IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

METODE. Bahan dan Alat

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Maret 2017 di

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Tahap Awal

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

I PENDAHULUAN. Karakteristik tepung yang digunakan akan menentukan karakteristik cookies yang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

METODE. Waktu dan Tempat

LOGO BAKING TITIS SARI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian. dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bernilai gizi tinggi seperti kacang

I PENDAHULUAN. Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7 Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. hidup dan konsumsinya agar lebih sehat. Dengan demikian, konsumen saat ini

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kue Bolu. Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula,

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisikokimia Kadar Air

BAB III MATERI DAN METODE. substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

Resep Kue. Resep kue nastar

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan

BAB III METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH

III. METODOLOGI PENELITIAN

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

I PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan sumber daya tanaman umbi-umbian, termasuk aneka

TINJAUAN PUSTAKA Indeks Glikemik

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

III. METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN

PROSES PRODUKSI ROTI MANIS DI VIRGIN CAKE & BAKERY SEMARANG

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

METODE. Waktu dan Tempat

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW

BAB III METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

PENGARUH SUBSTITUSI TEPUNG JAGUNG (Zea mays L.) DALAM PEMBUATAN COOKIES. ABSTRACT

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik

J U R N A L. PEMANFAATAN PATI TACCA (Tacca Leontopetaloides) PADA PEMBUATAN BISKUIT ALFIAN Z. AATJIN Dosen Pembimbing:

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) :

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

III. METODE PENELITIAN. waktu penelitian ini dimulai pada bulan April 2016 sampai Desember 2016.

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PELAKSANAAN. bulan April 2013 sampai dengan pertengahan Juni 2013.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5.1 Total Bakteri Probiotik

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahap Persiapan Penelitian Tahap persiapan penelitian adalah tahap persiapan bahan utama yang digunakan dalam pembuatan cookies jagung yaitu tepung jagung. Kondisi bahan baku akan sangat berpengaruh pada mutu produk akhir yang dihasilkan, termasuk saat penyimpanannya (Hariyadi 2006). Tahap persiapan tersebut yaitu analisis jagung pipil, pembuatan tepung jagung, dan analisis tepung jagung yang dihasilkan. 1. Analisis jagung pipil Jagung yang digunakan dalam penelitian adalah varietas BPPT-IPB 1. Jagung pipil perlu dianalisis untuk melihat karakteristiknya karena dapat berpengaruh terhadap produk akhir. Analisis yang dilakukan adalah analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat by difference) yang dapat dilihat pada Tabel 20. Kadar air jagung pipil yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu tipe III SNI 01-3920-1995 yaitu memiliki kadar air maksimal 15%. Tabel 20 Komposisi kimia proksimat jagung pipil Parameter b/b (%) b/k(%) Kisaran b/k(%)* Kadar air 15,2 17,9 7 23 Kadar abu 1,5 1,8 1,1 3,9 Kadar lemak 4,8 5,6 3,1 5,7 Kadar protein 7,5 8,8 6 12 Kadar karbohidrat 71,0 83.8 *) Haryadi et al. (1991) 2. Pembuatan tepung jagung Jagung yang digunakan dalam pembuatan cookies jagung dibuat dalam bentuk tepung. Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (Zea mays LINN.) yang bersih dan 58

baik. Pada penelitian ini, proses pembuatan tepung jagung dilakukan dengan metode kering. Gambar 11 menunjukkan tepung jagung yang telah dihasilkan dari tahapan pembuatan tepung jagung. Gambar 11 Jagung (kiri) dan tepung jagung (kanan) Pembuatan tepung jagung dimulai dari proses pemipilan jagung secara manual dengan menggunakan sendok. Rendemen pemipilan jagung pipil dari jagung tongkol dapat dilihat pada Tabel 21. Jagung pipil yang dihasilkan kemudian direndam selama 20 menit dengan tujuan untuk membuat jagung pipil tersebut tidak terlalu keras sehingga mempermudah proses pelepasan kulit ari dan juga proses penggilingan kasar. Selain itu, perendaman bertujuan untuk membersihkan jagung pipil dari kotoran yang mengontaminasi. Setelah perendaman, dilakukan pelepasan kulit ari dan tip cap dengan menggunakan alat polisher selama 25 menit. Tabel 21 Rendemen pemipilan jagung pipil dari jagung tongkol Bahan Berat rata-rata (kg) Jagung tongkol 13.040 Jagung pipil 10.280 Tongkol jagung 2.310 Penyosohan bertujuan untuk memisahkan kulit (sekam) dari butir biji dengan tingkat kerusakan minimum atau biji pecah kulit yang maksimum (Nashirudin 2009). Kulit ari harus dilepaskan dari jagung pipil karena memiliki 59

kandungan serat yang tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur kasar. Pelepasan tip cap dilakukan karena dapat menimbulkan butir-butir hitam pada tepung. Jagung yang telah dimasukkan ke dalam polisher disebut jagung sosoh. Proses ini menghasilkan rendemen jagung sosoh sebesar 75.2% dan kulit ari sebesar 26.6%. Jagung sosoh kemudian dimasukkan ke dalam disc mill tanpa saringan untuk pengecilan ukuran. Proses ini disebut penggilingan pertama. Pada penggilingan pertama ini dihasilkan beras jagung dimana bagian lembaga, kulit, dan tip cap terpisah dari bagian endosperm. Rendemen beras jagung yang dihasilkan dari penggilingan kasar ini sebesar 72.6%. Pada penggilingan kasar ini terdapat loss sebesar 0.26% karena tertinggal di alat. Gambar 12 menunjukkan disc mill yang digunakan dalam pembuatan tepung jagung dan beras jagung yang dihasilkan. Gambar 12 Disc mill tanpa saringan (kiri) dan beras jagung Beras jagung yang dihasilkan dari penggilingan pertama masih bercampur dengan kotoran, kulit, tepung kasar, dan komponen lain yang tidak diinginkan. Proses yang dilakukan untuk memisahkan beras dari semua campuran tersebut yaitu dengan mencuci dan merendam di dalam air selama 1 jam. Proses ini juga bertujuan untuk memperlunak jaringan jagung yang masih keras sehingga ketika digiling dengan disc mill akan lebih mudah. Pada proses ini, rendemen perikarp dan germ sebesar 10.2%. Beras jagung yang telah dipisahkan dari perikarp dan germ kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pengering pada suhu 60 0 C selama 2 jam. Jenis oven pengering yang digunakan termasuk ke dalam tray dryer. Rendemen 60

beras jagung kering yang dihasilkan dari proses ini sebesar 58.2%. Beras jagung kering kemudian dimasukkan ke dalam disc mill dengan menggunakan saringan untuk dilakukan penggilingan kedua. Hasil dari penggilingan kedua adalah tepung jagung, tetapi masih terdapat tepung kasar yang belum terpisahkan berdasarkan ukurannya. Rendemen tepung jagung yang dihasilkan sebesar 53.4%. Pada penepungan ini terdapat loss sebesar 4.8% karena masih ada tepung jagung yang tertinggal pada alat. Tepung jagung ini kemudian dikeringkan dengan oven pengering 60 0 C selama 3 jam untuk mengurangi kandungan air yang dapat menyebabkan kerusakan. Lopulalan (2008) menyatakan bahwa pengeringan kedua bertujuan untuk memastikan bahwa tepung jagung benar-benar telah kering untuk mencegah tepung menjadi asam. Loss sebesar 1.3% pada proses pengeringan tepung jagung. Tepung kasar dipisahkan dengan tepung halus melalui proses pengayakan. Fungsi dari pengayakan yaitu untuk menghomogenkan ukuran dari tepung jagung yang diinginkan. Proses pengayakan dilakukan selama 1 jam dan menghasilkan rendemen sebesar 30.8% dari keseluruhan jagung pipil atau sekitar 3.08 kg. Sisanya yaitu berupa tepung kasar (tidak lolos ayakan 120 mesh) sebesar 20.7%. Gambar 13 menunjukkan alat pengayak yang digunakan dalam pembuatan tepung. Gambar 13 Alat pengayak tepung Prinsip kerja dari pengayak yang berdasarkan pada ukuran didasarkan pada penjatuhan bahan padat di atas permukaannya dan menyebabkan bahan yang 61

berukuran kecil lolos melewati lubang dan bahan yang berukuran besar tetap tinggal pada permukaan ayakan. Pengayak yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengayak bergetar. Pengayak bergetar ini digunakan untuk pemisahan bahan dalam jumlah besar. Pergerakan alat ini didasarkan pada getaran yang dihasilkan oleh tenaga listrik. Pengayak yang digunakan bergerak secara otomatis ketika tombol penghidup alat mulai dinyalakan. Pergerakan mesin pengayak yaitu berupa gerakan rotasi atau gerakan yang tetap dalam satu tempat. Di bagian bawah mesin terdapat beberapa pegas yang dapat berfungsi sebagai penahan antara mesin dengan tempat hasil filter dan pengayak, sehingga dengan adanya pegas ini, keseluruhan mesin dapat bergerak rotasi. Gerak rotasi yang bergetar ini akan menyebabkan tumpukan tepung jagung membuat lingkaran kosong yang berfungsi sebagai tempat untuk menyeleksi tepung jagung berdasarkan ukuran yang diinginkan. Ukuran tepung jagung yang lolos dari ukuran saringan akan turun ke tempat penampung yang selanjutnya akan masuk ke dalam sebuah wadah sebagai tempat terakhir penampungan. Tepung jagung yang dihasilkan berwarna kuning sesuai dengan warna biji jagung yang digiling. Hal ini disebabkan adanya karoten pada biji jagung. Tepung jagung memiliki kandungan lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan terigu, tetapi tepung jagung memiliki kandungan serat yang lebih besar. Rendahnya lemak pada tepung jagung dapat menyebabkan tepung menjadi lebih awet karena tidak mudah tengik oleh oksidasi lemak. Banyaknya serat pada tepung jagung menyebabkan tepung jagung memiliki tekstur yang lebih kasar dibandingkan dengan terigu. Untuk memperoleh tepung jagung dengan ukuran yang sehalus terigu, maka diperlukan pengayakan dengan mesh yang lebih besar tetapi rendemen tepung jagung yang dihasilkan akan menjadi semakin berkurang (Lopulalan 2008). Neraca massa dapat dilihat pada Lampiran 6 dan hasil pembuatan tepung jagung pada Lampiran 7. 3. Analisis tepung jagung Tepung jagung yang diperoleh dari tahap pembuatan tepung jagung perlu dianalisis. Hal ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik tepung jagung 62

