BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. reaksi fisik maupun psikologis yang mengganggu kehidupan sehari-hari (Priyoto,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Orang tua merupakan sosok yang paling terdekat dengan anak. Baik Ibu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena itu mereka termasuk kedalam anak berkebutuhan khusus (Miller, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan melakukan aktivitas secara mandiri. pembentukan pengertian dan belajar moral (Simanjuntak, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang ringan sampai efek yang berat (Dickinson et al., 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai anak yang normal. Melihat anak anak balita tumbuh dan. akan merasa sedih. Salah satu gangguan pada masa kanak kanak yang

BAB I PENDAHULUAN. terencana melalui pendidikan. Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh berbagai

BAB I PENDAHULUAN. belumlah lengkap tanpa seorang anak. Kehadiran anak yang sehat dan normal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. disabilitas intelektual dapat belajar keterampilan baru tetapi lebih lambat

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lemah ginjal, buta, menderita penyakit bagian kaki dan banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikarenakan pada anak retardasi mental mengalami keterbatasan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Padahal deteksi dini dan penanganan yang tepat terhadap depresi dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, cakupan dari disabilitas terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN.

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyandang disabilitas merupakan bagian dari anggota masyarakat yang

Santi E. Purnamasari, M.Si., Psikolog. Fakultas Psikologi UMBY 2013

Santi E. Purnamasari, M.Si., Psikolog. Fakultas Psikologi UMBY 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lima tahun pertama kehidupan anak adalah masa yang sangat penting karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hasil survei Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 menyatakan bahwa dari

BAB I PENDAHULUAN. otak secara akut dan dapat menimbulkan kematian (World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. kadar gula darah, dislipidemia, usia, dan pekerjaan (Dinata, dkk., 2015). Angka

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau lebih. fungsi yang penting dari manusia (Komarudin, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Menurut Renwick dan Brown (1995), seseorang dikatakan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. interaksi sosial, tidak bisa mengamati dan mengolah informasi. Orang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Aktivitas fisik merupakan salah satu aktivitas yang didapatkan dari adanya pergerakan tubuh manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Depkes RI (2007 dalam Nastiti, 2012) menjelaskan bahwa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. membuatnya depresi. Depresi menjadi masalah kesehatan jiwa yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dasar Disamping itu, pengontrolan hipertensi belum adekuat

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab yang sering disampaikan adalah stres subjektif atau biopsikososial

BAB I PENDAHULUAN. anak dan remaja saat ini sejajar dengan orang dewasa (WHO, 2013). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada usia dewasa. Insidens SN pada salah satu jurnal yang dilakukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemberian ASI (Air Susu Ibu) secara eksklusif sampai usia 6 bulan pertama

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rosenbaum dkk, palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. beban penyakit global dan lazim ditemukan pada masyarakat negara maju maupun

BAB 1 PENDAHULUAN. kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya (Amrin,

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hal penting yang diinginkan. setiap manusia. Menurut World Health Organization (WHO)

BAB 1 PENDAHULUAN. sulit diharapkan untuk berhasil membangun bangsa itu sendiri. (Hadi, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. berbahasa dan berbicara, bertingkah laku sosial dan lain sebagainya.

Kesehatan (Depkes, 2014) mendefinisikan diabetes mellitus sebagai penyakit. cukup atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin secara efektif, dan

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar

BAB I PENDAHULUAN. memberikan gambaran yang jelas tentang gagal jantung. Pada studinya disebutkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meninggal sebelum usia lima tahun didominasi oleh kelahiran prematur dan kelahiran bayi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sosialisasi merupakan suatu proses di dalam kehidupan seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. (Activity Daily Living/ADL) (Effendi,2008). tidak lepas dari bimbingan dan perhatian yang diberikan oleh keluarga,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hampir sama dengan anak kebanyakan. Namun takdir berkata lain anak yang

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT STRES DENGAN INSOMNIA PADA LANSIA DI DESA TAMBAK MERANG GIRIMARTO WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan di Puskesmas Wonosari pada bulan September-Oktober 2016.

