UPACARA TANPA SULINGGIH DI PURA GERIA SAKTI MANUABA KAJIAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU

dokumen-dokumen yang mirip
MAKALAH : MATA KULIAH ACARA AGAMA HINDU JUDUL: ORANG SUCI AGAMA HINDU (PANDHITA DAN PINANDITA) DOSEN PEMBIMBING: DRA. AA OKA PUSPA, M. FIL.

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan)

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

I Ketut Sudarsana. > Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Menerapkan Ajaran-Ajaran Tri Kaya Parisudha Dalam Kehidupan Sehari-Hari

Oleh Ni Putu Ayu Putri Suryantari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD

EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri

RITUAL MEKRAB DALAM PEMUJAAN BARONG LANDUNG DI PURA DESA BANJAR PACUNG KELURAHAN BITERA KECAMATAN GIANYAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach

LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

UPACARA BAYUH OTON UDA YADNYA DI DESA PAKRAMAN SIDAKARYA KECAMATAN DENPASAR SELATAN KOTA DENPASAR

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar (SD)

UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu)

BAB I PENDAHULUAN UKDW

OLEH : I NENGAH KADI NIM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Pembimbing I

PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu)

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, ini disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,

UPACARA NGEREBEG DI PURA DUUR BINGIN DESA TEGALLALANG, KECAMATAN TEGALLALANG KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

Jadi keenam unsur kepercayaan (keimanan) tersebut di atas merupakan kerangka isi Dharma (kerangka isi Agama Hindu). Bab 4 Dasar Kepercayaan Hindu

IMPLEMENTASI AJARAN TRI HITA KARANA PADA SEKAA TARUNA PAGAR WAHANA DI DESA ADAT PELAGA KECAMATAN PETANG, KABUPATEN BADUNG

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNANETRA

ESTETIKA SIMBOL UPAKARA OMKARA DALAM BENTUK KEWANGEN

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB - E)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

PERANG TOPAT 2015 KABUPATEN LOMBOK BARAT Taman Pura & Kemaliq Lingsar Kamis, 26 November 2015

PEMBELAJARAN AGAMA HINDU

D. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNADAKSA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PURA AGUNG BESAKIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMENTASAN WAYANG LEMAH PADA UPACARA CARU BALIK SUMPAH DI DESA PAKRAMAN KENGETAN KECAMATAN UBUD KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

KOMUNIKASI SIMBOLIK DALAM UPACARA BULU GELES DI PURA PENGATURAN DESA PAKRAMAN BULIAN KECAMATAN KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG

CATUR PURUSA ARTHA SEBAGAI DASAR KEGIATAN USAHA LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD) DI DESA PAKRAMAN KIKIAN

PEMENTASAN TARI RATU BAKSAN DI PURATAMPURYANG DESA PAKRAMAN SONGAN KECAMATAN KINTAMANI KABUPATEN BANGLI (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pasal I mengamanahkan bahwa tujuan

PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK : ANALISIS TERHADAP PERAN GURU DALAM MEMBANGUN KARAKTER ANAK DIDIK MELALUI REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU DI SEKOLAH

TAMAN NARMADA BALI RAJA TEMPLE IN PAKRAMAN TAMANBALI VILLAGE, BANGLI, BALI (History, Structure and Potential Resource For Local History) ABSTRACT

UPACARA NGAJAGA-JAGA DI PURA DALEM DESA ADAT TIYINGAN KECAMATAN PETANG KABUPATEN BADUNG (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

17. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU 68

KOMUNIKASI SIMBOLIK DALAM TRADISI CARU PALGUNA DI DESA PAKRAMAN KUBU KECAMATAN BANGLI KABUPATEN BANGLI

AKULTURASI HINDU BUDDHA DI PURA GOA GIRI PUTRI DESA PEKRAMAN KARANGSARI, KECAMATAN NUSA PENIDA, KABUPATEN KLUNGKUNG

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk hidup manusia dituntut memiliki perilaku yang lebih baik dari

Kata Kunci: Lingga Yoni., Sarana Pemujaan., Dewi Danu

IDENTIFIKASI KEUNIKAN PURA GUNUNG KAWI DI DESA PEKRAMAN KELIKI, GIANYAR, BALI SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS. oleh

CARU PANGALANG SASIH DI DESA ADAT MENGWI KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG ( Kajian Filosofis Hindu )

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan

GEGURITAN SUMAGUNA ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI OLEH PUTU WIRA SETYABUDI NIM

BAGAIMANA MENERAPKAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DI TATANAN TEMPAT IBADAH (PURA)

TRADISI NYAKAN DI RURUNG DALAM PERAYAAN HARI RAYA NYEPI DI DESA PAKRAMAN BENGKEL KECAMATAN BUSUNGBIU KABUPATEN BULELENG (Kajian Teologi Hindu)