tersebut. Karakteristik tepung jagung dapat mempengaruhi cookies jagung yang dihasilkan. Analisis dilakukan terhadap karakteristik kimia dan fisik tepung jagung. 3.1 Analisis kimia Untuk mengetahui kandungan zat gizi dalam tepung jagung yang dihasilkan, maka dilakukan analisis proksimat. Analisis proksimat tersebut meliputi kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat (by difference). Selain itu, analisis kimia lain yang dilakukan adalah analisis total pati, amilosa, dan serat kasar. Komposisi kimia proksimat tepung jagung dapat dilihat Tabel 22. Tabel 22 Data hasil analisis kimia tepung jagung Parameter b/b (%) b/k (%) Kadar air 7.45 8.06 Kadar abu 0.13 0.14 Kadar lemak 2.38 2.57 Kadar protein 6.67 7.21 Kadar karbohidrat 83.37 90.08 Kadar serat serat (%) 0.88 0.95 Kadar amilosa (%) 27.90 - Total pati (%) 59.40 - Keterangan: b/b = berat basah b/k = berat kering a. Kadar air Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa tepung jagung memiliki kadar air sebesar 7.45 (% b/b). Nilai kadar air tersebut berbeda jauh dengan kadar air jagung pipil. Perbedaan kadar air jagung pipil dengan tepung jagung tersebut disebabkan oleh proses pembuatan tepung jagung yang dilakukan, yaitu pada tahap pengeringan dengan menggunakan oven pengering. Selama pengeringan, terjadi pelepasan air yang menyebabkan kadar air tepung jagung mengalami penurunan. 63

Jenis oven pengering yang digunakan termasuk ke dalam tray dryer dengan udara panas kering keluar dari lubang yang terdapat pada sisi kanan dan kiri oven. Kecepatan proses pengeringan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal adalah sifat kimia, struktur fisik serta ukuran bahan, sedangkan faktor ekternal adalah suhu udara dan kecepatan udara (Fellows dan Hamptonnes 1992 diacu dalam Lopulalan 2008). Kadar air sangat dipengaruhi oleh cara penyimpanan atau lama waktu dari pemanenan sampai bahan diolah menjadi suatu produk (Lopulalan 2008). Penentuan kadar air diperlukan sebab berpengaruh pada daya simpan tepung jagung. Makin tinggi kadar air suatu bahan maka makin tinggi kemungkinan bahan tersebut rusak. Kadar air tepung jagung yang dihasilkan memenuhi syarat mutu kadar air tepung jagung yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dalam SNI 01-3727-1995 yang menetapkan kadar air maksimum sebesar 10 (% b/b). b. Kadar abu Kadar abu dari suatu bahan perlu diketahui agar dapat digunakan untuk menentukan kadar mineral yang terkandung dalam bahan tersebut yang berupa abu sisa pembakaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar abu tepung jagung sebesar 0.13 (% b/b), sedangkan kadar abu jagung pipil sebesar 1.5 (% b/b). Rendahnya kadar abu tepung jagung disebabkan oleh tahapan pada pembuatan tepung jagung yaitu pemisahan beras jagung dengan lembaga yang mengandung 75% dari total mineral (Lopulalan 2008). Kadar abu juga dipengaruhi oleh jenis bahan, umur bahan, dan lain-lain. Kadar abu tepung jagung yang dihasilkan masih memenuhi syarat mutu SNI yaitu maksimal 1.5 (% b/b). c. Kadar lemak Data kadar lemak tepung jagung adalah 2.38 (% b/b). Kadar lemak bukan merupakan salah satu syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI 01-3727-1995. Pengetahuan kadar lemak tepung jagung terkait dengan proses gelatinisasi. Kadar lemak yang tinggi akan dapat mengganggu proses gelatinisasi, sebab lemak dapat membuat kompleks dengan amilosa sehingga amilosa tidak keluar dari granula 64

pati (Lopulalan 2008). Dengan mengetahui kadar lemak tepung, maka akan memudahkan untuk menentukan tujuan pembuatan suatu produk (Riyani 2007). Daftar komposisi bahan makanan (Depkes 1998) menunjukkan bahwa kadar lemak tepung jagung kuning sebesar 3.9%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar lemak tepung jagung masih di bawah acuan DKBM. Nilai kadar lemak yang diperoleh relatif kecil apabila dibandingkan dengan kadar lemak tepung jagung varietas nasional yaitu 7-8% (Riyani 2007). Rendahnya kadar lemak pada tepung jagung karena pada proses pembuatan tepung telah dilakukan pemisahan antara beras jagung dengan lembaga dan perikarp dimana terdapat kandungan lemak yang tinggi pada kedua bagian tersebut. d. Kadar protein Kadar protein tepung jagung bukan merupakan salah satu syarat mutu tepung jagung. Kadar protein tepung sangat penting untuk melengkapi gizinya. Kadar protein tepung jagung adalah 6.67 (% b/b) dan 7.21 (% b/k). Faktor konversi yang digunakan dalam perhitungan adalah faktor konversi untuk jagung yaitu 6.25 karena faktor konversi tepung jagung belum ditetapkan. Data kadar protein menunjukkan terjadi penurunan kadar protein tepung jagung dibandingkan dengan jagung pipil. Hal ini disebabkan oleh pengeringan pada proses pembuatan tepung jagung dari jagung pipil. Pengeringan menyebabkan kerusakan protein seperti denaturasi, struktur agregasi dan berkurangnya aktivitas enzim rehidrasi, dimana kerusakan protein ditandai dengan perubahan seluruh struktur sekunder protein. e. Kadar karbohidrat Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi utama bagi tubuh. Karbohidrat dalam tepung terdiri dari karbohidrat dalam bentuk gula-gula sederhana, pentosa, dekstrin, selulosa dan pati (Ahza 1983 diacu dalam Lopulalan 2008). Semakin manis rasa tepung, maka kandungan karbohidrat dalam bentuk gula-gula sederhana juga semakin tinggi dan kandungan patinya akan semakin 65

rendah. Berdasarkan hasil analisis, nilai kadar karbohidrat tepung jagung sebesar 83.37 (% b/b). f. Kadar serat kasar Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan manusia. Serat jagung banyak terdapat pada bagian perikarp. Pada proses penepungan perikarp dibuang sehingga menurunkan serat tepung. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kadar serat kasar tepung jagung adalah 0.88 (% b/b) dan 0.95 (% b/k). SNI 01-3727-1995 mencantumkan maksimum kandungan serat kasar tepung jagung adalah 1.5% (% b/b). Jika nilai hasil perhitungan dibandingkan dengan SNI persyaratan mutu tepung jagung maka kadar serat kasar tepung jagung yang dihasilkan memenuhi syarat. Walaupun berpengaruh pada tekstur tepung (menjadi lebih kasar), serat kasar berperan penting dalam penilaian kualitas bahan makanan karena angka ini merupakan indeks dan menentukan nilai gizi bahan makanan tersebut. Hal ini berarti kandungan serat pangan yang tinggi bermanfaat untuk kesehatan, tetapi dari segi kualitas fisik berpengaruh terhadap tingkat kehalusan tepung (Suarni 2009). g. Kadar amilosa Kadar amilosa dari pati diperoleh dengan reaksi antara amilosa dengan iodin untuk membentuk kompleks yang stabil, yang diukur dengan spektrofotometri atau titrasi potensiometri (Breslauler 2003). Pengetahuan tentang kadar keduanya penting karena rasio amilosa dan amilopektin mempengaruhi gelatinisasi dan karakteristik pengkristalan (Karlsson et al. 2007). Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat ikatan intramolekulnya. Semakin banyak amilosa pada pati akan membatasi pengembangan granula dan mempertahankan integritas granula. Kadar amilosa tepung jagung hasil analisis yaitu sebesar 27.90%. Jagung memiliki kandungan amilosa sebanyak 25-30% berat pati (Lopulalan 2008). 66

h. Kadar total pati Pati merupakan komponen utama yang terdapat pada jagung yaitu sekitar 72-73%. Pati sebagian besar terdapat pada endosperm yaitu sebesar 98% (Haryadi et al. 1991). Hasil analisis tepung jagung diperoleh total pati sebesar 59.40%. Hasil penelitian Juniawati (2003) menunjukkan bahwa kandungan pati yang terdapat pada tepung jagung yaitu sebesar 68.20%. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kadar total pati tepung jagung yang digunakan belum cukup tinggi sehingga belum dapat digunakan sebagai produk pangan berkarbohidrat tinggi. Jika dibandingkan dengan kadar total pati pada ekstrak pati jagung, nilai total pati pada tepung jagung tidaklah tinggi. Hal ini disebabkan tepung jagung tidak melewati tahap ekstraksi pati sehingga banyak komponenkomponen seperti serat atau lignin (Riyani 2007). 3.2 Analisis fisik a. Rendemen tepung jagung Rendemen merupakan persentase antara produk akhir (tepung jagung) yang dihasikan dengan produk awal. Rendemen sangat penting diketahui untuk mendapat gambaran seberapa besar suatu produk dapat dimanfaatkan dengan baik dan nilai ekonomis produk tersebut. Semakin tinggi rendemen suatu produk dapat dikatakan produk tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi pula (Lopulalan 2008). Rendemen yang dihasilkan pada pembuatan tepung jagung yang lolos ayakan 120 mesh adalah 30.80% dari keseluruhan jagung pipil atau sekitar 3.08 kg dari 15 kg jagung pipil. Rendemen yang cukup kecil tersebut disebabkan oleh material yang tertinggal pada alat-alat yang digunakan selama proses pembuatan tepung jagung seperti polisher, oven, disc mill, pengayak. Selain itu, penyebab rendemen yang dihasilkan kecil yaitu cukup tingginya kadar air bahan baku jagung yang digunakan. Rendemen tepung yang dihasilkan tergantung pada kandungan air dan bahan kering dari bahan baku segarnya (Sunandar 2004). Kadar air jagung pipil yang digunakan adalah 15.20 % (b/b) dan 17.9% b/k. Kandungan air yang cukup tinggi dalam bahan pangan akan menghasilkan rendemen yang kecil ketika ditepungkan. 67

