IV. PEMBAHASAN A. KARAKTERISIK BAHAN BAKU

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 7. Alat pirolisis dan kondensor

I. PENDAHULUAN. memiliki potensi perikanan terbesar ketiga dengan jumlah produksi ,84

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. PEMBAHASAN. Tabel 11. Komposisi kimia tongkol jagung awal

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Pembahasan. Pembuatan Asap cair

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi penting dan terbesar

Gambar 4.1. Perbandingan Kuantitas Produk Bio-oil, Gas dan Arang

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

EKSTRAKSI MINYAK SEREH DAPUR SEBAGAI BAHAN FLAVOR PANGAN I N T I S A R I

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

4006 Sintesis etil 2-(3-oksobutil)siklopentanon-2-karboksilat

PEMISAHAN CAMPURAN proses pemisahan

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

% SDN = %NDF = c b a Residu dibakar dengan tanur listrik ( o C ) dinginkan, timbang (d gram).

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4028 Sintesis 1-bromododekana dari 1-dodekanol

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Komposisi kimia batang dan daun jagung.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1.

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Katalis CaO Terhadap Kuantitas Bio Oil

Pengeringan Untuk Pengawetan

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

Bab III Metodologi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

4. Hasil dan Pembahasan

TEKNIK PENGOLAHAN BIO-OIL

KIMIA TERAPAN (APPLIED CHEMISTRY) (PENDAHULUAN DAN PENGENALAN) Purwanti Widhy H, M.Pd Putri Anjarsari, S.Si.,M.Pd

PENGASAPAN. PENGASAPAN merupakan perlakuan terhadap produk makanan dengan gas yang dihasilkan dari pemanasan material tanaman (contoh : kayu)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saus cabai atau yang biasa juga disebut saus sambal adalah saus yang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

4023 Sintesis etil siklopentanon-2-karboksilat dari dietil adipat

Reaksi Dehidrasi: Pembuatan Sikloheksena. Oleh : Kelompok 3

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 PEMISAHAN KOMPONEN DARI CAMPURAN 11 NOVEMBER 2014 SEPTIA MARISA ABSTRAK

Analisa Kadar Air (Moisture Determination) Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum.

4016 Sintesis (±)-2,2'-dihidroksi-1,1'-binaftil (1,1'-bi-2-naftol)

Standardisasi Obat Bahan Alam. Indah Solihah

4010 Sintesis p-metoksiasetofenon dari anisol

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

BAB 1 PENDAHULUAN Judul Penelitian

Gambar 3.1. Alur Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini akan dibahas tentang sintesis katalis Pt/Zr-MMT dan

METODE PENGUJIAN. 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: ( Print) F-234

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. METODOLOGI PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR KIMIA DASAR

III. METODOLOGI PENELITIAN

TEKNOLOGI ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KELAPA, TONGKOL JAGUNG, DAN BAMBU SEBAGAI PENYEMPURNA STRUKTUR KAYU

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

PIROLISIS CANGKANG SAWIT MENJADI ASAP CAIR (LIQUID SMOKE)

III. METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

KARAKTERISASI ASAP CAIR HASIL PIROLISIS AMPAS TEBU SERTA PENGUJIANNYA UNTUK PENGAWETAN DAGING AYAM

EKSTRAKSI Ekstraksi padat-cair Ekstraksi cair-cair Ekstraksi yang berkesinambungan Ekstraksi bertahap Maserasi metode ekstraksi padat-cair bertahap

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

PEMBUATAN BRIKET BIOARANG DARI ARANG SERBUK GERGAJI KAYU JATI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dibudidayakan di air tawar dan disukai oleh masyarakat karena rasanya yang

4013 Sintesis benzalasetofenon dari benzaldehida dan asetofenon

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4024 Sintesis enantioselektif pada etil (1R,2S)-cishidroksisiklopentana

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang

5004 Asetalisasi terkatalisis asam 3-nitrobenzaldehida dengan etanadiol menjadi 1,3-dioksolan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium

PENDAHULUAN. hemiselulosa dan lignin dan telah dikondensasi. Asap cair masih mengandung

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

ZAHRA NURI NADA YUDHO JATI PRASETYO

Transkripsi:

IV. PEMBAHASAN A. KARAKTERISIK BAHAN BAKU Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah tongkol jagung yang merupakan varietas jagung Hawaii dan memiliki umur tanam 9 hari. Varietas jagung ini biasa digunakan sebagai pakan ternak dengan cara dikeringkan melalui proses penjemuran dengan bantuan sinar matahari. Tongkol jagung yang menjadi bahan baku dalam pembuatan asap cair ini dikecilkan ukurannya terlebih dahulu dengan pemotongan secara manual, kemudian dikeringkan melalui penjemuran dengan bantuan sinar matahari serta pengeringan dengan oven pada suhu ± 8 o C. Proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan yang dapat menghambat saat proses pembakaran dan mengakibatkan rendemen yang tidak maksimal. Pengeringan juga dilakukan untuk memenuhi syarat bahan baku yang digunakan pada proses pirolisis yakni di bawah 1%. Selanjutnya tongkol jagung dikecilkan ukurannya menggunakan hammer mill dan disc mill hingga 4-6 mesh. Pengecilan ukuran dimaksudkan untuk memperbesar luas permukaan bahan yang mengalami pemanasan sehingga proses pirolisis dapat berlangsung dengan cepat. Selain itu, pengecilan ukuran bertujuan untuk memudahkan input bahan ke dalam reaktor pirolisis sehingga proses dapat berlangsung dengan baik. Tongkol jagung yang telah siap menjadi bahan baku kemudian diukur kadar air dan kadar serat yang terkandung di dalamnya. Hasil analisis komposisi tongkol jagung disajikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Komposisi Kimia Tongkol Jagung Awal. Komponen Jumlah (%) Air 6.9 Selulosa 38.34 Hemiselulosa 4.79 Lignin 6.22 Silika - Dari hasil analisis komposisi kimia tongkol jagung diperoleh bahwa kadar air bahan sebesar 6.9%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air tongkol jagung telah memenuhi persyaratan kadar air yang ditetapkan untuk proses pirolisis. Menurut Bridgwater (24), kadar air bahan yang dipirolisis adalah 1-15%. Kadar air yang diperoleh pada penelitian ini bertujuan untuk mengurangi aktivitas mikroba yang muncul pada bahan apabila kadar air lebih besar dari 1%. Kadar serat menunjukkan jumlah selulosa, hemiselulosa, dan lignin masing-masing sebesar 38. 34 %, 4.79 %, dan 6.22 %. Akan tetapi tidak terdapat kandungan silika pada bubuk tongkol jagung. Kandungan serat pada tongkol jagung dipengaruhi varietas jagung, lama dan kondisi penanaman. Menurut Ye dan Cheng (22), tongkol jagung mengandung 45% selulosa, 35% hemiselulosa, dan 15% lignin, sedangkan dari hasil analisis menunjukkan tidak terdapat kandungan silika dalam tongkol jagung. Prosedur analisis kadar serat tongkol jagung tertera pada Lampiran 1. Silika merupakan salah satu komponen serat pada tongkol jagung yang berfungsi menjaga tanaman agar tidak mudah rusak oleh ancaman fisik, kimia, dan biologis. Silika merupakan bagian yang paling sulit terdekomposisi diantara lignoselulosik lainnya karena terletak di bagian paling dalam 15

