CDM Pada Sektor Kehutanan

dokumen-dokumen yang mirip
PENAMBATAN KARBON PADA BERBAGAI BENTUK SISTEM USAHA TANI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK MULTIFUNGSI

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

PENDAHULUAN Latar Belakang

ISSN : X Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi

Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah)

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), yang dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017

I. PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat dimanfaatkan,

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

ANALISlS ElW1SI DAN PENYERAPAN GAS RUMAH KACA (BASELINE) DAN EVALUASI TEKNOLOGt MITIGASI KARBON DI WILAYAH PERUM PERHUTANI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

Oleh/by: Nurlita Indah Wahyuni

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

II. TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

RENCANA AKSI MITIGASI 9S TRATEGI PELAKSANAAN RENCANA TATA GUNA LAHAN

Sidang Pendadaran, 24 Desember 2016 Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis ~VK

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 74/Menhut-II/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

BAB I PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

Sistem Penggunaan Lahan dalam Analisa OppCost REDD+

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan lindung menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. tidak berkelanjutan. Pertanian dengan olah tanah intensif di lahan kering merusak

Oleh : Sri Wilarso Budi R

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

L PEI\{DAITULUAIT. 1.1 Latar Belakang. di Sumatra Selatan 51,73 oh), di Kalimantan (di Kalimantan Selatan 9,99 %o;

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Transkripsi:

5 TINJAUAN PUSTAKA Hutan sebagai salah satu sumberdaya alam yang berperan penting dalam menunjang kehidupan manusia, memiliki fungsi sebagai penyeimbang dalam konteks ekologis, fungsi hidroorologis dan sumber plasma nutfah, selain mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Hutan merupakan salah satu penyerap CO 2 yang cukup besar. Pohon-pohon di dalam hutan menggunakan CO 2 dalam fotosintesis yang menghasilkan O 2 dan energi. Sebagian energi tersebut disimpan dalam bentuk biomasa pohon. Masalah yang timbul dari pengelolaan hutan dewasa ini adalah laju deforestasi yang tinggi. Laporan FAO (1992) memperkirakan bahwa laju deforestasi hutan tropis sekitar 17 juta ha per tahun. Dari angka tersebut sebagian besar dikonversi menjadi lahan pertanian, padang rumput (areal penggembalaan) dan hutan tanaman. Kurang lebih 5.1 juta ha berupa hutan sekunder tanpa pengelolaan dan perlakuan silvikultur yang memadai. Deforestasi hutan tropis tidak hanya berpengaruh pada produksi kayu (timber) tetapi juga lingkungan secara global. Deforestasi diakibatkan adanya konversi hutan untuk penggunaan lainnya seperti pertanian, transmigrasi, perladangan berpindah, kebakaran hutan, dan terutama akibat eksploitasi hutan untuk produksi kayu. Kaimowitz (1988) dalam MoE (2003), mendefinisikan deforestasi sebagai kegiatan mengubah atau konversi hutan menjadi jenis pemanfaatan lain melalui aktivitas manusia seperti pertanian, pengembangan wilayah untuk transmigrasi dan prasarana, pertanian dengan sistem ladang berpindah, penebangan liar, dan kebakaran hutan, yang pada masa lampau hal ini lebih sebagai fungsi negatif dari kepadatan penduduk. Berbagai studi untuk mengevaluasi dampak deforestasi serta usaha pengelolaan hutan yang merupakan opsi mitigasi kehutanan terhadap sumber emisi dan efektifitas biaya telah dilakukan. Analisis terhadap aspek ekonomi opsi-opsi mitigasi kehutanan ini nantinya akan memberikan pertimbangan pembangunan dan pengelolaan sektor kehutanan masa mendatang.

