BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
TINGKAT PERESEPAN ANTIBIOTIK DI PUSKESMAS X TAHUN 2012 DAN 2013 DENGAN METODE ATC/DDD NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pelayanan kesehatan di puskesmas. Keterbatasan jumlah dokter yang ada di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Obat yang termasuk golongan ini ialah : a. Sulfonamid, b. Trimetoprin, c. Asam p-aminosalisilat (PAS), dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

membunuh menghambat pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan dan pengobatan penyakit (Depkes RI, 2009). yang tidak rasional bisa disebabkan beberapa kriteria sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan kasus per penduduk per tahun, atau kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh Salmonella typhi (Soedarmo, dkk., 2003). Demam typhoid masih

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seringkali, buang air besar yang berbentuk cair bukanlah diare. Hanya bayi yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat menurunkan tingkat kesadaran (Rahmatillah et al., 2015). Demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Antibiotik untuk Mahasiswa Kedokteran, oleh V. Rizke Ciptaningtyas Hak Cipta 2014 pada penulis

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Tahun 2006, World Health Organization melaporkan lebih dari seperempat

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

KAJIAN PERESEPAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penggunaan obat ketika pasien mendapatkan obat sesuai dengan kebutuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara umum, obat terbagi menjadi dua yaitu obat paten dan obat generik.

KERANGKA ACUAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS CILEDUG

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasien dengan kasus infeksi dan penggunaannya dapat bersifat empiris atau

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak. Pemberian antibiotik merupakan pengobatan yang utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan temuan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SKRIPSI SINTYA DEWI PRIANI K Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konsistensi tinja (menjadi cair), dengan/ tanpa darah dan dengan/ tanpa lendir

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut saat ini merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI KELENGKAPAN RESEP OBAT PADA PASIEN ANAK DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN SUKOHARJO BULAN OKTOBER-DESEMBER TAHUN 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada zat kimia yang dihasilkan oleh satu macam organisme, terutama fungi yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh seorang Kepala yang disebut Direktur Utama. Peningkatan Kesehatan lainnya serta Melaksanakan Upaya Rujukan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI 4 APOTEK KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. upaya untuk mewujudkan keadaan sehat dari sakit adalah dengan melakukan

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PENANGANAN KASUS INFEKSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam tifoid merupakan suatu infeksi tropis yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN YANG MENDAPAT TERAPI ANTIBIOTIK DI PUSKESMAS MENDAWAI PANGKALAN BUN

Antibiotic Utilization Of Pneumonia In Children Of 0-59 Month s Old In Puskesmas Kemiling Bandar Lampung Period Januari-October 2013

STUDI KELENGKAPAN RESEP OBAT UNTUK PASIEN ANAK DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN KARTASURA BULAN OKTOBER - DESEMBER 2008 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Peresepan Antibiotik pada Pasien Anak Rawat Jalan di BLUD RS Ratu Zalecha Martapura: Prevalensi dan Pola Peresepan Obat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

INTISARI KESESUAIAN DOSIS CEFADROXIL SIRUP DAN AMOKSISILIN SIRUP PADA RESEP PASIEN ANAK DI DEPO UMUM RAWAT JALAN RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA

BAB I PENDAHULUAN. dan tempat pelayanan kesehatan (DepKes RI, 2002). paling tepat dan murah (Triyanto & Sanusi, 2003).

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

KETEPATAN DOSIS PERESEPAN SIRUP KOTRIMOKSAZOL PADA BALITA PENDERITA DIARE SPESIFIK DI PUSKESMAS ALALAK TENGAH BANJARMASIN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. berkontribusi terhadap terjadinya resistensi akibat pemakaian yang irasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan terkait dengan banyaknya kejadian infeksi bakteri (Nelwan, 2009). Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan pada beberapa kasus yang tidak tepat guna, menyebabkan masalah kekebalan antibiotik, meningkatkan biaya pengobatan dan efek samping antibiotik (Juwono, 2003). Antibiotik merupakan suatu kelompok obat yang paling sering digunakan saat ini. Penggunaan antibiotik yang berlebihaan dan pada kasus yang tidak tepat akan menyebabkan resistensi antimikrobial (Siregar,2004). Antibiotik bertujuan untuk mencegah dan mengobati penyakit penyakit infeksi. Pemilihan penggunaan antibiotik perlu dipertimbangkan 3 faktor yaitu : kuman penyebab, faktor-faktor pasien dan faktor-faktor antibiotika. Dosis, rute, frekuensi dan lama pemberian antibiotik menjadi penyebab tidak akuratnya pengobatan infeksi dengan antibiotik (Juwono,2003). Penelitian penggunaan obat semakin meningkat sejak kelahiran metode ATC (Anatomical Therapeutic Chemical) / DDD (Defined Daily Dose) tahun 1960. Pada Symposium The Consumption of Drug di Oslo tahun 1969, disetujui tentang diperlukannya suatu sistem klasifikasi yang dapat diterima secara internasional untuk studi penggunaan obat. Pada simposium yang sama didirikan The Drug Utilization Research Grup (DURG) dengan tugas mengembangkan metode yang dapat diaplikasikan secara internasional untuk penelitian penggunaan obat (WHO, 2013). Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah yang memadai dan biaya yang rendah. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat membahayakan masyarakat karena dapat menimbulkan pengobatan yang kurang efektif, resiko efek samping 1