BAB I PENDAHULUAN. stimulus (Anurogo & Usman, 2014, h. 66). Epilepsi adalah kelainan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Disabilitas adalah suatu bentuk akibat dari keterbatasan seseorang pada

BAB 1 PENDAHULUAN. cerebrovascular disease (CVD) yang membutuhkan pertolongan dan penanganan

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang. Di Indonesia penyakit diare menjadi beban ekonomi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebahagiaan terbesar orang tua adalah adanya kehadiran anak. Anak yang tumbuh sehat merupakan harapan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut American Diabetes Association / ADA (2011) DM adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade

BAB I PENDAHULUAN. masih banyak ditemukan di Indonesia maupun di dunia. Penderita hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kebutaan dan 3,65% atau 246 juta orang mengalami low vision. 1,2

BAB I : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pencapaian MDGs yaitu status gizi balita. Masalah gizi utama di Indonesia saat ini

BAB I PENDAHULUAN. hiperkolesterolemia, dan diabetes mellitus. angka kejadian depresi cukup tinggi sekitar 17-27%, sedangkan di dunia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental (Maramis, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat menjadi stresor pada kehidupan manusia. Jika individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada

BAB I PENDAHULUAN. struktur kelengkapan fisik(unicef, 2013).Disabilitas dapat disebabkan. melakukan aktivitas secara selayaknya anak normal.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mampu menggunakan insulin yang dihasilkan oleh pankreas (Word Health

BAB 1 PENDAHULUAN. dilaksanakan secara terarah, berkesinambungan dan realistis sesuai tahapannya

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyerang penduduk di dunia. Saat ini prevalensi DM di dunia diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan terpotongnya suplai oksigen dan nutrisi yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya terjadi di negara-negara berkembang. Sekitar 5 juta orang mati

BAB I PENDAHULUAN. insulin dependent diabetes melitus atau adult onset diabetes merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, khususnya di

BAB I PENDAHULUAN. sederhana dan mudah dilakukan pengukurannya. Tekanan darah. penyakit gangguan hemodinamik dalam sistem kardiovaskuler

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat kedua dengan jumlah penderita Diabetes terbanyak setelah

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah bagian dari kesehatan secara menyeluruh, bukan sekedar

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sehat, maka mental (jiwa) dan sosial juga sehat, demikian pula sebaliknya,

ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GIZI KURANG PADA BALITA DI DESA BANYUANYAR KECAMATAN KALIBARU BANYUWANGI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak lazim atau tidak sesuai dengan norma lingkungan dimana mereka berada.

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan sumber kebahagiaan bagi sebagian besar keluarga sejak di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa balita merupakan periode penting dalam proses. tumbuh kembang manusia. Pertumbuhan dan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan penyakit dengan angka kematian tinggi. Data Global

BAB I PENDAHULUAN. Statistik (2013), angka harapan hidup perempuan Indonesia dalam rentang

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada bayi dan balita. United Nations Children's Fund (UNICEF) dan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stres merupakan suatu kondisi yang terjadi pada tubuh kita dalam bentuk reaksi fisik maupun psikologis yang mengganggu kehidupan sehari-hari (Priyoto, 2014). Stres bisa dialami seseorang karena adanya pemicu atau stresor, salah satunya perubahan sosial atau lebih sering dikenal dengan stresor psikosoial. Perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan seperti pola hidup di masyarakat, struktur keluarga, hubungan dalam keluarga, pekerjaan, penyakit, dan trauma bisa menjadi pemicu terjadinya stres (Hawari, 2011). Stres bisa terjadi pada semua golongan umur dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Akan tetapi paling banyak stres dialami oleh orang dewasa (Mumpuni & Wulandari, 2010). Stres pada orang dewasa kebanyakan disebabkan oleh tingginya tanggung jawab dan tuntutan dalam diri. Bisa disebabkan adanya masalah pada hubungan sosial, masalah dalam rumah tangga, pekerjaan, ekonomi, dan lain-lain. Semakin kompleks masalah yang dialami maka risiko terjadinya stres akan meningkat (Mumpuni & Wulandari, 2010). Salah satu tanggung jawab yang harus dipenuhi orang dewasa yaitu peran sebagai orangtua. Orangtua yang stres bisa memicu kegagalan orangtua dalam memenuhi fungsinya sebagai cargiver/pengasuh. Kegagalan orangtua dalam memenuhi kebutuhan anak bisa menyebabkan masalah juga pada anak. Masalah yang timbul pada anak seperti perawatan fisik yang kurang, masalah makan, sulit tidur, dan lain-lain (Hay Jr. et al, 2005). 1