Mesh tepung yang tinggi pun menjadi penyebab rendahnya rendemen tepung jagung yang dihasilkan. Ukuran ayakan yang umum digunakan untuk penepungan adalah 80 mesh (Herodian et al. 2008). Rendemen hasil pengayakan relatif rendah karena ukuran mesh ayakan yang digunakan tinggi yaitu 120 mesh sehingga hancuran tepung jagung yang lolos ayakan relatif rendah. Lopulalan (2008) menambahkan, untuk memperoleh tepung sehalus terigu maka dibutuhkan pengayakan dengan mesh yang lebih besar namun rendemen yang dihasilkan semakin berkurang (Lopulalan 2008). Riyani (2007) melaporkan bahwa rendemen tepung jagung 6 varietas nasional hampir mencapai 100% yaitu 96.25-99.89% baik metode kering maupun metode alkali cooked milling. Nilai tersebut masih lebih tinggi dibandingkan rendemen tepung jagung yang diperoleh. Hal yang membedakan keduanya adalah mesh ayakan yang digunakan oleh Riyani (2007) lebih kecil dan proses pembuatan tepung jagung dilakukan tanpa pemisahan lembaga, perikarp, dan endosperm. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rendemen tepung jagung adalah dengan melakukan penggilingan berulang. Tepung yang tidak lolos ayakan 120 mesh digunakan kembali untuk penepungan kembali sehingga diperoleh tepung yang lebih halus lagi dan lolos ayakan 120 mesh. Selain itu, perlu dilakukan pembuatan tepung jagung yang lebih baik lagi sehingga loss yang dihasilkan pada setiap tahapan dapat seminimal mungkin. Rendemen tepung jagung yang rendah berpengaruh terhadap biaya produksi cookies jagung. Semakin rendah rendemen maka biaya produksi yang diperlukan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan oleh pengeluaran biaya yang semakin tinggi dalam rangka memenuhi jumlah tepung jagung yang diperlukan setiap kali berproduksi. Cookies jagung yang dihasilkan pun akan memiliki harga yang semakin tinggi pula. Hal ini dapat mengakibatkan harga cookies jagung sulit bersaing dengan harga cookies komersil. b. Densitas kamba Densitas kamba merupakan karakteristik fisik yang penting dari tepung serealia karena berperan dalam penyimpanan, pengankutan, dan pemasaran. 68

Densitas kamba tepung diartikan sebagai banyaknya partikel yang dapat memenuhi suatu kontainer (Breslauer 2003). Nilai densitas kamba yang besar menunjukkan produk yang lebih ringkas. Tingkat keringkasan yang tinggi menunjukkan porositas yang dimiliki tepung jagung kecil, yaitu rongga-rongga yang terdapat di antara partikel adalah kecil. Berdasarkan hasil pengukuran, densitas kamba tepung jagung sebesar 0.7 g/ml. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada volume 1 ml, berat tepung jagung sebesar 0.7 g. Nilai tersebut sesuai dengan data densitas kamba tepung jagung yang dilaporkan oleh Breslauer (2003) yaitu sekitar 0.5-0.7 g/ml. c. Profil gelatinisasi pati Amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Apabila granula pati dipanaskan di dalam air, maka energi panas akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin (Nopianto 2009). Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu dimana terjadinya gelatinisasi disebut dengan suhu gelatinisasi. Hasil pengujian menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu awal dan suhu puncak gelatinisasi berturut-turut adalah 26 dan 42.50 menit dengan suhu awal gelatinisasi sebesar 69 C dan suhu puncak gelatinisasi sebesar 93.75 C. Proses gelatinisasi pati menyebabkan perubahan viskositas larutan pati. Brabender amilograf menunjukkan bahwa larutan pati sebelum dipanaskan memiliki viskositas 0 unit. Pemanasan menyebabkan granula pati sedikit demi sedikit mengalami pembengkakan sampai titik tertentu. Pembengkakan pati diikuti dengan peningkatan viskositas hingga viskositas maksimum. Nilai viskositas maksimum yang dihasilkan pada pengukuran ini dinyatakan dalam 69

Brabender Unit (BU). Viskositas maksimum yang diperoleh adalah 725 BU. Semakin besar pembengkakan granula, viskositas semakin besar. Sifat amilografi tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 23. Semakin tinggi viskositas maksimum, berarti kemampuan pati dalam menyerap air semakin besar dan daya lengket semakin besar. Tabel 23 Sifat amilografi tepung jagung Sifat amilograf Tepung jagung Suhu awal gelatinisasi (ºC) 69 Suhu puncak (ºC) 93.75 Viskositas puncak (BU) 725 Viskositas 95 (BU) 720 Viskositas 95/20 (BU) 600 Viskositas 50 (BU) 1000 Viskositas 50/20 (BU) 1170 Setback (BU) 275 Stabilitas pasta dingin (BU) 170 Breakdown (BU) 120 Stabilitas pasta panas diukur berdasarkan selisih dari viskositas maksimum setelah pemanasan pada suhu konstan (95ºC) selama 20 menit (Pratiwi 2008). Stabilitas panas juga disebut dengan breakdown. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai breakdown tepung jagung sebesar 120 BU. Nilai breakdown menunjukkan kemampuan tepung atau pati dalam mempertahankan viskositasnya selama pemanasan. Nilai breakdown yang besar selama pemasakan menunjukkan bahwa granula pati yang telah membengkak secara keseluruhan memiliki sifat yang rapuh. Viskositas balik (setback) merupakan selisih antara viskositas pada akhir pendinginan (50ºC) dengan viskositas pada akhir pemasakan pada suhu konstan (95ºC). Nilai setback ini menunjukkan kecerendungan pati dalam beretrogradasi. Semakin tinggi viskositas setback berarti semakin tinggi pula kemampuan pati dalam beretrogradasi (Li dan Yeh 2001 diacu dalam Pratiwi 2008). Semakin besar 70

kecenderungan untuk beretrogradasi, kekerasan produk setelah didinginkan semakin meningkat. Hasil pengujian menunjukkan bahwa tepung jagung memiliki setback sebesar 275 BU dan menandakan bahwa tepung jagung yang digunakan mudah untuk beretrogradasi. Dalam pembuatan produk, retrogradasi merupakan hal yang tidak diinginkan (Pratiwi 2008). Hasil amilografi tepung jagung dapat dilihat pada Gambar 14. Suhu (ºC) 95 95 50 50 Gambar 14 Kurva hasil amilografi tepung jagung d. Derajat warna Warna merupakan salah satu atribut penting untuk produk pangan. Metode yang digunakan dalam analisis derajat warna ini adalah Hunter. Pada sistem ini terdapat 3 parameter yaitu a, b, dan L. Hasil pengukuran dengan alat chromameter menunjukkan bahwa nilai a tepung jagung sebesar +0.12. Nilai a yang positif menandakan bahwa warna tepung jagung cenderung berwarna merah daripada hijau, namun warna merah tersebut tidak pekat karena nilai a sangat jauh dari maksimal nilai merah yaitu 100. Tepung jagung memiliki nilai b sebesar +39.45. Angka positif tersebut menandakan bahwa warna tepung jagung adalah kuning, tetapi angka yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut cukup jauh di bawah nilai 70 yang berarti bahwa warna kuning tepung jagung tidak terlalu pekat. 71

Nilai L yang diperoleh dari pengukuran adalah 82.51. Hasil tersebut menandakan bahwa warna tepung jagung sangat cerah. Hal ini diperkuat dengan nilai L yang hampir mendekati maksimal nilai yaitu 100. Selain itu, diperoleh data ºHue sebesar 89.90. Data ºHue dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik warna suatu produk pangan. Warna tepung jagung tergolong ke dalam kisaran warna 54-90, yaitu Yellow-Red atau merah kekuningan. Diagram warna Lab metode Hunter dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15 Diagram warna Lab metode Hunter B. Tahap Penelitian Utama Setelah tahap persiapan penelitian maka dilakukan tahap penelitian utama. Tahap penelitian utama menjadi topik penelitian yang dilakukan. Tahap penelitian utama meliputi formulasi cookies jagung, analisis cookies jagung, dan pendugaan umur simpan produk dengan pendekatan kadar air kritis. 1. Formulasi cookies jagung Formulasi cookies jagung terbagi atas 3 tahap yaitu formulasi kesatu, kedua, dan ketiga. Formulasi memegang peranan penting dalam perencanaan pembuatan suatu produk pangan. Formulasi cookies jagung diawali dengan penentuan parameter waktu pengadukan dilakukan pada saat pembentukan krim antara lemak dengan gula dan antara krim lemak-gula dengan telur. Pencampuran merupakan tahap yang penting dalam pembuatan cookies. Kemampuan (mutu) pengkriman lemak merupakan hal yang penting karena saat pengkriman, lemak akan memerangkap, dan menahan sel-sel udara. 72

