti memiliki strategi untuk mengatasi kebuntuan atau kegagalan sebuah proses diplomasi. Tapi yang terjadi, agenda membantu RDTL membentuk format baru hubungan dengan ASEAN seperti hilang begitu saja selepas pertemuan SBY-Xanana diatas. Pertemuan dengan Ramos Horta di sela KTT ASEAN juga tak mengangkat hal baru. Agar situasi dapat diperbaiki dan kewibawaan serta pengaruh Indonesia di kawasan tidak terus merosot karena kasus ini, Pemerintah perlu memiliki terobosan. Kecanggungan hubungan antara ASEAN dan RDTL yang sedang berkembang karena beberapa hal perlu ditangani. Baik akibat amat riskannya pengajuan kembali keanggotaan dalam waktu dekat ini 4

5 oleh veto oleh aktor yang berbeda dari sebelumnya, hingga kemungkinan posisi lamaran RDTL ke ASEAN bisa digantung dalam ketidakpastian seperti lamaran Turki ke UE. Sebuah inisiatif diplomasi baru terhadap RDTL dan ASEAN dapat difokuskan untuk membuka akses RDTL pada kemajuan ASEAN utamanya secara ekonomi tanpa menjadi anggota penuh. Kasus Monaco yang wilayahnya dikelilingi Perancis dapat menjadi rujukan. Monaco yang bukan anggota UE bisa menikmati keuntungan ekonomi dari UE melalui integrasi ekonomi dengan Perancis 4. Kesepakatan integrasi ekonomi Perancis-Monaco ini yang dibuat tahun 1918 diakui sebagai bagian dari kerangka ekonomi Uni Eropa. Mengingat sejarah dan dianutnya sistem hukum Indonesia dan praktek ekonomi lintas batas yang intens, Indonesia dapat menawari RDTL sebuah proposal kerangka kerjasama ekonomi khusus dengan RI mengikuti model integrasi ekonomi Monaco pada Perancis. RI dan RDTL bisa memberlakukan skema integrasi ekonomi bilateral sebagai bagian dari kerangka integrasi ekonomi ASEAN yang membebaskan arus modal, orang,barang dan jasa lintas batas dan penggunaan mata uang Rupiah oleh RDTL. Kasus ini adalah pelajaran agar RI pandai mengukur diri. Dalam kondisi soft power dan hard power yang tumbuh lebih lambat dibanding beberapa negara lain di kawasan, RI harus lebih hati-hati menyikapi setiap isu atau meluncurkan inisiatif terhadap kawasan ASEAN agar tak kehilangan muka. Kewibawaan dan pengaruh sebagai pemimpin alamiah kawasan dapat dipelihara dengan kejelian membaca aspirasi kawasan ASEAN. Situasi dimana RI meluncurkan inisiatif dan kemudian gagal membangun keseragaman sikap ASEAN adalah indikasi merosotnya pengaruh dan kewibawaan politik RI. Jakarta, 9 Desember 2011 Guspiabri Sumowigeno Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS) 4 Agreements on Monetary Relations (Monaco, San Marino, the Vatican and Andorra) diunduh dari 5