BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
AKTUALISASI NILAI PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pemerintah Indonesia dalam pengembangan kepariwisataan

VIII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Frankfurt. Para tokoh Mazhab Frankfurt generasi pertama terjebak dalam

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

Bab I. Pendahuluan. muncul adalah orang yang beragama Hindu. Dan identitasnya seringkali terhubung

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH

BAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan yang berkembang di daerah-daerah di seluruh Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman budaya, adat istiadat, bahasa dan sebagainya. Setiap daerah pun

nasib makhluk di muka bumi dan generasi berikutnya.

BAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

Hubungan Arsitektur dan Budaya. Oleh: Nuryanto, S.Pd., M.T. Bahan Ajar Arsitektur Vernakular Jurusan Arsitektur-FPTK UPI-2010

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai bisa dijadikan sebagai buktinya.

2015 KEHID UPAN MASAYARAKAT BAD UY LUAR D I D ESA KANEKES KABUPATEN LEBAK BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. Toba, Melayu, Jawa, Pak-pak, Angkola, Nias dan Simalungun dan sebagainya. Sumatera Utara

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Penelitian ini berjudul Transformasi Persepsi Publik Terhadap Pertunjukan

BAB I PENDAHULUAN. peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi di berbagai negarad, pariwisata

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan negara berkembang lainnya, yaitu terdiri dari banyak. suku, adat, kebiasaan, dan budaya yang sangat beragam.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

BAB III. Metodologi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya tumbuh berbagai Suku, Agama, dan bahasa daerah berbeda sehingga

DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB VI PENUTUP. penggerak perubahan dan dinamika sosial di tengah-tengah masyarakat.

Tugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater : Clifford Geertz : Isnan Amaludin : 08/275209/PSA/1973

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sampai merauke, menyebabkan Indonesia memiliki banyak pulau. dijadikan modal bagi pengembang budaya secara keseluruhan.

PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL. Dra. Dewi Indrawati MA 1

BAB V KESIMPULAN: ADAT ISTIADAT SEBAGAI LANDASAN GERAKAN SOSIAL SUKU DAYAK IBAN

BAB I PENDAHULUAN. Data statistik mengenai jumlah wisatawan nusantara (Wisnus) setiap tahunnya

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

Kreativitas Busana Pengantin Agung Ningrat Buleleng Modifikasi

BAB I PENDAHULUAN. dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, kepercayaan kepada leluhur

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA RINGKASAN

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

PERANSERTA STAKEHOLDER DALAM REVITALISASI KAWASAN KERATON KASUNANAN SURAKARTA TUGAS AKHIR. Oleh: YANTHI LYDIA INDRAWATI L2D

BAB I PENDAHULUAN. negara ikut serta dalam memajukan kebudayaan nasional Indonesia dan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. masyarakat pada tahun menunjukkan hasil yang positif bagi

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

GLOBALISASI, KAPITALISME DAN PERLAWANAN ERIC HIARIEJ

Manusia Sebagai Makhluk Sosial dan Budaya

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata kini telah menjadi sebuah industri yang mendunia. di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN. karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DAN DASAR NEGARA. Novia Kencana, S.IP, MPA

MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

MATERI KULIAH ETIKA BISNIS. Pokok Bahasan: Pancasila sebagai Landasan Etika Bisnis

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Ciri Khas Arsitektur Tradisional Pada Rumah Warga di Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

PENGEMBANGAN KAWASAN GUA SUNYARAGI SEBAGAI TAMAN WISATA BUDAYA DI CIREBON

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta

TEKNIK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SECARA PARTISIPATIF

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

2014 PENGARUH KUALITAS PRODUK WISATA TERHADAP KEPUTUSAN PENGUNJUNG UNTUK BERKUNJUNG KE MUSEUM SENI RUPA DAN KERAMIK DI JAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. wisata alam tersebar di laut, pantai, hutan dan gunung, dimana dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119.

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kasus Proyek

TRIANI WIDYANTI, 2014 PELESTARIAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM MENJAGA KETAHANAN PANGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan.

