BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang situasi manajemen tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita diproduksi

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam manajemen keuangan daerah, reformasi ditandai dengan pelaksanaan otonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. semenjak diberlakukannya Undang-Undang N0. 22 tahun 1992 yang di revisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

N A S K A H P U B L I K A S I

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB ll TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif dan publik.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Nomor No.12 tahun 2008 (revisi UU no.32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

PENDAHULUAN. yang sangat besar, terlebih lagi untuk memulihkan keadaan seperti semula. Sesuai

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

PENGARUH BELANJA MODAL DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP PENDAPATAN PER KAPITA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah serta kemungkinan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik

BAB I PENDHULUAN. kebijakan otonomi daerah yang telah membawa perubahan sangat besar terhadap

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Stewardship Penelitian ini menggunakan teori Stewardship yang menjelaskan tentang situasi manajemen tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu melainkan lebih ditujukan pada sasaran hasil utama mereka untuk kepentingan organisasi (Donaldson dan Davis, 1991). Teori ini menggambarkan tentang adanya hubungan yang kuat antara kepuasan dan kesuksesan organisasi. Pemerintah selaku steward dengan fungsi pengelola sumber daya dan rakyat selaku principal pemilik sumber daya. Terjadi kesepakatan yang terjalin antara pemerintah (steward) dan masyarakat (principal) berdasarkan kepercayaan, kolektif sesuai tujuan organisasi. Organisasi sektor publik memiliki tujuan memberikan pelayanan kepada public dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (public). Sehingga dapat diterapkan dalam model kasus organisasi sector public dengan teori stewardship. Teori ini merupakan penatalayanan dimana kaitannya terhadap organisasi didalam kepemerintahan. Putro (2013) menyatakan teori stewardship mengasumsikan hubungan yang kuat antara kesuksesan organisasi dengan kepuasan pemilik. Pemerintah akan berusaha maksimal 12

13 dalam menjalankan pemerintah untuk mencapai tujuan pemerintah yaitu meningkatkan kesejahtraan rakyat. 2. Teori Akuntabilitas Akuntabilitas merupakan konsep yang lebih luas dari stewardship. Stewardship mengacu pada pengelolaan atas suatu aktivitas secara ekonomis dan efisien tanpa dibebani kewajiban untuk melaporkan, sedangkan akuntabilitas mengacu pada pertanggungjawaban oleh steward kepada pemberi tanggung jawab (Mardiasmo, 2002). Oleh karena itu, akuntabilitas merupakan bentuk pertanggungjawaban antara satu pihak dengan pihak lainnya. Akuntabilitas adalah suatu kewajiban atau keharusan untuk memberikan pertanggungjawaban mengenai penjelasan kinerja beserta tindakan pimpinan pada suatu organisasi kepada pihak yang memiliki wewenang dan hak untuk memperoleh keterangan pertanggungjawaban (Faridah dan Suryono, 2016). Berdasarkan teori akuntabilitas dapat diketahui bahwa organisasi diberi kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban mengenai pengendalian sumber daya yang digunakan organisasi. Adanya pengendalian yang baik memungkinkan organisasi untuk memberikan pertanggungjawaban yang lebih baik dan relevan dengan keadaan yang sebenarnya. 3. Pendapatan Asli Daerah Salah satu pendapatan daerah adalah berasal dari pendapatan asli daerah. Dana-dana yang bersumber dari pendapatan asli daerah tersebut merupakan salah satu faktor penunjang dalam melaksanakan kewajiban daerah

