BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT 4.1 Fasies Turbidit adalah suatu sedimen yang diendapkan oleh mekanisme arus turbid (turbidity current), sedangkan arus turbid itu sendiri adalah suatu arus yang memiliki suspensi sedimen dan mengalir pada dasar tubuh cairan, karena mempunyai kerapatan yang lebih besar daripada cairan tersebut (Keunen dan Migliorini, 1950). Aliran gravitasi adalah aliran sedimen atau campuran sedimen fluidadibawah pengaruh gaya berat. Berdasarkan gerakan relatif antar butir dan jaraknya dari sumber,aliran gravitasi dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: aliran turbid (turbidity current), aliran sedimen yang difluidakan(fluidized sediment flow), aliran butir(grain flow), dan aliran debris(debris flow) (Middleton dan Hampton, 1973 dalam Koesoemadinata, 1985). Fasies turbidit adalah semua sedimen yang terendapkan oleh aliran gravitasi dalam lingkungan laut yang relatif dalam dan penyebarannya luas dengan tipe sedimentasi bervariasi mulai dari matrix supported conglomerate sampai graded mudstone yang sangat halus (Mutti dan Ricci Lucchi, 1972). Arus yang menyebabkan endapan ini terbentuk dinamakan arus turbid yang mempunyai densitas yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sekitarnya. Arus ini mampu mentransportasi partikel batuan dan mineral sesuai dengan densitas, kerapatan, dan kepekatannya. Menurut Mutti (1992) berdasarkan produk yang dihasilkannya fasies turbidit dapat dibedakan menjadi tiga tipe aliran yaitu : cohessive debris flow, high density turbidity current, dan low density turbidity current. Asosiasi fasies didefinisikan sebagai suatu kombinasi dua atau lebih fasies yang membentuk suatu tubuh batuan dalam berbagai skala dan kombinasi. Asosiasi fasies ini mencerminkan lingkungan pengendapan atau proses dimana fasies-fasies itu terbentuk (Mutti dan Ricci Luchi, 1972). 29
Berdasarkan penelitian lapangan, sedimen yang tersingkap didaerah penelitian mempunyai karakter endapan turbidit, ditandai oleh stuktur sedimen graded bedding, laminasi sejajar, dan crosslamination. Selain itu, singkapan batuan di daerah penelitian mempunyai urutan vertikal menghalus dan menipis ke atas. Dalam tugas akhir ini penulis mempelajari fasies endapan turbidit berdasarkan klasifikasi Mutti dan Ricci Lucchi (1972). Pada Satuan Batupasir Batulempung daerah penelitian penulis menemukan 3 jenis fasies, yaitu fasies A (Batupasir Konglomeratan), fasies B (Batupasir Masif), dan fasies C (Perselingan Batupasir-Batulempung). 4.1.1 Fasies A ( Batupasir Konglomeratan) Fasies A tersingkap pada interval bawah-tengah Satuan Batupasir- Batulempung, berupa batupasir konglomeratan berwarna abu-abu gelap, pasir sangat kasar-kerikil, membundar-membundar tanggung, pemilahan buruk, kemas terbuka, porositas baik, kompak, sedikit karbonatan, terdapat fragmen berukuran kerikil berupa mineral kuarsa, fragmen batuan andesitik dan banyak terdapat fragmen batulempung berukuran kerikil-berangkal, abu-abu terang (Foto 4.1). Tebal lapisan sekitar 3-10 meter. Berdasarkan karakteristik litologi yang telah dideskripsikan diatas maka ditafsirkan fasies ini terbentuk oleh mekanisme aliran aliran butr (Grain flow). Foto 4.1 Singkapan Fasies A (Batupasir Konglomeratan) 30
4.1.2 Fasies B (Batupasir Masif) Fasies B tersingkap pada interval bawah, tengah, dan sedikit pada interval atas Satuan Batupasir-Batulempung, berupa batupasir berwarna abu-abu gelap, pasir kasar, membundar-membundar tanggung, pemilahan sedang, kemas tertutup, porositas sedang, kompak, sedikit karbonatan, struktur sedimen masif, terdapat fragmen berukuran pasir sangat kasar berupa mineral kuarsa dan fragmen batuan vulkanik berupa batuan andesitik, setempat terdapat fragmen batulempung yang membentuk laminasi sejajar (Foto 4.2). Tebal lapisan sekitar 1-3,8 meter. Berdasarkan karakteristik litologi yang telah dideskripsikan diatas maka ditafsirkan fasies ini terbentuk