BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Posisi geografis Indonesia yang terletak di antara benua Asia Australia dan samudra Pasifik Hindia dikaruniai sumber daya alam berupa hutan alam tropis yang memiliki kandungan aneka ragam flora dan fauna. Kekayaan alam yang terkandung dalam hutan Indonesia merupakan bagian dari kekayaan alam dunia yang tak ternilai harganya dan merupakan modal dasar bagi pelaksanaan pembangunan Indonesia.(Ayu.2012:3) Forest are a nation asset, a global public good, and central to the livehood of many of the 36 million Indonesia living in proverty. Forest governance touches fundamental and democratic choice in nearly every district in Indonesia 70% of the the rural economy and the poor, build voice and accountability, and angage governments and people in building good governance practice together (Word Bank 2009 : 2) maksudnya masyarakat global, dan sumber penghidupan utama bagi sekitar 36 juta masyarakat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Tata pemerintahan kehutanan menyentuh isu dasar pengelolaan aset dan pilihan demokratis di hampir setiap wilayah kabupaten/kota di Indonesia yang menempati 70% dari daratan Indonesia. Proses reformasi kebijakan kehutanan mengangkat isu nyata yang penting bagi ekonomi pedesaan dan rakyat miskin, membangun suara keterlibatan dan akuntabilitas serta
mempertemukan pemerintah dan masyarakat dalam membangun bersama praktik tata Hutan diketahui memiliki pengaruh sangat beragam bagi kehidupan, diantaranya: 1) pengembangan dan penyediaan atmosfir yang baik dengan komponen oksigen yang stabil, 2) penyediaan batubara dan deposit minyak, 3) proteksi lapisan tanah, 4) produksi air bersih dan proteksi daerah aliran sungai (DAS) terhadap erosi, 5) penyediaan habitat dan makanan untuk makhluk hidup, 6) penyediaan material bangunan dan bahan bakar, 7) pemberian nilai manfaat penting melalui nilai estetis dan rekreasi. (Ayu.2012 : 4) Pada dekade 1960-an kepadatan penduduk di Jawa mulai melintasi titik keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan minimum lahan pertanian yang dibutuhkan oleh keluarga petani. Hal ini berarti apa yang dikatakan oleh Clifford Geertz (1963 dalam Simon.2001:1) dinamakan involusi pertanian (agriculture involution) sudah berakhir karena kemampuan lahan sawah untuk menampung tambahan tenaga kerja baru ada batasnya. Batas tersebut dicapai setelah luas lahan pertanian yang tersedia sudah lebih sempit dibandingkan dengan luas kebutuhan minimum setelah teknologi tidak lagi dapat meningkatkan produktivitas lahan, dan ditinjau dari aspek pengelolaan hutan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan perubahan didalam beberapa hal: 1) konsumsi pangan meningkat, 2) rata-rata luas pemilikan lahan pertanian per keluarga petani menurun, 3) jumlah angkatan kerja meningkat, 4) jumlah kebutuhan kayu bakar meningkat, 5) jumlah kebutuhan kayu pertukangan meningkat.(simon.2001:2)
Sebagai salah satu sumber devisa yang menjadi modal dasar pembangunan, pemanfaatan hutan harus dilakukan secara bijaksana dengan tidak melampaui kemampuan hutan tersebut untuk memperbaiki dirinya sendiri. Kearifan dalam mengelola dan memanfaatkan hutan, akan sangat menentukan kelestarian plasma nuftah yang terkandung didalamnya (Ayu.2012 : 4) Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor deforestasi dan degradasi hutan. Emisi GRK Indonesia ini sebagaian besar berasal dari kebakaran dan drainase lahan gambut dengan emisi tahunan kurang lebih 0,5 milliar ton karbon. Sebagai negara yang dituding dengan tingkat laju deforetasi terbesar ke-2 setelah Brazil, Kementerian Kehutanan mencatat laju deforestasi di Indonesia berkisar antara 1,17 juta hektar/tahun pada dua dekade 1990 2010. Laju deforestasi itu meliputi deforestasi dalam kawasan hutan sebesar 0,76 juta hektar/tahun (64,8%) dan 0,41 juta hektar/tahun (35,2%) di luar kawasan hutan / areal penggunaan lain. (Arif. 2002 : 1). Pengelolaan hutan dengan paradigma timber management yang bertujuan untuk menghasilkan kayu berkembang pesat dinegara-negara maju, khususnya negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Akan tetapi perkembangan yang terjadi tersebut tidak langsung dapat diterapkan di negara-negara berkembang, bahkan pada paruh kedua abad 20 terjadi kerusakan hutan yang cukup parah di beberapa negara berkembang pasca perang dunia II. Kerusakan hutan di negara berkembang yang umumnya baru merdeka memerlukan modal untuk menjalankan roda pemerintahan dan roda pembangunan. Modal pembangunan yang tersedia dengan mudah adalah sumberdaya alam berupa bahan tambang dan sumberdaya
