TESIS PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG PROVINSI BALI CHANDRA IMMANUEL SARAGIH

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi Bali dan Penyebarannya

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

POLIMORFISME GEN GROWTH HORMONE SAPI BALI DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN RENDAH NUSA PENIDA

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali merupakan sapi murni asal Indonesia yang tersebar luas

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 62 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENGELUARAN BIBIT SAPI BALI SENTRA TERNAK SOBANGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

PENDAHULUAN. Latar Belakang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Sapi potong merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Sapi Bali termasuk familia Bovidae, Genus Bos dan Sub-Genus Bovine,

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. sapi Jebres, sapi pesisir, sapi peranakan ongole, dan sapi Pasundan.

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

KAJIAN KEPUSTAKAAN. relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos

Buletin Veteriner Udayana Vol. 4 No.2: ISSN : Agustus 2012

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bovidae didomestikasi dari leluhurnya yang masih liar yaitu Bos javamicus/bibos banteng atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

PENDAHULUAN. cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI KABUPATEN SUMBAWA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

dan sapi-sapi setempat (sapi Jawa), sapi Ongole masuk ke Indonesia pada awal

TINJAUAN PUSTAKA. Populasi sapi bali di Kecamatan Benai sekitar ekor (Unit Pelaksana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan

I. PENDAHULUAN. meningkat, rata-rata konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang

I. PENDAHULUAN. besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus)

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*)

BAB I PENDAHULUAN. kerbau. Terdapat dua jenis kerbau yaitu kerbau liar atau African Buffalo (Syncerus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

PEMURNIAN DAN PENGEMBANGAN MUTU GENETIK SAPI BALI DI BALI

SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO BRUCELLOSIS PADA SAPI DI KABUPATEN PINRANG DAN ENREKANG, PROVINSI SULAWESI SELATAN

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Potong Tropis Bangsa sapi potong tropis adalah merupakan bangsa sapi potong yang berasal

TINJAUAN PUSTAKA. atas sekumpulan persamaan karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kambing merupakan hewan-hewan pertama yang didomestikasi. oleh manusia. Diperkirakan pada mulanya pemburu-pemburu membawa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo

BAB VIII PEMBIBITAN TERNAK RIMINANSIA

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan hal-hal tertentu,

TINJAUAN PUSTAKA. Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan adalah ternak kambing. Kambing merupakan ternak serba guna yang

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya dari pulau Madura. Sapi Madura merupakan ternak yang dikembangkan

Transkripsi:

TESIS PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI KECAMATAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG PROVINSI BALI CHANDRA IMMANUEL SARAGIH PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

TESIS PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI KECAMATAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG PROVINSI BALI Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Kedokteran Hewan, Program PascasarjanaUniversitas udayana CHANDRA IMMANUEL SARAGIH NIM 1292361018 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 30 Juni 2014 Panitian Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 1828a/UN.14.4/HK/2014 Tanggal 23 Juni 2014 Ketua : Prof. Dr. drh. Ni Ketut Suwiti, M.Kes. Anggota : 1. Prof. Dr. drh. I. B. Komang Ardana, M. Kes. 2. Dr. drh. I Ketut Suatha, M.Si 3. Prof. Dr. drh. Iwan Utama, MS. 4. Prof. Dr.drh. I Ketut Puja, M.Kes. iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Chandra Immanuel Saragih NIM : 1292361018 Program Studi Judul Tesis : Kedokteran Hewan : Profil Hormon Pertumbuhan Sapi Bali Di Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI NO. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 30 Juni 2014 Yang membuat pernyataan, Chandra Immanuel Saragih v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis Chandra Immanuel Saragih dilahirkan pada tanggal 11 Maret 1991 di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, putra dari pasangan suami istri Hotman Saragih, S.H. (Alm) dan Riau Verani Sitompul. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD Swasta Taman Asuhan Pematangsiantar dan menamatkan pendidikan tahun 2002, Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Taman Asuhan Pematangsiantar, diselesaikan pada tahun 2005, Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 4 Pematangsiantar, diselesaikan pada tahun 2008. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di kedokteran Kedokteran Hewan Universitas Udayana, menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) Tahun 2012 dan menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter Hewan Tahun 2013. Penulis diterima menjadi mahasiswa Program Magister Program Studi S2 Kedokteran Hewan di Universitas Udayana Pada Tahun 2012. Selanjutnya penulis melakukan penelitian di Laboratorium Biomedik Balai Besar Veteriner Denpasar berjudul Profil Hormon Sapi Bali Di Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali. Penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Hewan pada Program Magister Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana. vi

UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. drh. Ni Ketut Suwiti, M. Kes. selaku pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti Program Magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I. B. Komang Ardana, M.Kes. selaku pembimbing II yang penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan yang sama ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, SpPD. (KEMD) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes. selaku Ketua Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana dan juga sebagai penguji tesis, atas kesempatan yang diberikan untuk belajar di Program Studi yang dipimpinnya dan kesediaannya menjadi penguji. vii

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada para penguji tesis lainnya, yaitu Prof. Dr. drh. Iwan Utama, MS. dan Dr. drh. I Ketut Suatha, M.Si. yang telah memberikan masukan, saran dan sanggahan sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada para dosen yang telah membimbing penulis dalam mengikuti pendidikan Program Magister pada Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Univesitas Udayana. Pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada drh. Agustini, MP dan Bapak Mayun yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dalam pelaksanaan penelitian di laboratorium. Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibu tersayang Riau Verani Sitompul dan Abang Andry Christian Saragih, S.H. yang telah memberikan dukungan dan perhatian dalam penulisan tesis ini. Keluarga besar Opung Tio Minar Hutabarat, Bapak M. Hutagalung, SE, Bapak Ir. S. Rajagukguk, Bapak Hendra Gunawan, ST yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan penulis kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini. Terima kasih juga kepada Gereja ROCK Satelit Kota, Komunitas Sel serta Atmosphere Youth yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi kepada penulis. Kepada Milfa, Reny, Calvin, Rasdiyanah, dan Widodo yang menjadi rekan dalam suka dan duka selama penelitian dan penulisan tesis dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga terwujudnya tesis ini. viii

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan anugrah-nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian Tesis ini, serta kepada penulis dan keluarga. ix

ABSTRAK PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI KECAMATAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG PROVINSI BALI Telah dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui kadar hormon pertumbuhan sapi bali di Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali. Sampel yang digunakan adalah serum sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida yang berjumlah 80 sampel. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode ELISA (Enzime Linked Immunosorbent Assay) sesuai dengan standar KIT Cloud-Clone Corp, yang menghasilkan nilai optical density (OD) terhadap konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profil hormon pertumbuhan sapi bali di Nusa Penida memiliki variasi yang tinggi. Dibandingkan dengan sapi lainnya didunia dan sapi bali yang dipelihara di daerah lainnya, maka konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali di Nusa Penida memiliki rerata yang paling rendah. Dapat disimpulkan bahwa profil hormon pertumbuhan sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida mempunyai rerata 1.200,80±825.869 pg/ml dengan konsentrasi terendah 576,4 pg/ml dan konsentrasi tertinggi 4940,8pg/ml. Kata kunci: Hormon pertumbuhan, Sapi bali, Nusa Penida, ELISA. x

ABSTRACT THE GROWTH HORMONE PROFILE OF BALI CATTLE IN DISTRICT OF NUSA PENIDA KLUNGKUNG, BALI The research intend to know about growth hormone profile of bali cattle in district Nusa Penida, Bali Province. The sample which used from cattle serum, were maintained at Nusa Penida Bali, which amount 80 samples. The study was conducted by using the ELISA method (Enzime linked im munosorbent assay) in accordance with standard of KIT Cloud-Clone Corp which result in the value of optical density (OD) from growth hormone concentration of bali cattle. The results showed the growth hormone concentration of bali cattle in Nusa Penida have high variation. Comparing with other cows in the world and bali cattle which maintained in other area, the growth hormone concentration of bali cattle in Nusa Penida have the lowest mean. It is concluded that the mean concentration growth hormone of bali cattle which maintained in Nusa Penida about 1200.80±825869 pg/ml with the lowest concentration of 576,4 pg / ml and the highest concentration of 4940,8 pg/ml. Keywords: Growth hormone, Bali cattle, Nusa Penida, ELISA. xi

RINGKASAN Pulau Nusa Penida dinyatakannya sebagai pengembangan pusat pembibitan sapi bali. Sapi bali yang ada di daratan Nusa Penida dikenal sebagai sapi bali murni ( Pure Breed) yang patut dijaga kemurniannya. Tahun 2013 Menteri Pertanian melalui Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan menetapkan Nusa Penida sebagai wilayah pembibitan dan pemurnian sapi bali. Keberhasilan pembibitan dan pemurnian sapi bali di Nusa Penida, sangat ditentukan oleh tingkat pertumbuhan sapi bali. Salah satu yang dapat dijadikan indikatornya adalah hormon pertumbuhan. Penelitian ini melakukan kajian terhadap profil hormon pertumbuhan sapi bali di Nusa Penida, mengingat pertumbuhan merupakan salah satu indikator untuk menilai produktivitas ternak. Metode yang digunakan untuk mengukur kadar hormon pertumbuhan dengan ELISA ( Enzyme Linked Imuunosorbent Assay). Hasil penelitian membuktikan profil hormon pertumbuhan sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida mempunyai karakteristik yang sangat spesifik. Kadar hormon sapi bali di Nusa penida mempunyai rerata (1,200 pg/ml) dengan kadar tertinggi ( 576,4 pg/ml) dan terendah ( 4940,8 pg/ml). Keadaan ini sangat beralasan mengingat secara fenotifik, dengan jenis kelamin dan umur yang sama sapi bali di Nusa Penida lebih kecil dibandingkan dengan sapi bali yang dipelihara di daerah Bali lainnya (Saka et al. 2005). Rendahnya kadar hormon tersebut dapat disebabkan oleh defisiensi pakan yang berdampak pada gen sehingga mengurangi ekspresi hormon pertumbuhan atau akibat pemberian pakan yang tidak berkualitas secara terus menerus dan berlangsung lama, sehingga pertumbuhan sapi bali akan beradaptasi dengan lingkungan melalui mutasi gen, karena sapi bali mempunyai kelenturan fenotifik yang sangat tinggi. xii

DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i PRASYARAT GELAR... LEMBAR PENGESAHAN... PENETAPAN PANITIA PENGUJI... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... ABSTRACT... RINGKASAN... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ii iii iv vii x xi xii xiv xvi xvii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 3 1.3 Tujuan Penelitian... 3 1.4 Manfaat Penelitian... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 4 2.1 Sapi Bali... 4 2.2 Karakteristik Fenotipe dan Genotipe Sapi Bali... 5 2.3 Hormon Pertumbuhan... 8 2.4 Gen Hormon Pertumbuan Sebagai Pengontrol Pertumbuhan... 11 2.5 Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan (Growth Hormone Receptor).. 13 2.6 Karakteristik Nusa Penida.. 15 2.7 Populasi Ternak Sapi Bali di Nusa Penida... 17 2.7.1 Struktur Populasi Sapi Bali.. 18 2.7.2 Potensi Pakan dan Lahan di Nusa Penida 18 2.7.3 Pemeliharaan Sapi Bali 19 xiii