2 Stres bisa dialami oleh semua orangtua tak terkecuali orangtua yang memiliki anak cerebral palsy (CP). Orangtua yang memiliki anak cerebral palsy akan cenderung mengalami stres situasional karena masalah pendapatan, status kesehatan, kepuasan dalam bekerja dan akan diperburuk oleh masalah perilaku anak (Sipal et al, 2009). Enam puluh persen orangtua yang memiliki anak cerebral palsy cenderung akan mengalami nervous dan stres (Majnemar et al, 2012). Menurut penelitian Al-Gamal dan Long tahun 2013 terdapat korelasi yang signifikan antara masalah perilaku dan emosi yang dialami anak cerebral palsy dengan tingginya level stres orangtua. Keterbatasan anak dan tingkat disabilitas anak yang semakin berat juga akan mempengaruhi tingkat stres orangtua. (Al- Gamal & Long, 2013). Keluarga besar harus memberikan dukungan pada orangtua inti agar bisa memberikan perhatian yang tepat pada anak cerebral palsy, karena merawat anak cerebral palsy memiliki tekanan yang lebih besar jika dibandingkan dengan merawat anak normal (Miller, 2007). Akan tetapi, stres dan konflik dalam suatu keluarga juga bisa menjadi faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya masalah perilaku pada anak dengan keterbatasan motorik dan intelektual (Vrijmoeth et al, 2012). Cerebral palsy (CP) merupakan suatu kondisi yang terjadi pada anak berupa kelemahan motorik. Biasanya tanda-tanda cerebral palsy sudah bisa dilihat saat usia anak kurang dari 2 tahun (Miller, 2007). Kondisi fisik pada orang yang mengalami cerebral palsy akan sulit memulai, mengontrol dan menahan gerakan (Stanton, 2012). Cerebral palsy terjadi karena adanya kerusakan bagian otak

3 tertentu. Bagian otak yang mengalami kerusakan bisa pada fungsi motorik, visual atau pendengaran, sensoris, maupun bahasa. Menurut International Executive Committee, pada cerebral palsy biasanya juga mengalami motor disorder yang sering diikuti kelainan lain seperti epilepsi dan masalah muskuloskeletal yang menyebabkan gangguan pada sensasi, persepsi, kognitif, komunikasi dan perilaku (Colver et al, 2014). World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa anak yang mengalami cerebral palsy juga mengalami kondisi kronis lain seperti masalah kardiovaskuler dan respirasi kronis, kanker serta diabetes. Selain itu, ada pula yang mengalami tindak kekerasan, gangguan mental, malnutrisi dan infeksi-infeksi lainnya. Kondisi kronis seperti malnutrisi juga diperkuat oleh pendapat dari The United Nation Children s Fund (UNICEF) tahun 2013 bahwa anak penyandang disabilitas khususnya cerebral palsy, memiliki resiko menderita gizi buruk. Anak cerebral palsy yang sumbing dan lumpuh otak bisa mengganggu saat mengonsumsi makanan. Kondisi lain seperti fibrosis sistik juga akan mengganggu gizi anak (UNICEF, 2013). Prevalensi disabilitas berdasarkan data WHO mengalami peningkatan menjadi 15%, lebih tinggi dari sebelumnya yang hanya 10%. Di Eropa sendiri, prevalensi anak cerebral palsy 2-2,5 per 1000 kelahiran hidup (Al-Gamal & Long, 2013). Peningkatan prevalensi ini terjadi karena dipengaruhi beberapa hal diantaranya kondisi populasi dan kesehatan global yang kronis. Pola disabilitas pada negaranegara tertentu juga dipengaruhi trend kesehatan dan lingkungan, meliputi pola