pada dinding sel tanaman. Menurut Raveendran et al. (1996), silika pada padatan tidak mempengaruhi kerja katalis tetapi berpengaruh pada struktur padatan yang dihasilkan serta reaktivitasnya. B. PRODUKSI ASAP CAIR Tongkol jagung yang telah mengalami pengeringan selanjutnya akan menjadi bahan baku pada proses pirolisis. Sebanyak 5 gram tongkol jagung dan ditambahkan katalis atapulgit sebanyak 1.5% dimasukkan ke dalam reaktor pyrolyzer dengan suhu perlakuan 55 o C. Atapulgit merupakan salah satu katalis yang berfungsi sebagai bahan atau senyawaan kimia yang dapat mempercepat laju reaksi (Van Santen dan Niemantsverdriet, 1995). Dalam bentuk koloid, atapulgit dimanfaatkan sebagai peningkat viskositas, pembentuk gel, pengental, penstabil sistem koloid, dan sebagai bahan pengikat. Sedangkan dalam bentuk non koloid, atapulgit dimanfaatkan sebagai absorben, penyaring, dan sebagai katalis (Henin dan Caillere, 1975). Atapulgit termasuk dalam katalis homogen, yaitu katalis yang memiliki fasa yang sama dengan reaktan. Katalis homogen memiliki beberapa kelemahan seperti sulit pada proses pemisahannya dengan produk, menimbulkan korosi pada tangki, dan menimbulkan masalah lingkungan (Ono, 1999). Gas nitrogen dialirkan selama proses dengan laju 5 m 3 /menit untuk mengurangi kandungan oksigen dalam reaktor (Raveendran et al., 1996). Pemberian gas nitrogen bertujuan untuk mengurangi kadar oksigen yang terdapat pada pyrolyzer. Proses pembakaran dilakukan selama 1 jam 15 menit. Hasil Pembakaran terdiri dari char (arang), gas yang terkondensasi menjadi asap cair, dan gas yang terbuang ke udara. Gas yang telah terkondensasi menjadi asap cair akan difraksinasi dengan metode distilasi vakum menggunakan alat rotary vacuum evaporator. Pemilihan asap cair hasil proses pirolisis bersuhu 55 o C dan dengan penambahan katalis atapulgit sebanyak 1.5% untuk difraksinasi disebabkan karena pada kondisi tersebut diperoleh asap cair dengan rendemen terbanyak. Menurut penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Purwaningtyas (21), persentase jumlah terbanyak hasil pirolisis tongkol jagung terdapat pada suhu 55 o C dengan penambahan katalis sebesar 1.5%. Peningkatan suhu akan menyebabkan terjadinya penguraian komponen biomassa tongkol jagung, mulai dari hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Penguraian yang semakin meningkat akan meningkatkan banyaknya gas yang dihasilkan. Gas tersebut akan mengalami kondensasi sehingga menghasilkan cairan. Hasil pirolisis menunjukkan peningkatan jumlah rendemen seiring dengan peningkatan suhu. Jumlah cairan meningkat dari suhu 48.53 o C hingga diperoleh rendemen terbanyak pada suhu 55 o C. Selanjutnya terjadi penurunan rendemen pada suhu di atas 55 o C, hal ini terjadi karena peningkatan suhu yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya pemecahan kedua terhadap uap yang dominan sehingga menurunkan rendemen cairan dan meningkatkan jumlah gas yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Zhang et al. (29) yang menyatakan cairan yang dihasilkan meningkat dari 48.3 % pada suhu 4 o C sampai maksimum 56.8 % pada suhu 55 o C, kemudian menurun menjadi 54.2 % pada suhu 7 o C. Cairan hasil pirolisis tongkol jagung disajikan pada Tabel 6 berikut. 16