2 dan tingginya biaya pengobatan (Sadikin, 2011). Penggunaan obat yang rasional meliputi efektif, aman, tersedia dan biaya terjangkau (Juwono,2003) Pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Sintya (2011) menunjukan bahwa selama periode 2006 2010, ada 8 jenis Jenis antibiotik yang digunakan di Puskesmas Kebondalem Kecamatan Pemalang Kabupaten Pemalang yaitu amoksisilin, eritromisin, kloramfenikol, kotrimoksazol, metronidazol, siprofloksasin, tetrasiklin, dan doksisiklin. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata penggunaan antibiotik di Puskesmas Kebondalem Kecamatan Pemalang Kabupaten Pemalang selama tahun 2006-2010 sebesar 2360,9724 DDD/1000 KPRJ dengan rata-rata persentase peresepan antibiotik sebesar 47,234%. Jumapolo adalah suatu kecamatan yang berada di Kabupaten Karanganyar. Kecamatan Jumapolo berada jauh dari pusat kota begitupun puskesmas di Kecamatan tersebut hanya ada satu, antibiotik yang dipakai sudah ditentukan dari dinas kesehatan. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana tingkat peresepan di Puskesmas Jumapolo yang akan dihitung menggunakan metode ATC/DDD dari WHO. Metode ATC/DDD merupakan sistem klasifikasi dan pengukuran penggunaan obat yang saat ini telah menjadi salah satu pusat perhatian dalam pengembangan penelitian penggunaan obat. Dengan menggunakan metode ATC/DDD hasil evaluasi penggunaan obat dapat dengan mudah dibandingkan. B. Perumusan Masalah Bagaimana tingkat peresepan antibiotik di Puskesmas Kecamatan Jumapolo Kabupaten Karanganyar tahun 2012 dan 2013 dengan metode ATC/DDD C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui tingkat peresepan antibiotik di Puskesmas Kecamatan Jumapolo Kabupaten Karanganyar tahun 2012 dan 2013 menggunakkan metode ATC/DDD.

3 D. Tinjauan Pustaka 1. Antibiotik a. Definisi Antibiotik adalah suatu jenis obat yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat menghambat pertumbuhan atau dapat membunuh mikroorganisme lain (Anief,2000). Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai masalah seperti resistensi bakteri terhadap antibiotik, selain itu berdampak pada morbiditas dan mortalitas penggunaan antibiotik (Depkes, 2011). Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh mikroorganisme, dikenal sebagai aktivitas bakterisid. Obat-obat antibiotik ditujukan untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi. Ketidaktepatan diagnosis, pemilihan antibiotik, indikasi hingga dosis, cara pemberian, frekuensi dan lama pemberian menjadi penyebab tidak kuatnya pengaruh antibiotik terhadap infeksi (Setiabudy, 2008). b. Penggolongan Antibiotik Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibagi dalam lima kelompok yaitu : 1) Antibiotik yang menghambat metabolisme sel mikroba Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamida, trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS), dan sulfanilamid. Mekanisme kerja ini diperoleh efek bakteriostatik. 2) Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel mikroba Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin. Tekanan osmotik dalam sel kuman lebih tinggi daripada di luar sel maka kerusakan dinding sel kuman akan menyebabkan terjadinya lisis yang merupakan dasar efek bakterisidal pada kuman yang peka. 3) Antibiotik yang mengganggu keutuhan membran isi sel mikroba Antibiotik yang mengganggu keutuhan membran isi sel mikroba adalah polimiksin, golongan polien serta berbagai antibiotik kemoterapeutik, misalnya