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik

B. Modernisasi Menyebabkan Terkikisnya Perhatian Generasi Muda Terhadap Budaya Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. menghawatirkan, baik dari segi penyajian, maupun kesempatan waktu dalam

KOMPLEK GEDUNG KESENIAN SOETEDJA PURWOKERTO

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB VI KESIMPULAN. Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo)

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini beranjak untuk memahami kontruksi nasionalisme dalam film,

Good Governance. Etika Bisnis

3 METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Paradigma Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Moch Ali M., 2015

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Selain bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi

Transkripsi:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berbeda dengan konsep keadilan sosial Rawls dan Pancasila yang dijabarkan sebagai bentuk kontrak sosial antar anggota masyarakat yang secara tekstual harus dijalankan dalam sebuah masyarakat untuk menciptakan tatanan yang nyaman dan beradab. Keadilan Tengger adalah bentuk sistem pengetahuan yang berangkat dari pilihan-pilihan sulit untuk menuju titik tengah antara pengetahuan dalam kesadaran subjek dan konteks dinamika sosialnya. Maka keadilan sosial tidak akan pernah menjadi sesuatu yang idealistik. Titik Tengah sebagai ruang antara tidak mengandaikan sebuah konsensus seperti apa yang disyaratkan oleh Rawls dan para libertian lain. Di ruang-ruang antara itu justru pertemuan dari perbedaan itu diakui dan ditampung, sehingga diakui adanya bentuk-bentuk resistensi maupun kompromi didalamnya. Titik tengah Tengger sendiri berusaha mengatasi fundamentalisme solidaritas kaum komunitarian, yang mengabaikan kepentingan individu, sebab dalam pertemuannya dengan komunitas, relasi intersubjektifitas individu diakui yang keberadaannya tidak hanya ditentukan oleh sebuah komunitas tertentu, melainkan ia bergerak dari satu komunitas kekomunitas lainnya. Titik tengah juga sekaligus berbeda dengan keadilan sosial diskursif Habermas yang menekankan pada diskursus praksis komunikatif deliberatif melainkan diskursus praksisnya lebih diwarnai wajah filsafat Timur, yang intuitif.

Meski dekat dengan konsep filsfat Timur, titik tengah berbeda dengan equilibrium yang menjadi struktur dasar filsafat Jawa yang banyak bersumber dari filsafat Timur, Hindu-India sentris. Dari telusur sejarahnya pun dapat ditunjukkan bahwa kebudayaan Tengger menolak untuk disamakan dengan kebudayaan Jawa pada umumnya yang mengacu pada budaya Majapahit-an, yang Hindu-India sentris. Jika universum equilibrium mengandaikan manusia harus hidup selaras dengan alam dan makhluk hidup lain, titik tengah Tengger tidak mengandaikan kondisi dalam mencapainya sehingga bukan hanya keselarasan dalam perbedaan melainkan konflik dalam perbedaan juga ditampung dan tidak dinafikan. Dalam kondisi ini relasi alam dan manusia dilihat sebagai sebuah partikularitas yang komplementer. Dimana kesempurnaan dan kecacatan tidak hanya dimiliki oleh satu subjek melainkan keduanya. Pengetahuan ini dipegang teguh oleh orang Tengger dalam menghadapi dinamika sosialnya. Pengetahuan ini adalah strategi yang diam-diam selalu dilakukan meskipun tak dikatakan untuk merespon kehadiran aktor/subjek/pengetahuan baru sehingga pemusatan kekuasaan dapat diatasi dan penyebaran kekuasaan dapat terjadi. Titik tengah adalah nilai dasar yang selalu dipegang teguh oleh orang Tengger dalam mewujudkan keadilan sosialnya bersama dengan negara. Dengan menggunakan kacamata Berger dan Luckman mengenai proses rekonstruksi sosial yang telah dikontekstualisasikan dalam operasionalisasinya menjadi analisis KEREN, tiga proses dialektis yang simultan dan sinergis, yaitu: proses kontekstualisasi, rekonstruksi dan negosiasi, dapat dijelaskan bahwa proses

reproduksi titik tengah dilakukan dengan mengkontekstualisasikan kebijakan negara, aktor lain dengan pengetahuan lokal secara bersama-sama sebagai respon atas perubahan zaman yang mereka rasakan dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga strategi yang muncul adalah berkompromi terbatas. Strategi inilah yang kemudian membentuk pola kehidupan orang Tengger kini, seperti: terpeliharanya adat dalam komunitas Tengger modern yang terbuka, pemanfaatan bersama zona produksi dan pemanfaatan tradisional Taman Nasional, perluasan ruang kerja bagi peningkatan kesejahteraan di sektor pariwisata sekaligus penciptaan kembali tradisi. Selanjutnya, rekonstruksi pengetahuan dilakukan dalam pola komunikasi yang informal dan penuh canda dimana bentuk alternationnya berupa resiko yang jauh dari konsep hukuman melainkan kesadaran. Sehingga corak pengetahuan lokal yang muncul bersifat reflektif dan dialektis, yang membawa konsekuensi-konsekuensi etis perilaku berulang, yang menjadi kebiasaan, seperti: niteni, laku dan rewang. Sehingga dari pengalaman Tengger, kondisi-kondisi yang perlu disediakan untuk mencapai titik tengah atau keadilan sosialnya adalah dengan reproduksi corak pengetahuan yang reflektif dan dialektis serta bentuk-bentuk kompromi terbatas. Kondisi-kondisi inilah yang diam-diam selalu dibentuk dalam perilaku masyarakat Tengger untuk mengakses keadilan sosialnya, titik tengah. Saran Kajian selanjutnya yang perlu dikembangkan untuk melengkapi kajian ini, akan disarankan dalam dua cluster, yakni: tentang Tengger dan tentang alur induktif. Bagi yang berminat untuk mengkaji Tenggerperlu disadari telah banyak