Tabel 6. Cairan Hasil Pirolisis Tongkol Jagung Suhu ( o C) Katalis W o Cairan Cairan (%) (%b/b) (gram) (gram) 48.53 1.5 5.75 13.94 27.47 45 1 5.5 14.67 29.5 45 2 51 15.365 3.13 55.79 5.4 24.935 49.47 55 1.5 5.75 25.255 49.76 55 2.21 51.11 28.85 56.36 65 1 5.5 16.2 32.8 65 2 51 16.515 32.38 691.42 1.5 5.75 14.73 29.2 Sumber : Purwaningtyas (21) C. FRAKSINASI ASAP CAIR DENGAN DISTILASI VAKUM Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan suatu zat berdasarkan perbedaan titik didih, sehingga menjadi beberapa bagian murni. Metode fraksinasi yang digunakan untuk memisahkan asap cair hasil pirolisis adalah distilasi vakum menggunakan alat rotary vacuum evaporator. Distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan atau didefinisikan juga teknik pemisahan kimia yang berdasarkan perbedaan titik didih. Rotary vacuum evaporator merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk memisahkan suatu larutan menjadi beberapa fasa. Sistem vakum digunakan untuk memudahkan pemisahan zat yang memiliki titik didih tinggi agar dapat menguap pada suhu yang lebih rendah. Senyawa-senyawa yang terkandung dalam asap cair yang bersuhu pirolisis 55 o C dan penambahan katalis atapulgit sebanyak 1.5 % diketahui memiliki titik didih yang tinggi (>1 o C), sehingga digunakan vakum untuk menurunkan titik didih tersebut. Titik didih komponen senyawa yang terkandung dalam cairan pirolisis 55 o C tertera pada Lampiran 3. Proses fraksinasi berlangsung dengan perlakuan suhu dan tekanan yang berbeda. Sebanyak 5 ml asap cair dimasukkan ke dalam labu rotary vacuum evaporator dan dilakukan proses evaporasi dengan 3 perlakuan tekanan 8 mbar, 9 mbar, dan 1 mbar serta 5 perlakuan suhu 6 o C, 62.5 o C, 65 o C, 67.5 o C, dan 7 o C. Penentuan perlakuan berdasarkan titik didih senyawa kimia yang terkandung dalam asap cair. Fraksinasi asap cair dilakukan pada kisaran waktu 8-1 menit dengan proses semi sinambung yakni volume hasil fraksinasi pada perlakuan awal, menjadi volume awal pada perlakuan fraksinasi berikutnya dan terjadi proses penggantian air pada kondensor pada tiap perlakuan tekanan yang berbeda. Proses diawali dengan pengaturan suhu dan tekanan terlebih dahulu sesuai dengan kondisi yang ditetapkan yakni suhu paling rendah 6 o C dengan tekanan paling tinggi 1 mbar. Proses distilasi vakum dimulai dengan penguapan (evaporasi) terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan pendinginan (kondensasi) sehingga pada labu destilat terdapat tetesan air yang merupakan komponen-komponen yang telah mengalami fraksinasi. Setelah waktu yang ditentukan habis, proses dihentikan dan hasil dimasukan ke dalam wadah yang tersedia. Selanjutnya dilakukan kembali proses 17

serupa, namun dengan suhu dan tekanan yang berbeda. Pengaturan suhu menjadi lebih tinggi dan tekanan menjadi lebih rendah. Pada fraksinasi asap cair diketahui bahwa persentase volume hasil distilasi vakum meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan menurunnya tekanan. Hal ini mempercepat terjadinya proses penguapan dan dengan menurunnya tekanan maka titik didih komponen-komponen senyawa yang berada di dalamnya juga turun sehingga lebih cepat terjadi penguapan. Perbedaan titik didih pada komponen-komponen senyawa yang terkandung dalam asap cair menyebabkan volume hasil fraksinasi yang dihasilkan pada tiap-tiap perlakuan suhu dan tekanan juga berbeda-beda. Hal ini terjadi karena ada komponen senyawa yang menguap di suhu-suhu awal dan ada juga yang menguap dengan memerlukan tekanan yang lebih rendah dan suhu yang lebih tinggi. Selain itu, waktu yang diperlukan untuk meguapkan tiap-tiap komponen senyawa yang terkandung di dalamnya juga berbeda-beda. Hal tersebut juga saling berpengaruh dengan suhu dan tekanan. Terdapat perbedaan persentase volume pada suhu awal 6 o C di tiap tekanan. Persen volume menunjukkan jumlah yang lebih besar dari persen volume berikutnya yang memiliki suhu lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena suhu air pendingin yang masih cukup rendah pada perlakuan-perlakuan awal karena pada tiap perlakuan tekanan dilakukan penggantian air pada kondensor, sehingga proses pendinginan masih cukup baik. Pada tekanan 9 mbar dan suhu 7 o C, tidak terdapat cairan yang terfraksinasi akibat suhu yang tinggi dan tekanan yang rendah. Akibatnya seluruh asap cair masuk ke dalam labu destilat. Sama halnya yang terjadi pada perlakuan tekanan 8 mbar dan suhu 67.5 o C, 7 o C. Asap cair tidak dapat difraksinasi lagi karena suhu yang terlalu tinggi dan tekanan yang terlalu rendah sehingga seluruhnya masuk ke dalam tabung destilat. Hasil fraksinasi asap cair disajikan pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Hasil Fraksinasi Asap Cair Tekanan Suhu ( o C) V o (ml) V t (ml) %Volume (mbar) 1 6 5 42 8.4 62.5 458 22 4.8 65 436 24 6.9 67.5 412 28 6.8 7 384 46 11.9 9 6 338 28 8.2 62.5 31 22 7.1 65 288 22 7.6 67.5 266 24 9. 7 - - - 8 6 242 38 15.7 62.5 24 24 11.7 65 18 22 12.2 67.5 - - - 7 - - - 18