4 antiseptik surface active agents. Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu protein, asam nukleat, nukleotida dan lain-lain. 4) Antibiotik yang menghambat sintesis protein sel mikroba Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini adalah golongan aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. 5) Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini adalah rifampisin dan golongan kuinolon (Setiabudy, 2008). c. Kegagalan Terapi Antibiotik Terapi antibiotik dinilai gagal apabila tidak berhasil menghilangkan gejala klinik atau infeksi kambuh lagi setelah terapi dihentikan. Beberapa hal yang dapat digunakan untuk menelusuri sebab sebab kegagalan terapi : 1) Penyebab infeksi seperti diagnosa keliru 2) Kepekaan invitro mikroorganisme untuk antibiotik yang digunakan Kesalahan yang lazim dibuat pada terapi antibiotik yang dapat menggagalkan terapi. Kesalahan ini pada dasarnya berkisar pada salah pilih antibiotik, salah pemberian/penggunaan antibiotik, dan resistensi mikroorganisme. Salah pilih antibiotik : 1) Antibiotik yang salah sasaran 2) Antibiotik diberikan untuk demam tanpa dokumentasi mikroorganisme 3) Menggunakan antibiotik yang tidak invitro atau tidak mampu mencapai sasaran infeksi invivo 4) Menggunakan antibiotik yang toksik walaupun ada yang kurang toksik 5) Efektif Faktor lain yang menggagalkan terapi antibiotik adalah : 1) Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik yang digunakan 2) Terjadinya super infeksi (Katzung, 2001)

5 2. Resep a. Definisi Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada Apoteker Pengelola Apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku (Kepmenkes No. 1332 tahun 2002). Pengertian resep yang lain yaitu permintaan tertulis dari seorang dokter kepada apoteker untuk menyerahkan obat kepada pasien (Anief, 2000). Sebuah resep obat berisi perintah dari penulisannya kepada apotik sebagai pihak yang memberikan obat kepada pasien. Setiap negara mempunyai ketentuan sendiri tentang informasi yang harus tercantum dalam sebuah resep, juga memiliki perundangan sendiri tentang obat yang harus diperoleh dengan resep dan siapa yang menulis resepnya. Sebuah resep harus berisi : 1) Nama, alamat, telepon, dokter 2) Tanggal 3) Nama generik obat, kekuatannya 4) Bentuk sediaan, jumlah total 5) Label : cara pakai, peringatan 6) Nama, alamat, umur pasien 7) Paraf atau tanda tangan dokter Sebelum memberikan obat, apoteker harus menentukan keaslian penulisan resep dan harus mampu menghubungi penulis resep melalui telepon bila timbul keraguan. Jumlah obat yang diresepkan harusnya mencerminkan lama terapi yang diharapkan, biaya, dan kebutuhan untuk kontak kontinu dengan klinik atau dokter, kemungkinan penyalahgunaan dan kemungkinan toksisitas atau kelebihan dosis. Selain itu diberikan pertimbangan pada ukuran standar, produk yang tersedia dan apakah hal ini resep obat awal atau resep ulangan atau pemberian kembali (Anief,2000) Instruksi cara dan kapan minum obat, lama terapi dan tujuan pengobatan harus dijelaskan pada tiap pasien oleh dokter dan oleh apoteker. Pendidikan pasien menjadi pertimbangan dan kelompok profesional serta telah menghasilkan