6 CDM Pada Sektor Kehutanan Negosiasi internasional mengenai perubahan iklim yang berlangsung di Marakesh akhir tahun 2001 yang lalu telah menyepakati dimasukkannya sektor kehutanan sebagai salah satu aktivitas yang dimungkinkan dalam CDM. Ada dua jenis kegiatan di sektor kehutanan yang masuk ke dalam daftar proyek yang diperbolehkan dalam CDM yaitu aforestasi dan reforestasi (A/R). Kegiatan Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) yang secara potensial dapat menekan terjadinya perubahan iklim dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu konservasi, peningkatan pengambilan karbon dan subtitusi penggunaan bahan bakar fosil dengan biomasa (Trexler et al, 2000 dalam Boer, 2003). Kegiatan konservasi meliputi perlindungan hutan dari deforestasi dan degradasi akibat aktivitas manusia. Peningkatan pengambilan karbon (rosot) dilakukan melalui kegiatan perluasan hutan dengan penanaman pohon di lahan kritis, gundul atau semak belukar dalam kawasan hutan (reforestasi) dan bukan hutan (aforestasi) serta pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem pengelolaan yang berkelanjutan. Penggantian bahan bakar fosil dengan energi biomasa akan mengurangi emisi GRK secara langsung akibat dari penurunan tingkat konsumsi bahan bakar fosil dan penanaman lahan kosong untuk memproduksi biomasa. Emisi karbon tanah yang terjadi pada areal konversi yang mengalami degradasi lahan dapat dikurangi dengan melakukan penanaman kembali (plantation, agroforestry, reforestation, afforestation) yang berarti diperlukan suatu manajemen hutan yang baik. Demikian juga pemulihan kembali atau regenerasi pada areal pemanenen kayu, tanah yang terganggu dan emisi karbon tanah meningkat, dapat ditangkap kembali melalui proses fotosintesa (Brown et al, 1993). Fungsi hutan sebagai penyerap CO 2 menyebabkan konservasi hutan secara global akan mengurangi gas-gas rumah kaca di atmosfir. CO 2 tersebut disimpan dalam biomasa hutan. Hampir 50 % dari biomasa hutan tersusun atas karbon (Brown, 1997). Dengan demikian pendugaan biomasa pohon yang dilakukan dapat digunakan untuk menduga banyaknya karbon yang diserap oleh hutan.

7 Dari hasil kajian National Strategy Study (NSS) tentang CDM di sektor kehutanan dijelaskan bahwa Indonesia memiiki potensi untuk memasok karbon ke pasar melalui CDM sebesar 36 juta tco 2 /th, 28 juta tco 2 diantaranya dapat dipasok dari sektor kehutanan (MoE, 2003). Potensi besar dari sektor kehutanan ini diidentifikasi berasal dari beberapa tipe proyek yang tersebar di banyak tempat di Indonesia. Indonesia dengan luas daratan 1,3 % dari luas daratan dunia, memiliki hutan dengan luas sekitar 3,1 % dari luas hutan dunia. Hutan seluas ini mempunyai potensi yang sangat besar dalam mengendalikan iklim dunia melalui penyerapan karbon. Apabila digunakan acuan angka kandungan karbon menurut Houghton (1993), yaitu untuk hutan basah 250 ton/ha, maka besarnya karbon yang disimpan oleh hutan di Indonesia sekitar 0,50 x 120,4 juta hektar x 250 ton/ha = 15.050 juta ton karbon atau sekitar 15,05 milyar ton karbon, atau 4,6 % dari besarnya karbon yang disimpan pada bagian pohon dan tumbuhan hutan lainnya di seluruh dunia (Gardner dan Engelman, 1999). Hasil kajian NSS (MoE, 2003) menunjukkan bahwa lahan-lahan yang diperkirakan potensial untuk CDM adalah lahan Kyoto yang terlantar atau lahan kritis yang ada sejak tahun 1990 baik berupa lahan alang-alang, lahan terbuka atau semak belukar, atau lahan-lahan pertanian yang sudah diusahakan sejak 50 tahun yang lalu. Lahan Kyoto sendiri didefinisikan sebagai lahan bukan hutan dengan kriteria tutupan dibawah 30%, dengan tinggi pohon dibawah 5 m, dan luasan minimal 0,05 ha. Indonesia menggunakan batasan luas minimal 0,25 ha. Sebagian lahan bekas perladangan berpindah yang mengalami degradasi kemungkinan juga memenuhi kriteria lahan Kyoto, sehingga diperkirakan lahan yang layak untuk proyek CDM Kehutanan mencapai 30 juta ha. Di Indonesia studi yang mengevaluasi potensi mitigasi (jumlah karbon bersih yang dapat diserap) di sektor kehutanan sudah dilakukan sejak tahun 1990- an (DNM Norway and MSE Indonesia, 1993; Adi et al, 1999; Boer et al, 1999; Fuad, 2000; Boer, 2001). Hasil analisis beberapa studi mengenai potensi mitigasi, biaya dan nilai parameter sensitifitas ekonomi kegiatan CDM untuk beberapa kegiatan kehutanan seperti pada Tabel 1.