4 makan dan konsumsi obat yang tidak tepat, bencana alam, serta kecelakaan lalu lintas (WHO, n.d). Di Indonesia, menurut hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi disabilitas mengalami penurunan jika dibandingkan dengan hasil riset kesehatan dasar tahun 2007. Angka nasional disabilitas yang semula pada tahun 2007 sebesar 11,6% tahun 2013 menjadi 11%. Prevalensi terendah Papua Barat sebesar 4,6% dan prevalensi tertinggi Sulawesi selatan sebesar 23,8%. Kelompok nelayan dan non pekerja merupakan kelompok disabilitas tertinggi (Riskesdas, 2007). Sedangkan menurut survei sosial ekonomi nasional (Susenas) tahun 2012, jika dibandingkan dengan tahun 2003 dan 2009 terjadi peningkatan pada tahun 2006 dan 2012, terutama dari tahun 2009 ke tahun 2012 (Buletin Kemenkes RI, 2014). Anak cerebral palsy memerlukan perhatian lebih dari orangtua, khususnya mengenai masalah yang mungkin timbul akibat cerebral palsy. Salah satu masalah yang bisa terjadi pada anak cerebral palsy yaitu masalah perilaku. Masalah perilaku pada anak cerebral palsy biasa dialami pada usia sekolah. Prevalensi masalah perilaku yang terjadi pada anak CP sebesar 26-40%, diukur menggunakan Strength and difficulties questionnaire (SDQ) ( Brossard-Racine et al, 2012). Prevalensi masalah perilaku pada anak cerebral palsy jika diukur dengan Child Behaviour Checklist (CBCL) sebesar 65% (Sigurdardottir et al, 2010).

5 Peneliti melakukan 2 kali studi pendahuluan di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 1 Bantul. Hasil studi pendahuluan pertama mengenai masalah perilaku anak, dari 3 orangtua anak cerebral palsy (CP) yang diwawawancara, 2 diantaranya memiliki masalah perilaku dan emosi. Mereka ada yang mudah marah dan ada pula yang hampir setiap hari bertengkar dengan saudaranya untuk memperebutkan barang. Sedangkan studi pendahuluan kedua dilakukan pada 2 orangtua untuk melihat gambaran stres orangtua. Wawancara pada orang pertama memperoleh hasil bahwa orangtua tersebut sudah memiliki koping yang baik dan tetap bersyukur pada keadaan. Wawancara pada orang kedua, orangtua tersebut sudah bisa menerima keadaan akan tetapi selama wawancara dia terus meneteskan air mata. Dia menyatakan jika ditanya soal anaknya dia cenderung akan meneteskan air mata. Peneliti memilih SLBN 1 Bantul sebagai tempat penelitian karena SLBN 1 Bantul merupakan satu-satunya SLB yang membuka pendaftaran untuk siswa/siswi cerebral palsy atau tuna daksa. Meskipun hanya SLBN 1 Bantul yang membuka pendaftaran untuk siswa/siswi cerebral palsy atau tuna daksa, bukan berarti SLB lain tidak menerima siswa/siswi cerebral palsy atau tuna daksa karena sekolah tidak diperbolehkan menolak siswa/siswi yang ingin mendaftar akan tetapi jumlah siswa/siswinya hanya sedikit. Jika dibandingkan dengan SLB lain SLBN 1 Bantul memiliki jumlah siswa/siswi cerebral palsy paling banyak. Berdasarkan analisis penelitian tentang cerebral palsy di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, belum ada penelitian yang membahas tingkat stres