14 untuk membiayai belanja rutin serta biaya pembangunan daerah, dan juga merupakan alat untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas daerah guna menunjang pelaksanaan pembangunan daerah, serta untuk mengatur dan meningkatkan kondisi sosial ekonomi pemakai jasa tersebut. Tentu dalam hal ini tidak terlepas dari adanya badan yang menangani atau yang diberi tugas untuk mengatur hal tersebut (Yovita, 2011). Pendapatan Asli Daerah ini diharapkan mampu untuk membantu keuangan daerah dalam proses otonomi yang dilakukan. Pendapatan Asli Daerah tentu berbeda-beda disetiap daerah, mengingat kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan itu tergantung dari besarnya potensi sumber daya alam yang dimilikinya dan juga potensi dari daerah itu untuk mengelolanya. PAD bersumber dari : a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah c. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan d. Lain-lain PAD yang sah. Lain-lain PAD yang sah meliputi : a. Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan b. Jasa giro c. Pendapatan bunga d. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah e. Penerimaan komisi, potongan atau bentuk lain sebagai akibat dari penjualan, pengadaan barang, dan jasa oleh daerah

15 f. Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan h. Pendapatan denda pajak i. Pendapatan denda retribusi j. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan. Daerah yang mempunyai sarana dan prasarana yang memadai dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya pada daerah tersebut, sehingga akan menambah PAD. Sumber keuangan yang berasal dari pendapatan asli daerah didalam pelaksanaan otonomi daerah lebih penting dibandingkan dengan sumber-sumber diluar pendapatan asli daerah, karena pendapatan asli daerah dapat dipergunakan sesuai dengan prakarsa dan inisiatif daerah sedangkan bentuk pemberian pemerintah (non PAD) sifatnya lebih terikat.adanya penggalian dan peningkatan pendapatan asli daerah diharapkan pemerintah daerah juga mampu meningkatkan kemampuannya dalam penyelenggaraan urusan daerah (Damang, 2011). Kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai sumber utama pendapatan daerah yang dapat dipergunakan oleh daerah dalam rnelaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai dengan kebutuhannya guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana dan pemerintah tingkat atas (subsidi). Hal ini berarti usaha peningkatan pendapatan asli daerah seharusnya dilihat dari perspektif yang Iebih luas tidak hanya ditinjau dan segi daerah masing-masing tetapi daham kaitannya dengan

16 kesatuan perekonomian Indonesia. Pendapatan asli daerah itu sendiri, dianggap sebagai alternatif untuk memperoleh tambahan dana yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan pengeluaran yang ditentukan oleh daerah sendiri khususnya keperluan rutin. Oleh karena itu peningkatan pendapatan tersebut merupakan hal yang dikehendaki setiap daerah (Damang, 2011). 4. Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan transfer sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap daerah otonom di dalam setiap tahunnya sebagai dana yang diguanakan untuk pembangunan. Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan komponen belanja dan komponen pendapatan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah sebagai pendanaan kebutuhan daerah otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU digolongkan menjadi DAU untuk daerah provinsi dan DAU untuk daerah kabupaten/kota. Besarnya DAU diterapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang dterapkan dalam APBN. DAU ini merupakan seluruh alokasi umum daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Pembagian dana untuk daerah melalui bagi hasil berdasarkan daerah penghasil cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar namun kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU yang relatif kecil. Sebaliknya daerah yang memiliki potensi fiskalnya kecil namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh

17 alokasi DAU relatif besar, dengan maksud melihat kemampuan APBD dalam membiayai kebutuhan-kebutuhan daerah dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi dengan belanja pegawai (Halim, 2009). Ketimpangan ekonomi antara satu Provinsi dengan Provinsi lain tidak dapat dihindari dengan adanya desentralisasi fiskal, disebabkan oleh minimnya sumber pajak dan Sumber Daya Alam yang kurang dapat digali oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat berinisiatif memberikan subsidi berupa DAU kepada daerah untuk menanggulangi ketimpangan tersebut. Bagi daerah yang tingkat kemiskinanya lebih tinggi, akan diberikan DAU lebih besar dibanding daerah yang kaya dan begitu juga sebaliknya. DAU akan memberikan kepastian bagi daerah dalam memperoleh sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab masing-masing daerah. Dasar hukum yang melandasi DAU adalah Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 5. Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintahan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK termasuk dana perimbangan, di samping Dana Alokasi Umum (DAU). Jumlah DAK yang telah ditetapkan di dalam setiap tahunnya, didasarkan oleh