No Tabel 1. Potensi dan biaya mitigasi gas rumah kaca di sektor kehutanan. Jenis Kegiatan Potensi mitigasi (tc/ha) Biaya mitigasi per siklus hidup (US $/tc) 8 Keuntungan (NPV of benefit; US $/tc) (1) (2) (3) (4) (5) 1 Konservasi dan Pengelolaan Hutan: Perlindungan Hutan 55-220 1.18-0.52 Reduced Impact Logging: 49 0.07-0.01 Pengayaan 70 0.25-0.19 2 Peningkatan Rosot (Penambatan Karbon): Reforestasi tanpa pemanenan - Spesies tumbuh cepat - Spesies tumbuh lambat Reforestasi dengan pemanenan - Rotasi pendek - Rotasi panjang 49-101 94-336 0.85-13.13 0.48-2.34 (-6.89)-(-0.81) (-0.16)-(-0.04) 56-122 134-334 3.87-33.20 1.04-5.70 2.0-6.57 (-0.14)-(2.99) Agroforestri 94 4.44 2.02 3 Substitusi Bahan bakar Fosil: Bioelectricity 50-185 20.81 5.26-6.75 Sumber : Berdasarkan hasil studi Adi et al., 1999; Boer et al.,1999; Fuad, 2000; Boer, 2001. Hasil analisis yang disajikan di atas hanya memepertimbangkan kayu sebagai satu-satunya hasil hutan sementara hasil hutan non-kayu seperti rotan, obat-obatan, madu, jasa lingkungan Carbon dan lain-lain tidak diperhitungkan. Biaya transaksi (biaya untuk validasi, monitoring, verifikasi dan sertifikasi karbon) juga belum disertakan dalam analisis. (Sumber MoE. 2003). Opsi Mitigasi Opsi mitigasi kehutanan adalah semua aktivitas atau kebijakan yang mendorong terjadinya reduksi emisi karbon sebagai sumber Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor kehutanan dengan meningkatkan kemampuan penyerapan dan pengikatan karbon dalam produk kayu rotasi panjang (long rotation) dan rotasi pendek (short rotation), proteksi terhadap kebakaran hutan, program penempatan bagi pelaku perladangan berpindah (shifting cultivation) dan penerapan kompensasi untuk konversi lahan hutan untuk lainnya diwajibkan untuk melakukan penanaman pohon di lahan kosong atau lahan bera di luar kawasan hutan. Ravindranath dalam Boer (2000) mengklasifikasikan tiga kategori opsi mitigasi yang dapat dilakukan pada sektor kehutanan yaitu: (1) pengelolaan hutan yang berkelanjutan misalnya penerapan RIL (Reduced Impact Logging); (2) peningkatan rosot karbon (carbon sink) melalui kegiatan penanaman; dan (3) konservasi rosot karbon dari hutan misalnya kegiatan konservasi dan perlindungan hutan. Secara mendasar terdapat tiga kategori aktivitas dimana pengelolaan hutan dapat membantu pengurangan kandungan karbon di udara yaitu :