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir... 21 3.2 Kerangka Konsep... 23 BAB IV METODE PENELITIAN... 24 4.1 Rancangan Penelitian... 24 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 24 4.3 Ruang Lingkup Penelitian... 24 4.4 Penentuan Sumber Data..... 24 4.5 Variabel Penelitian... 25 4.6 Bahan Penelitian... 26 4.7 Instrumen Penelitian... 26 4.8 Prosedur Penelitian... 27 4.9 Analisis Data... 28 BAB V HASIL PENELITIAN... 29 BAB VI PEMBAHASAN... 32 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN... 38 7.1 Simpulan... 38 7.2 Saran... 38 DAFTAR PUSTAKA... 39 LAMPIRAN... 45 xiv

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Nusa Penida dan pembagian daerahnya... 17 2. Grafik Hasil Optical Density (OD) Hormon Pertumbuhan Sapi Bali... 30 xv

DAFTAR TABEL Halaman 1. Nilai Optical Density (OD) Hormon Pertumbuhan pada Serum Sapi Bali di Kecamatan Nusa Penida 29 2. Konsentrasi Hormon Pertumbuhan dari Persamaan Y= 1529.957X 1.829 dan dikalikan 20 kali.. 31 xvi

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Nilai Optical Density (OD) Hasil Pengujian Serum Sapi Bali dengan Menggunakan ELISA Reader Filter 450nm (96 well)... 45 2. Analisis Nilai Optical Density dengan Persamaan Y= ax b 45 3. Data Hasil Statistik Deskriptif.... 47 4. Dokumentasi Laboratorium. 48 xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu jenis ternak yang cukup penting peranannya dalam penyediaan daging nasional mengingat jumlahnya yang cukup besar dan penyebarannya yang cukup luas. Penyebaran sapi bali saat ini hampir meliputi seluruh wilayah Indonesia. Empat provinsi yang memiliki jumlah sapi bali terbesar di Indonesia adalah Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sapi bali memperlihatkan kemampuan untuk berkembang biak dengan baik yang disebabkan beberapa keunggulan yang dimilikinya. Keunggulan sapi bali dibandingkan sapi lain diantaranya memiliki daya adaptasi sangat tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik, dapat memanfaatkan pakan kualitas rendah, mempunyai fertilitas dan conception rate sangat baik, persentase karkas tinggi yaitu 52-57,7%, memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah yaitu kurang dari 4% (Oka dan Darmadja, 1996; Payne dan Hodges, 1997). Sapi bali dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya mewujudkan Program Swasembada Daging Sapi Dan Kerbau Tahun 2014 (PSDSK-2014). Oleh karena itu sapi bali harus terus dikembangkan dan ditingkatkan produktivitasnya, baik yang ada di Bali maupun sapi bali yang ada di luar daerah yang diketahui sebagai daerah tempat penggembangan sapi bali. Sapi bali yang ada di daratan Nusa Penida dikenal sebagai sapi bali murni (Pure Breed) 1

2 yang patut dijaga kemurniannya. Tahun 2013 Menteri Pertanian melalui Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan menetapkan Nusa Penida sebagai wilayah pembibitan dan pemurnian sapi bali. Secara fisiografi, kepulauan Nusa Penida merupakan kawasan lahan kering, berbukit dan berzona iklim F yakni dengan distribusi 4 bulan musim hujan dan 8 bulan musim kemarau. Walaupun demikian subsektor peternakan berkontribusi cukup besar terhadap total pendapatan masyarakat, terutama dari komoditas sapi bali karena Nusa Penida dinyatakan bebas dari empat macam penyakit strategis. Nusa Penida juga merupakan daerah yang sangat strategis dalam kaitannya dengan pengawasan dan juga sebagai daerah penyangga sumber bibit sapi bali murni. Hal lain yang juga mendukung usulan tersebut diantaranya adalah dukungan SDA termasuk agroklimat dan dukungan budaya masyarakat yang sudah terbiasa dengan memelihara sapi bali. Diharapkan dengan penentuan Pulau Nusa Penida sebagai wilayah sumber bibit sapi bali melalui kegiatan pengembangan pembibitan sapi bali di Nusa Penida, akan menjadi momentum untuk mengakselerasi terwujudnya upaya pengembangan dan peningkatan mutu bibit sapi bali. Keberhasilan pembibitan dan pemurnian sapi bali di Nusa Penida, sangat ditentukan oleh tingkat pertumbuhan sapi bali. Salah satu yang dapat dijadikan indikatornya adalah hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan terdiri atas rangkaian gen utama dalam mempengaruhi pertumbuhan adalah gen pengkode hormon pertumbuhan ( Bovine growth hormone/bovine GH) yang mempengaruhi sekresi hormon pertumbuhan. Gen bovine GH memiliki peranan yang sangat

3 penting dalam pengaturan regulasi pertumbuhan dan metabolisme dari tubuh ternak. Fungsi dari gen GH pada suatu individu khusunya ternak menjadi hal yang penting karena gen GH mengatur sifat-sifat yang bernilai ekonomi sangat tinggi (Carnicella et al. 2003). Proses biologis hormon pertumbuhan akan berpengaruh secara fisiologis pada pengeluaran dan sintesis protein, pengambilan asam amino, glukosa, dan efisiensi penggunaan asam amino (Bauman dan Vernon 1993). 1.2 Rumusan Masalah Untuk mendukung usaha pemerintah mewujudkan Nusa Penida sebagai tempat pemurnian dan pembibitan sapi bali maka perlu dilakukan kajian berbagai aspek tentang sapi bali terutama kajian mengenai pertumbuhan sapi bali di Nusa Penida. Salah satu sifat yang berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah hormon pertumbuhan. Berdasarkan latar belakang maka dapat rumusan masalah yang diajukan adalah bagaimana profil hormon pertumbuhan sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil hormon pertumbuhan sapi bali yang di pelihara di Nusa Penida, serta hal-hal yang berhubungan terhadap keberadaanya. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi data tentang analisis atau kajian terhadap pemetaan sapi bali di Nusa Penida yang dapat memberikan jawaban atas keadaan adanya gangguan pertumbuhan pada sapi bali sehingga dapat menciptakan strategi peningkatan berat badan pada sapi bali di Nusa Penida.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) sejak berabad-abad lalu. Sapi bali merupakan Famili Bovidae, Genus Bos dan Subgenus Bibovine (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Sapi bali termasuk salah satu kekayaan plasma nutfah Indonesia yang kelestariannya harus dilestarikan (Wiryosuhanto, 1996). Terdapat perbedaan pendapat tempat dimulainya domestikasi sapi bali, Meijer (1962) berpendapat proses domestikasi terjadi di Jawa, namun Payne dan Rollinson (1973) menemukan bahwa asal mula sapi bali adalah dari Pulau Bali karena tempat ini merupakan pusat distribusi sapi bali di Indonesia. Gen asli sapi bali berasal dari Pulau Bali yang kemudian menyebar luas ke daerah Asia Tenggara, dengan kata lain bahwa pusat gen sapi bali adalah di Pulau Bali (Nozawa, 1979). Sapi bali memiliki beberapa keunggulan yaitu: (1) memiliki tingkat kesuburan sangat tinggi, (2) dapat digunakan sebagai sapi pekerja yang baik dan efisien, (3) persentase karkas yang tinggi, (4) daging rendah lemak subkutan, (7) heterosis positif tinggi pada persilangan (Pane, 1990). Menurut Wiliamson dan Payne (1993), ciri -ciri fisik sapi bali adalah berukuran sedang, berdada dalam dengan kaki yang bagus. Warna rambut merah bata dan coklat tua. Bibir, kaki, ekor berwarna hitam, kaki berwarna putih dari lutut ke bawah (white stocking), ditemukan warna putih di bawah paha dan bagian oval putih yang amat jelas pada bagian pantat. Pada punggung ditemukan garis hitam di sepanjang garis punggung yang disebut garis belut. Pada waktu lahir, 4

5 baik jantan maupun betina berwarna merah bata dengan bagian warna terang yang khas pada bagian belakang kaki. Warna bulu menjadi coklat tua sampai hitam pada saat mencapai dewasa dan jantan lebih gelap daripada betina. Warna hitam menghilang dan warna bulu merah bata kembali lagi jika sapi jantan dikebiri. Bulu pendek, halus dan licin. Kulit berpigmen dan halus. Kepala lebar dan pendek dengan puncak kepala yang datar, telinga berukuran sedang dan berdiri. Sapi Bali jantan maupun betina mempunyai tanduk, yang berbeda dalam ukuran dan bentuknya dan ada beberapa variasi tipe tanduk pada kedua jenis kelamin tersebut. Panjang tanduk sapi jantan biasanya 20-25 cm, bentuk tanduk yang ideal pada sapi jantan disebut bentuk tanduk silak conglok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar (tumbuh ke arah samping), lalu membengkok ke atas dan kemudian pada ujungnya membengkok sedikit ke arah luar. Pada sapi betina, bentuk tanduk yang ideal disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi mengarah ke atas dan pada ujungnya sedikit mengarah ke belakang dan kemudian melengkung ke bawah lagi mengarah ke kepala (ke dalam). 2.2 Karakteristik Fenotipe dan Genotipe Sapi Bali Sapi Bali memiliki karakteristik fenotipe yang unik dibandingkan dengan sapi lainnya. Menurut Pane (1986) anak sapi jantan hingga sekitar umur 6 bulan berwarna sama dengan sapi betina yaitu merah bata kecoklatan, tetapi dengan semakin tua umurnya akan mulai berubah menjadi coklat kehitaman mulai dari bagian depan tubuh ke belakang. Terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah ( white stocking) sampai di