18 pengeluaran yang disesuaikan dengan kebutuhan.dak dapat dialokasikan untuk membantu pembiayaan kebutuhan khusus. Kebutuhan khusus merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa diduga/diperkirakan secara umum. Kegiatan yang di luar DAK yaitu biaya persiapan proyek fisik, biaya administrasi, biaya perjalanan pegawai daerah, biaya penelitian serta biaya lain-lain umum yang sejenis. Tujuan Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah: a. Menunjang adanya pembangunan sarana dan prasarana di daerah daerah tertinggal dan terpincil, pesisir dan pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan banjir/longsor, serta daerah ketahanan pangan dan daerah pariwisata. b. Peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan diversifikasi ekonomi di daerah pedesaan, melalui kegiatan khusus di bidang pertanian, kelautan dan perikanan, serta infrastruktur yang lainnya. c. Mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang telah merupakan urusan daerah. d. Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang terkena dampak pemekaran pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi melalui kegiatan khusus di bidang prasarana pemerintahan. e. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan prasarana dasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. f. Mengalihkan secara bertahap tugas pembantuan yang digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan daerah ke DAK.

19 Dana yang dialihkan berasal dari anggaran Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan. g. Meningkatkan kualitas hidup, mencegah kerusakan lingkungan hidup, dan pengurangan risiko bencana, serta meningkatkan pelayanan sarana dan prasarana. h. Meningkatkan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari DAK dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementrian/Lembaga dan kegiatan yang didanai dari APBD. Menurut UU yang baru (UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004), wilayah yang menerima DAK harus menyediakan dana penyesuaian paling tidak 10% dari DAK yang ditransfer ke wilayah, dan dana penyesuaian ini harus dianggarkan dalam anggaran daerah (APBD). Meskipun demikian, wilayah dengan pengeluaran lebih besar dari penerimaan tidak perlu menyediakan dana penyesuaian. Tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua daerah menerima DAK karena DAK bertujuan untuk pemerataan dan untuk meningkatkan kondisi infrastruktur fisik yang dinilai sebagai prioritas nasional. Dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran kementerian negara, yang digunakan untuk melaksanakan urusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi dana alokasi khusus. Dana alokasi khusus digunakan untuk menutup kesenjangan pelayanan publik antardaerah dengan memberi prioritas pada bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana pemerintahan daerah, dan lingkungan hidup (Sulistyowati, 2011).

20 6. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indeks yang dipergunakan untuk mengukur pencapaian hasil dari pembangunan suatu daerah atau wilayah. IPM dihitung berdasarkan data yang dapat menggambarkan keempat komponen yaitu angka harapan hidup yang mewakili bidang kesehatan; angka melek huruf dan rata-rata lamanya bersekolah mengukur capaian pembangunan di bidang pendidikan dan kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. 7. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita diproduksi dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Satu-satunya ukuran yang paling penting dalam konsep ekonomi adalah produk domestik bruto (PDB) yang mengukur total nilai barang dan jasa yang dihasilkan pada suatu negara atau nasional. PDRB untuk mengukur total nilai barang dan jasa yang dihasilkan pada suatu daerah atau lokal. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan sarana dan prasarana, antara lain sumber daya alam, tenaga kerja, investasi modal,

21 kewirausahaan, transportasi, komunikasi, komposisi sektor industri, teknologi, pasar ekspor, situasi perekonomian internasional, kapasitas pemerintah daerah, pengeluaran pemerintah dan dukungan pembangunan. Dalam pemerintah daerah, pembangunan sarana dan prasarana berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi (Darwanto, 2007). Syarat fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertumbuhan penduduk. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan dan perbaikan infrastruktur untuk pelayanan kepada publik dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah. 8. Proporsi Belanja Modal Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi (Halim, 2007). Proporsi belanja modal merupakan persentase dari pengalokasian belanja modal. Menurut Kementrian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Anggaran, Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dam aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Belanja modal