Pengujian dilakukan pada 0.5 menit, 1 menit, 1.5 menit, dan 2 menit. Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh waktu pembentukan krim selama 2 menit dan pencampuran dengan telur selama 1 menit. Hasil trial dan error penentuan waktu pengadukan dapat dilihat pada Tabel 24. Hasil pengamatan sesuai dengan pernyataan Wahyuni (2006) yaitu gula dan margarin sebaiknya hanya sekedar dicampur dan tidak dikocok terlalu lama. Cookies yang dicetak setelah dipanggang sering mengalami pelebaran motif dan bentuk karena pengocokan margarin dan gula terlalu lama atau jumlah tepung terigunya kurang (Wahyuni 2006). Tabel 24 Hasil trial and error waktu pengadukan Waktu Pembentukan krim Pencampuran krim dengan telur 0.5 menit Tidak terbentuk krim Tidak merata 1 menit Krim tidak merata Merata 1.5 menit Krim tidak merata Merata 2 menit Merata Merata Waktu pengadukan yang dilakukan berbeda dengan penelitian Lopulalan (2008) pada pembuatan biskuit jagung. Pembentukan krim antara margarin, gula halus, dan garam dilakukan selama 10 menit. Pengocokan yang berlebihan akan merusak susunan gluten dan akan membuat adonan menjadi panas sehingga merusak tekstur biskuit serta menyebabkan retak pada permukaan biskuit pada saat pemanggangan (Inayati 1991). Pengocokan margarin dan gula yang terlalu lama pun dapat menyebabkan penyusutan ukuran kristal gula sehingga cookies yang dihasilkan menjadi lebih kecil dan padat. 1.1 Formulasi kesatu cookies jagung Penentuan formula kesatu bertujuan untuk mendapat substitusi tepung jagung optimal terhadap terigu yang masih memungkinkan dalam pembuatan cookies. Formulasi cookies jagung dilakukan dengan menggunakan trial and error untuk menentukan formulasi cookies secara organoleptik yang disukai oleh 73

konsumen. Jumlah bahan baku yang digunakan dalam formulasi cookies disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Formulasi kesatu cookies jagung Bahan Komposisi (g) % Gula 30 30 Margarin 30 30 Mentega 7 7 Vanili 0.2 0.2 Putih telur 25 25 Kuning telur 7 7 Cream of tartar 0.4 0.4 Susu skim 14 14 Garam 0.8 0.8 Soda kue 0.2 0.2 Perbandingan tepung jagung dan terigu yang digunakan dalam formulasi awal cookies jagung terdiri dari beberapa tingkat yaitu 100:0, 90:10, 80:20, 70:30, 60:40, dan 50:50. Perbandingan antara tepung jagung dan terigu dengan basis total tepung yang digunakan. Pengujian dilakukan terhadap karakteristik kalis adonan yang terbentuk. Karakteristik adonan dengan berbagai tingkat perbandingan tepung dapat dilihat pada Tabel 26. Pengujian adonan dilakukan dengan melihat penampakan adonan yang dihasilkan (Gambar 16). Tabel 26 Karakteristik adonan pada beberapa tingkat substitusi tepung Perbandingan tepung (%) Tepung jagung Terigu Karakteristik adonan 100 0 Kurang kalis, adonan tidak menyatu 90 10 Kalis 80 20 Kalis 70 30 Agak lembek 60 40 Agak lembek, berminyak 50 50 Lembek 74

100 : 0 90:10 80:20 70:30 60:40 50:50 Gambar 16 Penampakan adonan formulasi kesatu Hasil yang diperoleh adalah adonan (60:40) dan (50:50) sulit untuk dicetak. Hal tersebut disebabkan adonan yang dihasilkan tidak kalis dan berminyak. Jika perbandingan tepung jagung lebih banyak daripada terigu maka membutuhkan bahan pengikat yang banyak untuk membuat adonan menjadi kalis. Jika penambahan bahan pengikat terlalu sedikit maka adonan sulit dicetak. Apabila rasio tepung jagung (mendekati) seimbang dengan terigu maka tidak membutuhkan penambahan bahan pengikat yang banyak. Penambahan bahan pengikat (misalnya air) yang banyak akan membuat tekstur menjadi liat dan tidak renyah. Hal tersebut disebabkan oleh interaksi yang terjadi antara protein, polisakarida, dan air mempunyai peran terhadap kerenyahan produk (Roudaut et al. 2002). Berdasarkan Tabel 26 dan Gambar 16, maka dapat dilihat bahwa karakteristik adonan kalis dimiliki oleh formula dengan rasio tepung jagung-terigu sebesar 90:10 dan 80:20. Karakteristik fisik adonan berasal dari komposisi penyusun adonan, jumlah air yang ditambahkan, kondisi pencampuran bahanbahan, dan suhu adonan (Manley 2001). Keenam formula dalam formulasi kesatu selanjutnya diuji secara organoleptik. Uji organoleptik bertujuan untuk menentukan rasio tepung jagung dengan terigu yang dipilih untuk formulasi kedua. Keenam formula dicobakan secara subjektif ke 25 orang panelis semi terlatih. Atribut sensori yang diuji yaitu warna, rasa, dan tekstur (sandiness). Hasil uji organoleptik tersebut kemudian diolah dengan analisis ragam ANOVA untuk melihat apakah ada perbedaan yang 75

nyata diantara keenam produk baik dari segi warna, rasa, maupun tekstur (sandiness). Hasil uji organoleptik formulasi kesatu cookies jagung dapat dilihat pada Gambar 17. Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%). menunjukkan Gambar 17 Hasil penilaian uji organoleptik formulasi kesatu cookies jagung Hasil uji ANOVA formulasi kesatu dapat dilihat pada Lampiran 8 dan Lampiran 9. Sebelum faktor-faktor lain yang dipertimbangkan, atribut warna memegang peranan yang sangat penting karena kesan pertama yang didapatkan dari bahan pangan adalah warna. Hasil tests of between-subjects effects terhadap atribut warna adalah nilai signifikansi sebesar 0.000 dan nilai tersebut lebih kecil daripada 5%. Hal tersebut menandakan bahwa warna keenam formula yaitu cookies jagung yang terbuat dari 100: 0 sampai dengan formula 50:50 berbeda nyata. Hasil uji ANOVA dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa warna formula 80:20, 70:30, dan 60:40 merupakan cookies yang lebih disukai dibandingkan dengan formula lainnya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi warna produk cookies adalah tepung jagung yang 76

digunakan, lemak, telur, dan proses pemanggangan. Semakin banyak tepung jagung yang digunakan warna produk akhir menjadi semakin kuning. Cookies jagung dengan formula 50:50 bewarna lebih cerah dibandingkan dengan formula lain karena jumlah tepung jagung yang digunakan setara dengan terigu. Rasa merupakan persepsi dari sel pengecap meliputi rasa asin, manis, asam, dan pahit yang diakibatkan oleh bahan yang terlarut dalam mulut (Meilgaard et al. 1999). Hasil ANOVA atribut rasa menunjukkan signifikansi 0.022 yang lebih kecil dibandingkan taraf signifikansi 5%. Hal ini menandakan bahwa rasa keenam formula berbeda nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa cookies jagung yang lebih disukai adalah cookies jagung dengan perbandingan tepung jagung dan terigu sebesar 80:20, 60:40, dan 50:50. Penambahan tepung jagung yang semakin besar memberikan pengaruh yang nyata terhadap tekstur (sandiness) cookies yang dihasilkan. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi tekstur sebesar 0.000 yang lebih kecil dari 5%. Tekstur (sandiness) yang diujikan lebih diarahkan pada sifat berpasir cookies jagung. Sandiness adalah rasa berpasir pada akhir rasa di mulut. Tekstur cookies yang dihasilkan semakin masir dengan semakin meningkatnya penggunaan tepung jagung. Hal ini disebabkan oleh tepung jagung yang bersifat kasar (Suarni 2009). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tesktur formula 80:20, 70:30, 60:40, dan 50:50 lebih disukai dibandingkan formula 100:0 dan 90:10. Cookies jagung yang dihasilkan pun menjadi lebih padat yang disebabkan oleh kandungan gluten kecil yang tidak kuat dan elastis sehingga cookies tidak mengembang dan mengakibatkan tekstur cookies menjadi padat. Semakin tinggi penambahan tepung jagung maka akan menurunkan kadar gluten pada total tepung (Sibuea 2001). Tepung jagung mempunyai andil dalam penyerapan air dalam adonan tetapi tidak menguatkan adonan yang menyebabkan produk mempunyai tekstur yang lebih keras dibandingkan dengan terigu. Kandungan tepung terigu yang semakin menurun menyebabkan tekstur semakin padat. Peningkatan kadar gluten meningkatkan kualitas kue dengan menciptakan viskositas yang sesuai saat pencampuran dan pada awal pemanggangan. Gluten juga memiliki daya serap sehingga adonan dapat menahan udara yang mengembang dan kemampuan untuk menyeragamkan dispersi dari bahan-bahan. 77