6 orangtua dan masalah perilaku dari anak cerebral palsy (CP). Selain itu sebagai seorang perawat, stres yang dialami orangtua dan masalah perilaku yang muncul pada anak merupakan hal yang tidak bisa dianggap remeh. Perawat yang memeiliki peran sebagai edukator harus mampu memberikan edukasi mengenai masalah perilaku pada anak cerebral palsy. Selain itu stres yang dialami orangtua bisa mempengaruhi fungsi mereka sebagai orangtua. Oleh karena itu peneliti merasa perlu melakukan penelitian tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu Apakah ada hubungan antara perilaku anak cerebral palsy dengan tingkat stres orangtua di SLBN 1 Bantul? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku anak cerebral palsy (CP) dengan tingkat stres orangtua di SLBN 1 Bantul. 2. Tujuan khusus a. Mengidentifikasi tingkat stres orangtua yang memiliki anak CP di SLBN 1 Bantul b. Mengidentifikasi perilaku anak CP di SLBN 1 Bantul

7 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi orangtua anak cerebral palsy Orangtua mengetahui gambaran tingkat stres dan perilaku yang mungkin muncul pada anak cerebral palsy 2. Manfaat bagi masyarakat dan pihak sekolah yang mendidik anak cerebral palsy Memberikan informasi pada masyarakat dan pengelola sekolah agar ikut membantu dalam mengendalikan apabila terdapat masalah perilaku anak 3. Manfaat bagi perawat Manfaat bagi perawat meliputi: a. Memberikan masukan kepada perawat agar lebih memperhatikan kondisi mental orangtua yang memiliki anak cerebral palsy dan perawat juga bisa membantu dalam menentukan koping yang tepat untuk orangtua b. Mengetahui perilaku pada anak cerebral palsy 4. Manfaat bagi peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dan pertimbangan peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian terkait E. Keaslian Penelitian Berikut ini peneliti cantumkan tabel keaslian penelitian, meliputi:

Tabel 1. Kisi-kisi keaslian penelitian No Nama Judul Metode Hasil Persamaan Perbedaan 1. Brossard Instrumen yang -Racine, et al (2012) digunakan untuk mengukur perilaku. Behavioral Problem in school age children with cerebral palsy Rancangan penelitian: cross-sectional. Sampel: anak usia 6-12 tahun yang terdiagnosis cerebral palsy dan orangtua. Instrumen: the leiter intelligence test, the gross motor function meassure, the strength and difficulties questionnaire (SDQ), The vineland adaptive behavior scales untuk data demografis anak. Parenting stress index (PSI) untuk mengukur tingkat stres orangtua. Kesulitan perilaku biasa terjadi pada anak cerebral palsy. Adanya kesulitan perilaku tidak ada hubungannya dengan faktor sosio demografi dan karakteristik fisik serta kognitif. Diperlukan pengenalan lebih dalam mengenai kesulitan perilkau pada anak cerebral palsy agar kesehatan dan kesejahteraan anak CP beserta keluarga tercapai optimal. Instrumen digunakan Strength difficulties questionnaire. Selain yang yaitu and itu rancangan penelitian ini dengan penelitian Brossard-Racine et al (2012) sama-sama menggunakan cross-sectional. Subjek penelitian ini orangtua anak dengan cerebral palsy, sedangkan penelitian Brossard-Racine et al (2012) melibatkan orangtua dan anak. Variabel terikat pada penelitian ini adalah masalah perilaku anak sedangkan variabel bebasnya adalah stres orangtua. Instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat stres juga berbeda, pada penelitian Brossard- Racine, et al (2012) menggunakan PSI dan untuk penelitian yang akan dilakukan menggunakan instrumen yang dikembangkan Retnoningrum (2008) berdasarkan teori stres General Adaptation Syndrome (GAS) menurut Selye (1983). 8