22 digunakan untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah seperti peralatan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Cara mendapatkan belanja modal dengan membeli melalui proses lelang atau tender. Aset tetap yang dimiliki pemerintah daerah sebagai akibat adanya belanja modal merupakan syarat utama dalam memberikan pelayanan publik. Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintah daerah sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara financial (Ardhani, 2011). Sedangkan menurut PSAP Nomor 2, Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Selanjutnya pada pasal 53 ayat 2 Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 ditentukan bahwa nilai asset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal sebesar harga beli/bangun asset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan asset sampai asset tersebut siap digunakan. Kemudian pada pasal 53 ayat 4 Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 disebutkan bahwa Kepala Daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi sebagai dasar pembebanan belanja modal selain memenuhi batas minimal juga pengeluaran anggaran untuk belanja barang tersebut harus memberi manfaat lebih satu periode akuntansi bersifat tidak rutin. Ketentuan hal ini sejalan dengan PP 24 Tahun 2004 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan khususnya PSAP No 7, yang mengatur tentang akuntansi asset tetap. Belanja modal merupakan

23 pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah asset tetap dan asset lainnya yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi asset tetap atau asset lainnya yang ditetapkan pemerintah. UU Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Maksud pernyataan tersebut adalah belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan jaminan sosial dengan mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolak ukur kinerja dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap

24 oleh pemerintah daerah sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial (Halim & Abdullah, 2006). Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemerintah daerah yaitu peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya. B. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu memuat penelitian yang dilakukan sebelumnya yang juga menjadi dasar pemikiran penulis dalam penyusunan penelitian. Sebelumnya telah dilakukan penelitian oleh penelitian yang dilakukan oleh (Lingga Swastika, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap alokasi anggaran belanja modal, pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap alokasi anggaran belanja modal dan pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap alokasi anggaran belanja modal periode tahun 2005-2012 pada kabupaten Boyolali. Berdasarkan data yang terkait maka H1Gagal Ditolak, artinya pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. H2 mengasumsikan bahwa semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka pengalokasian anggaran belanja modal akan menurun,maka H2 Gagal Diterima, artinya pendapatan asli daerah tidak berpengaruh negatif terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Pada data hipotesis ketigamengasumsikan bahwa semakin tinggi pendapatan asli daerah maka pengalokasian anggaran belanja modal akan menurun dan sebaliknya,maka H3 Gagal Ditolak, artinya dana alokasi umum berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Hal

25 ini mengasumsikan bahwa semakin tinggi dana alokasi umum maka pengalokasian anggaran belanja modal akan naik, dan sebaliknya. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh (Dian Novita Sari, 2015) penelitian inimenguji signifikansi pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Alokasi belanja modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Periode 2011-2013 diperoleh adanya pengaruh yang positif dan tidak signifikan Dana Alokasi Umum terhadap Alokasi belanja modal. Pengujian signifikansi pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap Alokasi belanja modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Periode 2011-2013 diperoleh adanya pengaruh yang positif dan signifikan Dana Alokasi Khusus terhadap Alokasi belanja modal. Pengujian signifikansi pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Alokasi belanja modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Periode 2011-2013 diperoleh adanya pengaruh yang positif dan signifikan Pendapatan Asli Daerah terhadap Alokasi belanja modal. Hasil analisis uji F diperoleh adanya pengaruh yang signifikan variabel bebas yaitu Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah secara simultan terhadap variabel terikat yaitu Alokasi belanja modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Periode 2011-2013. Kesit Bambang Prakosa (2004) menyatakan bahwa pada penelitiannya menggunakan secara empiris penelitian ini membuktikan bahwa besarnya Belanja Daerah dipengaruhi oleh jumlah Dana Alokasi Umum yang diterima dari Pemerintah Pusat. Dari hasil penelitian tersebut, menunjukan bahwa Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap belanja