penulis dan peneliti yang mendokumentasikannya karena memang kondisi geografis dan sosialnya yang menarik: ada sumber daya alam yang terkenal keindahan dan kekayaannya, jejak kebudayaan arkaik mengenai pemujaan terhadap alam yang masih kental serta beragamnya aktor yang saling bersinggungan disana: mulai dari Negara, Pengusaha, Wisatawan, peneliti, NGO dan Pemuka Agama. Sehingga beberapa desa Tengger banyak dijadikan sebagai laboratorium penelitian yang merepresentasikan indonesia kecil dilevel grassroot. Jika menengok beberapa penelitian terkait Tengger yang kebanyakan sebatas pengelolaan hutan dan konflik dengan Taman Nasional maupun pendokumentasian sejarah kebudayaan Tengger perlu kiranya untuk kemudian menyusun karya yang meperbincangkan Tengger pasca modernisasi dan mengaitkan bagaiman strategi politik kebudayaannya. Bentuk rekonstruksi lanjutannya perlu diarahkan kedalam sebuah mekanisme daur-ulang, yang mengandaikan relasi yang komplementer antara pengetahuan lama dan baru. Perlu disadari bahwa kondisi alam yang berbeda menghasilkan pola pengetahuan baru yang berbeda pula, disini reproduksi pengetahuan lanjutan yang disarankan adalah tetap mengikuti jalur induktif yang biasa ditempuh oleh masyarakat Tengger karena sampai saat ini mekanisme bertahan hidup mereka masih sangat mengandalkan alam: yakni dengan kontekstualisasi dengan habitat tempat tinggal yang mulai berubah, tak terisolasi lagi dan banyak pendatang. Dari sana rekonstruksi yang dapat ditempuh misalnya, ditataran diskursif dengan membongkar logika ketertinggalan Tengger yang banyak disematkan oleh pihak-pihak pendatang yang hanya melihat sesekali

waktu saja. Bentuk-bentuk perilakunya dengan melakukan tradisionalisasi ditengah modernisasi, yakni dengan tetap menjaga ritual adat untuk menjaga keselarasan dengan alam dan makhluk hidup lainnya. Selanjutnya perilaku ini, kini tidak hanya perlu diresapkan kepada orang-orang Tengger saja melainkan juga aktor lain yang kemudian bersentuhan dengan Tengger, dalam konteks ini yang disorot adalah Negara melalui representasi Taman Nasional. Dengan mengikuti jalur induktif kontekstualisasi kebijakan politik g mensyaratkan relasi yang komplementer, masyarakat dipandang sebagai subjek yang bersama dengan pengurus negara secara bersama-sama menjaga kelestarian alam. Sehingga perlu mulai dihindari cerita Taman Nasional mengatur masyarakat karena merasa lebih ber- pengetahuan. Alur ini perlu pula disusur oleh aktor Negara maupun aktor lain yang memasuki Tengger dengan perilaku-perilaku yang sesuai dengan apa yang selama ini dijaga oleh masyarakat Tengger. Sedangkan mengenai kajian kontekstual dengan alur induktif hal yang perlu disadari adalah keberpihakan sebagai dasar untuk memasuki kajian ini. Keberpihakan kepada yang dianggap kalah. Sehingga apa yang ditawarkan adalah bentuk modifikasi dari penyebaran kekuasaan. Dengan pengamatan yang teliti dalam konteks budaya Indonesia modern maupun tradisional penulis meyakini banyak sekali startegi yang tak terdokumentasikan maupun terkatakan tetapi dapat dirasakan dan telah dilakukan oleh masyarakat kita untuk merebut dan menyebarkan kekuasaan ini.