6 atas kuku, bagian dalam telinga, dan pinggiran bibir atas pada sapi Bali jantan dan betina (Hardjosubroto dan Astuti 1993). Sapi bali merupakan ternak tipe potong atau pedaging dan sebagai ternak pekerja. Sapi bali merupakan penghasil daging utama untuk ruminansia besar di Indonesia. Berat sapi jantan dewasa sekitar 400 kg, lingkar dada sekitar 192 cm, tinggi gumba sekitar 127 cm, dan panjang tubuh sekitar 140 cm. Berat sapi betina dewasa sekitar 260 kg dengan lingkar dada sekitar 165 cm, tinggi gumba sekitar 114 cm, dan panjang badan sekitar 260 cm (Pane, 1986). Keunggulan produksi sapi bali dapat dilihat dari beberapa indikator sifatsifat produksi bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifat-sifat karkas (persentase karkas dan kualitas karkas), maupun sifat reproduksi seperti dewasa kelamin, umur pubertas, jarak kelahiran ( calving interval), dan persentase kelahiran. Beberapa sifat produksi dan reproduksi tersebut merupakan sifat penting/ekonomis yang dapat dipergunakan sebagai indikator seleksi (Handiwirawan dan Subandriyo 2004). Sapi Bali dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah (Sastradipraja 1990), mempunyai fertilitas dan conception rate yang sangat baik (Oka dan Darmadja 1996), dan memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah. Kemampuan sapi bali beradaptasi pada lingkungannya menjadi hal penting, disebabkan bangsa sapi lain tidak memiliki kemampuan tersebut. Karakteristik genetik pada ternak banyak disebabkan oleh kondisi lingkungan. Rata-rata efek dari sebuah gen tergantung pada keadaan yang ekstrem akan diekspresikan oleh lingkungan yang dibawa oleh gen tersebut yang dapat

7 memberikan perubahan fenotipik sampai intra-lokus dominan, epistatis terhadap lokus yang mekanisme fungsinya berhubungan dan lingkungan fisik dimana mempunyai dampak terhadap fenotipik, hal tersebut disebabkan dasar fisiologis menyebabkan dampak pada penampilan sifat yang diobservasi pada daerah yang berbeda. Sebagai contoh, gen yang mengatur efisiensi pakan, memberikan dampak yang nyata pada keadaan nutrisi kurang, dan gen yang mengatur nafsu makan seharusnya memberikan dampak pada keadaan nutrisi yang berlimpah (Noor, 2002). Kultur sel atau organisme secara keseluruhan memberikan respon dengan mensintesa sejumlah protein yang dikenal sebagai heat shock protein atau stress protein, pada saat bersamaan sebagian besar protein akan switched off (Noor, 2002). Organisme memberikan respon terhadap stress dengan jalan mengatur fisiologi atau morfologi untuk meredam pengaruhnya dan mempertahankan fungsi normal, resistensi melibatkan respon fisiologis dan morfologis sehingga organisme dapat bertahan dan bereproduksi pada kondisi stress. Kelenturan fenotipik merupakan suatu fenomena genetik karena subjek seleksi alam, subjek perubahan secara evolusi, adanya variasi genetik pada arah dan besarnya respon serta adanya respon seleksi terhadap kelenturan fenotipik. Tiga teori utama tentang aspek genetik kelenturan fenotipik, yakni ; (1) suatu sifat yang dikontrol oleh gen-gen yang terletak pada lokus yang berbeda dengan gengen yang mengatur rataan sifat pada lingkungan tertentu, (2) suatu fenomena seleksi untuk rataan sifat yang berbeda pada lingkungan yang berbeda, (3) perubahan fenotip pada lingkungan yang berbeda merupakan fungsi menurun dari

8 jumlah lokus heterosigot (Noor, 2002). Secara umum, produktivitas ternak lokal di daerah tropis rendah, tetapi adaptabilitas dan ketahanan terhadap lingkungan sangat baik. Di beberapa Negara tropis, usaha untuk meningkatkan produktifitas telah dilakukan dengan mendatangkan ternak dari daerah subtropik dan menyilangkan dengan ternak lokal (Noor, 2002). Interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan merupakan masalah yang sangat serius di bidang peternakan pada umumnya dan impor ekspor ternak pada khususnya. Interaksi ini dikatakan ada jika ternak-ternak yang dipelihara pada lingkungan tertentu akan berubah tingkat produksinya saat dipelihara di lingkungan berbeda. Fenomena kelenturan fenotipik akan memberikan arah baru dalam program seleksi. Program seleksi tidak saja ditujukan pada gen-gen yang mengatur daya lentur sifat poduksi, tetapi juga pada gen-gen yang mengatur daya lentur sifat produksi tersebut pada lingkungan yang berbeda (Noor, 2002). 2.3 Hormon Pertumbuhan Pertumbuhan bagi ternak merupakan suatu proses perubahan bentuk atau ukuran seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa Pertumbuhan ternak menunjukkan peningkatan ukuran linier, bobot, akumulasi jaringan lemak dan retensi nitrogen dan air. Terdapat tiga hal penting dalam pertumbuhan seekor ternak, yaitu proses-proses dasar pertumbuhan sel, dua belas diferensiasi sel-sel induk menjadi beberapa lapisan yaitu ektodermis, mesodermis dan endodermis dan mekanisme pengendalian pertumbuhan dan diferensiasi. Pertumbuhan sel meliputi perbanyakan sel, pembesaran sel dan

9 akumulasi substansi ekstraseluler atau material-material non protoplasma. Pertumbuhan dimulai sejak terjadinya pembuahan dan berakhir pada saat dicapainya kedewasaan. Pertumbuhan ternak dapat dibedakan menjadi pertumbuhan sebelum kelahiran ( prenatal) dan pertumbuhan setelah terjadi kelahiran (postnatal) (Aberle et al. 2001). Pertumbuhan merupakan indikator yang utama dan terpenting dalam produksi daging pada sapi pedaging, sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi dalam budidaya sapi pedaging. Sapi bali merupakan salah satu sapi pedaging lokal Indonesia yang memiliki kelebihan berupa kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan Indonesia baik terhadap iklim, ketersediaan makanan alami, ketersediaan air dan juga ketahanan terhadap bakteri maupun parasit (Wiryosuhanto, 1996). Meskipun sapi bali ini mampu berkembang biak dengan baik di Indonesia, namun kualitas dan kuantitas produksinya masih kalah dengan sapi impor (Talib, 2002). Peningkatan kualitas maupun kuantitas produksi daging bagi sapi lokal Indonesia akan lebih tepat bila dilakukan melalui seleksi yang tidak hanya berdasarkan pada penampakan luar (fenotipe), melainkan melalui seleksi langsung pada tingkat DNA yang mengkodekan fenotipe yang ingin diperbaiki kualitasnya (Martojo, 2003). Pertumbuhan sapi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetis. Faktor lingkungan meliputi pakan, baik hijauan maupun konsentrat, air, iklim dan fasilitas pemeliharaan yang lain. Pengaruh pertumbuhan yang disebabkan faktor lingkungan apabila berlangsung lama dan berkelanjutan / terusmenerus dapat diturunkan. Faktor genetis yang dikendalikan oleh gen akan

10 diturunkan kepada keturunannya. Pertumbuhan dikendalikan oleh beberapa gen, baik yang pengaruhnya besar/utama (major gene) sampai yang pengaruhnya kecil (minor gene). Salah satu gen yang diduga merupakan gen utama dalam mempengaruhi pertumbuhan adalah gen pengkode hormon pertumbuhan yang mempengaruhi sekresi hormon pertumbuhan (Carnicella et al. 2003). Salah satu faktor genetik yang mempunyai peranan dalam pertumbuhan suatu individu adalah gen GH (hormon pertumbuhan). Gen GH memiliki peranan yang sangat penting dalam pengaturan regulasi pertumbuhan dan matabolisme dari tubuh ternak (Carnicella et al. 2003). Fungsi dari gen GH pada suatu individu khususnya ternak menjadi hal yang penting dikarenakan gen GH mengatur sifat-sifat yang bernilai ekonomi yang tinggi. GH merupakan kandidat gen yang sangat mendasar dan berperan dalam pertambahan dan pertumbuhan bobot badan pada ternak (Sutarno et al, 1996). Gen GH merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi susu, karkas dan respon immun (Granner, 2003). Selain itu, gen GH juga diperlukan dalam pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak dan reproduksi (Burton et al. 1994). Menurut Aberle et al, (2001) pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum dan mendapat tempat berlindung yang layak. Secara lanjut, Lawrence dan Fowler (2002) m enyatakan bahwa pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi selsel, serta peningkatan ukuran dan jumlah pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu waktu tertentu.

11 Pertumbuhan secara efektif dikontrol oleh hormon dan salah satu hormon yang penting dalam mengatur proses pertumbuhan adalah hormone pertumbuhan. Hormon pertumbuhan pada sapi ( bovine growth hormone) mempunyai peran utama pada pertumbuhan, laktasi dan perkembangan kelenjar susu (Cunningham 1994; Hoj et al. 1993). Hormon pertumbuhan adalah hormon peptida yang reseptornya terdapat di permukaan sel, superfamili dari reseptor sitokinin. Ikatan antara hormon pertumbuhan dengan reseptornya mengakibatkan terjadinya aktivasi enzim fosforilase yang dilakukan oleh enzim kinase dengan cara menambah gugus fosfat. Hal ini menyebabkan timbulnya reaksi intrasel yang dapat berpengaruh pada metabolisme dan fungsi sel (Granner, 2003). Pengikatan hormon pertumbuhan akan menyebabkan dimerisasi dua buah reseptor hormon pertumbuhan (GHR). Reis et al. (2001) menyatakan bahwa hormon pertumbuhan pada kelompok bovine (bgh) adalah hormon peptida (protein) yang secara alami dihasilkan oleh somatotropes, subclass dari sel hipofisa acidophilic yang terletak dalam kelenjar hipofisa bagian depan. Hormon pertumbuhan pada sapi memiliki ukuran sebesar 22 kilo Dalton (kda) yang disusun oleh 190-191 asam amino sebagai produk dari gen hormon pertumbuhan pada kelompok bovine (Gordon et al. 1983). 2.4 Gen Hormon Pertumbuan Sebagai Pengontrol Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan salah satu sifat utama dan bagian penting dari makhluk hidup. Secara umum pertumbuhan memiliki aspek yang luas seperti

12 pertumbuhan sel, organ, fetus, tulang dan beberapa aspek lain yang terkait dengan pertumbuhan individu. Menurut Lawrence dan Fowler (2002) pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi sel-sel, serta peningkatan ukuran dan jumlah pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan dikarakterisasikan oleh peningkatan ukuran dari sel individu (hypertrophy) sama seperti peningkatan jumlah sel pada jaringan (hyperplasia). Salah satu faktor genetik yang mempunyai peranan di dalam pertumbuhan suatu individu adalah gen GH. Gen GH diperlukan untuk pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak, dan pertumbuhan tubuh normal (Burton et al. 1994). Disebabkan fungsinya yang penting, gen GH merupakan kandidat gen untuk program Marker Asissted Selection pada sapi (Beauchemin et al. 2006). Fungsi dari gen GH pada suatu individu khususnya ternak menjadi hal yang penting dikarenakan gen GH mengatur sifat-sifat yang bernilai ekonomi yang tinggi. Menurut Sutarno et al., (1996) gen GH telah terbukti menjadi pengatur utama pada pertumbuhan pasca kelahiran, metabolisme pada mamalia, kecepatan pertumbuhan, susunan tubuh, kesehatan. Selanjutnya, gen GH merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi susu, karkas dan respon immun (Ge et al. 2003). Secara mendalam gen GH juga diperlukan dalam pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak dan reproduksi (Burton et al. 1994). Pertumbuhan juga diatur oleh gen POU1F1 (juga dinamakan Pit-1 atau GHF-1) yang merupakan anggota dari POU-transcription factors family yang diekspresikan terutama pada pituitary (Pan et al. 2008). Gen lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan pada ternak adalah gen Insulin-like growth