26 daerah. Dalam model prediksi belanja daerah, daya prediksi DAU terhadap BJD tetap lebih tinggi dibanding daya prediksi PAD. Setyowati dan Suparwati (2012) menjelaskan Pertumbuhan Ekonomi (PE) terbukti tidak berpangaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM). Dana Alokasi Umum (DAU) terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM). Dana Alokasi Khusus (DAK) terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM).Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM) yang diproksikan dengan Belanja Modal (BM) terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM). C. Hipotesis 1. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Proporsi Belanja Modal Penerimaan daerah akan mempengaruhi anggaran belanja pemerintah daerah. Dalam hal ini pengeluaran berbanding lurus dengan penerimaan. Salah satu yang menjadi tujuan utama dalam desentralisasi fiskal adalah menciptakan kemandirian suatu daerah. Pemerintah daerah harus menggali sumber-sumber keuangan lokal secara efektif dan optimal, terutama melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Mardiasmo (2002) menyatakan: Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah. Semakin tinggi

27 PAD, maka dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan semakin tinggi yang akan mempengaruhi tingkat kemandirian daerah. Sehingga jika PAD meningkat, maka kemampuan daerah untuk melakukan suatu pengeluaran proporsi belanja modal juga akan mengalami peningkatan. Sugiarthi dan Supadmi (2014) menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif signifikan pada belanja modal di Kabupaten/Kota Provinsi Bali tahun anggaran 2007-2011. Nuarisa (2013) menyatakan bahwa PAD berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal, DAU berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal dan DAK berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Darwanto dan Yulia (2007) menyatakan bahwa PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Temuan ini dapat mengindikasikan bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor penentu dalam menentukan belanja modal. Hal ini sesuai dengan PP No 58 tahun 2005 yang menyatakan bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan. Setiap penyusunan APBD, proporsi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan mempertimbangkan PAD yang diterima. Sehingga apabila Pemda ingin meningkatkan belanja modal untuk pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, maka Pemda harus menggali PAD yang sebesar-besarnya. Berdasarkan landasan teori dan beberapa hasil penelitian diatas maka hipotesis berikutnya adalah sebagai berikut :

28 H1: Pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap proporsi belanja modal. 2. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Proporsi Belanja Modal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat, Pemerintah Pusat akan mentransfer dana perimbangan baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun Dana Bagi Hasil (DBH). Dana Alokasi Umum diperuntukkan untuk belanja pegawai dan selebihnya tergantung pemerintah daerah untuk pengalokasiannya baik untuk belanja barang dan jasa maupun belanja modal.sejak diterapkannya desentralisasi fiskal, pemerintah pusat mengharapkan agar daerah dapat mengelola sumber daya yang dimiliki sehingga tidak hanya mengandalkan Dana Alokasi Umum (DAU). Di beberapa daerah peran dana alokasi umum sangat signifikan karena kebijakan belanja daerah lebih didominasi oleh jumlah dana alokasi umum dari pada pendapatan asli daerah (Sidik, 2002). Setiap transfer dana alokasi umum yang diterima daerah akan ditujukkan untuk belanja pemerintah daerah termasuk untuk belanja modal, maka tidak jarang apabila pemerintah daerah menetapkan rencana pendapatan secara pesimis dan rencana belanja cenderung optimis supaya transfer dana alokasi umum yang diterima daerah lebih besar. Prakoso (2004) memperoleh temuan empiris yang sama bahwa jumlah belanja modal dipengaruhi oleh dana alokasi umum yang diterima dari pemerintah pusat. Susilo dan Adi

29 (2007) semakin memperkuat kecenderungan ini. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana perimbangan dari pemerintah pusat (DAU) menjadi semakin tinggi. Hal ini memberikan adanya indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi sumber dana alokasi umum ini. Berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan semakin tinggi DAU maka alokasi belanja modal juga meningkat. Hal ini disebabkan karena daerah yang memiliki pendapatan (DAU) yang besar maka proporsi untuk anggaran belanja daerah (belanja modal) akan meningkat. Berdasarkan konsep dan penelitian terdahulu diatas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: H2: Dana alokasi umum berpengaruh positif terhadap proporsi belanja modal. 3. Pengaruh Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Proporsi Belanja Modal Dana transfer dari pemerintah selain Dana Alokasi Umum juga berupa dana alokasi khusus (DAK). DAK diperuntukkan untuk belanja daerah sesuai dengan ketentuan umum dari pusat. Tujuan DAK untuk mengurangi beban biaya kegiatan khusus yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah. Pemanfaatan DAK diarahkan kepada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan publik dengan umur ekonomis panjang, dengan diarahkannya pemanfaatan DAK untuk kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik yang direalisasikan dalam belanja modal (Ardhani, 2011). Holtz-Eakin