Persentase volume menunjukkan jumlah volume yang dihasilkan pada tiap perlakuan fraksinasi asap cair. Pada tekanan 1 mbar dan suhu 6 o C diperoleh volume yang cukup besar yakni 42 ml. Berbeda dengan volume yang dihasilkan pada perlakuan berikutnya yakni pada suhu 62.5 o C, volume mengalami penurunan menjadi 22 ml. Hal ini disebabkan karena pada suhu awal mulai banyak komponen yang menguap dan terfraksinasi, selain itu suhu air pada kondensor masih cukup rendah sehingga proses kondensasi masih cukup baik dan mengakibatkan titik-titik air yang terbentuk menjadi lebih banyak. Proses meningkatnya volume pada perlakuan berikutnya disebabkan oleh suhu yang meningkat sehingga laju penguapan menjadi lebih cepat dan volume meningkat. Demikian halnya yang terjadi pada tekanan 9 mbar dan suhu 6 o C, terjadi peningkatan volume di awal akibat penggantian air kondensor, sehingga proses kondensasi yang terjadi masih cukup baik. Pada suhu 62.5 o C volume mengalami penurunan dan kemudian kembali mengalami peningkatan pada suhu yang lebih tinggi yaitu 65 o C, dan 67.5 o C. Pada tekanan 8 mbar, terjadinya penurunan jumlah volume. Pada suhu 6 o C, volume yang dihasilkan sebanyak 38 ml, namun seiring dengan meningkatnya suhu menjadi 62.5 o C, volume yang dihasilkan mengalami penurunan yaitu sebanyak 24 ml. Pada suhu 65 o C, jumlah volume yang dihasilkan meningkat akibat peningkatan suhu. Ketidakstabilan yang terjadi disebabkan kinerja alat yang kurang ideal sehingga proses evaporasi dan kondensasi yang kurang maksimal. Fraksinasi asap cair pada tekanan 1 mbar dan volume awal 5 ml, jumlah fraksi yang dihasilkan bervariasi untuk tiap perlakuan suhu. Volume tertinggi terdapat pada suhu 7 o C, hal ini dapat disebabkan karena proses penguapan yang lebih cepat terjadi akibat suhu tinggi dan sehingga cairan hasil kondensasi menjadi lebih banyak. Proses distilasi vakum menggunakan rotary vacuum evaporator dilakukan dengan 1 kali running untuk tiap perlakuan tekanan. Proses yang dilakukan merupakan proses semi sinambung. Volume awal untuk proses selanjutnya merupakan hasil dari proses distilasi sebelumnya. Grafik hasil fraksinasi pada tekanan 1 mbar disajikan pada Gambar 3 berikut. V t (ml) 5 45 4 35 3 25 2 15 1 5 46 42 28 22 24 11.9 8.4 4.8 6.9 6.8 55 6 65 7 75 Suhu o C Vt (ml) % volume V o = 5 ml Tekanan = 1 mbar Gambar 3. Grafik Hasil Fraksinasi pada Tekanan 1 mbar Fraksinasi asap cair pada tekanan 9 mbar serta volume awal 338 ml, volume tertinggi terdapat pada suhu 67.5 C. Hal ini menunjukkan bahwa suhu tinggi akan meningkatkan laju 19

penguapan. Akibat tekanan rendah, maka titik didih komponen yang terkandung di dalamnya juga menjadi lebih rendah sehingga proses penguapan menjadi lebih cepat. Sedangkan pada suhu 7 o C tidak dihasilkan lagi asap cair yang terfraksinasi. Hal ini terjadi karena asap cair tersebut tidak dapat menguap dan terkondensasi karena tekanan yang cukup rendah (9 mbar), akibatnya cairan pirolisis masuk seluruhnya ke labu destilat. Tekanan yang rendah mengakibatkan daya vakum lebih kuat untuk menarik asap cair menjadi terlalu besar. Grafik hasil fraksinasi pada tekanan 9 mbar disajikan pada Gambar 4 berikut. 3 28 25 2 22 22 24 V t (ml) 15 Vt (ml) 1 5 8.2 7.1 7.6 9 % volume V o Vo= = 338 338 ml ml Tekanan Tekanan = 9 = 9 mbar mbar 55 6 65 7 75 Suhu o C Gambar 4. Grafik Hasil Fraksinasi pada Tekanan 9 mbar Demikian juga halnya yang terjadi saat fraksinasi (distilasi vakum) pada tekanan 8 mbar. Volume awal sebesar 242 ml. Persentase volume tertinggi berada pada suhu 6 o C. Tekanan yang semakin rendah mengakibatkan asap cair tidak dapat difraksinasi lagi pada suhu tinggi, karena tekanan vakum yang sangat rendah berakibat semua cairan pirolisis masuk ke dalam tabung destilat. Dari ketiga grafik dapat terlihat bahwa pada suhu 67.5 o C dan 7 o C asap cair tidak dapat terfraksinasi lagi karena suhu yang tinggi dan tekanan yang rendah, seluruh asap cair masuk ke dalam tabung destilat sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukannya evaporasi dan kondensasi. Grafik hasil fraksinasi pada tekanan 8 mbar disajikan pada Gambar 5 berikut. 2

4 38 35 3 25 24 22 V t (ml) 2 15 1 5-5 15.7 11.7 12.2 55 6 65 7 75 Vt (ml) % Volume V o = 242 ml Tekanan = 8 mbar Suhu o C Gambar 5. Grafik Hasil Fraksinasi pada Tekanan 8 mbar Peningkatan volume cairan yang terfraksinasi dipengaruhi oleh penguapan karena suhu yang tinggi. Fraksinasi asap cair pada tekanan 8 mbar, menghasilkan jumlah volume yang mengalami penurunan di awal, kemudian terjadi peningkatan seiring dengan meningkatnya suhu. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh waktu fraksinasi yang dibatasi dan berbedanya titik didih dari tiap komponen yang terkandung dalam asap cair hasil pirolisis. Penggunaan alat yang kurang ideal menjadi salah satu faktor yang menyebabkan proses fraksinasi dengan metode distilasi vakum ini berjalan kurang sempurna. Keterbatasan alat yang hanya mampu bekerja hingga suhu dan tekanan tertentu sehingga volume yang diperoleh juga tidak stabil. D. ANALISIS WARNA, BAU, DAN ph Analisis yang dilakukan pada hasil fraksinasi asap cair meliputi analisis fisik yang berupa penampakan warna, bau, dan ph. Dari semua sampel hasil fraksinasi asap cair, terlihat bahwa warna yang dihasilkan adalah putih bening. Tidak ada perbedaan warna diantara semua sampel. Suhu dan tekanan tidak mempengaruhi warna pada proses fraksinasi. Perbedaan hanya terjadi pada asap cair sebelum dan sesudah mengalami fraksinasi. Asap cair yang belum mengalami fraksinasi berwarna coklat keruh, sedangkan yang merupakan hasil fraksinasi berwarna putih bening. Distilasi vakum asap cair menghasilkan dua fasa berupa destilat dan residu. Destilat merupakan zat yang mengalami proses evaporasi dan kondensasi yang berwujud cair, sedangkan residu merupakan sisa dari hasil evaporasi dan kondensasi yang biasanya berbentuk zat yang mengalami pemekatan. Bau yang dihasilkan dari asap cair yang telah mengalami fraksinasi adalah bau sangit hasil pembakaran. Tidak ada perbedaan bau diantara semua sampel pada tiap perlakuan. Demikian halnya dengan bau asap cair sebelum dan sesudah mengalami fraksinasi. Baik suhu dan tekanan dari vakum tidak mempengaruhi bau dari zat yang dihasilkan. 21