hutan. Disamping itu dengan laju pertambahan penduduk yang pesat meningkatkan kebutuhan akan lahan pertanian, perumahan yang berdampak pada alih fungsi kawasan hutan. Disisi lain negara-negara berkembang belum menguasai ilmu pengelolaan hutan, kondisi ini mengakibatkan hutan mengalamai kerusakan yang cukup parah.(simon.2010: 4 ) Dalam perkembanganya konsep pengelolaan hutan untuk rakyat mengandung makna bahwa pembangunan kehutanan harus diarahkan untuk pembangunan masyarakat lokal (forestry for local community development) tujuanya adalah untuk meningkatkan standart kehidupan penduduk pedesaan di sekitar hutan dengan cara melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan dan berbagai kegiatan pengelolaan hutan sesuai dengan keadaan nyata masyarakat (Simon.2010 : 65) Dilatar belakangi oleh kerusakan hutan akibat penjarahan pada periode 1998-2000 dan lahirnya kesadaran dikalangan internal perhutani bahwa hutan di Jawa tidak akan lestari apabila dikelola hanya oleh Perhutani tunggal, sejak tahun 2001 Perum Perhutani menggulirkan model Pengelolaan Sumber daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), melalui SK Nomor 136/Kpts/Dir/2001. Lahirnya program PHBM ini merupakan sebuah terobosan dan langkah maju dari Perhutani untuk bersama-sama dengan pihak lain mengelola sumberdaya hutan. Apalagi posisi sektor kehutanan di pulau Jawa menduduki peranan yang sangat penting untuk mendukung laju pembangunan, dan menjaga keseimbangan ekosistem pulau Jawa yang semakin kritis dari waktu ke waktu.(simon.2008) Kebijakan pembangunan kehutanan yang bersifat sentralistik (terpusat dan dikelola oleh negara) dianggap oleh beberapa pihak tidak efektif dalam menjaga
kawasan hutan dan hanya mengeksploitasi hasil hutan tanpa memperhatikan faktor sosial yang diakibatkannya (Awang,2004 : 32 ). Dengan sistem sentralistik tersebut, masyarakat lokal kurang dilibatkan dalam pengelolaan hutan yang sesungguhnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Untuk itu, sudah seharusnya jika masyarakat dijadikan kunci utama dalam pengelolaan hutan, dan diharapkan masyarakat akan secara aktif mengelola dan mengembangkan potensi lokal secara optimum. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem hutan dan peduli dengan masyarakat miskin di sekitar hutan.salah satu pendekatan pengelolaan hutan yang mengusung semangat itu adalah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat.(Simon.2005 : 1). Program PHBM dibentuk oleh Perhutani pada tahun 2001 melalui surat keputusan direksi Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (Awang,2004). Program PHBM melibatkan masyarakat desa sekitar hutan untuk mengelola hutan dan diharapkan masyarakat mendapatkan keuntungan dari sistem PHBM. Manfaat dan keuntungan tersebut dapat berupa: 1) pembagian hasil hutan yang adil dari Perhutani sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani hutan; 2) keberlanjutan fungsi hutan dan manfaat sumber daya hutan yang optimum; 3) kepastian hak dalam pengelolaan lahan garapan sehingga petani dapat menanami lahan garapan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai suatu bentuk pengelolaan hutan kolaboratif, PHBM tidak akan berjalan tanpa kontribusi dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi
program PHBM dari para penggunanya; dalam hal ini adalah personil dan organisasi Perhutani di satu pihak, dan para petani hutan di pihak yang lain. (Simon.2005: 5) menjelaskan bahwa partisipasi aktif para pengguna ini diperlukan agar suatu sistem pengelolaan sumber daya alam dapat bekerja dengan baik. Partisipasi petani hutan, dalam berbagai segi pelaksanaan PHBM, dengan demikian menduduki tempat yang penting bagi tercapainya tujuan pengelolaan hutan, khususnya tujuan-tujuan program PHBM.(Dodik.2010 : ). Ada beberapa manfaat program PHBM bagi masyarakat desa sekitar hutan, yaitu: 1) manfaat ekologi, berupa keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan dengan menerapkan pola tanam yang sesuai dengan karakteristik wilayah; 2) manfaat ekonomi bagi masyarakat desa hutan melalui pembagian hasil hutan; 3) manfaat sosial dalam menciptakan lapangan kerja serta peningkatan teknologi bagi masyarakat (Awang.2005:72). Menurut Sambroek & Eger dalam (Soetomo,2003:67) partisipasi merupakan suatu proses di mana seluruh pihak terkait secara aktif terlibat dalam rangkaian kegiatan, mulai dari perencanaan sampai pada pelaksanaan. Pelibatan semua kelompok tidak selalu berarti secara fisik terlibat, tetapi yang penting adalah prosedur pelibatan menjamin seluruh pihak dapat terwakili kepentingannya. Menurut Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani, nomor 136/KPTS/DIR/2001, tentang Pengelolaan Hutan bersama masyarakat (PHBM), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah kegiatan yang meliputi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan, pemanfaatan sumberdaya hutan serta perlindungan dan konservasi alam.
Pengelolaan hutan bersama masyarakat yang berada di Desa Girimulyo Kecamatan Jogorogo Kabupaten Ngawi merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan masyarakat yang berbasis komunitas, dimana peran dan partisipasi masyarakat dalam keterlibatan pengelolaan hutan menempati faktor yang sangat penting dalam keberhasilan pengelolaan hutan di kawasan hutan negara yang selama ini dikelola mutlak oleh Perhutani. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan negara melalui metode ini mutlak diperlukan, karena kawasan hutan negara ini keberadaanya tidak bisa lepas dari keberadaan masyarakat itu sendiri. Hal tersebut mengindikasikan betapa partisipasi masyarakat merupakan aspek penting dalam pengelolaan hutan. Selain itu, peran masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ngawi selaku dinas teknis terkait sangat diperlukan dalam mengoptimalkan pengelolaan hutan tersebut. B.Rumusan Masalah Berdasar latar belakang tersebut penulis tertarik untuk meneliti tentang pelaksanaan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Desa Girimulyo Kecamatan Jogorogo kabupaten Ngawi, dan penelitian ini berupaya untuk menjawab beberapa pertanyaan pokok yaitu: 1. Bagaimanakan pelaksanaan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) di desa Girimulyo kecamatan Jogorogo kabupaten Ngawi?
2. Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam implementasi PHBM di desa Girimulyo kecamatan Jogorogo kabupaten Ngawi? 3. Bagaimana peran Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ngawi dalam rangka pelaksanaan PHBM di desa Girimulyo kecamatan Jogorogo kabupaten Ngawi? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk : 1. Mengetahui pelaksanaan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) di Desa Girimulyo Kecamatan Jogorogo Kabupaten Ngawi. 2. Mengetahui partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan bersama msyarakat. 3. Mengetahui peran Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ngawidalam pelaksanaan PHBM di desa Girimulyo kecamatan Jogorogo. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan bermanfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis. Dapat memberikan sumbangan pemikiran secara ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang pengembangan masyarakat, terutama pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas. 2. Secara praktis. a. Untuk memberikan kontribusi pada pemerintah kaitannya dengan kebijakan pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas.
b. Untuk memberikan masukan kaitannya dengan pengembangan masyarakat dalam pengelolaan hutan Negara. c. Untuk memberikan masukan dalam pengembangan masyarakat agar masyarakat ikut berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan hutan negara.