13 factor I (IGF-I) yang merupakan faktor utama peningkatan polipeptida hormon pertumbuhan pada hewan. Gen IGF-I mengatur pertumbuhan somatik dari rangsangan perkembangan dan penghambatan beberapa tipe sel apoptosis, termasuk otot, tulang, epitel dan sel fibroblast (Schlee et al., 1994). Gen Insulin-like growth factor I (IGF-I) merupakan kandidat gen untuk pertumbuhan pada ternak yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Gen IGF-I memediasi rangsangan aksi pembelahan sel dan proses metabolism yang berhubungan dengan deposisi protein. Gen IGF-I menstimulasi metabolism protein dan berperan penting terhadap fungsi beberapa organ (Pereira et al. 2005). Gen Growth Hormone Receptore (GHR) menjadi kandidat gen untuk pertumbuhan pada ternak disebabkan gen GH membutuhkan reseptor dalam mekanisme ekspresinya ketarget jaringan. Zhou et al., (2005) menyatakan bahwa pada tingkatan jaringan, aksi biologis dari gen GH dimediasi oleh gen GHR. Hubungan antara keragaman gen GHR dan sifat pertumbuhan sapi telah dilakukan pada sifat in vivo dan karakteristik daging sapi Piedmontese, lemak karkas pada sapi Bos taurus, lemak intra muscular dan komposisi otot (lemak intra muskuler, protein dan kadar air). 2.5 Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan (Growth Hormone Receptor) Salah satu faktor yang juga menentukan pertumbuhan secara hormonal pada individu khususnya ternak adalah Growth Hormone Receptor (GHR). Menurut McCormick et al. (1990) Growth Hormone Receptor (GHR) adalah sel permukaan reseptor untuk growth hormone (GH) dan dibutuhkan oleh GH untuk membawa pengaruhnya ketarget jaringan. GH memiliki berat molekul yang tinggi

14 sehingga sulit memasuki sel yang harus melewati membrane sel. Karenanya efek pertama dari GH adalah pada reseptor yang terdapat dalam membrane sel, agar GH dapat memberikan efeknya ke target sel tanpa merusak membrannya (Darmono, 1993). Growth Hormone Receptor merupakan anggota dari kelas I cytokine receptor super family. Cytokine receptor tidak termasuk ke dalam suatu tyrosine kinase tetapi tepatnya berasosiasi dengan salah satu anggota dari Janus Kinase Family (JAK), yang mengaktifkan specific transcription factors, signal transducer, dan aktivator transkripsi (Schlee et al., 1994). GHR termasuk cytokine receptor super family yang transkripsinya diatur dalam jaringan spesifik yang dibuat menggunakan Epson yang tidak terpetakan. Pengikatan GH dengan reseptornya mengakibatkan terjadinya aktivitas enzim tyrosine kinase JAK2 (Janus-family Tyrosine Kinase 2) yang berikatan dengan GHR, sehigga terjadi fosforilasi reseptor dengan JAK2 pada residu tirosil. Kejadian ini menimbulkan aktivasi sejumlah lintasan pembentukan sinyal, salah satunya fosforilasi protein STAT (Signal Tranduser and Activator of Transcription) (Etherton et al., 1998). Gen hormon pertumbuhan sapi telah dipetakan terletak pada kromosom 19 dengan lokasi q26-qtr (Hediger, 1990). Sekuen gen ini terdiri atas 2856 pb yang terbagi dalam lima exon dan dipisahkan oleh empat intron. Intron 1, 2, 3 dan 4 berturut-turut terdiri atas 248 pb, 227 pb, 227 pb dan 274 pb. Woychick et al. (1982) dan Gordon et al. (1983) menyatakan bahwa gen hormon pertumbuhan (GH) pada sapi Bos taurus memiliki panjang sekuens nukleotida 2856 pb. Variasi gen pengkode hormon pertumbuhan telah dilaporkan pada sapi Eropa, misalnya

15 sapi perah jenis Red Danish (Hoj et al. 1993), serta sapi pedaging Hereford dan komposit (Sutarno 1998; Sutarno et al. 1996). Penelitian yang dilakukan pada sapi Hereford dan komposit di Wokalup Research Station Australia Barat oleh Sutarno et al. (1996) dan Sutarno (1998) menunjukkan bahwa variasi pada lokus gen hormon pertumbuhan secara signifikan berhubungan dengan terjadinya variasi rerata pertumbuhan. Penelitian yang telah dilakukan Schlee et al. (1994) menemukan bahwa perbedaan genotype dari gen hormon pertumbuhan mempengaruhi konsentrasi sirkulasi hormone pertumbuhan dan IGF-I pada sapi Eropa jenis Simmental. Rocha et al. (1991) juga telah menemukan hubungan signifikan antara alel hormon pertumbuhan dengan berat badan waktu lahir serta lebar punggung saat lahir pada sapi jenis Brahman. Gen GH terkait dengan beberapa ekspresi gen yang mempengaruhi pertumbuhan salah satunya adalah gen Pit-1. Gen Pit-1 mengatur ekspresi gen Growth Hormone (GH), prolaktin (PRL) (Tuggle et al. 1998) dan thyroid stimulating hormone (TSH) (Pan et al. 2008) pada pituitary anterior. Menurut McCormick et al. (1990) defisiensi dari gen Pit-1 mengurangi ekspresi GH, disebabkan penurunan proliferasi lapisan sel dalam memproduksi GH. 2.6 Karakteristik Nusa Penida Nusa Penida merupakan gugusan pulau yang luasnya 192.72 km 2 terletak dikabupaten Klungkung Provinsi Bali (Gambar 2. 3). Daerahnya termasuk lahan kritis dengan jumlah penduduk 46.749 jiwa. Penduduknya berada dalam kategori miskin, karena sumber kegiatan ekonominya sangat terbatas, yakni hidup dari pertanian rumput laut dan beternak. Jenis ternak yang dipelihara mayoritas sapi

16 dan sapi yang dikembangkan di Nusa Penida ada dua macam yakni sapi bali berwarna merah dan hitam. Tiap rumah tangga rata-rata memiliki dua ekor sapi, sedangkan petani yang punya modal bisa memelihara puluhan ekor sapi. Pulau Nusa Penida hampir tiap tahun dilanda kekeringan sehingga menyusahkan penduduk atau penghuni alam tersebut, baik manusia maupun ternaknya terutama sapi. Letak Pulau Nusa Penida terisolir sehingga menyebabkan terbatasnya ruang gerak produktivitas masyarakat. Demikian juga kekuatan daya beli masyarakat sangat lemah, karenanya harga menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan harga kebutuhan pokok di daratan luar Nusa Penida. Oleh karena itu hal yang dapat dilakukan antara lain : bidang pertanian dalam arti luas dapat diwujudkan berupa pembangunan penghijauan dan melestarikan kembali berbagai jenis tanaman yang cocok tumbuh didaerah tersebut. Pembangunan penghijauan ini sangat erat kaitannya dengan usaha pembangunan ternak terutama ternak sapi yang memang sesuai di Nusa Penida. Ide tersebut sangat bersesuaian dengan salah satu cara pencegahan hewan ataupun sapi terjangkit penyakit, karena dengan memberikan makanan yang cukup dan berkualitas maka sapi peternak akan terhindar dari penyakit. Secara fisiografi kepulauan Nusa Penida merupakan kawasan lahan kering, berbukit dan berzona iklim F yakni dengan distribusi 4 bulan musim hujan dan 8 bulan musim kemarau (Gambar 2.1 ). Walaupun demikian subsektor peternakan berkontribusi cukup besar terhadap total pendapatan masyarakat, terutama dari komoditas sapi bali. Saat ini sapi bali di Nusa Penida masih dinyatakan bebas dari empat macam penyakit diantaranya adalah penyakit jembrana. Sehubungan

17 dengan itu Menteri Pertanian melalui Dirjen Peternakan menetapkan Nusa Penida sebagai kawasan konservasi sapi bali. Pada tahun 2005 Nusa Penida dinyatakan sebagai pusat konservasi dan pengembangan sapi bali karena potensi sapi bali yang ada di daratan maupun Nusa Penida dikenal sabagai sapi bali murni ( Pure Breed) yang patut dijaga kemurniannya. Selanjutnya tahun 2013 Dirjen Peternakan dan Keswan merancang Nusa Penida sebagai daerah pusat pemurnian dan pembibitan sapi bali. Gambar 2.1 Nusa Penida dan pembagian daerahnya 2.7 Populasi Ternak Sapi Bali di Nusa Penida Populasi ternak di Kecamatan Nusa Penida mengalami perubahan dari tahun ke tahun akibat berbagai faktor seperti kelahiran, kematian dan pengeluaran ternak karena permintaan pasar. Ternak yang banyak dipelihara oleh masyarakat di Kecamatan Nusa Penida meliputi ternak besar, ternak kecil dan ternak unggas. Populasi ternak sapi bali di Kecamatan Nusa Penida tahun 2008 2012 mencapai 126.052 ekor (Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Klungkung, 2012).