Analisis ph cairan hasil fraksinasi menggunakan kertas ph. Pengukuran ph dilakukan pada semua sampel hasil fraksinasi. Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa ph berkisar antara 3-4. Ini membuktikan bahwa banyak terkandung senyawa-senyawa yang bersifat asam. Perbedaan nilai ph terjadi saat sebelum dan sesudah fraksinasi. Sebelum mengalami fraksinasi, asap cair memiliki nilai ph 5-6, ini menunjukkan sifat yang cenderung asam. Setelah mengalami fraksinasi, ph turun menjadi lebih asam pada kisaran 3-4. Penurunan ph ini terjadi akibat fraksi-fraksi yang terbentuk menjadi lebih murni karena komponen-komponen yang telah terfraksinasi di dalamnya menjadi lebih seragam. Komponen-komponen yang terkandung memiliki konsentrasi (tingkat keasaman) yang lebih tinggi sehingga ph menjadi turun. Grafik hasil analisis ph disajikan pada gambar 6. 4.5 4.3 ph 4 3.5 3 3.7 3.5 3.5 3.2 3.5 3 3.5 3.4 Tekanan 1 mbar Tekanan 9 mbar Tekanan 8 mbar 2.5 2 55 6 65 7 75 Suhu ( o C) Gambar 6. Grafik Hasil Analisis ph Pada tekanan 1 mbar, ph terendah berada pada titik suhu 65 o C dimana terdapat banyak komponen asam di dalamnya. Demikian halnya pada tekanan 9 mbar, ph terendah juga berada pada suhu 65 o C dengan besarnya nilai ph=3. Hal ini menunjukkan, komponen-komponen yang terkandung di dalamnya memiliki tingkat keseragaman yang cukup baik sehingga kandungan asamnya menjadi tinggi. Berbeda halnya dengan hasil fraksinasi asap cair pada tekanan 8 mbar, ph terendah berada pada titik suhu 62.5 o C. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu-suhu awal fraksi-fraksi komponen yang lebih murni sudah terbentuk dengan adanya tekanan yang cukup rendah yang mengakibatkan titik didih dari komponen-komponen yang terkandung di dalamnya juga menjadi lebih rendah. Komponen-komponen yang berada pada hasil fraksinasi dapat diketahui melalui hasil analisis GC- MS. Jumlah komponen yang terdapat dalam tiap perlakuan fraksinasi disajikan pada Tabel 8. E. ANALISIS GC-MS (GAS CHROMATOGRAPHY-MASS SPECTROMETRY) Pengujian GC-MS diperlukan untuk mengetahui komponen kimia yang terdapat dalam hasil fraksinasi asap cair. Salah satu fungsi komponen-komponen tersebut adalah sebagai bahan tambahan 22

pangan. Pengujian dilakukan di Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri, Jakarta. Kromatogram hasil pengujian GC-MS tertera pada lampiran 5-11. Umumnya, identifikasi hasil pirolisis dilakukan dengan menggunakan gas kromatogafispektra massa atau Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS). Interpretasi data GC-MS dilakukan dengan mengelompokkan puncak-puncak kromatogram yang berubah pada variasi proses. Senyawa dikelompokkan berdasarkan banyaknya C dalam senyawa dan pola perubahan konsentrasi pada perubahan temperatur (Fatimah dan Nugraha, 25). Alat GC-MS yang digunakan memiliki seri HP 689 yang berasal dari Amerika. Sebelum dilakukan analisa, cairan harus dipreparasi terlebih dahulu untuk memisahkan fase organik dan anorganik. Salah satu syarat bahan yang akan dianalisa menggunakan GC-MS adalah bahan yang terlarut dalam pelarut organik dan tidak mengandung air, karena akan merusak kolom yang merupakan komponen penting pada alat. Cairan diekstrak telebih dahulu menggunakan kloroform yang bertujuan untuk memisahkan fase polar dan nonpolar. Pemilihan kloroform dikarenakan sifatnya yang semi polar sehingga dapat mengekstrak komponen yang polar dan nonpolar. Acap cair bersifat polar karena terlarut dalam air. Namun, terdapat juga zat-zat yang besifat nonpolar di dalamnya, sehingga dipilih pengekstrak yang dapat mewakili sifat keduanya. Kedua fase dipisahkan dengan labu pemisah lalu dipekatkan dengan dialiri gas nitrogen inert. Selama poses peparasi tidak digunakan panas sama sekali karena dikhawatirkan akan mengurangi kandungan zat dalam cairan atau merusak struktur kimianya. Setelah kering, zat dilarutkan dalam methanol yang bersifat polar sesuai sifat asap cair. Cara preparasi sampel untuk analisis GC-MS ini disajikan pada Lampiran 1. Cairan yang telah dipreparasi kemudian diinjeksikan ke dalam alat GC-MS sebanyak ± 5 L. Suhu oven awal yang digunakan adalah 4 o C. Ketika kontak dengan panas oven, methanol akan menguap pada menit-menit awal. Oleh karena itu, dipakai waktu delay 2-3 menit untuk menguapkan methanol sehingga hasil analisa untuk menit awal tidak terbaca software. Komponen-komponen yang menguap akan dibawa oleh gas pengemban. Pada alat GC-MS ini, gas pengemban yang akan digunakan adalah helium. Gas helium akan membawa komponen yang teruapkan melewati kolom kapiler menuju detector sehingga membentuk puncak-puncak kromatogam yang menyerupai gunung. Area kromatogram yang terbentuk merupakan jumlah komponen yang terkandung dalam cairan. Puncak kromatogram terbentuk didasarkan pada bobot molekul komponen yang teridentifikasi. Semakin kecil bobot molekulnya, maka akan lebih cepat teridentifikasi, dan semakin kecil pula waktu retensinya. Waktu retensi (retention time) merupakan waktu yang dibutuhkan senyawa untuk bergerak melalui kolom menuju detector. Waktu retensi diukur berasarkan waktu dimana sampel diinjeksikan sampai sampel menunjukkan ketinggian puncak maksimum dari senyawa itu (Anonim, 28 di dalam Febrianto, 29). Waktu retensi akan tertera pada puncak kromatogram. Pembacaan waktu retensi dipengaruhi oleh jenis alat GC-MS yang digunakan karena setiap seri memiliki karakteristik tersendiri. Hasil analisa GC-MS selanjutnya diolah menggunakan software MSD Chemstation, Data Analysis tahun 26. Dari software tersebut, dapat diketahui kandungan komponen dalam cairan beserta kualitas dan kuantitasnya. Kualitas komponen merupakan kemiripan komponen yang terbaca dengan komponen pada database. Semakin tinggi kualitasnya, semakin identik komponen dengan database sehingga memiliki tingkat kepercayaan yang lebih baik. Kuantitas komponen disajikan dengan % luas area dari total puncak yang terbentuk. 23