PENDIDIKAN KEPRAMUKAAN SEBAGAI PEMBENTUKKAN KARAKTER SISWA KELAS V SDN NGLETH 1 KOTA KEDIRI

JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU 19

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

Oleh Pande Wayan Setiawati Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

MEMBANGUN KARAKTER MELALUI INTERNALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DI LINGKUNGAN KELUARGA. Listyaningsih

NGAYAH PADA UPACARA PAMELASPASAN AGUNG PURA SANTI DHARMA, DI DUSUN RAJAN, DESA SENEPOREJO, KECAMATAN SILIRAGUNG, KABUPATEN BANYUWANGI

BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN. Om Swastyastu, Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah, (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru)

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi syarat. Dilihat dari segi isinya, karya jenis tutur tidak kalah

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

TUTUR WIDHI SASTRA DHARMA KAPATIAN: ANALISIS STRUKTUR DAN FUNGSI. Corresponding Author

PERSEPSI UMAT HINDU TERHADAP KEBERDAAN KREMATORIUM SANTAYANA DENPASAR BALI. Oleh Putu Wiwik Rismayanti Sari Dewi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

UPACARA NGEREBEG DI DESA PAKRAMAN MANDUANG KECAMATAN KLUNGKUNG KABUPATEN KLUNGKUNG (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

TRADISI NYAAGANG DI LEBUH PADA HARI RAYA KUNINGAN DI DESA GUNAKSA KECAMATAN DAWAN KABUPATEN KLUNGKUNG (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

KARYA ILMIAH: KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: MELASTI PENCIPTA: A.A Gde Bagus Udayana, S.Sn.,M.Si. Art Exhibition

EKSISTENSI PURA KAWITAN DI DESAYEH SUMBUL KECAMATAN MENDOYO KABUPATEN JEMBRANA

Desain Penjor, Keindahan Yang Mewarnai Perayaan Galungan & Kuningan

DAFTAR PUSTAKA. Agus, Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama.Jakarta : Raja Grafindo Persada.2007.

PELAKSANAAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU. Oleh : Drs. I Made Purana, M.Si Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra

ABSTRAK. Kata Kunci: pendidikan, Pasraman, pengetahuan, agama Hindu

3. Pengertian Hukum Karmaphala dalam Ajaran Agama Hindu adalah

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN. hari suci tersebut seperti yang dikemukakan Oka (2009:171), yaitu. Hal ini didukung oleh penjelasan Ghazali (2011:63) bahwa dalam

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan berarti gubahan cerita yang berbentuk tembang atau pupuh (Tim

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

NASKAH PUBLIKASI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S- I Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

PENGANTAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008

Memahami Budaya dan Karakter Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

PROFIL DESA PAKRAMAN BULIAN. Oleh: I Wayan Rai, dkk Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja

Transkripsi:

UPACARA TANPA SULINGGIH DI PURA GERIA SAKTI MANUABA KAJIAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU oleh: Ida Bagus Gede Bawa Adnyana Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah Fakultas Pendidikan Bahasa Dan Seni, IKIP PGRI Bali Abstrak Upacara dewa yadnya merupakan salah satu bagian dari ajaran panca yadnya. Seperti yang dilaksanakan di Pura Geria Sakti Manuaba pada umumnya upacara yadnya terlebih lagi dalam tingkatan utama akan di pimpin oleh seorang sulinggih, namun berbeda halnya di Pura Geria Sakti Manuaba di mana pelaksanaan upacara yadnya tidak boleh dipimpin oleh sulinggih. Mengapa demikian? Hal tersebut akan dikaji untuk menemukan suatu nilai-nilai pendidikan Agama Hindu. Maka dari itu penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab permasalahan tersebut dengan menggunakan metode observasi, wawancara Dokumntasi. Dengan teknik analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan analisis tersebut, maka diperoleh kesimpulan sebagai hasil penelitian sebagai berikut : 1) alasan pelaksanaan upacara yadnya tanpa sulinggih di Pura Geria Sakti Manuaba dikarenakan adanya bisama dari Ida Pedanda Sakti Manuaba yang diyakini Masyarakat secara turun temurun. 2) Pelaksanaan upacara Yadnya tanpa sulinggih di Pura Geria Sakti Manuaba tidak dapat terlepas dari keberadaan perjalanan sejarah Ida Pedanda Sakti Manuaba.yang berasrama di Desa Pakeraman Manuaba 3) Nilai-nilai pendidikan Agama Hindu yang terkandung didalamnya adalah nilai Pendidikan Tattwa, Nilai pendidikan Upakara, dan Nilai Pendidikan karakter. Kata Kunci : Upacara Yadnya Tanpa Sulinggih di Pura Geria Sakti Manuaba (Kajian Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu) Abstract Dewa Yadnya ceremony is a part of Panca Yadnya teachings. As it was implemented in the temple of Geria Sakti Manuaba. In general, Yadnya ceremony in the main levels will be led by a Sulinggih, but unlike the case in the temple of Geria Sakti Manuaba, where the Yadnya ceremony may not be led by Sulinggih. Why is it so? It will then be studied to find educational values of Hinduism. Therefore, the study was implemented to address those problems by using the method of observation, interviews, and documentation. The techniques of data analysis were conducted by qualitative descriptive. 53