oleh mekanisme aliran High Density Turbidity Curent. Fragmen Batulempung yang membentuk laminasi sejajar Foto 4.2 Singkapan Fasies B (Batupasir Masif) 4.1.3 Fasies C (Perselingan Batupasir Batulempung) Fasies C terdiri dari perselingan batupasir dengan batulempung (Foto 4.3). Batupasir berwarna abu-abu gelap, pasir halus-sedang, membundar - membundar tanggung, pemilahan baik, kemas tertutup, porositas baik, kompak, tidak karbonatan. Struktur sedimen (Foto 4.4) yang dijumpai adalah graded bedding, laminasi sejajar, setempat terdapat crosslamination yang merupakan urutan sekuen Bouma Ta-Tc (Gambar 4.1), load cast, dan flame structure. Ketebalan lapisan batupasir sekitar 10-31
40cm. Batulempung berwarna abu-abu gelap, tidak karbonatan, getas. Ketebalan lapisan batulempung sekitar 5-10 cm. Suksesi vertikal pada perselingan batupasir batulempung adalah menghalus ke atas dan menipis ke atas (fining and thinning upward). Fasies C tersingkap pada interval bawah, tengah, dan semakin tebal pada interval atas Satuan Batupasir Batulempung. Berdasarkan karakteristik litologinya maka ditafsirkan fasies ini terbentuk oleh mekanisme aliran Low Density Turbidity Curent. U S Load Cast U S S U Foto 4.3 Singkapan Fasies C (Perselingan Batupasir Batulempung) 32
U S a b c d Foto 4.4 Struktur Sedimen pada Perselingan Batupasir Batulempung a. Struktur sedimen graded bedding b. Struktur sedimen laminasi sejajar c. Struktur sedimen crosslamination d. Struktur sedimen load cast e. Struktur sedimen flame structure e 33
Gambar 4.1 Urutan struktur sedimen pada lapisan turbidit ideal menurut Bouma(1962, after Midleton dan Hampton, 1978 dalam Reineck dan Singh 1980) 4.2 Korelasi Penampang Stratigrafi Daerah penelitian dapat dikorelasikan dari lintasan PCB,CBG, dan CTHB dengan mengkorelasikan urutan-urutan siklus pengendapannya (Lampiran E). Sumber sedimentasi daerah penelitian berasal dari arah selatan ke arah utara. Berdasarkan korelasi tersebut, secara umum dapat ditemukan empat pola sedimentasi. Pola pertama adalah pola sedimentasi yang didominasi oleh perselingan batupasirbatulempung (fasies C) dan sedikit fasies B. Pola ini terbentuk oleh mekanisme Low Density Turbidity Current. Secara lateral terlihat pola pertama mempunyai endapan sedimentasi yang relatif semakin menebal ke arah utara, sehingga dapat ditafsirkan pola sedimentasi adalah progradasi. Pola kedua dicirikan oleh dominasi batupasir konglomeratan (fasies A) yang terbentuk oleh mekanisme grain flow. Secara lateral 34
terlihat pola kedua mempunyai endapan sedimentasi dengan ketebalan yang relatif sama ke arah utara, sehingga dapat ditafsirkan pola sedimentasi adalah agradasi. Pola ketiga dicirikan oleh dominasi batupasir masif (fasies B) yang terbentuk oleh mekanisme High Density Turbidity Current. Secara lateral terlihat pola ini mempunyai endapan sedimentasi yang relatif semakin menipis ke arah utara dan secara vertikal fasies B mempunyai pola yang semakin menipis ke atas, sehingga dapat ditafsirkan pola sedimentasi adalah retrogradasi. Pola keempat dicirikan oleh dominasi perselingan batupasir-batulempung, yang terbentuk oleh mekanisme Low Density Turbidity Current. Secara lateral terlihat pola ini mempunyai endapan sedimentasi yang relatif semakin tipis ke arah utara, sehingga dapat ditafsirkan pola sedimentasi adalah retrogradasi. Secara keseluruhan pola sedimentasi daerah penelitian terdiri dari beberapa siklus sedimentasi. Berdasarkan korelasi penampang stratigrafi pola pertama terdiri dari satu kali siklus sedimentasi, pola kedua terdiri dari lima kali siklus sedimentasi, pola ketiga terdiri dari tujuh kali siklus sedimentasi, dan pola keempat terdiri dari 5 kali siklus sedimentasi. Proses sedimentasi daerah penelitian dapat ditafsirkan merupakan mekanisme aliran gravitasi yang berulang ulang atau saling bertumpuk. Oleh karena itu, dapat ditafsirkan bahwa proses sedimentasi terjadi karena pengaruh longsoran dari dinding gunung api bawah laut yang berada di selatan daerah penelitian. 4.3 Analisis Fasies Asosiasi fasies didefinisikan sebagai suatu kombinasi dua atau lebih fasies yang membentuk suatu tubuh batuan dalam berbagai skala dan kombinasi. Asosiasi fasies ini mencerminkan lingkungan pengendapan atau proses dimana fasies-fasies itu terbentuk (Mutti dan Ricci Luchi, 1972). Berdasarkan analisis fasies dan korelasi penampang stratigrafi daerah penelitian dapat dikelompokkan menjadi empat asosiasi 35