Pembacaan data analisis pada penelitian ini menggunakan skala 5.1 6, nilai threshold sebesar 2, dan menggunakan database wiley 7. Cairan yang dianalisis dengan GC-MS terdapat pada Lampiran 2. Hanya komponen yang memiliki kualitas di atas 9 dan % luas area di atas 1 % yang diambil karena memiliki tingkat keidentikan sebesar 9 % dari database. Sedangkan komponen yang memiliki kualitas di bawah 9 tidak diambil karena dinilai tidak terlalu identik dan kemungkinan merupakan suatu pengotor tetapi memiliki struktur yang mirip dengan komponen dalam database. Grafik hasil analisis GC-MS tekanan 1 mbar dan suhu 6 o C, 62.5 o C, 65 o C, 67.5 o C, dan 7 o C disajikan pada Gambar 7 berikut. 6 5 48.23 49.23 45.97 % Luas Area 4 3 2 1-1 33.32 3.41 32.93 17.24 2.67 1.96 9.4 8.64 1.7 1.96 7.91 3.4 3.5 2.82 4.1 2.81 2.32 58 6 62 64 66 68 7 72 Suhu o C Fenol Keton Furan Aldehid Hidrokarbon Asam Gambar 7. Grafik hasil analisis GC-MS tekanan 1 mbar suhu 6, 62.5, 65, 67.5, dan 7 o C Grafik hasil analisis GC-MS di atas menunjukkan senyawa yang terkandung dalam hasil fraksinasi bertekanan 1 mbar dengan suhu 6 o C, 62.5 o C, 65 o C, 67.5 o C, dan 7 o C. Analisis dilakukan pada berbagai variasi suhu pada tekanan yang sama. Komponen yang terkandung di dalamnya adalah fenol, keton, furan, aldehid, hidrokabon, dan asam. Keseluruhan komponen ini dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan yang berupa flavour, antioksidan, dan pengawet. Dari grafik terlihat bahwa jumlah masing-masing komponen berbeda. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan titik didih pada tiap-tiap komponen sehingga menguap dan berkondensasi pada suhu dan tekanan yang bebeda pula. Dari hasil analisis GC-MS untuk hasil fraksinasi menggunakan distilasi vakum terlihat perbedaan jumlah luas area pada semua jenis senyawa. Perbedaan terjadi secara fluktuatif. Pada komponen fenol terjadi peningkatan di awal, namun selanjutnya terjadi penurunan. Kenaikan mulai terjadi pada suhu 62.5 o C, dan terjadi perubahan yang cukup signifikan. Namun, % fenol kembali turun pada suhu 65-67.5 o C. Hal ini dapat disebabkan karena proses distilasi vakum yang berlangsung dalam 1 kali running untuk semua perlakuan suhu pada tiap tekanan, sehingga fenol banyak dihasilkan pada satu titik suhu dan untuk suhu berikutnya jumlah fenol sudah tidak banyak lagi, namun masih dapat dihasilkan pada suhu-suhu berikutnya. Hal ini terjadi karena proses distilasi dibatasi selama 8-1 menit. Demikian halnya yang terjadi pada komponen keton, tejadi peningkatan jumlah luas area pada titik suhu 6 o C dan kembali mengalami penurunan pada suhu 65 o C. Pada komponen furan, 24