Gluten meningkatkan volume kue dan pada saat yang sama menekan dinding sel ketahanan terhadap keruntuhan (Wilderjans et al. 2008). Produk cookies jagung yang lebih disukai baik warna, rasa, maupun tekstur adalah cookies yang terbuat dari perbandingan 80:20 dan 60:40. Jika dilihat dari segi biaya produksi maka formula 80:20 lebih menguntungkan dibandingkan 60:40 karena lebih banyak mengandung tepung jagung dibandingkan terigu. Hasil uji organoleptik tersebut dihubungkan dengan konsistensi adonan secara visual. Adonan kalis terbentuk pada formula 90:10 dan 80:20 dan skor kesukaan yang lebih tinggi adalah formula 80:20. Oleh karena itu, formula terbaik pada tahap formulasi kesatu adalah 80:20 yang terbuat dari 80% tepung jagung dan 20 % terigu. Hasil formulasi kesatu menunjukkan bahwa cookies dapat dibuat dari tepung jagung lebih dari 50%. Hal ini sesuai dengan Suarni (2009) yang menyatakan tepung jagung dapat mensubstitusi terigu dalam pembuatan kue kering hingga 50-80%. Permasalahannya adalah cookies jagung yang dihasilkan menimbulkan kesan masir ketika dikunyah. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dilakukan trial and error dengan mengubah jumlah telur yang ditambahkan. Permasalah yang sama yaitu berpasir pun dijumpai pada penelitian biskuit jagung oleh Lopulalan (2008) dengan formula biskuit jagung 80:20. 1.2 Formulasi kedua cookies jagung Tepung jagung memiliki tekstur agak kasar, kandungan gluten relatif rendah (< 1%) (Suarni 2009). Hal tersebut menyebabkan cookies jagung yang dihasilkan menjadi berpasir. Rasa berpasir (sandiness) tersebut dapat disebabkan oleh adonan tepung yang tidak menyatu. Oleh karena itu, emulsifier perlu ditambahkan sehingga dapat mengikat tepung jagung dengan bahan lainnya. Pemgemulasi digunakan untuk menghilangkan sandiness (Anonim b 2010). Asam lemak dan emulsifier dapat mengontrol kerenyahan melalui pembentukan kompleks dengan pati (Desrumaux et al. 1999 yang diacu dalam Roudaut et al. 2002). Emulsifier yang digunakan adalah telur. Fungsi telur yaitu mengikat bahanbahan lain dalam adonan, membantu mengembangkan susunan kue kering dan 78

memberi rasa lezat (Wahyuni 2006). Telur mengandung lesitin yang berperan sebagai pengemulsi. Telur berfungsi untuk memperbaiki tekstur bakery sebagai hasil dari fungsi emulsifikasi, pelembut tekstur, dan daya pengikat. Penggunaan kuning telur memberikan tekstur lembut, tetapi struktur dalam biskuit (termasuk cookies) tidak sebaik jika digunakan keseluruhan bagian telur. Penggunaan telur dalam formulasi kedua adalah pencampuran bersama kuning telur dan putih telur. Trial and error dilakukan untuk menentukan penggunaan persentase telur yang terbaik. Peran margarin (lemak) dalam adonan salah satunya dipengaruhi oleh adanya emulsifier dalam formula (Ghotra 2002). Oleh sebab itu, telur sebagai emulsifier mempunyai peran yang penting. Tabel 27 menunjukkan formulasi kedua cookies jagung. Tabel 27 Formulasi kedua cookies jagung Bahan Komposisi (%)* Gula 50 Telur 63, 42, 21, dan 18 Margarin 50 Susu skim 14 Kayu manis 0.4 Soda kue 0.2 Tepung jagung 80 Terigu 20 *) per 100 g tepung Tabel 27 menunjukkan penambahan telur dalam bentuk persentase dengan basis tepung yang digunakan. Keenam formulasi pada formulasi kesatu cookies jagung menghasilkan produk dengan rasa berpasir, berasa tepung, kurang manis, dan terlalu asin. Hal ini sesuai dengan komentar ketika uji organoleptik yang dilakukan. Ada tiga hal yang berubah untuk menghilangkan rasa tepung pada cookies yaitu peningkatan jumlah gula dan margarin, serta perubahan flavor yang digunakan. 79

Menurut Drewnowski et al. (1998) rasa manis merupakan kunci atribut sensori yang menentukan penerimaan cookies. Oleh sebab itu, dilakukan peningkatan persentase penggunaan gula dari 30% hingga 50%. Parameter lain yang dipengaruhi oleh formula gula yaitu kekerasan cookies, kerenyahan, warna, dan volume (Pareyt et al. 2009). Hal ini, dimaksudkan agar cookies yang dihasilkan tidak lagi berpasir atau hanya berasa tepung. Flavor yang digunakan berubah. Semula digunakan flavor vanili dan diubah dengan flavor kayu manis. Flavor vanili yang ditambahkan ke dalam adonan tidak menimbulkan atau meningkatkan rasa cookies jagung. Hal ini diperoleh dari masukan yang diterima saat uji organoleptik. Alasan pemilihan flavor kayu manis adalah mudah ditemukan dan cukup banyak cookies pasaran yang ditambahkan flavor kayu manis. Jumlah margarin pun ditingkatkan untuk mengurangi kesan masir yang dihasilkan. Lemak memberi kualitas kunyahan yang diinginkan dan berkontribusi dalam tekstur dan flavor produk (Jacob dan Leelavathi 2007). Pembuatan produk bakery tanpa penambahan lemak dapat mengakibatkan gluten dan pati saling berikatan sehingga menyebabkan produk menjadi keras ketika digigit (Ghotra et al. 2002). Penggunaan mentega dihilangkan. Hal ini dikarenakan oleh rasa mentega yang bercampur susu skim tidak disukai oleh konsumen. Selain itu, penghilangan mentega dapat mengurangi biaya produksi karena mentega memiliki harya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan margarin. Formula yang baru tidak menggunakan bahan garam karena peningkatan jumlah margarin yang digunakan telah meningkatkan kadar garam adonan. Penggunaan mentega yang dihilangkan menurunkan kadar garam cookies yang dihasilkan. Margarin pada umumnya mengandung garam sebesar 3%. Mentega mengandung garam sebesar 1.5-3% (Adji 2005). Hal ini dilakukan untuk mengurangi rasa cookies jagung yang terlalu asin pada formula yang lama. Keempat formula menghasilkan karakteristik adonan yang dapat dilihat pada Tabel 28. 80

Tabel 28 Karakteristik adonan cookies jagung formulasi kedua. Jumlah telur (%)* 63 Karakteristik adonan Lembek sekali, sulit untuk dicetak sehingga pencetakan dengan cara disemprot 42 Kurang kalis, agak sulit dicetak 21 Kalis, mudah dicetak 18 Kalis, mudah dicetak *) per 100g tepung Formula 80:20 dengan penggunaan 63% dan 21% telur menghasilkan adonan yang kurang kalis (lembek) yang diakibatkan oleh kelebihan cairan. Formula 63% telur sangat susah untuk dicetak. Jika adonan dicetak sembarang kemudian dipanggang, tekstur dari cookies formula ini terlihat sudah baik karena rasa berpasir sudah berkurang. Karakteristik adonan yang tidak kalis menyebabkan cookies jagung dengan 63% telur tidak dapat dipilih sebagai produk terbaik. Penampang adonan yang dihasilkan pada formulasi kedua disajikan pada Gambar 18. 63% 42% 21% 18% Gambar 18 Penampakan cookies jagung formulasi kedua hasil pencetakan Gambar 18 menunjukkan bahwa formula 63% telur dicetak dengan bentuk yang berbeda dengan dengan formula yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh adonan formula 63% telur sulit dicetak dengan menggunakan cetakan yang digunakan sehingga formula 63% telur dicetak dengan cara disemprot dengan menggunakan plastik segitiga. Hasil pencetakan formula 42% telur seperti yang 81

dilihat pada Gambar 18 yaitu sedikit berminyak. Hal tersebut yang menyebabkan cookies jagung agak sulit untuk dicetak. Adonan formula 21% telur dan 18% yang kalis menyebabkan kedua adonan mudah untuk dicetak. Hasil formulasi kedua menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan telur maka adonan yang terbentuk akan semakin lembek dan semakin sulit pula untuk dicetak. Telur turut berperan dalam membentuk struktur cookies. Telur berfungsi untuk memperbaiki tekstur cookies sebagai hasil dari fungsi emulsifikasi, pelembut tekstur dan daya pengikat. Bagian kuning telur berperan dalam mengempukkan cookies karena adanya protein (lesitin) telur dan kandungan lemak yang ada di dalamnya (Setiadi 2009). Selain itu telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavor dan warna. Keempat formula kemudian diujikan secara organoleptik dengan uji rating hedonik. Hasil organoleptik dari atribut warna, rasa, dan tekstur formulasi kedua diolah secara statistik dengan uji ANOVA. Hasil uji statistik dari uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 10 dan Lampiran 11. Uji ANOVA menunjukkan nilai signifikan warna, rasa, dan tekstur (sandiness) keempat sampel pada tests of between-subjects effects berturut-turut adalah 0.001, 0.003, dan 0.002. Hasil penilaian uji organoleptik formulasi kedua dapat dilihat pada Gambar 19. Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%). menunjukkan Gambar 19 Hasil penilaian uji organoleptik formulasi kedua 82