fasies yaitu : asosiasi fasies I, asosiasi fasies II, asosiasi fasies III, dan asosiasi fasies IV. 4.2.1 Asosiasi Fasies I Asosiasi fasies I terdapat di bagian bawah satuan batupasir batulempung. Asosiasi fasies I terdiri dari Fasies B dan Fasies C (Gambar 4.2). Asosiasi fasies ini dicirikan oleh dominasi fasies C (perselingan batupasir-batulempung). Berdasarkan karakteristik litologi maka ditafsirkan asosiasi fasies I terbentuk oleh mekanisme Low Density Turbidity Current. Secara lateral asosiasi fasies I mempunyai endapan yang relatif semakin menebal ke arah utara, sehingga dapat ditafsirkan proses sedimentasi adalah progradasi. Suksesi vertikal yang terdapat pada perselingan batupasirbatulempung adalah menghalus ke atas dan menipis ke atas ( fining upward dan thining upward). Hasil analisis mikropaleontologi dengan kode sampel Cbg VI (Lampiran B) ditemukan foraminifera planktonik berupa Globigerina venezuelana, Globigerinoides binaiensis, Catasydrax dissimilis, dan Globorotalia peripheroronda, sedangkan fosil foraminifera bentonik adalah Egerella sp., Nodosaria sp., Uvigerina peregrina. Fosil foraminifera bentonik yang ditemukan pada asosiasi fasies I menunjukkan lingkungan pengendapan batial atas. 36
C B C B Globigerina venezuelan a, Globigerina primordius, Globigerina binaiensis,g lobigerina tripartita, Globigerina selli, Globigerina praebulloid es Gambar 4.2 Profil Asosiasi Fasies I 37
4.2.2 Asosiasi Fasies II Asosiasi fasies II terdapat di bagian bawah-tengah satuan batupasir batulempung. Asosiasi fasies II terdiri dari Fasies A, Fasies B, dan Fasies C (Gambar 4.3). Asosiasi fasies ini dicirikan oleh dominasi fasies A (batupasir konglomeratan). Asosiasi fasies ini membutuhkan arus yang mempunyai densitas yang sangat tinggi untuk mengendapkan batupasir konglomeratan dan batupasir masif, kemudian perselingan tipis batupasir- batulempung terendapkan diakhir siklus pengendapan ketika densitas arus nya berkurang. Berdasarkan pengukuran penampang stratigrafi didapatkan beberapa siklus sedimentasi. Hal ini ditandai oleh perulangan pembentukkan batupasir konglomeratan diawal siklus sedimentasi dan pembentukkan perselingan tipis batupasir batulempung diakhir siklus sedimentasi. Berdasarkan karakteristik litologi yang telah dideskripsikan di atas maka ditafsirkan asosiasi fasies ini terbentuk oleh mekanisme utamanya adalah aliran butir (grain flow). Secara lateral asosiasi fasies II mempunyai ketebalan yang sama sehingga dapat ditafsirkan proses sedimentasi adalah agradasi. Suksesi vertikal yang terdapat pada perselingan batupasir-batulempung adalah menghalus ke atas dan menipis ke atas ( fining upward dan thining upward). Hasil analisis mikropaleontologi dengan kode sampel Cbg VII (Lampiran B) ditemukan foraminifera planktonik berupa Globigerina praebulloides leroyi, Globorotalia obesa, dan Globorotalia peripheroronda, sedangkan fosil foraminifera bentonik berupa Uvigerina peregrina, Gyroidina sp., Bolivina sp., dan Cassidulina sp.. Fosil bentonik yang ditemukan pada asosiasi fasies I menunjukkan lingkungan pengendapan batial atas. 38
Gambar 4.3 Profil Asosiasi Fasies II 39