9 1. Penyerapan karbon, melalui aforestasi, reforestasi, dan restorasi lahan-lahan terdegradasi, perbaikan teknik silvikultur untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan, dan implementasi sistem agroforestri pada lahan-lahan pertanian. 2. Konservasi karbon, melalui konservasi karbon tanah dan biomasa hutan, perbaikan pola-pola panen seperti mengurangi dampak pembalakan (reduce impact logging), perbaikan dalam efisiensi pengolahan kayu, proteksi api dan penggunaan metode pembakaran pada sistem pertanian dan kehutanan. 3. Substitusi Karbon, meningkatkan konversi biomasa hutan kepada produk kayu yang tahan lama, peningkatan pengunaan bio-fuel seperti pengenalan bioenergy, dan penajaman penggunaan limbah panen sebagai makanan ternak seperti limbah gergajian untuk bahan bakar. Di Indonesia ketiga kategori kegiatan mitigasi disebut di atas sudah dilakukan, diantaranya ialah reforestasi, aforestasi, hutan kemasyarakatan, agroforestri, pengayaan, reduced impact logging, bioelectricity. Ketiga kegiatan mitigasi terakhir tingkat pelaksanaannya masih sangat rendah. Evaluasi terhadap potensi teknologi mitigasi di sektor kehutanan secara global sudah dilakukan. Besarnya potensi mitigasi dan biaya pelaksanaannya beragam menurut lokasi dan jenis kegiatan. Untuk kegiatan mitigasi forestasi (aforestasi dan reforestasi) misalnya, potensi mitigasinya di daerah lintang tinggi lebih rendah dibanding daerah lintang rendah, sedangkan biaya mitigasi relatif hampir sama. Dalam Protokol Kyoto, aforestasi didefinisikan sebagai penghutanan lahan melalui penanaman dimana secara historis lahan tersebut bukan merupakan hutan. Pengertian historis memberikan penafsiran yang berbeda-beda. Beberapa usulan menyebutkan angka antara 20-50 tahun. Jadi artinya suatu lahan yang mungkin 20-50 tahun sebelumnya merupakan hutan menjadi bukan hutan dapat dianggap sebagai lahan yang layak untuk pelaksanaan kegiatan aforestasi. Reforestasi ialah penghutanan lahan yang sebelumnya hutan menjadi hutan melalui penanaman. Hutan didefinisikan sebagai suatu kawasan dengan luasan minimal tertentu dan memiliki kerapatan biomasa atau tingkat penutupan tajuk di atas batas minimum yang ditetapkan.

10 Salah satu persyaratan paling penting yang harus dipenuhi oleh proyek CDM sebelum mendapat persetujuan Badan Otoritas Nasional/Designated National Authority (DNA) adalah bahwa proyek tersebut harus memenuhi sasaran atau berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan. Ini merupakan salah satu kriteria utama untuk CDM sebagaimana dinyatakan dalam artikel 12 Protokol Kyoto bahwa CDM dimaksudkan untuk membantu negara Non-Annex I dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan berkontribusi terhadap tujuan akhir Konvensi (MoE, 2003). Pembangunan berkelanjutan dimaksud harus secara terus menerus dapat meningkatkan kualitas kehidupan saat ini dengan intensitas penggunaan sumber daya yang lebih rendah. Proses tersebut akan mewariskan kepada generasi yang akan datang cadangan kekayaan yakni modal alam dan sosial yang telah ditingkatkan mutunya yang akan menyediakan peluang yang tidak kalah pentingnya untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Pilihan Agroforestri dalam Kegiatan Penyerapan Karbon Konsepsi agroforestri muncul berdasarkan kenyataan bahwa pengelolaan hutan secara optimal dan lestari tidak lepas dari peranan masyarakat terutama yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Hutan dan masyarakat saling tergantung. Oleh karena itu pengelolaan kawasan hutan tidak dapat hanya dikonsentrasikan atau diarahkan kepada hasil hutan (kayu) saja, melainkan harus dapat menghasilkan kebutuhan masyarakat sekitarnya. Oleh karena masyarakat sekitar hutan umumnya adalah petani, maka kebutuhannya adalah menghasilkan produk komoditi pertanian. Untuk merealisasikan dua kepentingan tersebut muncul bentuk pengelolaan hutan yang memadukan produksi kayu dan produksi hasil pertanian. Pembangunan seharusnya tidak hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga aspek pemerataan, kelestarian lingkungan, pemberdayaan masyarakat, memberikan kesempatan dan penyediaan partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan mereka (United Nation Conference on Environment and Development, 1992). Dari hasil penelitian NSS tentang CDM untuk sektor kehutanan, diperoleh informasi bahwa pembangunan hutan yang berbasis masyarakat (yang merupakan bagian terbesar dari luasan