Tabel 1. Lanjutan No Nama Judul Metode Hasil Persamaan Perbedaan 2 Sipahutar Hubungan Rancangan Lokasi dan subjek yang (2014) tingkat stres penelitian yaitu crosssectional.instru digunakan. penelitian Lokasi Sipahutar dengan (2014) berada di SD dan pola asuh men penelitian SDLB Kuncup Bunga orangtua tingkat stres Denpasar, di Pradnya pada anak Instrumen Gama Pusat Layanan autisme di tingkat stres Psikologi Denpasar, dan kota yang digunakan pusat Layanan Autisme Denpasar dalam peneitian kota Denpasar, Metode penelitian: penelitian kuantitatif analitik observasional dengan rancangan cross-sectional, serta didukung data kualitatif. Sampel: 84 orangtua yang memiliki anak autis (berdasarkan diagnose psikolog atau dokter) dan tinggal serumah, serta bersedia menjadi responden. Instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat stres orangtua adalah kuesioner yang disusun oleh Retnoningrum (2008) berdasarkan teori stres General Adaptation Syndrome (GAS) menurut Selye (1983).Sedangkan untuk pola asuh orangtua, instrumen yang digunakan adalah instrumen yang disusun oleh peneliti sendiri berdasarkan teori pola asuh Baumrind. Orangtua yang mengalami stres sedang memberikan pola asuh campuran antara demokratis dengan otoriter yaitu 12 responden. Orangtua yang mengalami stres tinggi menerapkan pola asuh otoriter yaitu7 responden. Orangtua yang mengalami stres ringan memberikan pola asuh campuran antara otoriter dan demokratis yaitu 7 responden. Tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat stres dengan pola asuh orangtua anak dengan autisme. ini dengan penelitian Sipahutar (2014) sama sedangkan penelitian ini akan dilakukan di Yogyakarta. Subjek orangtua anak dengan cerebral palsy dan guru sekolah, sedangkan Sipahutar (2014) melibatkan orangtua dengan anak autisme. Selain itu perbedaanya terletak pada instrumen pola asuh 9

Tabel 1. Lanjutan No Nama Judul Metode Hasil Persamaan Perbedaan 3 Ketelaar, Stress in Hasil yang ditemukan Variabel terikat Instrumen yang et al parents of berdasarkan analisis yaitu tingkat digunakan penelitian (2008) children regresi keterampilan stres orangtua Ketelaar et.al. (2008) with fungsional anak (PEDI) dengan anak menggunakan PSI untuk cerebral dan perilaku maladaptive cerebral palsy, mengecek tingkat stres palsy : anak (VABS) sebesar sedangkan dan VABS untuk what 27% dari total variansi variabel mengukur perilaku source of pada PSI domain bebasnya yaitu maladaptive anak, stress are orangtua untuk masalah masalah we talking skor stres. Perilaku perilaku pada about? maladaptive secara anak akan tetapi Rancangan penelitian: cross-sectional study. Sampel: 42 orangtua yang memiliki anak cerebral palsy (CP). Instrumen yang digunakan Pediatric Evaluation Disability Inventory (PEDI) untuk mengukur keterampilan fungsional anak, Thevineland adaptive behavior scales (VABS) untuk mengukur perilaku anak. Sedangkan untuk orangtua, instrumen yang digunakan Parenting stress index (PSI) untuk mengukur tingkat stres orangtua. signifikan berkontribusi dalam stres orangtua. Fungsi orangtua bisa dipengaruhi oleh aspek perilaku anak CP sehingga penting untuk mengetahui dan terus mengembangkan intervensi yang tepat serta memberikan dukungan pada seluruh keluarga. pada penelitian Ketelaar et.al. (2008) fokus pada perilaku maladaptive anak. Rancangan penelitiannya sama yaitu cross-sectional. sedangkan penelitian ini menggunakan kuesioner yang disusun oleh Retnoningrum (2008) berdasarkan teori stres General Adaptation Syndrome (GAS) menurut Selye (1983) untuk mengukur tingkat stres dan untuk mengukur masalah perilaku anak menggunakan SDQ (Strength and Difficulties Questionairre). 10