4.2.2 Asosiasi Fasies III Asosiasi fasies III terdapat dibagian tengah Satuan Batupasir-Batulempung atau diatas asosiasi fasies II. Asosiasi fasies III terdiri dari Fasies B (batupasir masif). dan Fasies C (perselingan batupasir batulempung) (Gambar 4.4). Asosiasi fasies ini dicirikan oleh dominasi fasies B dan menghilangnya batupasir konglomeratan (fasies A). Siklus sedimentasi pada asosiasi fasies ini diawali oleh pengendapan batupasir masif dan diakhiri oleh pengendapan perselingan tipis batupasir-batulempung. Hal ini menunjukkan bahwa densitas arus secara umum telah berkurang dibandingkan asosiasi fasies II dengan ditandai oleh tidak terbentuknya batupasir konglomeratan. Walaupun densitas arus telah berkurang dibandingkan asosiasi fasies II, akan tetapi densitas arus masih tinggi dengan terbentuknya batupasir masif dengan ukuran butir pasir kasar. Berdasarkan pengukuran penampang stratigrafi didapatkan beberapa kali siklus sedimentasi. Berdasarkan karakteristik litologi yang telah dideskripsikan diatas maka ditafsirkan asosiasi fasies ini terbentuk oleh mekanisme aliran High Density Turbidity Curent Low Density Turbidity Curent. Secara lateral Asosiasi fasies III mempunyai endapan sedimentasi yang semain menipisl ke arah utara, sehingga ditafsirkan proses sedimentasi adalah retrogradasi. Suksesi vertikal yang ditemukan pada perselingan tipis batupasir-batulempung adalah menghalus ke atas dan menipis ke atas ( fining upward dan thining upward). Hasil analisis mikropaleontologi dengan kode sampel Cbg VIII dan Cbg IX(Lampiran B) tidak ditemukan fosil foraminifera atau Barren fossil. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kecepatan sedimentasi dan peningkatan jumlah suplai sedimentasi yang mengakibatkan fosil tidak dapat hidup. 4.2.2 Asosiasi Fasies IV Asosiasi fasies IV terdapat dibagian tengah sampai atas Satuan Batupasir- Batulempung. Asosiasi fasies IV terdiri oleh Fasies C (perselingan batupasir batulempung) yang dominan dan sedikit Fasies B (batupasir masif) (Gambar 4.5). 40
Asosiasi fasies ini dicirikan oleh semakin dominannya perselingan tipis batupasirbatulempung dan semakin berkurangnya batupasir masif. Hal ini menunjukkan densitas arus semakin berkurang dibandingkan asosiasi fasies II dan III. Berdasarkan pengukuran penampang stratigrafi didapatkan beberapa kali siklus sedimentasi. Berdasarkan karakteristik litologi yang telah dideskripsikan diatas maka ditafsirkan asosiasi fasies ini terbentuk oleh mekanisme aliran High Density Turbidity Current Low Density Turbidity Curent. Secara lateral asosiasi fasies IV mempunyai endapan sedimentasi yang semakin menipis ke arah utara, sehingga dapat ditafsirkan proses sedimentasi adalah retrogradasi. Suksesi vertikal yang ditemukan pada perselingan tipis batupasir-batulempung adalah menghalus ke atas dan menipis ke atas ( fining upward dan thinning upward). Hasil analisis mikropaleontologi dengan kode sampel Cbg X (Lampiran B) tidak ditemukan fosil foraminifera atau barren fossil, sedangkan pada kode sampel Cbg XI (Lampiran B) yang berada lebih diatas sampel Cbg X ditemukan kembali fosil foraminifera planktonik dalam jumlah yang sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan arus masih berlangsung cepat dan suplai sedimentasi masih tinggi, akan tetapi kemudian berkurang dengan ditandai oleh kembali ditemukannya fosil foraminifera walaupun dalam jumlah sedikit. 41
Cbg VIII Barren fossil Gambar 4.4 Profil Asosiasi Fasies III 42
Cbg XI Globigerina praebullioides leroyi Globigerinoid e des obliquu s s obliquus Cbg XI Barren Fossil Gambar 4.5 Profil Asosiasi Fasies IV 43