11 yang potensial) berdampak positif terhadap aspek-aspek sosial. Penciptaan lapangan kerja dan keeratan masyarakat merupakan dua hal yang menonjol yang tidak dijumpai pada proyek-proyek kehutanan murni yang terisolasi dari masyarakat di sekitar hutan (MoE, 2003). Roshetko et al. (2002) menyatakan bahwa sistem agroforestri memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan menghasilkan jenis produk yang beragam baik kayu maupun non-kayu. Kandungan biomasanya juga tinggi sehingga pembangunan sistem agroforestri pada lahan-lahan kritis dan terlantar selain dapat memperlambat terjadinya pemanasan global juga memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan dan sosio-ekonomi masyarakat. Dari studi yang dilakukan NSS mengenai CDM di sektor kehutanan, digambarkan bahwa agroforestri (hutan kemasyarakatan, perhutanan sosial dan multi purposed tree system/mpts) mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan masyarakat, sehingga melalui kesempatan kerja yang ditimbulkannya, agroforestri berdampak signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Secara ekonomi proyek-proyek hutan kemasyarakatan serta perhutanan sosial (agroforestri dan MPTS) menghasilkan nilai Net Present Value (NPV) dari nilai manfaat sebesar 65 5.738 US$/ha dengan B/C 1,2 9,1. Nilai ini merupakan yang tertinggi diantara beberapa jenis proyek kehutanan lainnya (MoE, 2003). Nair (1992) menguraikan ada empat komponen utama yang menjadi ciri sistem agroforestri, yaitu: 1) Menghasilkan beragam keluaran yang dikombinasikan dengan perlindungan terhadap sumberdaya, 2) Menggunakan jenis-jenis lokal, tumbuhan bawah dan pohon serbaguna yang bertujuan agar agroforestri sesuai untuk lingkungan yang rentan, 3) Lebih mengedepankan nilainilai sosial-budaya dibanding sistem penggunaan lahan yang lain, dan 4) Praktek yang dilakukan secara struktur maupun fungsional lebih rumit daripada budidaya monokultur. Penerapan sistem agroforestri dari beberapa penelitian didapatkan mempunyai keuntungan baik secara ekologis, ekonomi, dan juga sosial. Chundawat dan Gautam (1993) menjelaskan keuntungan secara ekologis dapat berupa: a) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam, b) lebih efisien dalam siklus hara, terutama pemindahan hara dari

12 kedalaman solum tanah ke lapisan permukaan oleh sistem perakaran tanaman pepohonan yang dalam, c) penurunan dan pengendalian aliran permukaan, pencucian hara dan erosi tanah, d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya temperatur tanah lapisan atas, pengurangan evaporasi dan terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman, e) sistem ekologis terpelihara dengan baik dengan terciptanya kondisi yang menguntungkan dari populasi dan aktifitas mikroorganisme tanah, f) penambahan hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan/atau hewan, dan g) terpeliharanya struktur tanah akibat adanya siklus bahan organik yang konstan. Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan dengan mengkombinasikan beberapa macam pohon baik dengan atau tanpa tanaman semusim atau ternak, pada lahan yang sama untuk mendapatkan berbagai macam keuntungan. Pada dasarnya agroforestri mempunyai beberapa komponen penyusun utama yaitu pohon (tanaman berkayu), tanaman non pohon, ternak dan manusia (Suprayogo et al, 2003). Di Indonesia terdapat berbagai macam pola agroforestri yang dikembangkan mulai dari bentuk yang sederhana (misalnya budidaya pagar) hingga kompleks (misalnya hutan karet dan hutan damar di Sumatera) (Widianto et al. 2003). Lebih lanjut dijelaskan, bila ditinjau dari cadangan C, sistem agroforestri ini lebih menguntungkan daripada sistem pertanian berbasis tanaman semusim. Hal ini disebabkan adanya pepohonan yang memiliki biomasa tinggi dan masukan serasah yang bermacam-macam kualitasnya dan terjadi secara terus menerus. Berkaitan dengan potensi agroforestri dalam proyek karbon, Montagnini dan Nair (2004), menjelaskan estimasi penyerapan karbon dapat didasarkan kepada pandangan menyeluruh tentang potensi penyimpanan karbon jangka panjang dari semua komponen hutan termasuk tanah dan produk-produk hutan. Kesuburan tanah dapat menjadi faktor pembatas potensi penyerapan karbon pada hutan tanaman, sedangkan penyerapan karbon pada hutan campuran dapat lebih efisien daripada monokultur, sehingga potensi positif dari sistem agroforestri dalam peningkatan penyimpanan karbon dinilai lebih efektif. Hal ini khususnya karena terdapatnya efek tidak langsung terhadap karbon dan unsur hara, seperti