30 (1985) pada penelitian empirisnya menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah. Gamkhar dan Oates (1996) menyatakan bahwa pengurangan jumlah transfer menyebabkan penurunan dalam pengeluaran daerah. Sukri dan Halim (2004) menyatakan perbedannya yang menemukan bukti empiris bahwa dalam jangka panjang transfer dari pemerintah pusat dapat menyebabkan penurunan dalam alokasi belanja daerah dan DAK berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Anggiat Situngkir (2009) menunjukkan pada penelitiannya bahwa DAK berpengaruh positif dan signifikan terhadap anggaran belanja modal, DAK merupakan salah satu sumber pendanaan untuk belanja modal. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara pemberian dana transfer dari pemerintah pusat (DAK) dengan proporsi pengeluaran daerah melalui belanja modal. Berdasarkan konsep dan penelitian terdahulu di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut : H3: Dana alokasi khusus berpengaruh positif terhadap proporsibelanja modal. 4. Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Proporsi Belanja Modal Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Kualitas pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakannya sangat dipengaruhi oleh tingkat pembangunan dari daerah tersebut. Semakin tinggi tingkat pembangunan suatu daerah atau

31 wilayah, maka semakin kecil pula belanja modal yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Dengan adanya tingkat pembangunan yang tinggi tersebut pemerintah tidak perlu mengeluarkan banyak pengeluaran untuk melengkapi infrastruktur infrastruktur pada daerah tersebut. Karena pada daerah tingkat pembangunan yang tinggi, infrastruktur pada daerah tersebut lebih lengkap dibandingkan dengan daerah dengan tingkat pembangunan yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari lamanya hidup, tingkat pendidikan, dan standar hidup yang lebih tinggi pada daerah dengan indeks pembangunan manusia yang lebih tinggi daripada daerah yang memiliki indeks pembangunan manusia yang lebih rendah. Andaiyani (2012) menyatakan bahwa IPM berpengaruh signifikan terhadap jumlah alokasi belanja modal.dari penelitian tersebut mengindikasikan bahwa besarnya IPM pada suatu daerah menjadi salah satu faktor penentu dalam menentukan proporsi belanja modal. Sehingga dapat ditarik kesimpulan pada hipotesis sebagai berikut : H4: Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berpengaruh positif terhadap proporsi belanja modal. 5. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Proporsi Belanja Modal Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan output perkapita yang diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto. Pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk peningkatan ekonomi yang berkelanjutan. Darwanto (2007) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembanguan. Faktor-faktor tersebut antara lain sumber daya alam, tenaga kerja, investasi modal, kewirausahaan, transportasi, komunikasi, komposisi

32 sektor industri, teknologi, pasar ekspor, situasi perekonomian internasional, kapasitas pemerintah daerah, pengeluaran pemerintah dan dukungan pembangunan. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Dimana pertumbuhan ekonomi masingmasing daerah berbeda-beda sesuai dengan potensi tiap-tiap daerah. Sehingga semakin tinggi tingkat pertumbuhan perekonomian tentu akan mengakibatkan bertumbuhnya investasi modal swasta maupun pemerintah. Hal inilah yang mengakibatkan pemerintah lebih leluasa dalam menyusun anggaran belanja modal. Oleh karena itu, untuk hipotesis pertama dinyatakan sebagai berikut: H5: Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap proporsi belanja modal.

33 D. Model Penelitian Pendapatan Asli Daerah (X1) Dana Alokasi Umum (X2) (+) (+) Dana Alokasi Khusus (X3) Indeks Pembangunan Manusia (X4) (+) (+) (+) Proporsi Belanja Modal (Y) Pertumbuhan Ekonomi (X5) Gambar 2.1. Kerangka Model Penelitian