4.4 Model Sedimentasi Daerah Penelitian Daerah penelitian terletak di Cekungan Bogor dan termasuk ke dalam Formasi Citarum. Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Martodjojo (1984), menyatakan bahwa umur Formasi Citarum hampir sama dengan umur Formasi Jampang yang terletak di selatan dan dianggap merupakan deretan gunung api. Akibatnya, morfologi bawah laut pada waktu Miosen Awal (N5-N8) di bagian selatan merupakan tinggian yang terdiri dari deretan gunung api bawah laut (Formasi Jampang) dan menurun ke arah utara ke Cekungan Bogor, Sehingga morfologi tersebut dapat menyebabkan gerakan batuan berupa longsoran (Menyerupai lahar di darat) serta pembentukan kipas laut dalam (Martodjojo 1984) (Gambar 4.6). Pada penelitiannya, Martodjojo (1984) menyatakan bahwa Formasi Citarum merupakan endapan distal dari suatu kipas laut dalam yang berkembang ke atas makin proksimal. Daerah Penelitian Gambar 4.6 Paleogeografi kala Miosen Awal (Martodjojo, 1984) Berdasarkan penelitian lapangan, dapat disimpulkan bahwa proses sedimentasi daerah penelitian diendapkan oleh mekanisme aliran gravitasi. Hal ini dicirikan oleh adanya variasi singkapan batuan yang ditemukan di daerah penelitian mulai dari Batupasir konglomeratan dengan fragmen batulempung berukuran kerikil berangkal sampai perselingan tipis batupasir batulempung. Selain itu, adanya 44
struktur sedimen yang memperlihatkan urutan sekuen Bouma (Ta-Tc) yaitu: struktur sedimen graded bedding, laminasi sejajar, dan crosslamination serta suksesi vertikal yang dijumpai adalah menghalus dan menipis ke atas (fining dan thinning upward) yang mencirikan endapan turbidit. Berdasarkan analisis petrografi (Lampiran A) batuan pada daerah penelitian banyak mengandung material vulkanik, hal ini menunjukkan bahwa aktifitas vulkanisme mempengaruhi proses pengendapan batuan di daerah penelitian. Pada interval paling atas Satuan Batupasir Batulempung ditemukan lapisan tuf. Mekanisme pengendapan lapisan tuf ditafsirkan merupakan produk jatuhan dari gunung api bawah laut, kemudian endapan tuf tersebut mengalami longsor dan terendapkan kembali dengan membentuk lapisan dengan ketebalan sekitar 10-50 cm. Menurut Martodjojo (1984), aktifitas vulkanisme masih berasal dari selatan daerah penelitian yakni berasal dari gunungapi vulkanik bawah laut yang telah muncul ke permukaan. Berdasarkan korelasi penampang stratigrafi daerah penelitian dapat dibagi menjadi empat asosiasi fasies, yaitu asosiasi fasies I(progradasi), asosiasi fasies II(agradasi), asosiasi fasies III(retrogradasi), dan asosiasi fasies IV(retrogradasi). Perubahan proses sedimentasi dari progradasi menjadi agradasi kemudian menjadi retrogradasi disebabkan oleh adanya perubahan suplai sedimen dan kekuatan arus di daerah penelitian. Kandungan material vulkanik pada singkapan batuan di daerah penelitian serta adanya perulangan antara perselingan batupasir konglomeratan, batupasir masif dan perselingan batupasir batulempung yang saling bertumpuk atau berulang ulang mengindikasikan bahwa proses pengendapan batuan di daerah penelitian merupakan dipengaruhi oleh aliran sedimentasi dari gunung api bawah laut. Proses pengendapan sedimentasi di daerah penelitian terdiri dari beberapa proses, yaitu proses progradasi, proses agradasi, dan terakhir proses retrogradasi (Gambar 4.7, 4.8, 45
dan 4.9). Hasil analisis mikropaleontologi (Lampiran B) terjadi perubahan jumlah kandungan fosil foraminifera di daerah penelitian. Pada Satuan Batulempung dan interval bawah Satuan Batupasir Batulempung jumlah kandungan fosil foraminifera melimpah, sedangkan pada interval tengah Satuan Batupasir Batulempung jumlah kandungan fosil foraminifera berkurang bahkan semakin ke atas tidak ditemukan fosil foraminifera. Fosil foraminifera planktonik kembali ditemukan pada interval paling atas dalam jumlah yang sedikit, sedangkan fosil foraminifera bentonik tidak ditemukan. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa kecepatan sedimentasi pada proses pengendapan batuan di daerah penelitian berubah semakin cepat ke arah interval atas dengan suplai sedimen yang semakin banyak sehingga fosil foraminifera tidak bisa hidup. Kecepatan sedimentasi dan suplai sedimen berkurang pada interval paling atas dengan ditemukannya kembali fosil foraminifera planktonik walaupun dalam jumlah yang sedikit. 46
Gambar 4.7 Model Pola Sedimentasi Daerah Penelitian I 47
Gambar 4.7 Model Pola Sedimentasi Daerah Penelitian II 48
Gambar 4.9 Model Pola Sedimentasi Daerah Penelitian III 49