18 Potensi pengembangan ternak sapi bali berdasarkan kepadatan ternak (populasi per luas lahan) dikecamatan Nusa Penida menunjukkan 136,21 ekor/km 2. Potensi pengembangan ternak sapi bali berdasarkan rata-rata kepemilikan ternak (populasi per rumah tangga peternak) mencapai 2,76 ekor/kk (BPS Klungkung dalam angka 2013). 2.7.1 Struktur Populasi Sapi Bali Struktur populasi ternak merupakan salah satu acuan dalam merumuskan kebijakan terkait dengan pengembangan komoditas ternak tersebut. Struktur populasi sapi bali di Kecamatan Nusa Penida terbagi tiga, yaitu anak berjumlah 8.398 ekor, muda berjumlah 7.156 ekor, dan dewasa berjumlah 11.793 ekor (Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Klungkung, 2013). Populasi ternak sapi bali juga menunjukkan jumlah yang paling banyak di wilayah Kabupaten Klungkung. Jumlah induk sapi ( breeding cows) juga terlihat yang paling banyak, hal ini dapat disebabkan oleh letak geografis yang strategis untuk pengawasan dan prevalensi penyakit menular yang bersifat zoonosis serta budaya masyarakat yang sudah terbiasa dan dominan memelihara sapi bali betina (Wiryosuhanto, 1996). 2.7.2 Potensi Pakan dan Lahan di Nusa Penida Potensi pakan ternak di Kecamatan Nusa Penida secara umum bersumber dari rerumputan, dedaunan yang berasal dari pepohonan dan jerami atau limbah pertanian. Dalam hal ketersediaan pakan untuk ternak, terjadi variasi pada saat musim hujan dan musim kemarau. Pada saat hujan terjadi limpahan hijauan yang

19 melebihi kebutuhan ternak khususnya sapi bali, tetapi disaat musim kemarau hijauan yang tersedia sangat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan ternak. Oleh karena itu teknologi pengolahan pakan hijauan disaat produksi berlimpah (musim hujan) sangat dibutuhkan oleh peternak sapi bali khususnya di Nusa Penida agar kebutuhan pakan di musim kemarau dapat tersedia. Lahan atau tanah merupakan sumber daya alam fisik yang mempunyai peranan penting dalam segala hal kehidupan manusia. Lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal dan hidup, melakukan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan sebagainya. Mengingat pentingnya peranan lahan atau tanah dalam kehidupan manusia, maka ketersediaannya juga jadi terbatas (Saleh, 2004). Pemanfaata n lahan di Kecamatan Nusa Penida ± 26,29 % didominasi oleh hutan rakyat, ± 24,50 % berupa tegalan, ± 19,84 %% berupa perkebunan, dan ± 1,41 % berupa pekarangan, sedangkan sisanya 27,96 % berupa tanah lainnya (BPS Klungkung dalam angka, 2013). 2.7.3 Pemeliharaan Sapi Bali Secara umum, memelihara ternak sapi (sapi bali) bagi sebagian besar masyarakat di Kecamatan Nusa Penida sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan status sosial masyarakat diukur berdasarkan kepemilikan ternak sapi yang berkolerasi positif dengan jumlah lahan yang dikuasai. Kondisi tersebut membuat harga ternak sapi cukup bersaing karena sering kali harga ternak sapi jauh lebih mahal dari pada ternak lainnya. Kondisi sosial budaya tersebut, menjadikan ternak sapi memiliki peluang pasar yang cukup tinggi. Ini menunjukkan bahwa, ternak sapi memiliki potensi yang cukup

20 besar untuk dikembangkan karena terkait dengan status sosial dan juga sebagai bahan pangan untuk pemenuhan kebutuhan daging sapi. Setiap daerah memiliki budaya beternak tersendiri sebagai ciri khasnya. Budaya masyarakat dalam hal pemeliharaan ternak, secara umum mempersiapkan pembibitan sapi merupakan usaha memelihara sapi betina (induk) u ntuk menghasilkan anak sapi (ped et). Pandangan seperti itu tidak sepenuhnya benar karena pembibitan bertujuan untuk menghasilkan bibit ternak yang unggul sesuai dengan spesifikasi dan klasifikasi tertentu menurut rumpun ternaknya (dalam hal ini sapi bali) dan mampu untuk dikembangbiakkan. Oleh karena itu, kegiatan pembibitan membutuhkan suatu manajeman atau sistem untuk melaksanakankegiatan pembibitan mulai dari identifikasi, recording (pencatatan), seleksi-culling dan penggantian induk dan pejantan yang tidak efektif ( replacement) secara berkelanjutan. Pemeliharaan sapi oleh masyarakat petani peternak di Pulau Nusa Penida baru tergolong budidaya saja dan belum melaksanakan sistem pembibitan yang benar seperti yang disyaratkan dalam Good Breeding Practice (GBP).

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KERANGKA KONSEP PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Pertumbuhan dapat diterapkan pada suatu sel, organ, jaringan, seekor ternak maupun populasi ternak. Pertumbuhan secara umum adalah adanya perubahan bentuk atau ukuran serta penampilan seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa dengan satuan berat maupun satuan panjang. Pertumbuhan adalah salah satu indikator dalam menilai produktivitas ternak. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan meliputi, faktor internal antara lain umur, bangsa, jenis kelamin, kecepatan pertumbuhan, dan kesehatan ternak (Ensminger et al., 1990). Jenis kelamin berpengaruh terhadap pertumbuhan sapi di Bali yakni PBB (Pertambahan Bobot Badan) sapi bali jantan hanya mencapai : 0,32 kg/ekor/hari, sedangkan sapi bali betina : 0,26 kg/ekor/hari (Suwiti et al. 2013). Perbedaan pertumbuhan berat badan sapi bali jantan dan betina tersebut diduga dapat dipengaruhi oleh keberadaan hormon pertumbuhan. Umur dinyatakan berpengaruh terhadap pertumbuhan sapi karena sapi yang berumur muda pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan sapi yang telah dewasa bahkan sapi setelah dewasa dinyatakan tidak ada perubahan kearah penambahan bobot badan. Pertumbuhan sapi sangat dipengaruhi oleh breed / bangsa sapi. Hal ini dibuktikan oleh Hadi (2002) bahwa adanya perbedaan penambahan bobot badan sapi bali dengan sapi bangsa lain seperti sapi simental yang mencapai PBB 21

22 0,6-1,5 kg/ekor/hr. Ternak sapi yang sakit cenderung memiliki bobot badan yang lebih rendah dibandingkan dengan sapi yang bebas dari penyakit. Keberadaan hormon pertumbuhan pada hewan yang sedang tumbuh, dapat meningkatkan efisiensi produksi, pengurangan deposisi lemak, merangsang pertumbuhan otot, meningkatkan efisiensi penggunaan pakan, meningkatkan pertumbuhan organ, meningkatkan pertumbuhan tulang, dan meningkatkan produksi serta kualitas daging (Roith et al. 2002). Semua faktor tersebut dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan sapi bali di Nusa Penida. Sapi di Nusa Penida mempunyai perbedaan dengan sapi di daerah lainnya, yakni sapi di Nusa Penida dengan umur dan jenis kelamin yang sama mempunyai ukuran dan PBB (Penambahan Bobot Badan) yang lebih rendah (Saka et al. 2005). Salah satu faktor genetik yang mempunyai peranan dalam pertumbuhan suatu individu adalah hormon pertumbuhan. Gen hormon pertumbuhan memiliki peranan yang sangat penting dalam pengaturan regulasi pertumbuhan dan matabolisme dari tubuh ternak (Carnicella et al. 2003). Fungsi dari gen hormon pertumbuhan pada suatu individu khususnya ternak menjadi hal yang penting dikarenakan gen hormon pertumbuhan mengatur sifat-sifat yang bernilai ekonomi yang tinggi.

23 3.2 Kerangka Konsep Pertumbuhan sapi bali ditentukan oleh dua faktor. Faktor eksternal seperti pakan, lahan, dan cara pemeliharaan sapi. Faktor internal seperti umur, bangsa jenis kelamin, kesehatan, dan genetik. Faktor tersebut mempengaruhi keadaan sapi bali dan menghasilkan kadar hormon sapi bali yang berbeda juga. Berdasarkan kerangka berpikir yang dilandasi oleh kepustakaan dan dasar teori maka dapat disusun kerangka konsep sebagai berikut: Faktor Eksternal - Pakan - Lahan - Pemeliharaan Sapi Bali di Nusa Penida Hormon Pertumbuhan Faktor Internal - Umur - Bangsa - Jenis Kelamin - Kesehatan - Genetik

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan menggunakan rancangan penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur konsentrasi hormon pertumbuhan pada sapi bali di Nusa Penida Provinsi Bali. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Veteriner Denpasar. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yakni pengambilan serum sampel dilakukan di Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali pada bulan Januari 2014, sedangkan pengukuran konsentrasi hormon pertumbuhan dengan menggunakan metode ELISA dilaksanakan pada bulan Maret 2014. Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh. 4.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi bali yang dipelihara di Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali dan mengukur konsentrasi hormon pertumbuhannya yang diperoleh dengan menggunakan metode ELISA dengan satuan picogram per millimeter (pg/ml). 4.4 Penentuan Sumber Data Penelitian ini menggunakan sumber data yang diperoleh dari pengambilan sampel serum sapi bali yang berasal dari ternak sapi bali yang ada di Kecamatan Nusa Penida. Populasi target dalam penelitian ini adalah sapi bali yang ada di Nusa Penida. Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah sapi bali dengan 24

25 kriteria sehat. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan model Purposive Sampling. Pengambilan sampel dilakukan secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan (Agus, 2010). Penentuan besarnya sampel menggunakan rumus (Zainuddin, 1999), yaitu sebagai berikut : n = N (Z 2 -α/2) SD 2 (N-1) d 2 + (Z 2 -α/2) SD 2 Keterangan : n = besar sampel minimum N = besar populasi Z 2 -α/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada a tertentu SD = standar deviasi d = penyimpangan yang ditolerir Bila diketahui : SD = 1,01 (Azizan et al., 1994), Z 2 - α/2 = 1,96, N = 18.949 (BPS Klungkung dalam angka, 2013), d = 0,3, maka : 18.949 X 1.96 X 1,01 2 n = (18.949-1) 0,3 2 + 1,96(1,01) 2 n = 21 4.5 Variabel Penelitian Identifikasi variabel penelitian ini terdiri dari: a. Variabel bebas: Daerah pengambilan sampel b. Variabel terikat: Konsentrasi hormon pertumbuhan c. Variabel kendali: Sapi bali di Nusa Penida Adapun definisi operasional dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut:

26 a. Sapi bali di Nusa Penida adalah sapi yang memiliki cirri fenotipk warna bulu merah bata dan coklat tua, memiliki bibir, kaki dan ekor berwarna hitam, kaki berwarna putih dibawah paha dan bagian lutut kebawah, terdapat garis hitam disepanjang garis punggung dan lain sebagainya (Pane, 1986) yang dipelihara di Nusa Penida. b. Konsentrasi hormon pertumbuhan adalah sejumlah hormon peptida yang secara alami dihasilkan oleh somatotropes (Reis, et al., 2001) yang diukur menggunakan serum pada sapi bali di Nusa Penida dengan teknik uji ELISA dalam satuan Pikogram per milimeter (pg/ml). c. Sapi bali Nusa Penida adalah sapi bali yang dipelihara di Pulau Nusa Penida Kecamatan Klungkung Kabupaten Klungkung Provinsi Bali. d. Cara pemeliharaan adalah sapi bali dipelihara pada padang pengembalaan yang dipelihara secara tradisional. 4.6 Bahan Penelitian Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: ELISA kit yang terdiri dari strip plate 96-well, standard, reagen A, reagen B, wash buffer, substrat, standar diluents, assay diluent A, assay diluent B, stop solution, PBST, kertas plate, dan air destilasi. 4.7 Instrumen penelitian Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: tabung efendorf, container, jarum venoject 10 ml, single atau multi-channel pipette 100 µl dan 10 µl, disposable tips, microplate, tissue, incubator, vortex dan ELISA reader filter 450±10 nm.