terjadi peningkatan pada suhu 62.5 o C dan kembali menurun pada suhu 67.5 o C. Komponen hidrokarbon meningkat jumlahnya pada suhu 6 o C dan kembali turun pada suhu 65 o C dan komponen asam yang meningkat jumlahnya pada suhu 6 o C dan turun pada suhu 67.5 o C. Dari semua komponen senyawa ini terjadi peningkatan jumlah pada suhu 6 o C dan 62.5 o C dan mengalami penuunan pada suhu 65 o C dan 67.5 o C. Semua komponen-komponen senyawa ini mengalami peningkatan di awal karena proses penguapan terjadi pada suhu-suhu awal, selanjutnya terjadi penurunan karena jumlahnya yang telah berkurang. Perbedaan terjadi pada komponen aldehid, terjadi penurunan di awal dan kemudian baru terjadi kenaikan jumlah komponen yang dihasilkan. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan titik didih komponen aldehid, selain itu kendala alat juga dapat mempengaruhi jumlah komponen yang dihasilkan. Komponen aldehid mengalami penurunan pada suhu 6 o C dan kembali meningkat pada suhu 65 o C. Untuk fraksinasi yang keluar pada suhu rendah adalah aldehid, kemudian keton dan hidrokarbon, dan yang terakhir adalah fenol dan asam. Pengujian GC-MS selanjutnya adalah menganalisa hasil fraksinasi di titik suhu 6 o C pada tiga tekanan yang berbeda yaitu 8 mbar, 9 mbar, dan 1 mbar. Tekanan 8 mbar merupakan tekanan paling rendah. Pada komponen fenol, terjadi penurunan jumlah fenol yang dihasilkan seiring dengan peningkatan tekanan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tekanan, maka komponen senyawa yang dapat menguap juga semakin sedikit, karena titik didih komponen tersebut juga makin tinggi. Pada komponen keton juga terjadi peningkatan jumlah keton yang dihasilkan seiring dengan tekanan yang makin tinggi sampai tekanan 9 mbar, namun selanjutnya terjadi penurunan, sedangkan komponen furan mengalami hal yang sama dengan fenol, terjadi penurunan jumlah furan seiring dengan meningkatnya tekanan. Grafik hasil analisis GC-MS, tekanan 1, 9, dan 8 mbar suhu 6 o C disajikan pada Gambar 8 berikut. 6 5 49.8 46.74 % Luas Area 4 3 2 1-1 33.32 3.93 32.93 12.87 9.4 11.44 5.37 2.94 4.1 7 75 8 85 9 95 1 15 Fenol Keton Furan Aldehid Hidrokarbon Asam Tekanan (mbar) Gambar 8. Grafik hasil analisis GC-MS, tekanan 1, 9, dan 8 mbar suhu 6 o C Berbeda halnya dengan aldehid dan hidrokarbon, jumlah komponen ini mengalami penurunan pada tekanan yang makin tinggi. Akan tetapi pada tekanan 9 mbar, terjadi peningkatan kembali jumlah komponen tersebut. Hal ini terjadi karena aldehid dan komponen hidrokarbon memiliki titik didih yang lebih rendah dibandingkan senyawa lainnya sehingga telah lebih dahulu mengalami penguapan pada tekanan 1 mbar. Proses yang hanya berlangsung dalam sekali running 25

mengakibatkan komponen ini telah terfraksinasi di awal dan jumlahnya semakin menurun pada fraksi berikutnya Sedangkan pada komponen asam, tidak terjadi peningkatan ataupun penurunan jumlah. Komponen asam memiliki titik didih yang lebih tinggi sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat terfraksinasi dalam jumlah banyak. Perbedaan jumlah komponen yang dihasilkan pada tiap tekanan yang berbeda disebabkan karena komponen-komponen yang terkandung di dalam asap cair memiliki titik didih yang berbeda, sehingga pada proses evaporasi tidak semua komponen tersebut mengalami penguapan yang sama, sehingga hanya komponen tertentu yang mengalami kondensasi pada kombinasi perlakuan suhu dan tekanan dapat terfraksinasi pada suhu dan tekanan tersebut. Tekanan vakum bertujuan agar komponen-komponen yang memiliki titik didih tinggi lebih cepat menguap dan terpisah dengan komponen lainnya yang memiliki titik didih berdekatan. Selain itu, kendala alat yang kurang ideal juga mempengaruhi hasil fraksinasi yang diperoleh menjadi kurang optimal. Komponen-komponen yang seharusnya menguap dan terkondensasi pada suhu dan tekanan yang spesifik menjadi tersebar di seluruh perlakuan suhu dan tekanan yang ada. Hal ini disebabkan karena keterbatasan alat yang digunakan untuk proses distilasi vakum. Penggunaan rotary vacuum evaporator sebagai alat untuk proses distilasi vakum tidak mampu mencapai suhu lebih tinggi dan tekanan yang lebih rendah, sehingga pada beberapa perlakuan terjadi peristiwa asap cair seluruhnya masuk ke dalam tabung destilat dan tidak dapat terfraksinasi lagi. F. KOMPONEN MAYOR DAN MINOR PADA HASIL FRAKSINASI ASAP CAIR Fraksinasi asap cair menunjukkan kandungan senyawa-senyawa yang bermanfaat sebagai bahan tambahan pangan seperti antioksidan, flavour, dan pengawet diantaranya fenol, keton, furan, aldehid, hidrokarbon, dan asam. Dari hasil pengujian GC-MS di titik suhu 6 o C pada tekanan 8 mbar, 9 mbar dan 1 mbar, komponen senyawa terbanyak adalah fenol. Fraksi fenol paling dominan tedapat di tekanan 8 mbar. Tekanan yang rendah membantu komponen fenol menguap di titik suhu yang lebih rendah. Berbagai komponen yang dihasilkan pada fraksinasi asap cair disajikan pada Tabel 8 berikut. Tabel 8 Komponen Hasil Fraksinasi dan % Total Luas Area Sampel Suhu ( o C) Tekanan (mbar) Total Luas Area (%) Komponen Fenol Keton Furan Aldehid Hidrokarbon Asam 1 6 8 49.8 12.87 11.44 2.94 2 6 9 46.74 3.93 5.37 3 6 1 33.32 9.4 32.93 4.1 4 62.5 1 3.41 17.24 7.91 1.96 5 65 1 48.23 8.64 3.4 2.81 2.67 6 67.5 1 49.23 1.7 3.5 2.82 2.32 7 7 1 45.97 1.96 8 sisa 1 15.72 7.1 1.4 9.51 24.8 Berbeda halnya dengan komponen senyawa lainnya, jumlah komponen pada tiap tekanan berbeda dan tidak mengalami perubahan secara linier. Hal ini disebabkan karena komponen fenol, 26