6 beberapa program percobaan. Pengarahan penggunaan harus jelas dan singkat untuk mencegah toksisitas dan mendapatkan manfaat terapi terbesar. Penulis resep bisa memperbaharui resep pada waktu penulisan resep atau melalui telepon jika ada kesalahan (Hartono, 2003). b. Peresepan generik Peresepan dengan nama generik menawarkan fleksibilitas bagi apoteker dalam memilih produk obat khusus untuk memenuhi permintaan dan pasien dapat berhemat. Pada beberapa negara bagian dan dalam banyak rumah sakit, apoteker mempunyai pilihan pemberian produk obat setara secara generik (Katzung, 2001) Kriteria diagnosis : 1) Ditentukan oleh mekanisme imunologi yang diketahui sebagai perlawanan terhadap aksi farmakologi 2) Berhubungan secara temporal dan terdapat kecenderungan terhadap obat yang dicurigai menyebabkan raksi alergi yang harus dievaluasi 3) Tempat tes kulit untuk obat yang tidak tersedia dan terapi alternatif yang tersedia tidak cocok, desensisitisasi yang cepat mungkin diperlukan (Tierney,2003 ) c. Faktor biaya Apoteker swasta mendasarkan biayanya atas biaya obat ditambah biaya untuk memberikan pelayanan professional. Tiap kali resep dipenuhi, ada biaya. Penulisan resep mengendalikan frekwensi pemenuhan resep dengan mengesahkan pemberian ulangan dan menyebutkan jumlah yang diberikan. Sehingga penulis resep dapat menghemat uang pasien dengan meresepkan ukuran standart melibatkan pengobatan menahun, dengan meminta jumlah terbesar yang cocok dengan keamanan dan biaya. Sehingga peresepan sering melibatkan konsultasi antara penulis resep dan apoteker (Hartono,2003). Penulisan resep yang tidak rasional selain menambah biaya, kemungkinan juga dapat menimbulkan efek samping yang semakin tinggi serta dapat menghambat mutu pelayanan. Harga obat tidak terjangkau masyarakat akan menyebabkan hasil yang tidak diinginkan. Pengobatan yang irasional adalah pengobatan yang tidak sesuai atau tidak tepat dengan dosis, indikasi, jenis obat,

7 diagnosis, cara dan lama pemberian, penilaian terhadap kondisi pasien, informasi dan tindak lanjutnya (Sastramihardja dan Herry, 1997). 3. Puskesmas Puskesmas adalah unit pelaksanaan teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Ada 3 fungsi puskesmas yaitu : a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan b. Pusat pemberdayaan masyarakat c. Pusat pelayanan kesehatan Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional, yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas (Trihono,2005). 4. Pengobatan yang Rasional Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah yang memadai dan biaya yang rendah. Obat merupakan produk yang diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, namun jika penggunaannya salah, tidak tepat, tidak sesuai dengan takaran akan membahayakan (Depkes,2008). Penggunaan antibiotik secara tidak rasional dapat berdampak serius karena dapat menyebabkan resistensi kuman dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna, selain itu tingginya biaya yang terbuang percuma untuk pengobatan (Depkes,2011). Penggunaan obat yang rasional meliputi efektif, aman, tersedia dan biaya terjangkau (Juwono,2003) Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria ini mungkin akan bervariasi tergantung interpretasi masingmasing, tetapi paling tidak akan mencakup : a. Ketepatan indikasi b. Ketepatan pemilihan obat c. Ketepatan cara pakai dan dosis obat

8 d. Ketepatan pasien (Santoso, dkk., 2003) Tipe-tipe penggunaan obat yang iirasional: a. Extravaganz prescribing (peresepan boros), meliputi: 1) Meresepkan obat yang mahal padahal masih tersedia alternatif obat yang lebih murah dengan kemanfaatan dan keamanan yang sama. 2) Terlalu berorientasi pada pengobatan gejala penyakit sebagai dana yang dikeluarkan sama dengan pengobatan penyakit yang berat. 3) Pemakaian obat paten yang lebih mahal padahal masih tersedia obat lain yang lebih murah dengan kemanfaatan dan keamanan yang sama. b. Over prescribing (peresepan berlebih), meliputi: 1) Meresepkan obat yang tidak diperlukan 2) Dosis yang terlalu berlebihan 3) Jangka waktu pemakaian terlalu lama 4) Jumlah obat yang diberikan melebihi jumlah yang diperlukan c. Incorect prescribing (peresepan keliru), meliputi: 1) Peresepan obat untuk diagnosis yang salah 2) Diagnosis tepat, pemilihan obat keliru 3) Penulisan yang salah 4) Tidak mempertimbangkan kondisi pasien, lingkungan dan faktor yang lain. d. Multiple prescribing (peresepan majemuk), meliputi: 1) Meresepkan satu atau dua jenis obat yang mempunyai efek yang sama 2) Pemberian banyak obat yang berkaitan dengan penyakit primernya. e. Under prescribing (peresepan kurang), meliputi: 1) Obat yang dibutuhkan tidak diresepkan 2) Dosis kurang 3) Jangka waktu pengobatan kurang (Sadikin, 2011). 5. Sistem ATC/DDD Untuk memperbaiki unit pengukuran tradisional, telah dikembangkan suatu teknik unit pengukuran yang disebut Defined Daily Dose (DDD) untuk digunakan dalam studi penggunaan obat (WHO, 2013). The Nordic Council on Medicines (NLN) didirikan pada tahun 1975, digabung dengan Norwegia untuk

