BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya alam tambang di kawasan hutan telah lama dilakukan dan kegiatan pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia. Dampak lingkungan dari adanya pertambangan ada positif yaitu meningkatkan pendapatan ekonomi baik secara nasional maupun regional, namun juga meninmbulkan dampak negatif seperti perubahan lingkungan seperti degradasi hutan, berkurangnya luasan hutan, hilangnya topsoil dan perubahan secara hidrologi seperti kualitas air akibat polusi serta perubahan iklim secara mikro. Lebih lanjut menurut Kusnoto dan Kusumodirdjo (1995) dalam Qomariah (2003) kegiatan pertambangan selain meningkatkan pendapatan dan devisa negara juga berdampak terhadap lingkungan antara lain menyebabkan penurunan produktivitas tanah, pemadatan tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terganggunya flora dan fauna, serta terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk, terjadinya perubahan iklim mikro. Kerusakan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak lingkungan sangat terkait dengan teknologi dan teknik pertambangan yang digunakan. Sementara teknologi dan teknik pertambangan tergantung pada jenis mineral yang ditambang dan kedalaman bahan tambang, misalnya penambangan batubara dilakukan dengan sistem tambang terbuka, sistem dumping (suatu cara penambangan batubara dengan mengupas permukaan tanah). Berdasarkan hasil inventarisasi BPKH wilayah V Banjarbaru tahun 2006 terdapat 225 perusahaan tambang yang arealnya masuk kawasan hutan yang terdiri dari 26 perusahaan pemegang ijin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara atau PKP2B dan 199 perusahaan pemegang ijin kuasa pertambangan atau KP. Sedangkan yang memperoleh ijin pinjam pakai kawasan hutan sampai tahun 2005 baru ada 15 instansi/perusahaan swasta. Total areal tambang yang masuk kawasan hutan adalah ± 442.371,83 ha yang terdiri dari hutan produksi (HP) seluas 275.136,1 ha (62.20 %), hutan produksi terbatas
2 (HPT) 40.288,39 ha (9,11 %), hutan produksi konversi (HPK) 20.670,26 ha (4,67 %), hutan lindung (HL) 48.680,08 ha (11,00 %), suaka alam (SA) 57.597,00 ha (13,02 %) (BPKH V,2006). Pada tahun 2002 produksi batubara di Kalimantan Selatan mencapai 13 juta ton per tahun. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pengusahaan batubara resmi, juga meningkat kegiatan Pertambangan Tanpa Ijin (PETI) batubara di berbagai lokasi penambangan Kabupaten Banjar sebagai salah satu kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan peningkatan intensitas kegiatan PETI batubara yang berkembang cepat seiring dengan perubahan situasi dan kondisi ekonomi politik di tanah air. Pada tahun 1997 diperkirakan terdapat 157 perusahaan perorangan PETI batubara di Kalimantan Selatan, meningkat menjadi 445 pengusaha,/ peorangan pada tahun 2000. (Qomariah, 2003). Kajian mengenai dampak pertambangan terbuka telah dilakukan oleh Toren dan Unal (2001) dengan menggunakan citra landsat multi temporal untuk identifikasi dan monitoring dampak pertambangan terbuka terhadap lingkungan di provinsi Manisa Turki. Kemudian Limpitlaw (2003) dan Lau et al. (2005) menggunakan citra landsat multi temporal untuk menurunkan indeks Tasseled Cap atau Kauth Thomas untuk monitoring dampak kegiatan pertambangan. Torres dan Vera (2005) menggunakan metode change detection menggunakan citra multi temporal dan memakai NDVI sebagai dasar untuk menentukan kerusakan yang terjadi secara cepat di areal hutan akibat aktivitas pertambangan di daerah San Luisi, Meksiko. Lebih lanjut Shimabukuro dan Filho (2003) melakukan kajian untuk monitoring pertambangan menggunakan kombinasi citra landsat dan radar oleh. Citra Landsat-5 TM tahun 1987, 1991, 1994, and 1996 and citra radar JERS-1 SAR tahun 1993, 1994, and 1996. Sementara Wenbo, Lijing dan Yang. (2008) menggunakan teknik fusi antara citra Landsat TM dan SAR digunakan menyediakan solusi yang lebih baik dalam monitoring lingkungan di lahan tambang di lahan pertambangan di Cina dan menyediakan basis data yang lebih baik untuk sumberdaya tambang. Berdasarkan kajian penelitian terdahulu tersebut di atas maka pada penelitian ini memfokuskan untuk melihat adanya lahan terbuka yang secara visual tampak pada citra akibat aktivitas pertambangan. Adanya lahan terbuka