Based on the analysis, it could be concluded as the following results: 1) the reason of Yadnya ceremony implementation without Sulinggih in the temple of Geria Sakti Manuaba due to the Bisama of Ida Pedanda Sakti Manuaba who believed by the society for generations. 2) The implementation of Yadnya ceremony without Sulinggih in Pura Geria Sakti Manuaba cannot be separated from the history of Ida Pedanda Sakti Manuaba.who lived in the Manuaba village 3) The educational values of Hinduism contained therein are the value of Tattwa education, the value of Upakara education, and the value of character education. Keywords: Yadnya ceremony Without Sulinggih in the temple of Geria Sakti Manuaba (The Study of Hinduism Educational Values) 1 PENDAHULUAN Di Indonesia terdapat enam agama dan masing-masing memiliki ciri khas mengenai pelaksanaan upacara keagamaan. Ciri-ciri itu meliputi berdoa secara khu suk dan diikuti dengan lagu-lagu pujian, melakukan persembahyangan menurut arah tertentu sesuai dengan ajaran agamanya, sebagian lagi melaksanakan dengan menggunakan sajian-sajian. Semua cara yang dilakukan tersebut sebagai jalan yang dikaruniai oleh Tuhan. Ajaran Agama Hindu memberikan kebebasan kepada umat Hindu terutama tentang cara dan jalan yang ditempuh dalam melaksanakan hubungan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sudah tentu cara dan jalan yang ditempuh selalu mendapat pertimbangan dari segi-segi kebenaran Agama Hindu. Salah satu jalan yang ditempuh dengan melaksanakan Upacara Yadnya, yang terdiri dari : Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, Buta Yadnya, Pitra Yadnya dan Rsi Yadnya. Sehubungan dengan pelaksanaan Yadnya di dalam (Bhagawadgita Bab III sloka 10 dan 11) disebutkan sebagai berikut : Sana Yadjanah Prajah Srstvā Purovaca Prajapatih Anena Prasavisyadhvam Esa Vo'Stv Ista Kāma-Dhuk. Artinya : Pada awal ciptaan, Penguasa semua mahluk mengirim generasi-generasi manusia dan Dewa, beserta korban-korban suci untuk Wisnu, dan memberkati mereka dengan bersabda Berbahagialah engkau dengan yadnya (Korban suci) ini sebab pelaksanaannya akan menganugrahkan kepadamu segala sesuatu yang dapat diinginkan untuk hidup secara bahagia dan mencapai pembebasan. 54

Di samping itu Agama Hindu memiliki kerangka dasar agama yang disebut Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang meliputi Tattwa (Filsafat Agama), Etika (Kesusilaan Agama) dan Ritual (Upacara Agama). Ketiga kerangka dasar tersebut dalam pelaksanaannya tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lainnya, untuk tercapainya kehidupan yang sempurna, selaras, serasi dan seimbang antara jasmani dan rohani. Dalam pelaksanaan kerangka dasar Agama Hindu yang paling tampak dalam kehidupan sehari-hari adalah pelaksanaan upacara ritualnya, karena merupakan kulit terluar ajaran Agama Hindu yang nyata tampak dan dominan dllaksanakan oleh sebagian besar umat Hindu. Dalam melaksanakan Panca Yadnya umat hindu khususnya di Bali juga memiliki tradisi atau pedoman di dalam melaksanakan Upacara Panca Yadnya tersebut yang lumrah di sebut dengan dresta. Adapan dresta tersebut di antaranya adalah : Sastra dresta merupakan kebiasaan melaksanakan upacra panca yadnya dengan mengikuti sastra-sastra agama, Kuno dresta yang merupakan kebiasaankebiasaan dalam melaksanakan upacara panca yadnya dengan mengikuti trsdisi secara turun temurun, Desa dresta merupakan kebiasaan-keiasaan dalam melaksanakan upacara panca yadnya dengan mengikuti kebiasaan di setiap desa, Kula dresta merupakan kebiasaan-kebiasaan dalam melaksanakan upacara panca yadnya berdasarkan kebiasaan yang di warisi dalam setiap keluarga. (Sudarsana, 2003) Dalam melaksanakan upacara yadnya umat hindu akan di pimpin oleh seorang pemagku atau pinandita dan juga di pimpin oleh seorang pendeta atau seseorang yang telah melaksanakan upacara dwijati. Sebagai pemimpin sebuah upacara yadnya baik pandita ataupun pinandita memiliki etika tertentu di dalam memimpin sebuah upacara yadnya khususnya bagi para pinandita atau pemangku karena masih ternasuk ekajati sehingga ada batasan-batasan yang dimiliki di dalam memimpin upacara yadnya seperti salah satunya tidak boleh memimpin atau menyelesaikan upacara panca yadnya yang menggunakan sarana upakara dengan tingkatan besar atau sering di sebut ayaban bebangkit di Bali. Ketika upakara yang di persembahkan besar maka umat hindu di sarankan menggunakan sulinggih atau pendeta sebagai pemimpin upacara yang di persembahkan. (Natha, 2003). Namun 55