9 mengembangkan sistem ATC/DDD. Sejak itu ketertarikan pada sistem ATC/DDD untuk penelitian penggunaan obat semakin meningkat (WHO, 2013). Pada tahun 1981, kantor regional WHO Eropa merekomendasikan sistem ATC/DDD untuk studi penggunaan obat internasional. The WHO Collaborating for Drug Statistic Methodology didirikan di Oslo pada tahun 1982. Pusatnya sekarang di The Norwegian Institute of Public Health (WHO, 2013). a. Tujuan Sistem ATC/DDD Tujuan dari sistem ATC/DDD adalah sarana sebagai penelitian penggunaan obat untuk meningkatkan kuantitas penggunaan obat. Salah satu komponen ini adalah persentase dan perbandingan dari konsumsi obat tingkat internasional dan level level lain (WHO, 2013). Tujuan utama The Centre and Working Group adalah untuk menjaga stabilitas kode ATC dan DDD sepanjang waktu untuk mengikuti tren penggunaan obat, studi penggunaan obat ini tidak dipengaruhi oleh perubahan sistem (WHO, 2013). b. Sistem klasifikasi ATC/DDD Sistem klasifikasi ATC digunakan untuk mengklasifikasikan obat. Sistem ini dikontrol oleh WHO Collaborating Centre for Drug Statistic Methodology, dan pertama kali dipublikasikan tahun 1976. Obat dibagi menjadi kelompok yang berbeda menurut organ atau sistem obat tersebut beraksi dan berdasarkan karakteristik terapeutik dan kimianya. Obat diklasifikasikan menjadi kelompok kelompok pada lima level yang berbeda yaitu: 1) Level pertama, (level yang paling luas). Obat dibagi menjadi 14 kelompok utama anatomi. Kode level pertama berdasarkan huruf, contoh B untuk Blood and blood forming organs. A. Alimentary track and metabolism B. Blood and blood forming organs C. Cardiovascular system D. Dermatologics G. Genitourinary system and sex hormone H. Systemic hormonal preparations J. Antiinfectives for systemic

10 L. Antineoplastic and immunomodulating M. Musculo-skeletal system N. Nervous system P. Antiparasitic product, insecticides and repellents R. Respiratory system S. Sensory organs V. Various 2) Level 2, kelompok utama farmakologi dan terdiri dari dua digit 3) Level 3, kelompok farmakologi dan terdiri dari satu huruf. 4) Level 4, kelompok kimia dan terdiri dari satu huruf 5) Level 5, kelompok zat kimia dan terdiri dari dua digit Contoh : Ampisillin, memiliki kode ATC J01CA01, adapun maknanya adalah sebagai berikut : Tabel 1 Makna Kode Ampicilin Kode ATC Level Kelompok Utama Anatomi J Level 1 Antiinfective for systemic J01 Level 2 Antibacterial for systemic use J01C Level 3 β lactam antibacterial penicillins J01CA Level 4 Penicillin with extended spectrum J01CA01 Level 5 Ampicillin (WHO, 2010) Prinsip klasifikasi : 1) Penggunaan terapi utama 2) Satu kode untuk setiap sediaan 3) Satu zat dapat mempunyai kode ATC lebih dari satu bila mempunyai kekuatan dan bentuk sediaan lebih dari satu untuk terapi yang berbeda (WHO, 2013). c. Unit Pengukuran DDD (Defined Daily Dose) Penggunaan obat dalam hitungan biaya dalam studi kuantitatif dapat digunakan dalam membantu memonitor pengeluaran biaya obat untuk masalah yang efektif dan mengidentifikasi masalah penggunaan obat untuk menyusun langkah kebijakan penggunaan obat. Analisis penggunaan obat dalam unit kuantitas dapat membantu dalam underuse dan overuse dalam pengobatan sendiri dan kelompok. Metode DDD mengubah dan menyeragamkan dan kuantitas