Penambahan telur memberi pengaruh yang nyata terhadap warna keempat formula. Nilai signifikansi 0.001 lebih kecil dibandingkan dengan taraf signifikansi yaitu 0.05. Hal ini menandakan bahwa warna formula 63% telur, formula 42% telur, formula 21% telur, dan formula 18% telur berbeda nyata pada taraf signifikan 5%. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa warna formula 18% telur lebih disukai oleh panelis dibandingkan dengan ketiga formula yang lain. Nilai signifikansi atribut rasa hasil uji ANOVA yaitu 0.003 dan nilai tersebut lebih rendah dibandingkan nilai signifikansi 5%. Hal ini menandakan bahwa penambahan telur berpengaruh nyata terhadap rasa cookies jagung yang dihasilkan sehingga rasa keempat formula berbeda nyata. Cookies jagung dengan penggunaan 18% telur memiliki skor kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan formula lainnya. Semakin banyak telur yang digunakan dalam formula maka skor kesukaan semakin turun. Telur turut berperan terhadap citarasa (Sitanggang 2008) tetapi telur yang terlalu banyak digunakan justru tidak disukai. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa penambahan telur pada berbagai taraf berbeda nyata terhadap skor kesukaan tekstur cookies jagung. Hal ini dapat dilihat pada nilai signifikansi 0.002 yang lebih kecil dari 5%. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tekstur formula cookies jagung dengan penggunaan telur 18% lebih disukai oleh panelis dibandingkan formula dengan penggunaan telur 63%, 42%, dan 21%. Semakin meningkatnya telur yang digunakan menyebabkan tekstur (sandiness) cookies jagung semakin berkurang akibat semakin lembutnya cookies jagung yang dihasilkan, tetapi terlalu banyak penggunaan telur justru mengakibatkan tekstur semakin rapuh dan berpasir. Telur mempunyai suatu reaksi yang mengikat dan jika telur digunakan dalam jumlah besar, maka diperoleh cookies yang terlalu mengembang sehingga akan menjadi rapuh. Hasil uji organoleptik dari atribut warna, rasa, dan tekstur (sandiness) menunjukkan bahwa cookies jagung dengan penggunaan telur 18% lebih disukai oleh panelis. Karakteristik adonan yang dihasilkan oleh formula tersebut pun kalis dan mudah dicetak. Oleh karena itu, produk terpilih formulasi kedua adalah formula 18% telur. Hasil produk yang diperoleh dari formula tersebut sudah sangat baik, tetapi dari segi kelembutan, cookies jagung tersebut masih dirasakan sedikit berpasir walaupun perlu disadari bahwa tepung yang digunakan bukanlah 83

100% terigu yang memiliki gluten namun tepung jagung. Penampakan cookies jagung keempat formulasi kedua disajikan pada Gambar 20. Sifat berpasir disebabkan oleh kandungan serat yang tinggi pada tepung sehingga mengakibatkan tepung yang dihasilkan menjadi kasar (Pratiwi 2008). Tepung jagung memiliki kadar serat yang cukup tinggi yaitu 0.88%. 63% 42% 21% 18% Gambar 20 Cookies jagung hasil formulasi kedua 1.3 Formulasi ketiga cookies jagung Upaya yang dilakukan untuk mengurangi sandiness (berpasir) yang masih terasa pada produk cookies jagung adalah penambahan air ke dalam formula. Tabel 29 menunjukkan persentase penambahan air yang digunakan yaitu 0, 2.5, 5%, 7.5%, dan 10% dengan basis 100 g tepung. Tabel 29 Formulasi ketiga cookies jagung Bahan Komposisi (%) Gula 50 Telur 18 Margarin 50 Susu skim 14 Kayu manis 0.4 Soda kue 0.2 Air 0, 2.5, 5, 7.5, dan 10 Tepung jagung 80 Terigu 20 84

Semakin besar penambahan komponen cair ke dalam adonan maka semakin lembut adonannya (Manley 2001). Oleh sebab itu, pada penentuan jumlah air yang ditambahkan saat pembuatan adonan perlu dilakukan pengamatan konsistensi adonan secara visual. Karakteristik adonan secara visual dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 Karakteristik adonan cookies jagung formulasi ketiga. Air (%) Karakteristik adonan 0 Kalis, mudah untuk dicetak 2.5 Kalis, mudah dicetak 5.0 Sangat kalis, mudah dicetak 7.5 Kurang kalis, agak sulit dicetak 10 Tidak kalis, sulit dicetak, pinggiran (bergelombang) Tabel 30 menunjukkan bahwa adonan yang kalis diperoleh dari adonan 0%, 2.5%, dan 5% air. Hal ini disebabkan bahwa adonan yang dihasilkan telah mengandung jumlah air yang cukup yang berasal dari telur dan margarin. Telur mengandung 74% air dalam 100g berat telur dan margarin mengandung air sekitar 20% (Hardinsyah dan Briawan 2002; Adji 2005). Formula 7.5% dan 10% tidak menghasilkan adonan yang kalis tetapi agak lembek sehingga adonan dari formulasi tersebut sulit untuk dicetak. Hal tersebut disebabkan oleh air yang ditambahkan terlalu berlebih. Rianti (2008) mengatakan bahwa jumlah air yang dibutuhkan berbanding terbalik dengan jumlah margarin. Jumlah margarin dalam formula adalah sama yaitu 50% basis tepung. Hal ini menyebabkan semakin banyak air yang ditambahkan maka adonan menjadi semakin lembek. Semakin banyak air yang ditambahkan maka semakin lembek cookies jagung yang dihasilkan (Faridi 1994) Kekerasan adonan cookies (tidak lembeknya adonan) berkaitan dengan pengembangan gluten dan interaksi antara gula dan air. Gula kristal larut selama pembentukan adonan dan sifat higroskopisnya menghambat pengembangan jaringan gluten dengan membatasi air untuk pengembangannya. Kekerasan adonan dapat dianggap sebagai fungsi dari kelarutan gula (Zoulias et al. 2000). 85

Gula mempunyai kelarutan tertinggi dalam adonan lunak. Hal inilah yang menyebabkan semakin banyak air yang ditambahkan maka adonan menjadi semakin lembek. Penampakan adonan dapat dilihat pada Gambar 21. 0% 2.5% 5% 7.5% 10% Gambar 21 Penampakan adonan formulasi ketiga cookies jagung Kelima formula pada formulasi ketiga ini pun diuji secara organoleptik untuk melihat daya terima terhadap beberapa atribut sensori cookies sehingga dapat diambil 1 formula terbaik. Atribut yang digunakan dalam formulasi ketiga sama dengan tahap-tahap sebelumnya yaitu warna, rasa, dan tekstur. Selain itu, uji statistik pun dilakukan terhadap hasil penilaian uji organoleptik. Uji statistik yang digunakan adalah ANOVA yang dapat dilihat di Lampiran 12 dan Lampiran 13. Hasil penilaian uji organoleptik dapat dilihat pada Gambar 22. Signifikansi atribut warna, rasa, dan tekstur yang diperoleh dari tests of between-subjects effects berturut-turut adalah 0.003, 0.005, dan 0.5. 86

Gambar 22 Hasil penilaian uji organoleptik formulasi ketiga Nilai signifikansi atribut warna kelima formula yaitu 0.003 lebih kecil daripada 5%. Hal ini menandakan bahwa warna cookies jagung pada taraf penambahan air sebesar 0%, 2.5%, 5%, 7.5%, dan 10% berbeda nyata. Uji ANOVA dilanjutkan dengan Duncan dan hasilnya menunjukkan bahwa warna cookies tanpa penambahan air (0%), 5%, dan 10% lebih disukai oleh konsumen dibandingan dengan formula dengan penambahan 2.5% dan 7.5%. Perlakuan penambahan air pada berbagai taraf memberi perlakuan yang nyata pada skor kesukaan konsumen terhadap rasa cookies jagung pada selang kepercayaan 95%. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi uji ANOVA yaitu 0.005 yang lebih kecil dari% dan menandakan bahwa rasa kelima formula berbeda nyata pada berbagai tingkat penambahan air. Uji Duncan menunjukkan bahwa formula 0% (tanpa penambahan air), 7.5%, dan 10% air merupakan cookies jagung yang lebih disukai dibandingkan dengan formula 2.5 dan 5% air. Atribut tekstur (sandiness) memiliki nilai signifikansi 0.5 dan nilai tersebut lebih besar dari 5% (taraf signifikansi yang digunakan). Hal tersebut menandakan bahwa penambahan air pada berbagai persentase tidak berpengaruh nyata pada tesktur (sandiness) cookies jagung yang dihasilkan. Hal ini disebabkan pada saat pemanggangan, air yang terkandung dalam cookies akan menguap 87

secara seragam sehingga cookies yang dihasilkan memiliki tekstur yang tidak berbeda nyata. Sandiness produk tidak berbeda nyata. Hasil organoleptik formulasi ketiga menunjukkan bahwa cookies jagung yang lebih disukai panelis adalah cookies formula tanpa penambahan air. Jika dihubungkan dengan karakteristik adonan yang dihasilkan (adonan kalis terbentuk pada persentase air yang ditambahkan sebesar 0%, 2.5, dan 5% air) maka formula terbaik formulasi ketiga adalah formula 0% air. Alasan air tidak digunakan pada proses ini karena penambahan air akan membuat adonan sangat lembek dan akan sulit untuk dicetak (Lopulalan 2008). Hal ini disebabkan bahwa adonan yang dihasilkan telah mengandung jumlah air yang cukup yang berasal dari telur dan margarin. Telur mengandung 74% air dalam 100g berat telur dan margarin mengandung air sekitar 20% (Hardinsyah dan Briawan 2002; Adji 2005). Cookies jagung terpilih dari tahap formulasi adalah cookies dari formula 80:20 (tepung jagung terhadap terigu), 18% telur, dan tanpa penambahan. Produk yang dihasilkan masih memiliki kesan berpasir di akhir rasa, namun konsumen masih dapat menerimanya. Cookies jagung yang dihasilkan menggunakan formula yang sederhana, sehingga rasa yang sedikit berpasir dapat diatasi dengan menambahkan bahan lain sebagai isi cookies seperti kacang, keju, coklat, almon, atau bahan lainnya. Produk yang dihasilkan akan menjadi cruncy (garing) sehingga rasa sedikit berpasir tidak menjadi masalah dan meningkatkan kesukaan konsumen. Formula biskuit jagung terpilih dalam penelitian Lopulalan (2008) adalah 80:20 (tepung jagung terhadap terigu), kuning telur 10% serta air 10%. Biskuit jagung yang dihasilkan memiliki warna kecoklatan, rasa yang cukup disukai, dan renyah walaupun sedikit keras. Lopulalan menyatakan bahwa semakin tinggi penambahan telur, margarin, dan gula semakin disukai oleh panelis dalam hal warna, rasa, tekstur. Hal terjadi diduga akibat penambahan telur, margarin dan gula yang mempengaruhi daya terima produk oleh panelis. Di lain pihak, cookies jagung terbuat dari telur utuh yang mengandung kuning dan putih telur, yaitu sebesar 18%. Telur penting dalam menentukan kualitas organoleptik semua jenis cookies. seluruh telur (putih dan kuning telur) dapat menghasilkan tekstur yang baik. Pemakaian kuning telur untuk menggantikan sebagian atau seluruh telur 88