hal tersebut tidak berlaku di pura geria sakti manuaba yang terletak di kawasan kecamatan Tegalalang kabupaten Gianyar Bali. Pura geria sakti Manuaba ini memiliki sebuah tradisi unik di dalam setiap pelaksanaan upacara Agama Hindu di mana upacara yadnya di pura ini tidak menggunakan sulinggih atau Pendeta dalam melaksanakan upacara yadnya atau puja wali namun hanya menggunakan pemangku atau pinandita saja. Kebiasaan-kebiasaan ini sangat berkembang di lingkungan masyarakat karena hal ini menjadi suatu ciri khas dari daerah tersebut. Pada umumnya suatu upacara Panca Yadnya yang dilaksanakan oleh Umat Hindu menggunakan seorang sulinggih untuk memimpin sekaligus memuput suatu pujawali. Karena seorang pemangku mempunyai suatu peraturan (wewenang) yang telah disepakati berdasarkan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu IX tahun 1986 bahwa seorang pemangku hanya boleh memimpin upacara bhuta yadnya sampai tingkat pancasata, dalam upacara dewa yadnya hanya sampai piodalan alit dengan upakara ayaban sampai tingkat pulagembal, dalam upacara manusa yadnya dari bayi lahir sampai dengan otonan biasa, pitra yadnya wewenang diberikan sampai pada mendem sawa dan disesuaikan dengan desa mawacara. Dari sumber di atas pada umumnya suatu upacara Panca Yadnya yang dilaksanakan umat Hindu terlebih lagi memiliki tingkatan tingkatan upacara yang uttama seharusnya menggunakan seorang sulinggih sebagai pamuput yadnya. Hal ini berbeda pada pura geria sakti Manuaba, yang terletak di Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pada upacara Yadnya yang dilaksanakan di pura geria sakti manuaba ini tidak menggunakan sulinggih sebagai pamuput karya atau upacara, upacara ini diselesaikan oleh pemangku. Mengapa demikian? Hal ini yang akan penulis kaji untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Alasan penulis untuk mengkaji hal ini adalah karena fenomena tersebut sangat unik. Maka dari hal tersebut penulis tertarik untuk melaksanakan suatu penelitian dengan sebuah judul Upacara Tanpa Sulinggih di Pura Geria Sakti Manuaba Kajian Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu 56

2 METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data meliputi: Observasi, Wawancara, Dokumntasi. Teknik analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Pura Geria Sakti Manuaba yang terletak di Desa pakraman Manuaba adalah sebuah desa yang terletak di desa Kenderan Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar. Daratan Desa Pakraman Manuaba membentang dari utara ke selatan dan dengan ketinggian antara 450-600 meter dari permukaan laut dan luas wilayahnya 7,18 km 2 dengan rincian sebagai berikut: Tanah pekarangan 34,465 Ha, fasilitas jalan 33,98 Ha tanah sawah 364,330 Ha, tegalan 270,835 Ha, tempat suci (pura) 11,66 Ha, balai banjar 0,34 Ha, sekolah 0,99 Ha dan kuburan 1,38 Ha. Adapun batas wilayah Desa Pakraman Manuaba antara lain sebagai berikut: 1) Sebelah Utara : Desa Pakraman Delodblumbang 2) Sebelah Timur : Kecamatan Tampaksiring 3) Sebelah Selatan : Desa Pakraman Kenderan 4) Sebelah Barat : Desa Tegalalang Bentuk dataran wilayah desa Pakraman Manuaba merupakan pegunungan yang memanjang dari utara ke selatan. Daratan ini dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, persawahan, perkebunan, tempat suci, kuburan, jalan umum, sekolahdan lain-lain. Desa Pakraman Manuaba memiliki iklim tropis dengan temperature minimum 22 0 Celcius dan maksimum 28 0 Celcius, dengan kelembapan udara ratarata di atas 80%. Curah hujan paling rendah 2,800Mm dan paling tinggi 3,293 Mm. dengan ketinggian dari permukaan laut 450-600 meter. Data ini diperoleh berdasarkan rasio dengan desa-desa lain yang ada di lingkungan Desa Pakraman Manuaba. Sumber: Profil pembangunan desa tahun 2016 57