keton, furan, aldehid, hidrokarbon terdiri dari senyawa-senyawa turunan lainnya yang titik didihnya juga berbeda, sehingga jumlah yang diperoleh pada tiap perlakuan tekanan juga berbedabeda.komponen terbanyak yang ditemukan adalah fenol pada suhu 67.5 o C tekanan 1 mbar. Komponen yang jumlahnya paling sedikit adalah aldehid. Komponen ini dominan pada satu titik suhu 6 o C dan tekanan 1 mbar, namun tidak terdapat pada perlakuan suhu dan tekanan lainnya kecuali di sisa fraksinasi. Komponen asam pada fraksi asap cair tidak ditemukan pada titik suhu 6 o C di tekanan 8, 9, dan 1 mbar serta pada suhu 7 o C tekanan 1 mbar. Komponen ini dominan berada pada sisa fraksinasi. Komponen asam yang terkandung dalam fraksi asap cair memiliki titik didih yang tinggi (>3 o C) seperti asam stearat dan asam palmitat. Komponen senyawa dan turunannya tertera pada Lampiran 2. Analisis GC-MS pada tekanan 1 mbar pada lima titik suhu yakni 6 o C, 62.5 o C, 65 o C, 67.5 o C, dan 7 o C menunjukkan komponen senyawa terbanyak yang diperoleh adalah fenol. Komponen ini juga ditemukan pada setiap titik suhu. Selanjutnya adalah keton, senyawa ini juga ada di tiap titik suhu pada tekanan 1 mbar, akan tetapi jumlah tidak sebanyak fenol, kemudian berturutturut hidrokarbon, asam, furan, dan aldehid dengan jumlah yang berbeda-beda. Grafik komponenkomponen senyawa beserta % total luas area tertera pada Lampiran 4. G. SISA FRAKSINASI Sisa fraksinasi asap cair pada tekanan 1 mbar mengandung banyak komponen asam. Hal ini disebabkan karena titik didih asam yang terkandung pada asap cair tersebut cukup tinggi yakni melebihi 3 C, sehingga memerlukan waktu yang lebih lama dan suhu yang lebih tinggi pula. Komponen-komponen lainnya masih terdapat dalam cairan sisa fraksinasi, namun dengan persentase yang lebih kecil. Grafik kandungan senyawa kimia sisa fraksinasi disajikan pada Gambar 9 berikut. Sisa Fraksinasi 3 Persentase 2 1 Sisa Fraksinasi Senyawa Gambar 9. Grafik Kandungan Senyawa Kimia Sisa Fraksinasi Pada sisa fraksinasi, terlihat bahwa komponen asam masih banyak tertinggal. Hal ini disebabkan karena asam memiliki titik didih yang tinggi. Namun masih terdapat komponen-komponen lain yang pada suhu dan tekanan awal mengalami fraksinasi, masih terdapat di sisa fraksinasi asap cair tersebut. Hal ini dipengaruhi keadaan alat yang kurang stabil sehingga hasil yang didapatkan menjadi kurang maksimal. Komponen fenol menjadi komponen terbanyak kedua yang ditemukan di sisa 27

fraksinasi setelah asam. Komponen ini telah terfraksinasi di suhu awal, namun masih terdapat di sisa fraksinasi. Demikian halnya dengan komponen-komponen lain seperti keton, furan, aldehid, dan hidrokarbon. H. APLIKASI ASAP CAIR SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN PANGAN Komponen-komponen yang terdapat dalam hasil fraksinasi asap cair tongkol jagung dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya. Salah satu fungsi dari cairan ini adalah sebagai bahan tambahan pangan sepert pengawet, antioksidan, dan flavour. Secara umum, yang dimaksud sebagai bahan tambahan pangan adalah bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam makanan selama produksi, pengolahan, pengemasan, atau penyimpanan untuk tujuan tertentu. Menurut Codex Alimentarius, bahan tambahan makanan didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan ke dalam makanan dengan sengaja untuk membantu teknik pengolahan makanan (termasuk organoleptik) baik dalam proses pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan, dan penyimpanan produk makanan olahan agar menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu makanan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas makanan tersebut (Winarno dan Rahayu, 1994). Komponen yang berfungsi sebagai pengawet sebagian besar merupakan senyawa asam, fenol, dan keton. Senyawa asam memiliki ph yang rendah sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme tertentu, sedangkan fenol dan keton pada konsentrasi tertentu dapat merusak dinding sel mikroorganisme. Berdasarkan fungsi tersebut, maka ketiga komponen tersebut dapat digunakan sebagai pengawet yang dapat memperpanjang umur simpan makanan. Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasam, atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Bahan tambahan makanan ini biasanya ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak, atau makanan yang disukai oleh medium tumbuhnya bakteri atau jamur misalnya pada produk daging, buah-buahan, dsb (Winarno dan Rahayu, 1994). Menurut Winarno dan Rahayu (1994), flavour adalah bahan tambahan makanan yang dapat memberikan, menambah, dan mempertegas rasa dan aroma suatu makanan. Komponen yang berfungsi sebagai flavour sebagian besar merupakan senyawa fenol, aldehid, furan, asam, dan keton. Keempatnya merupakan senyawa aromatik yang dapat memberikan kesan aroma maupun rasa pada makanan. Antioksidan adalah bahan tambahan makanan yang digunakan untuk mencegah atau menghambat terjadinya proses oksidasi. Antioksidan bisa digunakan pada minyak, lemak, dan makanan yang mengandung minyak dan lemak, misalnya produk ikan dan daging. Selain itu, juga digunakan pada produk buah dan sari buah dalam kaleng (Winarno dan Rahayu, 1994). Antioksidan digunakan untuk melindungi unsur-unsur yang terdapat dalam makanan terutama lemak serta unsur lain seperti vitamin yang juga perlu untuk dilindungi (Taylor, 198). Senyawa fenol mendominasi fungsi sebagai antioksidan. Beberapa jenis asam dan hidrokarbon dapat juga dijadikan sebagai antioksidan karena berfungsi sebagai zat anti kanker dan biasa terdapat pada tanaman herbal. Pada umumnya, cairan yang mengandung banyak senyawa fenol akan banyak berfungsi sebagai antioksidan. 28