BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berbeda dengan konsep keadilan sosial Rawls dan Pancasila yang dijabarkan sebagai bentuk kontrak sosial antar anggota masyarakat yang secara tekstual harus dijalankan dalam sebuah masyarakat untuk menciptakan tatanan yang nyaman dan beradab. Keadilan Tengger adalah bentuk sistem pengetahuan yang berangkat dari pilihan-pilihan sulit untuk menuju titik tengah antara pengetahuan dalam kesadaran subjek dan konteks dinamika sosialnya. Maka keadilan sosial tidak akan pernah menjadi sesuatu yang idealistik. Titik Tengah sebagai ruang antara tidak mengandaikan sebuah konsensus seperti apa yang disyaratkan oleh Rawls dan para libertian lain. Di ruang-ruang antara itu justru pertemuan dari perbedaan itu diakui dan ditampung, sehingga diakui adanya bentuk-bentuk resistensi maupun kompromi didalamnya. Titik tengah Tengger sendiri berusaha mengatasi fundamentalisme solidaritas kaum komunitarian, yang mengabaikan kepentingan individu, sebab dalam pertemuannya dengan komunitas, relasi intersubjektifitas individu diakui yang keberadaannya tidak hanya ditentukan oleh sebuah komunitas tertentu, melainkan ia bergerak dari satu komunitas kekomunitas lainnya. Titik tengah juga sekaligus berbeda dengan keadilan sosial diskursif Habermas yang menekankan pada diskursus praksis komunikatif deliberatif melainkan diskursus praksisnya lebih diwarnai wajah filsafat Timur, yang intuitif.
Meski dekat dengan konsep filsfat Timur, titik tengah berbeda dengan equilibrium yang menjadi struktur dasar filsafat Jawa yang banyak bersumber dari filsafat Timur, Hindu-India sentris. Dari telusur sejarahnya pun dapat ditunjukkan bahwa kebudayaan Tengger menolak untuk disamakan dengan kebudayaan Jawa pada umumnya yang mengacu pada budaya Majapahit-an, yang Hindu-India sentris. Jika universum equilibrium mengandaikan manusia harus hidup selaras dengan alam dan makhluk hidup lain, titik tengah Tengger tidak mengandaikan kondisi dalam mencapainya sehingga bukan hanya keselarasan dalam perbedaan melainkan konflik dalam perbedaan juga ditampung dan tidak dinafikan. Dalam kondisi ini relasi alam dan manusia dilihat sebagai sebuah partikularitas yang komplementer. Dimana kesempurnaan dan kecacatan tidak hanya dimiliki oleh satu subjek melainkan keduanya. Pengetahuan ini dipegang teguh oleh orang Tengger dalam menghadapi dinamika sosialnya. Pengetahuan ini adalah strategi yang diam-diam selalu dilakukan meskipun tak dikatakan untuk merespon kehadiran aktor/subjek/pengetahuan baru sehingga pemusatan kekuasaan dapat diatasi dan penyebaran kekuasaan dapat terjadi. Titik tengah adalah nilai dasar yang selalu dipegang teguh oleh orang Tengger dalam mewujudkan keadilan sosialnya bersama dengan negara. Dengan menggunakan kacamata Berger dan Luckman mengenai proses rekonstruksi sosial yang telah dikontekstualisasikan dalam operasionalisasinya menjadi analisis KEREN, tiga proses dialektis yang simultan dan sinergis, yaitu: proses kontekstualisasi, rekonstruksi dan negosiasi, dapat dijelaskan bahwa proses
reproduksi titik tengah dilakukan dengan mengkontekstualisasikan kebijakan negara, aktor lain dengan pengetahuan lokal secara bersama-sama sebagai respon atas perubahan zaman yang mereka rasakan dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga strategi yang muncul adalah berkompromi terbatas. Strategi inilah yang kemudian membentuk pola kehidupan orang Tengger kini, seperti: terpeliharanya adat dalam komunitas Tengger modern yang terbuka, pemanfaatan bersama zona produksi dan pemanfaatan tradisional Taman Nasional, perluasan ruang kerja bagi peningkatan kesejahteraan di sektor pariwisata sekaligus penciptaan kembali tradisi. Selanjutnya, rekonstruksi pengetahuan dilakukan dalam pola komunikasi yang informal dan penuh canda dimana bentuk alternationnya berupa resiko yang jauh dari konsep hukuman melainkan kesadaran. Sehingga corak pengetahuan lokal