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Latar belakang tidak diperkenankan menggunakan sulinggih Dari informasi di lapangan tentang larangan sulinggih tidak diperkenankan untuk memimpin pelaksanaan upacara yadnya di Pura Geria Sakti Manuaba tidak ada literature secara tertulis mengenai hal yang dimaksud. Namun, masyarakat memiliki cerita secara turun temurun yang diyakini sebagai asal mula setiap pelaksanaan upacara yadnya tidak menggunakan sulinggih. Dari informasi yang peneliti dapatkan dilapangan yang di ceritakan oleh I Nyoman Sibang selaku pemangku di Desa Pakraman Manuaba yang juga merupakan tokoh masyarakat di Desa Pakraman Manuaba. Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan pada tanggal 12 Juli 2016 I Nyoman Sibang menyebutkan sebagai berikut : Latar belakang tidak diperkenankan sulinggih untuk memimpin upacara yadnya yaitu terkait pada cerita kerajaan Gelgel di Klungkung yang akan berperang melawan kerajaan Blambangan. Mengutus patihnya I Gusti Ngurah Watulepang untuk pergi berperang mengalahkan kerajaan Blambangan. Patih I Gusti Ngurah Watulepang berjanji akan mengalahkan raja Blambangan dalam waktu kurang dari tiga bulan. Akan tetapi dalam kenyataannya I Gusti Ngurah Watulepang tidak kunjung dating dalam waktu yang telah disepakati kehadapan sang raja. Karena merasa khawatir terhadap patihnya tersebut, sang raja mendengar bahwa Ida Pedanda Sakti Manuaba dapat meneropong kejadian dari kejauhan maka sang raja meminta untuk melihat kejadian peperangan yang dilaksanakan oleh patih I Gusti Ngurah Watulepang. Terlihatlah I Gusti Ngurah Watulepang kalah perang dan bersembunyi di hutan sambil menyusun strategi perang dan pada akhirnya barulah patih I Gusti Ngurah Watulepang memenangkan peperangan. Dengan menangnya dari perang barulah I Gusti Ngurah Watulepang berani menghadap ke kerajaan setelah delapan bulan. Hal ini yang dipertanyakan oleh sang raja mengapa setelah delapan bulan baru menghadap. Patih I Gusti Ngurah Watulepang mengatakan bahwa dia hanya beristirahat setelah berperang, alasan inilah yang membuat sang raja marah karena sang raja mengetahui kejadian yang sebenarnya melalui peneropongan Ida Pedanda Sakti Manuaba, sehingga dipecatlah I Gusti Ngurah 58

Watulepang dari jabatan patihnya. Dari pecatnya menjadi patih, I Gusti Ngurah Watulepang menaruh dendam kepada Ida Pedanda Sakti Manuaba karena menganggap beliaulah yang menjadi sebab dipecatnya patih di Kerajaan Gelgel. Karena dendamnya tersebut I Gusti Ngurah Watulepang mengetahui bahwa beliau memiliki saudara Ida Pedanda Teges. Dimana kedua bersaudara ini memiliki hubungan yang tidak harmonis. Patih I Gusti Ngurah Watulepang menghasut Ida Pedanda Teges untuk merencanakan pembunuhan Ida Pedanda Sakti Manuaba. Suatu ketika Ida Pedanda Sakti Manuaba sedang membajak sawahnya, datanglah pasukan I Gusti Ngurah Watulepang dan Ida Pedanda Teges untuk membunuh Ida Pedanda Sakti Manuaba, ditusuklah Ida Pedanda Sakti Manuaba oleh Watulepang, karena sudah dianggap meninggal. Patih Watulepang pun pergi bersama pasukkannya sambil mengobrak-abrik dengan cara membakar rumah para penduduk dan geria Ida Pedanda Sakti Manuaba. Kemudian ketika Ida Pedanda Sakti Manuaba bersimbah darah dilihat oleh petani yang sedang mengembala sapinya. Diperintahlah petani tersebut untuk mengambil bungkak kelapa gading untuk membasuh luka beliau dan beliaupun melakukan pembersihan diri. Merasa beliau tidak kuat lagi, petani tersebut diberikan bisama oleh Ida Pedanda Sakti Manuaba untuk bertanggung jawab atas merajan dan jenazah beliau. Petani itupun menannyakan apakah tulang beliau dapat dijadikan pertiwimba, Ida Pedanda Sakti Manuaba menyarankan agar gelang dan slakanya sebagai symbol tulang (galih) dan diserahkan merajan beliau kepada petani tersebut, dan di hari berikutnya tidak boleh lagi wiku-wiku lain yang boleh menyelesaikan segala upacara di merajan karena Ida Pedanda Sakti Manuaba yang akan menyelesaikan sendiri, maka petani tersebut langsung menjadi pamangku, tempat beliau meninggal dibuatlah sebuah pura yang bernama pura Hyang Sakti. Merajan beliau tersebut diberi nama Pura Geria Sakti Manuaba. Dari munculnya bisama itu dikarenakan terlibatnya saudara beliau Ida Pedanda Teges sehingga bisama itu menggambarkan wujud sakit hati beliau terhadap saudaranya itu sehingga dari bisama tersebut seluruh sulinggih yang ada kena bisama tersebut untuk tidak memimpin segala macam yadnya di Pura Geria Sakti Manuaba. 59