11 produk yang ada seperti dalam kemasan, tablet, injeksi vial, botol, kedalam perkiraan kasar dari pemaparan obat yang dinamakan sebagai dosis harian (WHO, 2013). Defined Daily Dose (DDD) diasumsikan sebagai dosis pemeliharaan rata rata per hari yang diperkirakan untuk indikasi utama orang dewasa. DDD hanya ditetapkan untuk obat yang mempunyai ATC (WHO, 2013). Jumlah unit Defined Daily Dose (DDD) direkomendasikan pada pengobatan mungkin dalam satuan milligram untuk padat oral seperti tablet dan kapsul atau milliliter untuk sediaan cair oral dan sediaan injeksi. Perubahan data penggunaan dapat diperoleh dari data catatan inventaris farmasi atau data statistik penjualan yang akan menunjukan nilai DDD kasaran untuk mengidentifikasi seberapa potensial terapi harian dari pengobatan yang diperoleh, terdistribusi atau yang dikonsumsi. Penggunaan obat dapat dibandingkan dengan menggunakan unit sebagai : 1) Jumlah DDD per 1000 populasi per hari, untuk total penggunaan 2) Jumlah DDD per 100 hari rawat, untuk total penggunaan di rumah sakit (WHO, 2013) Data penggunaan obat yang dipresentasikan pada DDD hanya memberikan perkiraan penggunaan dan tidak memberikan gambaran penggunaan yang pasti. DDD merupakan unit pengukuran tetap yang tidak tergantung pada harga dan bentuk sediaan untuk mengakses tren penggunaan obat dan untuk menunjukan perbandingan antar kelompok populasi (WHO, 2013). Unit DDD dapat digunakan untuk membandingkan penggunaan obat yang berbeda dalam satu kelompok terapi yang sama dan mempunyai kesamaan efikasi tapi berbeda dalam dosis, kebutuhan, atau pengobatan dalam terapi yang berbeda. Penggunaan obat dapat dibandingkan setiap waktu untuk memonitor tujuan dan untuk menjamin dari adanya intervensi komite terapi medik dalam meningkatkan kualitas pengelolaan obat. Penggunaan dalam area geografi yang berbeda dapat juga dibandingkan dengan metode ini (WHO, 2013). Prinsip penetapan DDD meliputi beberapa hal berikut : 1) Dosis rata-rata orang dewasa yang digunakan untuk indikasi utama yang direfleksikan dengan kode ATC. Ketika dikonversikan dosis dengan berat

12 badan, seorang dewasa dianggap 70 kg. Pada keadaan yang khusus, terutama untuk anak anak (seperti mikture, suppositoria, hormon pertumbuhan dan tablet) digunakan DDD untuk orang dewasa. 2) Dosis pemeliharaan. Beberapa obat digunakan dalam dosis yang berbeda tetapi tidak direfleksikan dalam DDD 3) Dosis terapi yang biasa digunakan 4) DDD biasanya berdasarkan pernyataan isi (kekuatan) produk. Variasi dalam bentuk garam biasanya tidak memberikan perbedaan DDD. Kelompok ATC yang berbeda digambarkan pada guidelines (WHO,2013) Menurut WHO (2013) perhitungan DDD dapat dilakukan dengan beberapa langkah berikut: 1) Mengumpulkan data total penggunaan obat dalam unit tablet, vial dan kekuatan obat dalam satuan gram atau unit internasional 2) Menghitung total kuantitas yang dikonsumsi dengan mengalikan jumlah unit dan kekuatan obat 3) Bagi total kuantitas dengan DDD yang ditetapkan 4) Bagi kuantitas total (DDD) dengan jumlah pasien Keuntungan dari penggunaan metode ATC/DDD adalah unit tetap yang tidak dipengaruhi perubahan harga dan mata uang serta bentuk sediaan dan mudah diperbandingkan institusi, nasional, regional, internasional. Keterbatasan dari penggunaan metode ATC/DDD adalah tidak menggambarkan penggunaan yang sebenarnya, belum lengkap untuk semua obat (topikal, vaksin, anastesi lokal/umum, media kontras, ekstrak allergen), penggunaan pada pediatrik belum ada, obat dengan lebih dari 1 ATC/DDD dan perubahan dosis (WHO, 2013). Adapun faktor kritis yang dapat mempengaruhi keberhasilan aplikasi ATC/DDD adalah mengetahui jelas prinsip prinsip ATC/DDD, perubahanperubahan yang terjadi, koleksi data yang akurat dan pertimbangan keterbatasanketerbatasan pada saat mengevaluasi hasil (WHO, 2013).