akan menghasilkan cookies yang lembut, tetapi struktur di dalamnya tidak sebaik menggunakan seluruh telur (Matz 1978 diacu dalam Sitanggang 2008). Dengan kata lain, seharusnya cookies jagung memiliki warna, rasa, dan tekstur (sandiness) yang lebih baik dibandingkan dengan biskuit jagung. Alasan penggunaan telur utuh yang digunakan dalam formula dilihat juga dari pertimbangan segi ekonomi. Penggunaan kuning telur (tanpa putih telur) tidak aplikatif karena memisahkan telur putih akan menambah waktu dan energi dalam industri pangan. Jika dibandingkan dengan pembuatan biskuit jagung yang menggunakan CMC dan air yang meningkatkan biaya produksi maka cookies jagung dinilai lebih ekonomis karena dibuat tanpa penambahan air dan CMC. CMC (carboxymethyl cellulose) digunakan dalam produk pangan sebagai pengatur viskositas atau kekentalan dan penstabil emulsi khususnya dalam industi es krim (Wikipedia 2010). Penstabil emulsi yang digunakan dalam pembuatan cookies jagung adalah telur. Penggunaan telur menekan penggunaan CMC sehingga dapat menurunkan biaya produksi. 1.4 Perbandingan cookies jagung dengan produk reference Formula cookies jagung yang telah terpilih selanjutnya diuji secara organoleptik dengan produk reference yang terbuat dari terigu 100%. Hal tersebut bertujuan untuk melihat daya terima konsumen terhadap masing-masing produk. Formula yang digunakan pada cookies reference adalah sama dengan cookies jagung kecuali pada tepung yang digunakan. Cookies reference terbuat dari 100% terigu. Penampakan cookies reference dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23 Penampakan cookies reference (kiri) dan cookies jagung (kanan) 89

Hasil analisis cookies reference dapat dilihat pada Tabel 31. Kedua produk memiliki tekstur yang cukup berbeda. Hal ini terlihat dari nilai kerenyahan yang berbeda ketika diukur dengan instrumen texture analyzer. Cookies jagung memiliki nilai kerenyahan sebesar 2239.39 gf, sedangkan cookies reference memiliki nilai kerenyahan yang lebih kecil yaitu 1525.69 gf. Hal ini menandakan bahwa cookies reference memiliki kerenyahan yang lebih tinggi dan kekerasan yang lebih rendah. Cookies jagung yang memiliki tesktur yang cukup berbeda dengan cookies reference, ternyata menghasilkan skor kesukaan yang tidak berbeda nyata dengan cookies reference. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengolahan uji T yang diperoleh. Hasil statistik uji T kedua produk dapat dilihat pada Lampiran 14. Tabel 31 Hasil analisis cookies reference Parameter Nilai Satuan Kerenyahan 1525.69 gf Kekerasan 1968.14 gf Pengembangan 172.03 % Densitas kamba 0.86 g/ml Uji yang digunakan adalah rating hedonik. Hasil uji organoleptik rating hedonik dapat dilihat pada Gambar 24. Gambar 24 menunjukkan bahwa cookies yang terbuat dari terigu dengan formula yang sama memperoleh nilai kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan cookies jagung. 90

Gambar 24 Hasil uji organoleptik cookies jagung dan produk reference Pengolahan data uji rating hedonik dilakukan dengan menggunakan uji t yang terdapat pada Microsoft Excel. Hasil uji t menunjukkan P (T<=t) two-tail sebesar 0.1513 lebih besar dari taraf signifikan yang digunakan (0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa kesukaan panelis terhadap kedua sampel tidak berbeda secara nyata pada taraf signifikan 5%. Uji T dilakukan untuk melihat perbedaan untuk dua sampel. Skor kesukaan cookies terigu lebih tinggi akibat sifatnya yang lebih lembut yang disebabkan oleh kandungan gluten yang lebih tinggi. Kadar gluten tepung jagung yang <1% menunjukkan tepung tersebut lebih sesuai untuk membuat kue kering dan sejenisnya. Kadar gluten terigu pada umumnya di atas 10% sehingga mempunyai sifat mengembang yang diperlukan dalam pembuatan dan pembakaran adonan rerotian, cake dan sejenisnya (Suarni dan Patong 2002; Suarni dan Zakir 2002). Sifat mengembang menghasilkan produk yang lembut dan renyah. 2 Analisis cookies jagung 2.1 Analisis kimia cookies jagung Karakteristik kimia yang dianalisis yaitu proksimat (meliputi kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat by difference), serat kasar, total pati, amilosa, dan nilai energi. Analisis dilakukan terhadap cookies jagung pilihan dari formulasi 91

ketiga. Hasil analisis karakteristik kimia disajikan pada Tabel 32. Data analisis cookies jagung dapat dilihat pada Lampiran 15. Tabel 32 Hasil analisis kimia cookies jagung per 100 g cookies Komposisi Cookies jagung (%) Standar mutu cookies (b/b) (b/k) SII-0177-78 (%) Kadar air 4.09 4.26 Maks 5.0 Kadar abu 1.06 1.10 Maks 2.0 Kadar lemak 19.76 20.60 - Kadar protein 6.19 6.47 Maks 6.0 Kadar karbohidrat 68.91 71.83 - Kadar amilosa (%) 16.24 - - Total pati (%) 54.31 - - Kadar serat kasar (%) 1.57 1.64 - Nilai energi (Kal) 487.76 - - a. Kadar air Mutu utama produk cookies seperti cookies adalah kerenyahannya (Manley 2001). Cookies memiliki kadar air 1-5% dan a w yang rendah (Pareyt et al. 2009) sehingga teksturnya dapat menjadi renyah. Kerenyahan merupakan fungsi dari jumlah air yang terikat pada matriks karbohidrat. Kandungan air yang tinggi membuat cookies tidak renyah dan tekstur kurang disukai (Pratiwi 2008). Pengujian kadar air cookies jagung menunjukkan bahwa kadar air yang dimiliki cookies tersebut sebesar 4.09 (% b/b). Menurut SII-0177-78 cookies terigu memiliki persyaratan mutu kadar air maksimal 5%. Jika dibandingkan dengan syarat tersebut, maka cookies jagung memiliki kadar air yang lebih rendah daripada kadar air yang ditetapkan. Dengan kata lain, kadar air cookies jagung masih memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan. b. Kadar abu Kadar abu merupakan unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas karbon. Kadar abu juga dapat diartikan sebagai 92

komponen yang tidak mudah menguap, tetap tertinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Syarat mutu kadar abu cookies SII-0177-78 adalah maksimal 2%. Hasil pengujian kadar abu cookies jagung yaitu 1.06 (% b/b) dan 1.10 (% b/b). Berdasarkan SII, maka kadar abu cookies jagung masih di bawah syarat maksimal yang ditetapkan sehingga masih memenuhi persyaratan. c. Kadar lemak Pengujian kadar lemak cookies jagung dilakukan dengan metode ekstraksi soxhlet. Kadar lemak cookies yang dihasilkan adalah 19.76 (% b/b) dan 20.60 (% b/k). Kadar lemak bukan merupakan syarat mutu cookies, tetapi merupakan syarat mutu biskuit yaitu minimal 9.5%. Cookies merupakan salah satu jenis biskuit dengan ciri mengandung lemak yang tinggi. Oleh karena itu, nilai kadar lemak cookies jagung cukup jauh di atas syarat kadar lemak biskuit. Kadar lemak cookies jagung yang cukup besar menandakan penambahan lemak ke dalam formulasi cookies cukup banyak. Lemak yang digunakan dalam formula berupa margarin sebesar 50% dan telur 18%. Kadar lemak pada cookies berpengaruh terhadap tekstur yang dihasilkan terutama dalam hal kekerasan. Makin tinggi lemak yang ditambahkan maka makin rendah tingkat kekerasannya atau semakin tinggi pula tingkat kelembutannya (Rianti 2008). Lemak yang ada pada cookies jagung dapat memberikan energi yang tinggi pula. d. Kadar protein Protein merupakan suatu zat gizi yang penting bagi tubuh karena berperan sebagai zat pembangun dan pengatur. Selain itu, protein menyumbang energi sebesar 4 kkal/g. Syarat mutu cookies berdasarkan SII-0177-78 maksimal mempunyai kadar protein 6.00%. Pengujian protein cookies jagung menunjukkan bahwa kadar protein cookies jagung sebesar 6.19 (% b/b) dan 6.47 (% b/k). Kandungan protein cookies jagung berasal dari tepung yang digunakan (tepung jagung dan terigu), susu skim, dan sebagian kecil berasal dari telur dan margarin. Komposisi protein terbesar cookies jagung berasal dari tepung jagung sehingga perhitungan kadar protein cookies jagung menurut faktor konversi jagung yaitu 6.25. 93