Dari apa yang di paparkan oleh jero mangku Pura Geria Sakti Manuaba bahwa alasan tidak diperkenankan sulinggih untuk memimpin pujawali dikarenakan bisama Ida Pedanda Sakti Manuaba terhadap pamangku terdahulu sehingga hal ini diyakini oleh masyarakat sekitar secara turun temurun. Namun latar belakang adanya bisama tersebut tidak diketahui secara pasti oleh masyarakat sekitar. Dari paparan sejarah tersebut di atas terdapat suatu kebohongan I Gusti Ngurah Watulepang terhadap sang raja. Dari kebohongan yang dilaksanakan oleh patih I Gusti Ngurah Watulepang diberhentikan sebagai patih kerajaan Gelgel. Dengan diberhentikan sebagai patih I Gusti Ngurah Watulepang pada akhirnya menaruh dendam terhadap Ida Pedanda Sakti Manuaba karena menganggap bahwa beliaulah yang menjadi sebab diberhentikannya sebagai patih di kerajaan Gelgel. Dari paparan di atas terlihatlah dendamnya I Gusti Ngurah Watulepang terhadap Ida Pedanda Sakti Manuaba, sehingga memanfaatkan persaudaraan yang kurang baik antara Ida Pedanda Teges dan Ida Pedanda Sakti Manuaba. I Gusti Ngurah Watulepang menghasut saudara beliau Ida Pedanda Teges sehingga menghasilkan persekutuan antara I Gusti Ngurah Watulepang dan Ida Pedanda Teges dan selanjutnya menyerbu ke Desa Manuaba tempat Ida Pedanda Sakti Manuaba menetap. Dalam penyerbuan tersebut mengakibatkan terbunuhnya Ida Pedanda Sakti Manuaba di tengah sawah pada saat beliau sedang membajak sawahnya. Dari sinilah muncul bisama Ida Pedanda Sakti Manuaba bahwa tidak diperkenankan sulinggih untuk melakukan upacara di merajan beliau (sekarang Pura Geria Sakti Manuaba). 3.2 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Dalam pelaksanaan upacara yadnya tanpa sulinggih dilaksanakan di pura geria sakti manuaba yang terdapat dalam teritorial Desa pakraman Manuaba. Karena pelaksanaan upacara yadnya tanpa sulunggih di pura geria sakti manuaba desa pakeraman manuaba maka, peneliti mendalami permasalahan tersebut dengan melakukan penelitian saat dilaksanakan Piodalan di Pura Geria Sakti Manuaba yang upacara atau piodalan di Pura Geria Sakti Manuaba dilaksanakan setiap enam 60