27 4.8 Prosedur Penelitian Sampel serum diencerkan sebanyak 20 kali. Disarankan untuk 20 kali pengenceran adalah 20µl sampel + 380 µl PBS. Sampel diencerkan dengan 0,01mol/L PBS (PH = 7,0-7,2). Prosedur penelitian dilakukan dengan cara well ditentukan untuk larutan standar, blank, dan sampel yaitu 7 well untuk standar dan 1 well untuk blank. Pada tiap-tiap well ditambahkan 100µl larutan standar, blank, dan sampel kemudian well diutup dengan kertas plate dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37 0 C. Cairan dari masing-masing well dihilangkan tetapi jangan dicuci. Larutan Reagen A ditambahkan sebanyak 100µl pada masing-masing well. Well ditutup dengan kertas plate dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37 0 C. Larutan yang ada di well dicuci dengan 350µl larutan pencuci yang memiliki kepekatan satu kali lipat ke dalam masing-masing well dengan semprotan botol, pipet multi-channel, manifold dispenser, atau autowaasher dan biarkan selama 1-2 menit. Sisa cairan dari semua well dihilangkan dengan menggeretak plate dengan kertas penghisap. Total pencucian sebanyak 3 kali. Setelah dicuci, sisa buffer wash yang terdapat pada well dihilangkan. Larutan Reagen B ditambahkan 100µl ke dalam masing-masing well. Well ditutup dengan kertas plate dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 0 C. Proses pencucian diulangi sampai 5 kali sesuai aturan pada langkah pencucian awal. Larutan Substrat ditambahkan sebanyak 90µl pada masing-masing well. Well ditutup dengan kertas plate yang baru kemudian diinkubasi selama 15-25 menit pada suhu 37 0 C (jangan lebih dari 30 menit) dan dihindarkan dari

28 cahaya. Cairan akan berubah menjadi biru karena penambahan larutan substrat. Larutan Stop Solution ditambahkan 50µl pada masing-masing well. Cairan akan berubah menjadi kuning karena penambahan Stop Solution. Cairan dicampur dengan menepuk bagian tepi plate. Air dan sidik jari pada dasar plate dihilangkan dan gelembung pada permukaan cairan dipastikan tidak ada. Kemudian, microplate reader pada 450 nm dijalankan dan dihitung dengan segera. Hasil pembacaan dari microplate reader berupa nilai Optical Density (OD). Nilai konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali di Nusa Penida didapatkan menggunakan persamaan Y= ax b, dimana Y = konsentrasi hormon pertumbuhan, a = perbandingan antara konsentrasi hormon pertumbuhan dengan OD, x = nilai OD, dan b = koefisien. Nilai OD dari persamaan Y= ax b dikalikan sebanyak 20 kali. 4.9 Analisis Data Konsentrasi hormon pertumbuhan yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan disajikan secara deskriptif dengan menggunakan program software SPSS versi 19.

BAB V HASIL PENELITIAN Hasil pengujian serum sapi bali di Kecamatan Nusa Penida sebanyak 80 sampel dengan menggunakan metode ELISA ( Enzyme Linked Immunosorbent Assay) (Cloud-Clone Corp, 2013) berupa nilai optical density (OD). Nilai OD Hasil pengujian terhadap serum sapi bali di Kecamatan Nusa Penida diperoleh nilai tertinggi adalah 0,369 dan yang terendah 0.114. Variasi nilai OD serum sapi bali di Kecamatan Nusa Penida disajikan dalam Tabel 5.1. Tabel 5.1 Nilai Optical Density (OD) Hormon Pertumbuhan pada Serum Sapi Bali di Kecamatan Nusa Penida Nilai Optical Density (OD) 0.126 0.134 0.134 0.14 0.128 0.116 0.139 0.204 0.197 0.356 0.171 0.14 0.143 0.141 0.155 0.134 0.126 0.194 0.175 0.223 0.116 0.123 0.16 0.134 0.125 0.248 0.158 0.141 0.15 0.248 0.125 0.132 0.133 0.139 0.127 0.114 0.138 0.202 0.195 0.353 0.17 0.14 0.142 0.141 0.155 0.133 0.125 0.193 0.173 0.222 0.116 0.122 0.159 0.134 0.124 0.246 0.157 0.138 0.148 0.188 0.136 0.142 0.145 0.147 0.135 0.123 0.146 0.212 0.206 0.369 0.182 0.154 0.153 0.151 0.163 0.144 0.132 0.204 0.183 0.232 Nila hasil Optical Density (OD) pada Tabel 5.1 disubstitusikan pada persamaan Y = AXᵇ. 29

30 Nilai konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali di Nusa Penida disajikan pada Gambar 5.1 Gambar 5.1 Hasil Optical Density (OD) Hormon Pertumbuhan Sapi Bali Setelah nilai hasil Optical Density (OD) disubstitusikan kedalam persamaan Y= 1529.957X 1.829, nilai OD (Y) dikalikan dengan 20 kali maka didapatkanlah nilai konsentrasi hormon pertumbuhan yang disajikan pada Tabel 5.2.

31 Tabel 5.2 Konsentrasi Hormon Pertumbuhan dari Persamaan Y= 1529.957X 1.829 dan dikalikan 20 kali Konsentrasi Hormon Pertumbuhan 692.2 774.7 774.7 839.4 712.5 595.1 828.4 1671.1 1567.7 4627.1 1210.2 839.4 872.6 850.4 1011.1 774.7 692.2 1524.3 1262.4 1966.7 595.1 662.4 1071.6 774.7 682.2 2388.6 1047.2 850.4 952.3 2388.6 682.2 753.7 764.2 828.4 702.3 576.4 817.6 1641.3 1538.8 4556.1 1197.2 839.4 861.4 850.4 1011.1 764.2 682.2 1510.1 1236.2 1950.6 595.1 652.6 1059.4 774.7 672.3 2353.5 1035.1 817.6 929.2 1439.2 796.0 861.4 895.1 917.7 785.3 662.4 906.3 1792.9 1701.2 4940.8 1356.3 999.2 987.4 963.9 1108.6 883.8 753.7 1671.1 1370.1 2114.3 Berdasarkan nilai konsentarsi yang ditunjukkan pada tabel 5.2 maka diperoleh rerata nilai konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida sebesar 1.200,80±825.869 pg/ml dengan konsentrasi terendah 576,4 pg/ml dan konsentrasi tertinggi 4940,8 pg/ml.

BAB VI PEMBAHASAN Hormon pertumbuhan pada sapi ( bovine growth hormone) mempunyai peran utama pada pertumbuhan, laktasi dan perkembangan kelenjar susu (Cunningham 1994; Hoj et al. 1993). Menurut Sutarno (1998), pertumbuhan pada ternak dikontrol oleh suatu sistem yang kompleks, salah satu yang memiliki peranan penting dalam proses ini adalah somatotropin. Gen yang mengatur dari somatotropin ini dalam menjalankan fungsinya dalam masa pertumbuhan postnatal adalah gen hormon pertumbuhan yang berperan penting dalam pertumbuhan tulang dan otot, dan gen yang membantu hormon pertumbuhan dalam proses tersebut adalah IGF-1 (Insulin-like growth factor-1). Rerata konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali di Nusa Penida mencapai 1.200,80±825.869 pg/ml. Nilai tersebut mempunyai kadar hormon dibawah rata-rata apabila dibandingkan dengan sapi lainnya didunia seperti konsentrasi hormon pertumbuhan pada sapi SF (Sahiwal-Friesian cows) mencapai 4.800 pg/ml hingga l8.300 pg/ml (Azizan et al., 1994) dan menurut Schams et al. (1991) Sapi German Simmental memiliki konsentrasi hormon pertumbuhan mencapai 30.000 pg/ml. Keadaan ini menyebabkan data pertumbuhan sapi bali di Nusa Penida sangat rendah. Menurut McCormick et al. (1990) gen hormon pertumbuhan terkait dengan beberapa ekspresi gen yang mempengaruhi pertumbuhan salah satunya adalah gen Pit-1. Ekspresi gen Pit-1 diperlukan pada pembelahan sel secara normal, perkembangan dan pertahanan tiga tipe sel adenohypophysis (thyrotrophs, somatotrophs and lactotrophs) yang mengatur 32

33 ekspresi gen hormon pertumbuhan, prolaktin (PRL) (Tuggle et al. 1996) dan thyroid-stimulating hormone β (TSH-β) pada pituitary anterior (Pan et al. 2008). Rendahnya kadar hormon pertumbuhan dapat disebabkan adanya defisiensi dari gen Pit-1 sehingga mengurangi ekspresi hormon pertumbuhan. Menurut Saka et al. (2005) pertumbuhan sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida lebih kecil dibandingkan sapi bali yang dipelihara di luar Nusa Penida. Keadaan ini sangat beralasan karena sumber pakan yang diberikan peternak hanya berasal dari lingkungan tempat pemeliharaannya. Menurut Pane, (2005) kemampuan pertumbuhan sapi dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitar 70% sedangkan 30% lainnya dipengaruhi oleh faktor genetik. Di antara faktor lingkungan tersebut, faktor pakan kandungan nutriennya, dan teknologi memformulasi ransum berpengaruh paling besar, yakni 60%. Besarnya pengaruh faktor lingkungan, terutama faktor nutrisi menunjukkan pengaruh yang cukup signifikan walaupun potensi genetik ternak tinggi. Hijauan merupakan komponen terbesar penyusun ransum ternak sapi bali. Didaerah tropis, kualitas maupun kuantitas hijauan sangat bervariasi. Pakan hijauan yang diberikan pada ternak sapi yang dipelihara secara tradisional umumnya memiliki kualitas rendah ditandai dengan kandungan Total Digestible Nutrient (TDN) rendah, protein rendah, serat kasar tinggi dan kecernaan rendah. Penjelasan ini sangat bersesuaian dengan keadaan / kondisi yang dialami sapi bali di Nusa Penida umumnya memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan sapi bali yang dipelihara di daerah Bali lainnya dengan ukuran dan jenis kelamin yang sama (Saka et al. 2005).