13 misalnya agroforestri dinilai lebih tepat dalam menurunkan kehilangan tanah akibat erosi. Potensi penyerapan karbon dari sistem agroforestri didasarkan kepada asumsi bahwa komponen-komponen pohon dalam sistem agroforestri dapat menentukan rosot karbon di atmosfir secara signifikan melalui kecepatan pertumbuhan dan produktifitas. Dengan memperhitungkan pohon dalam produksi pertanian, agroforestri dapat meningkatkan penyimpanan karbon pada lahan untuk kebutuhan tanaman pertanian. Konsep agroforestri dinilai mempunyai nilai lebih pada komponen-komponen kesuburan tanah, variasi spesies dan konsepnya yang menyeluruh. Dua alasan utama yang mendasari potensi agroforestri dalam mengurangi emisi karbon dikemukakan Dixon (1985) yaitu: (1) banyaknya lahan di daerah tropis yang digunakan untuk kegiatan pertanian dan meningkatnya penerapan sistem agroforestri dalam waktu yang panjang akan menghasilkan peningkatan potensi yang nyata sebagai sumber biotik karbon, dan (2) meskipun jumlah karbon yang diserap per satuan luas relatif lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam dan hutan tanaman, kayu yang diproduksi sering dipakai sebagai kayu bakar menggantikan bahan bakar fosil. Penggunaan kayu hasil agroforestri untuk kayu bakar akan mengurangi tekanan terhadap penebangan hutan alam dan kebutuhan bahan bakar dari sumber yang tidak dapat diperbaharui. Rusolono (2006) dalam penelitiannya tentang model pendugaan persediaan karbon pada tegakan agroforestri mendapatkan bahwa tegakan agroforestri dengan komposisi pohon yang dominan, seperti pada kebun campuran atau kombinasi pohon penaung (kopi-sengon) memiliki kemampuan penyimpan persediaan karbon bagian atas permukaan tanah hingga lebih dari 70 ton C/ha dalam waktu yang relatif lama yaitu lebih dari 10 tahun. Lebih lanjut dari penelitian tersebut didapatkan bahwa komponen biomasa karbon di atas permukaan tanah dalam praktek agroforestri tegakan murni maupun kebun campuran sebesar 80,7% berasal dari karbon tegakan pohon utama, 12,8 % dari pohon kopi (bawah naungan), 5,9 % dari serasah dan kayu mati (nekromasa) dan hanya 0,6 % yang berasal dari biomasa tumbuhan bawah. Henri (2001) dalam penelitiannya di Wilayah Perum perhutani KPH Cepu, yang membandingkan antara pola tanaman jati yang dirotasikan (TR), jati yang