bulan sekali berdasarkan perhitungan pawukon dalam Agama Hindu di Bali yakni dilaksanakan pada anggara kliwon medangsia yang pada saat peneliti melakukan penelitian piodalan dilaksanakan pada tanggal 27 oktober tahun 2016. 3.3 Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu Dalam Upacara Tanpa sulinggih di Pura Geria Sakti Manuaba Dalam pelaksanaan upacara tanpa sulinggih di Pura Geria Sakti Manuaba tentunya ada nilai-nilai positif yang perlu dikaji, khususnya yang berkaitan dengan nilai pendidikan Agama Hindu. nilai-nilai pendidikan Agama Hindu yang terkandung dalam upacara tanpa sulinggih di Pura Geria Sakti Manuaba adalah 1) Nilai pendidikan tattwa; 2) Nilai Pendidikan Upacara ; 3) Nilai pendidikan Karakter. a. Nilai Pendidikan Tattwa Tattwa adalah hakekat dari suatu obyek yang nyata yang terdapat sari-sari ajaran ke-tuhanan. Menurut I Nyoman Sibang selaku pamangku di Pura Geria Sakti Manuaba mengatakan bahwa: di pura ini tidak memperkenankan sulinggih untuk memimpin upacara nista maupun yang uttama. Hal ini merupakan tradisi turun temurun yang bermula dengan adanya bisama oleh Ida Pedanda Sakti Manuaba bahwa segala macam upacara yang dilaksanakan di pura maupun di seluruh desa Manuaba beliau yang memuput dari niskala dengan perantara saya sebagai pamangku Pura Geria Sakti Manuaba sebagai pamuput sekala, tetapi saya sebagai pamangku Geria Sakti harus terlebih dahulu meminta maklum kepada Ida Betara dalam hal ini Ida Pedanda Sakti Manuaba untuk menyelesaikan upacara yang akan di selesaikan setelah itu saya memohon tirta pamuput (wawancara pada tanggal 19 April 2016). Dari apa yang diutarakan oleh jero mangku I Nyoman Sibang dapat ditarik kesimpulan bahwa yang muput (menyelesaikan) pujawali di Pura Geria Sakti Manuaba ialah Ida Pedanda Sakti Manuaba sendiri yang berstana di pura ini. Jero mangku hanya sebatas perantara untuk bertindak sebagai pemimpin pujawali yang dilaksanakan di Pura Geria Sakti Manuaba. 61

Di sisi lain yang di ungkapkan oleh Ida Bagus Putu Sudarsana selaku tokoh praktisi agama Hindu (wawanara pada tanggal 19 April 2016) mengatakan bahwa: di Pura Geria Sakti Manuaba yang tidak memperkenankan sulinggih untuk memimpin suatu upacara tertuang dalam sebuah Purana Ida Pedanda Sakti Manuaba menjelaskan asal mula bisama tersebut. Dimana pada saat I Gusti Ngurah Watulepang dan Ida Pedanda Teges membunuh Ida Pedanda Sakti Manuaba di sawah dan di lihat oleh pengembala sapi. Pengembala sapi itu menolong Ida Pedanda Sakti sehingga pada saat itulah Ida Pedanda Sakti Manuaba memberikan bisama kepada pengembala sapi bahwa dia diberi wewenang untuk bertanggung jwab keberlangsungan tempat suci beliau, dan pada selanjutnya tidak boleh lagi wiku-wiku untuk menyelesaikan upacara di Pura Geria Sakti Manuaba beliaulah yang akan menyelesaikan secara niskala dan pengembala sapi itu langsung dipakai sebagai pamangku Pura Geria Sakti Manuaba. Hal ini dikarenakan saudara beliaulah yang ikut terlibat dalam perencan aan pembunuhan beliau sehingga bisama tersebut merupakan ungkapan sakit hati beliau kepada saudaranya tersebut. Dari paparan cerita tersebut terdapat nilai-nilai keyakinan (sradha) yang dipercaya oleh masyarakat berupa sebuah sejarah tentang keberadaan bisama Ida Pedanda Sakti Manuaba secara turun temurun sebagai sulinggih niskala sehingga pujawali yang dilaksanakan di Pura Geria Sakti Manuaba tidak diperkenankan sulinggih pada umumnya untuk memimpin pujawali karena sudah diselesaikan oleh Ida Pedanda Sakti Manuaba sebagai sulinggih niskala. Dari kepercayaan berupa bisama tersebut pujawali tanpa sulinggih di Pura Geria Sakti Manuaba dapat berlangsung dengan ikmat yang dipimpin oleh pamangku pura yang merupakan keturunan dari pemangku terdahulu yang mendapatkan bisama secara langsung oleh Ida Pedanda Sakti Manuaba. b. Nilai Pendidikan Upacara Upacara tanpa sulinggih di Pura Geria Sakti Manuaba Desa Pakraman Manuaba, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar dilaksanakan setiap enam bulan sekali yang jatuh pada setiap rahina anggara kliwon medangsia. Pujawali tanpa sulinggih ini mengacu pada ajaran raja yoga yang telah dijabarkan dalam 62