34 Sumber pakan sapi bali di Nusa Penida berasal dari rerumputan dan dedaunan. Kenyataanya dilapangan, tidak jarang peternak hanya memberikan satu jenis hijauan saja hal ini di sebabkan ketersediaan pakan di Nusa Penida terbatas. Pakan yang melimpah dapat terjadi pada musim hujan sedangkan pada musim kemarau pakan yang tersedia terbatas. Walaupun ada peternak yang memberikan bermacam-macam pakan hijauan, namun tidak dalam komposisi yang sesuai dengan kebutuhan sapi yang mengakibatkan keseimbangan nutrien untuk kebutuhan ternak tidak tercapai sehingga tidak mampu menghasilkan produktivitas ternak secara maksimal. Pakan yang berasal dari hijauan saja (100%) masih dapat meningkatkan produktivitas ternak, asal proporsinya diatur sedemikian rupa sehingga keseimbangan nutrien untuk kebutuhan fisiologis ternak terpenuhi. Hijauan pakan yang digunakan hendaknya paling sedikit terdiri dari hijauan segar sumber energi dan sumber protein yang mengandung mineral dan vitamin yang dibutuhkan oleh ternak (Lucy et al, 1993) Hormon pertumbuhan memperlihatkan keseimbangan positif untuk N, P, Na, K, Ca, Cl dan unsur-unsur terpenting untuk membangun jaringan baru. Asam amino dalam protein mengandung nitrogen yang dapat membawa hormon pertumbuhan ke dalam jaringan untuk membentuk protein sehingga kadar nitrogen dalam darah (urea) menurun, sesuai dengan efek anaboliknya. (Sutarno, 2004). Efek hormon pertumbuhan terhadap pertumbuhan terutama terjadi melalui peningkatan produksi IGF-1, yang dibentuk dalam hepar. Selain itu hormon pertumbuhan juga merangsang produksi IGF-1 di tulang, tulang rawan, otot dan ginjal. Baik pada sapi muda dan dewasa, hormon pertumbuhan

35 mempunyai efek anabolik pada otot dan katabolik pada sel-sel lemak sehingga terjadi peningkatan masa otot dan pengurangan jaringan lemak (Muladno, 2002). Sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida, lebih banyak (70%) mempunyai kadar hormon pertumbuhan dibawah rata-rata (1.200 pg/ml) dan hanya seb agian kecil (30%) mempunyai kadar hormon pertumbuhan diatas rata-rata. Hal ini disesuaikan dengan fakta di lapangan yang menunjukkan sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida mempunyai fenotipik atau ukuran tubuh yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan sapi bali yang dipelihara di luar Nusa Penida yang ada di Provinsi Bali. Hal ini disebabkan ketersediaan pakan ternak di Nusa Penida sangat terbatas, pada saat musim hujan tersedia hijauan yang melebihi kebutuhan sapi bali, tetapi pada saat musim kemarau hijauan tidak tersedia sehingga tidak mencukupi kebutuhan pakan sapi bali. Curah hujan di Nusa Penida mencapai 1.905 mm/ tahunnya sedangkan hari hujannya mencapai 59 hari/ tahunnya (Dinas Peternakan Kab.Klungkung, 2012). Kecamatan Nusa Penida dikategorikan sebagai daerah tropis. Rendahnya produktivitas dan mutu hijauan pakan disebabkan daerah tropis umumnya kekurangan N yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan rumput. Rumput yang tumbuh adalah rumput natif (lokal) yang produksinya rendah yaitu rata -rata 0,8 t/ha dan mutuya juga rendah (Hu mphreys, 1974). Akibatnya sapi yang mengkonsumsi rumput pertumbuhannya lambat yaitu rata-rata 0,1 kg/ekor/hari dengan daya dukung 1 ekor/ha sehingga untuk dapat mencapai berat pasar (357 kg) diperlukan waktu 5-6 tahun. Keadaan ini sangat sesuai dengan pendapat Burton (1994), untuk pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak dan reproduksi

36 maka gen hormon pertumbuhan juga diperlukan. Sapi bali di Nusa Penida dikatakan mendapat asupan nutrisi yang sangat kurang sehingga berpengaruh terhadap ekspresi gen. Kepulauan Nusa Penida merupakan kawasan kering yang berbukit dengan zona iklim F. Musim hujan terjadi selama 4 bulan dan 8 bulan selanjutnya musim kemarau. Kondisi geografis daerah Nusa Penida berpengaruh terhadap hormon pertumbuhan menyebabkan perubahan yang luar biasa di dalam tubuh hewan dan mempengaruhi banyak proses fisiologis di dalam jaringan dan organ tubuh. Selain itu, aksi biologis hormon pertumbuhan selama pertumbuhan akan berpengaruh secara fisiologis pada pengeluaran dan sintesis protein, pengambilan asam amino, glukosa, dan efisiensi penggunaan asam amino (Bauman dan Vernon 1993). Sapi bali di Nusa Penida mempunyai badan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan sapi bali di Pulau Bali daratan, persepsi masyarakat dalam pemeliharaan sapi bali belum berorientasi usaha sehingga sistem pemeliharaannya masih mengacu pada sistem tradisional. Pada saat musim kering yang panjang, sapi bali sering digunakan untuk mengolah lahan pertanian. Akibatnya sapi bali yang memiliki bobot badan relatif kurus menjadi lebih kurus lagi dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan terhadap sapi bali itu sendiri. Sapi bali dikenal sebagai sapi yang memiliki tingkat adaptasi yang tinggi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (H andiwirawan dan Subandriyo, 2004). Peningkatan pertumbuhan ini berhubungan dengan kelenturan fenotipik pada lingkungan yang berbeda-beda. Kelenturan fenotipik diartikan sebagai kemampuan suatu genotype untuk menghasilkan lebih dari satu alternatif bentuk

37 morfologi, status fisologi dan/atau tingkah laku sebagai respon terhadap perubahan kondisi lingkungan dengan kata lain penampakan secara fenotipik suatu individu akibat ekpresi gen-gen yang dimilikinya pada lingkungan tertentu (Noor, 2002). Sapi bali dipelihara pada kondisi lingkungan yang kurang kondusif dan menyebabkan sapi bali menyesuaikan diri terhadap lingkungannya melalui kelenturan fenotipik, sehingga perubahan dalam tingkat genetik diekspresikan ke fenotipe sapi bali Nusa Penida tersebut. Pemberian pakan yang tidak berkualitas secara terus menerus dan berlangsung lama, akan menyebabkan mutasi gen yang diekspresikan pada fenotipik, diantaranya ukuran bobot badan yang lebih kecil. Secara umum pemeliharaan sapi oleh masyarakat di Pulau Nusa Penida adalah sebagai kegiatan sambilan bukan merupakan usaha, yang dilaksanakan untuk memperoleh keuntungan. Mereka akan menjual sapinya apabila membutuhkan biaya untuk keperluan pendidikan, kesehatan, melaksanakan upacara terkait keagamaan atau kebutuhan lainnya. Budaya pemeliharaan sapi ini terkait dengan rata-rata kepemilikan sapi yang relatif tidak banyak. Keadaaan tersebut menyebabkan manajemen dan pemeliharaan yang dilakukan bersifat sangat sederhana. Pakan yang diberikan secukupnya tanpa memperhatikan kecukupan nilai nutrisi sehingga akan berpengaruh pada pertumbuhannya yang rendah.

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa profil hormon sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida mempunyai rerata konsentrasi 1.200,80±825.869 pg/ml, kadar hormon tertingi mencapai 576,4 pg/ml dan terendah 4940,8 pg/ml. 7.2 Saran Penelitian ini merupakan penelitian pertama dalam mengukur konsentrasi hormon pertumbuhan pada sapi bali di Nusa Penida. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memberikan perlakuan kepada sapi bali sehingga mampu menghasilkan pertumbuhan yang maksimal untuk peningkatan kualitas sapi bali di Nusa Penida dan Provinsi Bali secara keseluruhan. 38

39 DAFTAR PUSTAKA Aberle, H.B. Forrest, J.C., E.D. Hendrick., M.D. Judge dan R.A. Merkel. 2001. Principle of Meat Science, 4 th Edit. Kendal/Hunt Publishing Co., USA. Agus Irianto. (2010). Statistika Konsep, Dasar, Aplikasi, dan Pengembangannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Azizan, A. R., R. H. Phipps, W. E. Wan Hassan, D. L. Hard, I. A. Forsyth and J. A. Taylor. 1994. Concentrations of bovine somatotropin and insulin-like growth factor-i in serum and milk samples of crossbred dairy cows treated with prolonged-release bovine somatotropin. MARDI Res. J. 22 (1) A(1. 9R9. 4A)z:i z8an5, R8.9 H. Bauman, D.E., Vernon, R.G. 1993. Effects of Exogenous Bovine Somatotropin on Lactation. Ann. Rev. Nutr, 13:437 61. Beauchemin, V. R., Thomas, M. G., Franked, D. E., dan Silver, G. A. 2006. Evaluation of DNA Polymorphisms in Volving Growth Hormone Relative to Growth and Carcass Characteristics in Brahman Steers. Genet. Mol. Res, 5:438-447. Badan Pusat Statistik Klungkung. 2012. Klungkung Dalam angka 2012. Klungkung. Burton JL, McBride BW, Block E, Glimm Dr. 1994. A review of bovine growth hormone. Can J Anim Sci 74:167-201. Carnicella D, Dario C, Bufano G. 2003. Polimorfismo del gene GH e performances produttive. Large Anim Rev 3:3-7. Cunningham EP. 1994. The use of bovine somatotropin in milk production review (Review). Irish Vet J 47:207-210. Darmono. 1993. Tata Laksana Usaha Sapi Kereman. Penerbit Kanisius, Yogyakarta Dinas Peternakan Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Kelungkung. (2 012), Dinas Peternakan Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Sidoarjo Tahun Anggaran 20012, dalam Laporan Tahunan Bidang Perikanan Dan Kelautan Tahun 2011. Dinas Peternakan Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Kelungkung. (2 013), Laporan Tahunan Data Produksi Bali Bidang Peternakan Perikanan Dan Kelautan Tahun 2013.

40 Ensminger, M. E., Oldfield, J.E, dan Heinemann W.W. 1990. Feed and Nutrition. 2 nd edition. The Ensminger Publishing Company, California. Etherton, T.D.,D.E. Bauman., Brady H. 1998. Biology of somatotropin in growth and lactation of domestic animals. Physical Rev., 78: 745-61. Ge, Davis ME, Hines HC, Irvin KM.2003. Association of a single nucleotide polymorphism in the growth hormone and growth hormone receptor genes with blood serum insulin-like growth factor I concentration in Angus cattle. J Anim Sci 81:641-648 Gordon DF, Quickl DP, Erwin RC. 1983. Nucleotide sequence of the bovine growth hormone chromosomal gene. Mol Cell Endocrinol 33:81-95. Granner, D.K. 2003. Biokimia Harver. Edisi 25. EGK: Jakarta. Hadi, P.U. 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 21(4): 18-157. Handiwirawan, E. dan Subandriyo. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Bali. Wartazoa 14:3. Hardjosubroto, W. dan Astuti, M. 1993. Buku Pintar Peternakan. Jakarta; PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Hediger R. 1990. Assigment of the growth hormone gene locus to 19q26 qter in cattle and to 11q25 qter in sheep by in-situ hybridization. Genome 8:171-174. Hoj S, Fredholm M, Larsen NJ, Nielsen VH. 1993. Growth hormone gene polymorphism associated with selection for milk fat production in lines of cattle. Anim Genet 24:91-96. Humphreys, L. R., 1975. A Guide To Better Pastures for The Tropics and The Sub Tropics. 3 rd. Wright Stephenson and Co. Pty. Ltd. Australia. Lawrence, T.L.J., Fowler, V.R. 2002. Growth of Farm Animals. Walling Ford: CABI International. New York. USA. Lucy, M.C., S.D. Hauser, P.J. Eppard, G.G. Krivi, and J.H. Clark. 1993. Variants of Nutrition in cattle - gene frequencies in major dairy breeds and associated milk production. Domestic Animal Endocrinology 10: 325-333.