14 tidak dirotasikan (TWR), dan agroforestri (AF). Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa dari perhitungan potensi mitigasi opsi TWR lebih baik daripada TR dan AF, masing-masing sebesar 429.450 tc/ha; 200.888 tc/ha; dan 48.000 tc/ha. Opsi TR memiliki keuntungan negatif karena bersifat long rotation yaitu pemanenan dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Untuk meningkatkan keuntungan pada opsi ini dilakukan penanaman campuran dengan sistem perhutanan sosial dan penanaman tanaman bawah. Opsi TWR juga mengindikasikan nilai keuntungan negatif, lebih besar daripada TR karena sama sekali tidak ada pemanenan kayu. Opsi ini ditujukan untuk konservasi tanah dan air serta biodiversitynya. Sedangkan keuntungan yang diperoleh dari opsi AF bernilai positif karena dipanen dalam jangka pendek (short rotation) dan menerapkan sistem pertanaman campuran. Keuntungan pada opsi AF sebesar 515.280 US $/ha/rotasi, dapat diberikan Perum Perhutani KPH Cepu kepada masyarakat setempat dari aktivitas mitigasi yang dilakukan. Boer dan Hendri (2002) juga melakukan penelitian tentang Potensi Sistem Agroforestry untuk Proyek CDM, untuk mengetahui potensi mitigasi karbon, dan biaya efektif dari beberapa sistem agroforestry di pulau Jawa dengan mengambil site penelitian di Meru Betiri, Jawa Timur. Sistem agroforestri yang lazim dilaksanakan masyarakat di lokasi penelitian adalah agroforestri berbasis tanaman obat, dimana dilihat enam sistem agroforestri dengan masing-masing berbasis kepada tanaman kedawung (Parkia timoriana ), trembesi (Enterolobium saman), pakem (Pangium edule), dan kemiri (Aleurites moluccana). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa seluruh sistem memberikan keuntungan positif antara 1,078 US$ sampai 4,396 US$ per ha dan keuntungan finansial ini jauh melebihi keuntungan finansial pada opsi penanaman tanaman hutan. Di pihak lain, agroforestri sebagai satu opsi dalam kegiatan penyerapan karbon kehutanan masih mengandung sisi yang kurang menarik bagi petani atau pelaksana agroforestri, yaitu biaya transaksi yang masih tinggi. Rusolono (2006) menyimpulkan dari penelitiannya bahwa kegiatan agroforestri yang mengacu pada skema perdagangan karbon menghasilkan tambahan manfaat finansial yang cukup

15 nyata jika biaya transaksi tidak lebih dari 20% dari total biaya pengelolaan, pada tingkat harga karbon yang berlaku saat ini. COMAP (Comprehensive Mitigation Assessment Process) Model COMAP (Comprehensive Mitigation Assesment Process) digunakan sebagai pedoman untuk melakukan analisis penilaian komprehensif dari mitigasi sektor kehutanan. Penilaian tersebut terdiri dari beberapa langkah. Langkah pertama adalah mengidentifikasi kategori opsi mitigasi yang ditetapkan pada lokasi penelitian, penafsiran ketersediaan areal untuk masa mendatang dari penggunaan lahan hutan dan lainnya, serta permintaan produk kayu. Langkah selanjutnya adalah membatasi lahan penggunaan lainnya dan produk kayu sesuai dengan ketersediaan lahan dengan penerapan skenario dari pemerintah ataupun skenario mitigasi. Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui potensi mitigasi dalam mereduksi karbon, efektifitas biaya, dan keuntungan yang didapatkan dari opsi mitigasi yang dilaksanakan. Informasi karbon dan keuntungan biaya yang diperlukan dalam penyusunan efektifitas biaya untuk setiap opsi mitigasi sehingga dapat ditetapkan opsi mitigasi yang perlu mendapat prioritas. Tambahan lain dari informasi tersebut yang dikombinasikan dengan skenario penggunaan lahan diperlukan dalam perhitungan rata-rata dan total biaya untuk setiap opsi mitigasi. Pada akhirnya ditemukan kendala, kebijakan dan insentif untuk penerapan setiap opsi. Kendala yang ditemukan dalam aktifitas ini menurut Ravindranath dalam Boer (2000) dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu : keuangan, teknis, infrastruktur, dan institusi. Model COMAP ini meliputi 6 modul yaitu REFROTN, REFREGN, FORPROT, BIOEN, RIL, ENR, dan BIOMASA. (Sathaye et al.,1995). REFROTN digunakan untuk opsi mitigasi yang meliputi penanaman pohon di areal lahan yang terlantar (wastelands) dan area hutan yang menerapkan sistem rotasi. REFREGN adalah opsi reboisasi tanpa adanya pemanenan kayu. FORPROT adalah modul untuk menduga hutan yang diproteksi dari konversi ke penggunaan lainnya. BIOEN adalah opsi yang digunakan untuk pananaman dan penggunaan biomasa pohon untuk membangkit tenaga listrik. RIL dan ENR adalah opsi untuk mereduksi akibat pemanenan dan pengayaan. BIOMASA