pelaksanaan upacara tersebut berupa ketulusan hati umat untuk beryadnya, yang penuh dilandasi oleh rasa pengendalian diri ataupun tujuan upacara pujawali ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar beliau menganugrahkan kekuatan tapa (satyam) terhadap alam semesta beserta segala isinya dan menganugrahkan kesejahteraan (sundaram) terhadap makhluk ciptaannya. 2) Memberikan kesempatan kepada umatnya untuk berkarma yang subha karma sebagai sarana peleburan dosa. 3) Untuk dapat mengamalkan wahyu Sang Hyang Widhi, melalui tuntunan para Maha Rsi dengan cara mengundang, penghormatan dan memberikan suguhan kepada para leluhur. 4) Memberikan kesempatan kepada umatnya agar dapat melaksanakan penyupatan terhadap makhluk di luar kehidupannya. 5) Dapat dipakai sebagai media pendidikan baik bersifat moral maupun spiritual dalam proses pembuatan sarana upakara sampai menghaturkan upakara tersebut. c. Nilai Pendidikan Karakter Menurut kemendiknas 2010 dalam wibowo, mengatakan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang berpikir, bersikap dan bertindak. Tidaklah sulit menemukan nilai-nilai pendidikan karakter dalam budaya kita karena bangsa kita dikenal masih menjungjung adat dan budaya leluhut timuran. Singkatnya nilai-nilai karakter mulia itu dapat kita temukan dalam adat dan budaya hampir diseluruh suku bangsa di negri ini. Menurut kemendiknas nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam adat budaya suku bangsa kita telah dikaji dan dirangkum menjadi satu. Berdasarkan kajian 63

tersebut telah teridentifikasi butir-butir nilai luhur yang diinternalisasikan terhadap generasi bangsa melalui pendidikan karakter. Ada 18 nilai-nilai yang diinternalisasikan dalam pendidikan karakter diantaranya adalah : religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tau, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Simpulan 1) Alasan di Desa Pakraman Manuaba tidak diperkenankan sulinggih untuk memimpin piodalan yang dilaksanakan di Pura Geria Sakti Manuaba Desa Pakraman Manuaba dikarenakan adanya bisama. Bisama ini merupakan bentuk kekecewaan Ida Pedanda Sakti Manuaba kepada saudara beliau Ida Pedanda Teges yang ikut merencanakan pembunuhan Ida Pedanda Sakti Manuaba. Jadi dari cerita tersebutlah Piodalan atau upacara yadnya yang dilaksanakan di Pura Geria Sakti Manuaba pada khususnya dan di Desa Pakraman Manuaba pada umumnya tidak menggunakan sulinggih karena dalam bisama tersebut Ida Pedanda Sakti Manuaba yang akan menyelesaikan secara niskala, 2) Tempat dan pelaksanaan upacara tanpa sulinggih di Pura Geria Sakti Manuaba dilaksanakan setiap enam bulan sekali yakni pada anggara kliwon medangsia yang pada saat peneliti melakukan penelitian piodalan dilaksanakan pada tanggal 27 Oktober tahun 2016. 3) Nilai-nilai pendidikan Agama Hindu yang terkandung dalam upacara yadnya tanpa sulinggih di Pura Geria Sakti Manuaba pada khususnya dan di Desa Pakraman Manuaba pada umumnya terdiri beberapa hal sebagai berikut: 1) nilai pendidikan Tattwa; 2) Nilai pendidikan Upacara; 3) Pendidikan karakter. 64

DAFTAR PUSTAKA Arniati, Ida Ayu Komang. Dkk, 2007. Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi. Berdasarkan SK DIKTI No.38/ DIKTI/ KEP/ 2002. Surabaya: Penerbit Paramita. Agastia, I.B.G. 2001. Eksistensi Sadhaka Dalam Agama Hindu. Denpasar: Pustaka Manik Geni. Kajeng, I Nyoman, dkk. 1997.Sarasamuccaya dengan teks Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna. Surabaya: Penerbit Paramita. Moleung, Lexy. 2005.Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja rosada Karya. Ngurah, I Gusti Made, dkk.1999. Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: penerbit Paramita Parisada Hindu Dharma Indonesia.1983.Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tapsir Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV. Pudja, Gede. 1982/1983. Siwa Sesana. Jakarta: Mayasari Cv Gunung Jati. Punyatmaja, Ida Bagus.1993. Dharma Sastra, Jakarta : Yayasan Dharma Santi. Rangga Natha. 2003. Agem-agem Kepemangkuan. Surabaya: Penerbit paramita. Sudarsana, Ida Bagus Putu.2003. Ajaran Agama Hindu (sila kramaning pemangku Denpasar.Yayasan Dharma Acarya Percetakan Mandara Sastra. Sugiono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif R&G. Bandung: Alfabeta. Surayin, Ida Ayu Putu.2002. Dewa Yadnya. Surabaya: Paramita Swami Prabupada, 1986. Bhagawadgita Menurut Aslinya. Jakarta: Timpenerjemah bhagawadgita menurut aslinya Wibowo, Agus. 2013.Pendidikan Karakter Di Perguruan Tinggi.Yogyakarta. Pustaka Belajar. 65