3 yang secara visual tampak pada citra akibat aktivitas pertambangan terbuka seharusnya bisa dibedakan dan diidentifikasi secara cepat dengan lahan terbuka akibat aktivitas lain seperti perkebunan, pembukaan lahan, jalan dan pemukiman 1.2 Rumusan Permasalahan Menurut Qomariah (2003) kegiatan Pertambangan Tanpa Ijin (PETI) batubara di kabupaten Baniar Propinsi Kalimantan Selatan berada di lahan kering dengan ketinggian 250-750 m dari permukaan laut yang dilakukan dengan sistem terbuka (open dumping) tanpa ada usaha rehabilitasi lahan, sehingga keadaannya saat ini sangat tidak memungkinkan untuk dijadikan sebagai lahan produktif. Hal ini terutama disebabkan terjadinya perubahan kondisi lahan secara keseluruhan serta penurunan kualitas lahan sehingga tidak mampu lagi untuk mendukung suatu pertumbuhan tanaman. Penambangan batubara dengan sistem terbuka selain berpengaruh terhadap struktur ekosistem, yaitu perusakan bentuk lahan karena timbunan tanah galian, terbentuknya cekungan-cekungan besar bekas galian tambang dan rusaknya vegetasi yang tumbuh di atasnya,serta berpengaruh terhadap organisme perairan. Sebab proses erosi yang terjadi di lahan pasca tambang menyebabkan proses sedimentasi dalam perairan dan dapat membahayakan kehidupan organisme yang ada di dalam perairan tersebut. Semakin tinggi produksi tambang maka akan semakin banyak kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkannya (Qomariah, 2003). Ditinjau dari aspek lingkungan, kegiatan pertambangan Tanpa ljin (PETI) batubara sangat berpengaruh negatif terhadap kondisi lingkungan, karena menyebabkan hilangnya vegetasi dan populasi satwa liar akibat pembersihan lahan untuk ditambang, serta kerusahan lahan akibat penambangan seperti terjadinya perubahan bentuk lahan, penurunan kualitas tanah dan air akibat pengupasan lapisan tanah untuk menggali bahan tambang. Selain itu juga menyebabkan terjadinya erosi di lahan pasca tambang dan sedimentasi di bagian hilir. Rusaknya lingkungan akibat PETI ini semakin diperparah karena tidak ada tindakan dari pihak yang berwenang maupun kesadaran masyarakat
4 penambang sendiri baik untuk merehabilitasi lahan pasca tambang maupun untuk melakukan tindakan konservasi tanah dan air. Eksploitasi batubara dilakukan secara terbuka yaitu penambangan dengan cara mengupas permukaan tanah yang dilanjutkan dengan penggalian batubara, dan setelah selesai penambangan lapisan atas tanah (top soil) tidak dikembalikan ke tempat semula. Kegiatan penambangan batu bara tanpa tindakan untuk merehablitasi lahan setelah kegiatan berakhir dilakukan hampir pada semua lokasi pertambangan tanpa ijin, sehingga menimbulkan cekungan besar yang dikelilingi tumpukan anah bekas galian. Pada saat musim hujan cekungan ini membentuk danau dan kemudian karena erosi maka lahan bekas tambang mengalir ke daerah-daerah sekitarnya melalui sungai menutupi lahan pertanian/perkebunan sekaligus menimnbulkan sedimentasi di areal tersebut. Sehingga kegiatan pertambangan batubara yang dilakukan oleh penambangan tanpa ijin menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius. Analisis inderaja (remote sensing) dan analisis sistem informasi geografis dalam berbagai studi telah terbukti mampu mendeteksi keadaan lingkungan tertentu di suatu daerah secara cost-effective, antara lain karena cakupan areal yang dianalisis cukup luas. Beberapa komponen yang dapat dipantau antara lain adalah penutupan lahan dari waktu ke waktu, sebaran areal tambang, sebaran dan pola lahan terbuka akibat aktivitas penambangan illegal dan akibat aktivitas lain. Atas dasar permasalahan tersebut maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apa metode yang cepat digunakan untuk deteksi cepat lahan terbuka di lahan pasca tambang batubara? 2. Bagaimana efisiensi metode cepat identifikasi lahan terbuka di lahan pasca tambang batubara diabandingkan metode ground survey? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mendapatkan metode cepat identifikasi lahan terbuka pada lahan pasca tambang batubara. 2. Untuk mengevaluasi efisiensi metode cepat identifikasi lahan terbuka di lahan pasca tambang batubara diabandingkan metode ground survey.