adalah modul yang digunakan untuk menjembatani keseimbangan biomasa antara skenario baseline dan mitigasi. 16 REFROTN FORPROT REFREGN BIOMASA RIL BIOEN ENR Gambar 1. Hubungan antara modul COMAP (Boer, 2000) Reforestasi (REFROTN), adalah modul COMAP yang digunakan untuk mengevaluasi potensi mitigasi dan efektifitas biaya dari penanaman pohon di area lahan terlantar dan area hutan yang menerapkan sistem rotasi. Tahapan analisisnya meliputi : 1. Mendefinisikan kategori lahan yang digunakan untuk opsi ini, misalnya lahan kosong, padang rumput, lahan tidak produktif, 2. Mendefinisikan area baseline dari kategori lahan yang digunakan dari tahun 2007 2036 yang batas penggunaan areanya dapat dilihat pada pola trend data atau kebijakan pemerintah, 3. Mendefinisikan area mitigasi pada kategori lahan yang digunakan, 4. Perhitungan sumber karbon (Carbon Pool) dan penyerapannya: a. Perhitungan penyerapan karbon pada skenario baseline (tc/ha). Langkah ini menghitung jumlah karbon yang tersimpan dalam tanah pada skenario baseline. Input yang dibutuhkan adalah jumlah karbon yang tersimpan pada tanaman (kerapatan biomasa) dan tanah untuk setiap kategori lahan. b. Perhitungan penyerapan, stock, dan penyimpanan karbon pada skenario mitigasi (tc/ha). Input yang dibutuhkan adalah : - Periode rotasi dan laju riap tahunan (Mean Annual Increment/MAI) pohon yang digunakan untuk opsi mitigasi, - Laju penyimpanan karbon tahunan di dalam tanah, - Fraksi biomasa yang terdekomposisi dan tersimpan dalam produk, - Periode dekomposisi biomasa dan umur produk.

17 5. Perhitungan biaya dan keuntungan a. Perhitungan biaya reboisasi dalam NPV (US $/ha). Input yang dibutuhkan adalah biaya awal (initial cost), perawatan (Operational and maintenance/o/m) dan, monitoring. b. Perhitungan total keuntungan. Input yang diperlukan adalah fraksi biomasa pemanenan untuk kayu bakar dan kayu bulat, harga kayu bakar dan kayu bulat, jumlah dan harga produk non-kayu seperti resin, terpentin, madu atau buah-buahan. Harga kayu sudah termasuk dalam pengurangan biaya pemanenan kayu yang meliputi biaya teresan, babat trowong, pembuatan tanda batas, klem dan penomoran pohon, prasarana tebangan, sarana tebangan, penerimaan kayu, pengangkutan kayu, upah pekerja harian, dan upah pekerja kontrak. Input lain yang dibutuhkan adalah laju diskonto/tingkat suku bunga (discount rate). Data ini diperlukan untuk mengkonversi biaya dan keuntungan untuk nilai saat ini. Hal ini disebabkan adanya perbedaan periode rotasi tanaman, dimana untuk tanaman yang mempunyai rotasi pendek (7 10 tahun) dan tanaman berotasi panjang (30 100 tahun). Output yang dihasilkan dari modul ini : - Potensi Mitigasi (Mitigation Potential) (tc/ha), - Perubahan Stok Karbon dan Biomasa Tahunan (Annual Carbon Stock dan Annual Biomasa Stock) (tc/year dan tb/year), - Net Present Value (NPV) dari opsi yang diambil, - Cost Effectiveness (US $/tc danus $/Ha). Regenerasi Alami (REFREGN), modul ini digunakan untuk mengevaluasi potensi mitigasi dan efektifitas biaya dari penanaman area lahan terlantar dan area hutan atau regenerasi alami tanpa rotasi. Langkah analisis yang dilakukan sama dengan modul REFROTN tetapi tidak diperlukan input data tentang fraksi biomasa yang terdekomposisi dan yang tersimpan dalam produk, periode dekomposisi biomasa dan umur produk. Hal ini disebabkan opsi-opsi tersebut tidak dilibatkan untuk pemanenan.