yang muncul bersifat reflektif dan dialektis, yang membawa konsekuensi-konsekuensi etis perilaku berulang, yang menjadi kebiasaan, seperti: niteni, laku dan rewang. Sehingga dari pengalaman Tengger, kondisi-kondisi yang perlu disediakan untuk mencapai titik tengah atau keadilan sosialnya adalah dengan reproduksi corak pengetahuan yang reflektif dan dialektis serta bentuk-bentuk kompromi terbatas. Kondisi-kondisi inilah yang diam-diam selalu dibentuk dalam perilaku masyarakat Tengger untuk mengakses keadilan sosialnya, titik tengah. Saran Kajian selanjutnya yang perlu dikembangkan untuk melengkapi kajian ini, akan disarankan dalam dua cluster, yakni: tentang Tengger dan tentang alur induktif. Bagi yang berminat untuk mengkaji Tenggerperlu disadari telah banyak
penulis dan peneliti yang mendokumentasikannya karena memang kondisi geografis dan sosialnya yang menarik: ada sumber daya alam yang terkenal keindahan dan kekayaannya, jejak kebudayaan arkaik mengenai pemujaan terhadap alam yang masih kental serta beragamnya aktor yang saling bersinggungan disana: mulai dari Negara, Pengusaha, Wisatawan, peneliti, NGO dan Pemuka Agama. Sehingga beberapa desa Tengger banyak dijadikan sebagai laboratorium penelitian yang merepresentasikan indonesia kecil dilevel grassroot. Jika menengok beberapa penelitian terkait Tengger yang kebanyakan sebatas pengelolaan hutan dan konflik dengan Taman Nasional maupun pendokumentasian sejarah kebudayaan Tengger perlu kiranya untuk kemudian menyusun karya yang meperbincangkan Tengger pasca modernisasi dan mengaitkan bagaiman strategi politik kebudayaannya. Bentuk rekonstruksi lanjutannya perlu diarahkan kedalam sebuah mekanisme daur-ulang, yang mengandaikan relasi yang komplementer antara pengetahuan lama dan baru. Perlu disadari bahwa kondisi alam yang berbeda menghasilkan pola pengetahuan baru yang berbeda pula, disini reproduksi pengetahuan lanjutan yang disarankan adalah tetap mengikuti jalur induktif yang biasa ditempuh oleh masyarakat Tengger karena sampai saat ini mekanisme bertahan hidup mereka masih sangat mengandalkan alam: yakni dengan kontekstualisasi dengan habitat tempat tinggal yang mulai berubah, tak terisolasi lagi dan banyak pendatang. Dari sana rekonstruksi yang dapat ditempuh misalnya, ditataran diskursif dengan membongkar logika ketertinggalan Tengger yang banyak disematkan oleh pihak-pihak pendatang yang hanya melihat sesekali
waktu saja. Bentuk-bentuk perilakunya dengan melakukan tradisionalisasi ditengah modernisasi, yakni dengan tetap menjaga ritual adat untuk menjaga keselarasan dengan alam dan makhluk hidup lainnya. Selanjutnya perilaku ini, kini tidak hanya perlu diresapkan kepada orang-orang Tengger saja melainkan juga aktor lain yang kemudian bersentuhan dengan Tengger, dalam konteks ini yang disorot adalah Negara melalui representasi Taman Nasional. Dengan mengikuti jalur induktif kontekstualisasi kebijakan politik g mensyaratkan relasi yang komplementer, masyarakat dipandang sebagai subjek yang bersama dengan pengurus negara secara bersama-sama menjaga kelestarian alam. Sehingga perlu mulai dihindari cerita Taman Nasional mengatur masyarakat karena merasa lebih ber- pengetahuan. Alur ini perlu pula disusur oleh aktor Negara maupun aktor lain yang memasuki Tengger dengan perilaku-perilaku yang sesuai dengan apa yang selama ini dijaga oleh masyarakat Tengger. Sedangkan mengenai kajian kontekstual dengan alur induktif hal yang perlu disadari adalah keberpihakan sebagai dasar untuk memasuki kajian ini. Keberpihakan kepada yang dianggap kalah. Sehingga apa yang ditawarkan adalah bentuk modifikasi dari penyebaran kekuasaan. Dengan pengamatan yang teliti dalam konteks budaya Indonesia modern maupun tradisional penulis meyakini banyak sekali startegi yang tak terdokumentasikan maupun terkatakan tetapi dapat dirasakan dan telah dilakukan oleh masyarakat kita untuk merebut dan menyebarkan kekuasaan ini.