41 Martojo, H. 2003. A Simple Selection Program for Smallholder Bali cattle Farmers. K. Entwistle and D.R. Lindsay (Eds) In : Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. ACIAR Proc. No. 110. Canberra. McCormick A, Brady H, Theill LE, Karin M. 1990. Regulation of the pituitaryspesific homeobox gene GHF1 by cell autonomous and environmental cues. Nature 345:829-32 Meijer, W.C.P. 1962. Das Balirind. A. ZiemsenVerslag, Wittenberg Lutherstandt. Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetik. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Noor, R.R. 2002. Gen Kelenturan Fenotipik Ubah Strategi Peternakan. (serial online), (cited 2013 Mei. 25). Available from: URL http://www.kompas.co.id/kompascetak/0312/15/inspirasi/743375.htm. Nozawa, K. 1979. Phylogenetic studies on the native domestic animals in East and Southeast Asia. Proceeding Workshop Animal Genetic Resources in Asia and Oceania. Tsukuba, 3-7 September 1979. Tsukuba: Society for the Advancement of Breeding Researches in Asia and Oceania (SABRAO). Hlm 23-43. Ohlsson, C., B. A. Bengtsson, O. G. P. Isaksson, T. T. Andreassen dan M. C. Slootweg. 1998. Growth hormone and bone. Endocr. Rev. 19 : 55-79. Oka, I.G.L. dan Darmadja, D. 1996. History and Development of Bali Cattle. Makalah yang disajikan dalam acara Seminar Sapi Bali yang diselenggarakan Indonesia Australia Eastern University Project (IAEUP), Universitas Udayana, Bukit Jimbaran tanggal 21 September 1996. Pan Y., Wang L., Dai JL. 2008. A Ddel PCR-RFLP detecting a novel missense mutation of the POU1F1 gene showed no effects on growth traits in cattle. Anim Sci papers Rep 21:223-231. Pane I. 2005. Pemuliabiakan Ternak Sapi. PT. Gramedia, Jakarta. Pane, I. 1990. Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi bali di P3 Bali. Makalah seminar Nasional Sapi Bali FAPET UNUD - Denpasar 20-22 September 1990.

42 Pane, I. 1986. Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi bali di P3 Bali. Makalah seminar Nasional Sapi Bali FAPET UNUD - Denpasar 20-22 September 1986. Pane, I. 1991. Produktivitas dan Breeding Sapi Bali. Proc. Seminar Nasional Sapi Bali. 2-3 September 1991. Fakutas Peternakan Hasanudin. Ujung Pandang. Payne, W.J.A. dan D.H.L. Rollinson. 1973. Bali cattle. World Anim. Rev. 7: 13-21. Payne W.J.A., Hodges J. 1997. Difussion of cattle throughout Asia. In : Payne W.J.A., Hodges J. (eds), Tropical Cattle, Origins, Breeds and Breeding Policies, pp. 32-46. Blackwell Science, Oxford. Peraturan Menteri Pertanian. 2013. Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014. Hal (4). Pereira L, Goncalves J, Franco Duarte RF, Silva J, Rocha T, Arnold C, Richard M, Macaulay V. 2005. Association of GH and IGF-1 polymorphisms with groeth traits in a synthetic beef cattle breed. Genet Mol Biol 28:145-149. Reis, C., Navas, D., Pereira, N., Cravador, A. 2001. Growth Hormone AluI Polymorphism Analysis in Eight Portuguese Bovine Breeds. Arch Zootec, 50:41-48. Rocha, J.L., Baker, J.F., Womack, J.E., Sanders, J.O., Taylor, J.F. 1991. Associations Between RFLPs and Quantitative Traits in Beef Cattle. J. Anim. Sci, 69 (suppl.1):201. Roith, D. L., Taylor, S. I., dan Olefsky, J. M. (2004). A Fundamental and Clinical Text (3 rd ed). Philadelphia : Lippincott Williams dan Wilkins. Saka, I K., Sentana Putra, Ni M. A. Rasna, I N. Ardika, N.M. Astawa, I G.N. Kayana, I K. M. Budiasa, dan I N. Tirta Ariana. 2005. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Study Pusat Perbibitan Sapi Bali (PPSB) di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar. Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu Dan Hasil Ikutan Ternak. Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/fp/ternakeniza2.pdf.

43 Sastradipradja D. 1990. Potensi internal sapi Bali sebagai salah satu sumber plasma nutfah untuk menunjang pembangunan peternakan sapi potong dan ternak kerja secara nasional. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. Denpasar, 20-22 September. Denpasar: Fakultas Peternakan Universitas Udayana. hlm. A-47-A-54. Schams, D., Graf, F., Meyer, J., Graule, B., Mauthner, M. and Wollny, C. (1991). Changes in hormones, metabolites and milk after treatment with sometribove (recombinant methionyl bst) in Deutsches Fleckvieh and German Black and White cows. J. Anim. Sci. 69: 1583 92 Schlee, P., R. Graml, O. Rottmann and F. Pirchner. 1994. Influence of growth hormone genotypes on breeding values of Simmental bulls. J. Anim Breed Genet 111: 253-256. Sutarno, A.J., Lymbery, R.C.A., Thompson, and Cummins, J.M. 1996. Associations Between Growth Hormone Genotypes and Estimated Breeding Values for Pre-Weaning Growth of Beef Cattle. Proceedings of The 13th International Congress on Animal Reproduction, Sydney June 30 - July 4, P26-19. Sutarno. 1998. Candidate gene marker for production traits in beef cattle. In: Veterinary Biology. Perth: Murdoch University Sutarno. 2004. Penyulihan asam amino leucin oleh valin pada posisi 127 gen penyandi hormon pertumbuhan dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan sapi benggala. Jurnal Veteriner 5 (1): 26-31. Suwiti, N.K., Sampurna, I.P., Watiniasih, N.L., dan Puja, I.N. 2013. Peningkatan Produksi Sapi Bali Unggul Melalui Pengembangan Model Peternakan Terintegrasi. Pusat Kajian Sapi Bali. Denpasar: Universitas udayana Talib, C. 2002. Pemberian Supplemen Daun Turi Meningkatkan Produksi Susu Tetapi Tidak Mempengaruhi Aktivitas Suckling Pada Sapi Bali. Jurnal Ilmiah Pertanian "GAKUR YOKU" Tahun 2013. Tidak dipublikasikan. Tuggle CK., C. B. Schmitz., M. F. Rothschild., Trenkle A. 1996. Control of growth hormone synthesis. Domest Anim Endo. 13:1-33. Williamson dan Payne G. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Diterjemahkan oleh Djiwa Darmaja.Yogyakarta : UGM Press.

44 Wiryosuhanto, S. 1996. Bali Cattle-Their Economic Importance in Indonesia. ACIAR Proseding.75 : 34-42. Woychick Rp, Camper SA, Lyons RH. 1982. Cloning and nucleotide sequencing of the bovine growth hormone gene. Nucl Acid res 10:7197-7210. Zhou, G.L., Jin, H.G., Guo, S.L., Zhu, Q., dan Whu, Y.H. 2005. Association of Genetic Polymorphism in GH Gene with Milk Production Traits in Beijing Holstein Cows; J. Biosci. 30: 595-598. Zainudin, M. 1999. Metodologi Penelitian. Fakultas Kedokteran Unair : Surabaya.

45 LAMPIRAN Lampiran 1: Nilai Optical Density (OD) Hasil Pengujian Serum Sapi Bali dengan Menggunakan ELISA Reader Filter 450nm (96 well) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 A 0.00 0.00 0.126 0.134 0.134 0.14 0.128 0.116 0.139 0.204 0.197 0.356 B 1.255 1.461 0.171 0.14 0.143 0.141 0.155 0.134 0.126 0.194 0.175 0.223 C 0.654 0.817 0.116 0.123 0.16 0.134 0.125 0.248 0.158 0.141 0.15 0.248 D 0.461 0.605 0.125 0.132 0.133 0.139 0.127 0.114 0.138 0.202 0.195 0.353 E 0.365 0.475 0.17 0.14 0.142 0.141 0.155 0.133 0.125 0.193 0.173 0.222 F 0.314 0.299 0.116 0.122 0.159 0.134 0.124 0.246 0.157 0.138 0.148 0.188 G 0.171 0.35 0.136 0.142 0.145 0.147 0.135 0.123 0.146 0.212 0.206 0.369 H 0.101 0.195 0.182 0.154 0.153 0.151 0.163 0.144 0.132 0.204 0.183 0.232 Keterangan: Ungu = Blank Merah = Kontrol Ungu = Sampel serum sapi bali di Nusa Penida Lampiran 2 : Analisis Nilai Optical Density dengan Persamaan Y= ax b Variables Entered/Removed b Model Variables Entered Variables Removed Method 1 LOD a. Enter a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: LK

46 Regression Model Summary Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate 1.948 a.898.890.47796 a. Predictors: (Constant), LOD ANOVA b Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression 24.186 1 24.186 105.874.000 a Residual 2.741 12.228 Total 26.928 13 a. Predictors: (Constant), LOD b. Dependent Variable: LK Coefficients a Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients Model B Std. Error Beta t Sig. 1 (Constant) 7.333.200 36.593.000 LOD 1.829.178.948 10.290.000 a. Dependent Variable: LK

47 Lampiran 3 : Data Hasil Statistik Deskriptif Case Processing Summary Cases Included Excluded Total N Percent N Percent N Percent Konsentrasi (pg/ml) * Frequency 80 95.2% 4 4.8% 84 100.0% Descriptive Statistics N Range Minimu m Maximu m Mean Std. Deviation Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic Frequency 80 2461 39 2500 736.79 94.49 845.203 Konsentrasi (pg/ml) Valid N (listwise) 80 4364 576 4941 1200.80 92.33 825.869 80

48 Lampiran 4 : Dokumentasi Laboratorium Gambar 1 : Serum Sapi Bali di Nusa Penida Gambar 2 : Microplate 96 well Gambar 3 : Microplate sebelom di baca

49 Gambar 4 : Proses pengenceran serum sampai 20 x pengenceran Gambar 5 : Proses pembacaan Optical Density hormon pertumbuhan sapi bali menggunakan ELISA reader Multiskan 450 nm