5 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan pertama dapat bermanfaat untuk monitoring dampak pertambangan terbuka dengan terbukanya lahan hutan secara cepat. Kedua untuk memberikan informasi basis data lahan kritis yang berguna untuk rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan hutan di kabupaten Banjar. 1.5 Kerangka Pemikiran Provinsi Kalimantan Selatan memiliki potensi tambang batubara yang besar, sejak lima tahun terakhir kegiatan tambang khususnya batubara semakin marak dan tidak terkoordinasi dengan perencanaan kehutanan padahal sebagian besar kegiatan pertambangan berada di kawasan hutan. Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumberdaya Manusia tahun 2008 propinsi Kalimantan Selatan mempunyai potensi tambang batubara sebesar 12,26 milyar ton dan menempati urutan ke-3 di Indonesia. Salah satu kendala dalam pengembangan lahan usaha tambang adalah adanya benturan kepentingan atau tumpang tindih penggunaan lahan disamping dampak negatif terhadap kerusakan lingkungan akibat adanya aktivitas usaha tambang tersebut. Kegiatan PETl batubara di kabupaten Banjar, Kalimantan Selalan menyebabkan ph tanah bekas tambang sangat rendah sehingga tidak dapat diusahakan lagi untuk budidaya tanaman. Hal ini disebabkan munculnya lapisan bawah tanah ke permukaan sehingga terjadi oksidasi pirit yang merupakan senyawa beracun dan hilangnya bahan organik akibat tidak adanya vegetasi (Qomariah,2003). Pemanfaatan sumberdaya lahan untuk pertambangan, pembalakan hutan, pertanian dan lain-lain menyebabkan kerusakan hutan sehingga fungsi hutan menjadi terganggu. Fungsi hutan dimaksudkan sebagai hutan lindung (fungsi lindung) yang menjaga keseimbangan ekosistem air, tanah, vegetasi dan mengatur keseimbangan iklim mikro, maupun fungsi konservasi. Kegiatan ini menyebabkan hilangnya hutan primer yang dapat menyebabkan perubahan pada iklim, kehilangan spesies, dampak terhadap hidrologi dan tanah, gangguan kesehatan, kehilangan hasil hutan, dampak terhadap ekonomi dan kehilangan estetika terhadap hutan.
6 Penambangan batubara yang tidak memperhatikan aspek lingkungan berupa pembersihan lahan dan pengupasan lapisan atas tanah akan menyebabkan terancamnya daerah sekitarnya dari bahaya erosi dan tanah longsor sebagai akibat dari hilangnya vegetasi penutup tanah. Pembukaan lahan secara besarbesaran juga menyebabkan teriadinya perubahan bentang alam (morfologi dan topografi) yaitu perubahan sudut panjang dan bentuk lereng. Pengupasanpengupasan, penimbunan tanah, penutupan dan penggalian batubara menimbulkan perubahan pola drainase, debit air sungai dan kualitas air permukaan pada saat hujan (Qomariah,2003). Motloch (1993) dalam Yusuf (2008) menyatakan bahwa landskap dalam definisi kontemporer meliputi daerah yang masih liar dan daerah yang terhuni. Daerah yang masih liar adalah lanskap alami dan daerah yang berpenghuni adalah lanskap buatan. Lanskap juga berarti suatu keadaan pada suatu masa yang merupakan bagian ekspresi dan pengaruh dari unsur-unsur ekologi, teknologi dan budaya. Pada lahan pasca tambang terjadi perubahan kemampuan dari muka bumi, sehingga secara estetika tanah pasca tambang tidak baik, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Oleh karena itu, untuk medapatkan hasil kajian atau analisis yang baik cepat dan tepat diperlukan data yang representatif, akurat, dan mutakhir di mana teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis mampu melakukannya. Sehingga pada penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu metode cepat deteksi lahan terbuka pada lahan pasca tambang batubara.
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian 7