Terigu lemah memiliki kadar protein sekitar 8-9% dan kandungan protein tepung jagung adalah 6.67 (% b/b) dan 7.24 (% b/k). Syarat mutu kadar protein cookies lebih rendah daripada biskuit secara umum (minimal 9.5%) karena cookies terbuat dari tepung dengan protein rendah. e. Kadar karbohidrat Karbohidrat adalah sumber energi utama bagi manusia. Di negara-negara sedang berkembang, kurang lebih 80% energi makanan berasal dari karbohidrat (Almatsier 2002). Komponen karbohidrat yang banyak pada produk pangan adalah pati, gula, pektin, dan selulosa. Karbohidrat juga berperan dalam pembentukan karakteristik produk pangan. Penentuan karbohidrat menggunakan perhitungan kasar yaitu, carbohydrate by difference. Menurut Winarno (1992), perhitungan carbohydrate by difference adalah penentuan karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar dan hasilnya biasanya dicantumkan dalam komposisi bahan makanan. Perubahan komposisi formula, seperti penggunaan tepung-tepungan ataupun bahan makanan lain yang kaya karbohidrat diharapkan dapat meningkatkan kadar karbohidrat cookies. Kadar karbohidrat cookies jagung adalah 68.91 (% b/b) dan 71.83 (% b/k). Kadar karbohidrat bukan merupakan salah satu syarat mutu cookies, tetapi syarat mutu karbohidrat biskuit adalah minimal 70 %. Data tersebut menunjukkan bahwa karbohidrat cookies jagung tidak memenuhi syarat mutu SNI biskuit (01-2973- 1992) secara umum. Hal ini disebabkan oleh besarnya kandungan kadar lemak cookies jagung. Lemak pun merupakan sumber energi sehingga cookies jagung masih mampu menjadi sumber energi yang baik. f. Kadar total pati Pati merupakan polisakarida yang banyak ditemukan di alam selain selulosa. Pati banyak ditemukan dalam daun tanaman hijau dan dalam biji-bijian, buah-buahan, batang, akar, dan umbi. Pati secara khusus berperan terhadap pengembangan, peningkatan kerenyahan, penurun kadar minyak, dan penambah kualitas makanan (Singhal dan Sajilata 2004). 94

Hasil pengujian menunjukkan bahwa cookies jagung memiliki total pati sebesar 54.31%. Total pati bukan merupakan salah satu syarat mutu yang ditetapkan oleh SII dan SNI biskuit, tetapi total pati dianggap penting untuk mengetahui produk dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat tinggi. Nilai total pati cookies jagung tidak tinggi sehingga cookies jagung belum dapat digunakan sebagai pangan sumber karbohidrat tinggi. g. Kadar amilosa Pati terdiri atas amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah rantai lurus esensial yang terbentuk dari unit α (1 4) - D-glukosa dengan beberapa cabang. Kadar amilosa cookies jagung berdasarkan hasil pengujian adalah 16.24 %. SII dan SNI tidak menetapkan kadar amilosa sebagai salah satu syarat mutu, tetapi pengetahuan tentang kadar amilosa penting untuk mengetahui retrogradasi dan presipitasi yang mempengaruhi penyimpanan (Singhal dan Sajilata 2004). Selain itu, perbandingan rasio amilosa dan amilopektin suatu bahan berpengaruh pada produk akhir makanan olahan (Winarno 2002 diacu dalam Suarni 2009). h. Serat kasar Serat adalah karbohidrat kompleks dalam bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia, sehingga dapat mencapai usus besar dan dicerna oleh bakteri probiotik. Serat kasar ditentukan dari residu setelah sampel produk dilakukan dengan asam dan basa kuat (Faridah et al. 2008). Sumber serat kasar pada cookies jagung berasal dari tepung yang digunakan. Kadar serat kasar pada produk pangan lebih rendah dibandingkan dengan kadar serat pangannya. Hasil pengujian serat kasar cookies jagung menunjukkan bahwa kadar serat kasar cookies jagung sebesar 1.57 (% b/b) dan 1.64 (% b/k). Menurut SNI persyaratan mutu, kadar serat kasar biskuit terigu adalah maksimum 0.50% b/b. Jika dibandingkan dengan SNI biskuit, maka cookies jagung memiliki kadar serat yang sangat tinggi. Penyebab tingginya kadar serat kasar cookies jagung adalah substitusi tepung jagung terhadap terigu yang tinggi. Kadar serat makanan meningkat sesuai dengan persentase substitusi tepung jagung terhadap terigu 95

(Suarni 2009). Di sisi lain, tingginya kadar serat pada cookies jagung dapat menjadikan cookies tersebut sebagai alternatif pangan sumber serat. i. Nilai energi Nilai energi diperoleh dari konversi protein, lemak, dan karbohidrat menjadi energi. Satuan energi dinyatakan dalam unit panas atau kilokalori (kkal). Sumber energi terbesar adalah lemak yang menghasilkan 9 kkal energi/g, sedangkan protein dan karbohidrat menyumbang 4 kkal energi/g (Pratiwi 2008). Ukuran sajilah yang mempengaruhi nilai energi yang tercantum pada label informasi gizi. Nilai energi per saji produk dapat lebih kecil jika ukuran per sajinya lebih rendah. Berdasarkan SNI biskuit, nilai minimum energi cookies secara umum adalah 400 kkal per 100 g. Nilai energi cookies jagung berdasarkan hasil perhitungan adalah 487.76 kkal. Komposisi zat gizi cookies jagung per takaran saji dapat dilihat pada Tabel 33. Nilai energi cookies jagung berada di atas syarat minimum yang ditetapkan oleh SNI (01-2973-1992) sehingga dapat dikatakan cookies jagung telah memenuhi syarat mutu biskuit. Tabel 33 Komposisi zat gizi cookies jagung per takaran saji (12 keping = ± 102 gram) Komposisi Zat gizi cookies jagung per takaran saji (12 keping = ± 102 gram) Kadar abu (gram) 1.08 Kadar protein (gram) 6.31 Kadar lemak (gram) 20.15 Kadar karbohidrat (gram) 70.29 Kadar serat kasar (gram) 1.60 Energi (kkal) 487.76 2.2 Analisis fisik cookies jagung Selain diuji karakteristik kimianya, cookies jagung pun diuji karakteristik fisiknya. Karakteristik fisik cookies yang diuji yaitu rendemen cookies, derajat pengembangan, densitas kamba, warna, aktivitas air, dan kerenyahan serta 96

kekerasan. Rekapitulasi data karakteristik fisik cookies jagung dapat dilihat pada Tabel 34. Data analisis cookies jagung dapat dilihat pada Lampiran 16. Tabel 34 Hasil analisis fisik cookies jagung Analisis fisik Nilai Rendemen (%) 88.98 Derajat pengembangan (%) 159.42 Warna (chromameter) L 68.82 a 10.96 b 48.13 ºHue 77.20 Kerenyahan (gf) 2239.39 Kekerasan (gf) 3054.05 Densitas kamba (g/ml) 1.20 Aktivitas air 0.41 a. Rendemen cookies Pengujian rendemen dilakukan dengan membandingkan berat produk cookies jagung yang dihasilkan dengan berat adonan awal. Data menunjukkan bahwa nilai rendemen cookies jagung sebesar 88.98% dari berat adonan awal. Menurunnya berat produk bila dibandingkan dengan adonan awal disebabkan adanya sebagian adonan yang tidak tercetak sehingga adonan tersebut tidak ikut dipanggang. Selain itu, penguapan air saat pemanggangan menyebabkan penurunan bobot cookies jagung. b. Derajat pengembangan produk Nilai pengembangan produk diperoleh dengan membandingkan ketebalan dan lebar produk cookies jagung dengan ketebalan dan lebar adonan awalnya dengan menggunakan jangka sorong. Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata derajat pengembangan produk cookies jagung sebesar 159.42%. Pengembangan cookies jagung tergolong cukup besar. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan 97

pengembangan cookies jagung yaitu proporsi lemak dan gula dan penambahan pengembang soda kue. Pengembangan cookies jagung pun disebabkan oleh proporsi penambahan gula dan lemak tinggi dalam formula. Proporsi penambahan lemak dan gula dalam formula cookies cukup mempengaruhi ikatan pengembangan gluten. Cookies yang dibuat dengan metode wire-cut dengan kandungan lemak dan gula tinggi memiliki viskositas yang rendah. Viskositas yang rendah tersebut menyebabkan cookies melebar dengan cepat (Fustier et al. 2009). Pengembangan terjadi akibat larutnya gula-gula selama pemanggangan sehingga menyebabkan cookies melebar. Bahan pengembang dalam pembuatan cookies jagung ini adalah soda kue. Hasil tersebut menandakan bahwa pengembang yang digunakan dalam pembuatan cookies memiliki kualitas yang cukup baik dalam menghasilkan gas selama pengembangan. Nilai pengembangan yang cukup besar pun menandakan kemampuan protein dalam jagung cukup baik dalam membentuk matriks dengan pati jagung yang dapat menahan keluarnya gas yang dihasilkan oleh bahan pengembang (Pratiwi 2008). Gas CO 2 yang diproduksi oleh bahan pengembang dan evaporasi air cookies mengalami pengembangan lebar dan tinggi cookies di awal pemanggangan. Cookies terlihat gagal mengembang (mengempis) di akhir pemanggangan karena struktur gluten dalam tepung yang terkandung dalam cookies lebih mendukung pembentukan film 2 dimensi yang menyebabkan pengempisan dibandingkan pembentukan ikatan film 3 dimensi (Hadinezhad dan Butler 2009). Penampakan cookies jagung sebelum dan sesudah pemanggangan dapat dilihat pada Gambar 25. Gambar 25 Penampakan cookies jagung sebelum (kiri) dan sesudah (kanan) pemanggangan 98

Jika dibandingkan dengan derajat pengembangan cookies reference (172.03%), maka pengembangan cookies jagung masih lebih rendah (159.42%). Hal tersebut disebabkan oleh kandungan gluten (pada terigu) yang lebih besar dibandingkan kandungan gluten tepung jagung. Kandungan gluten <1% sedangkan gluten terigu sekitar 10% (Suarni dan Patong 2002; Suarni dan Zakir 2002). Jaringan gluten memiliki kemampuan untuk mengembang bila berikatan dengan air. Hal tersebut menyebabkan pengembangan cookies reference lebih besar dibandingkan dengan cookies jagung. Derajat pengembangan berpengaruh terhadap tekstur produk. Produk yang lebih mengembang akan memiliki tekstur yang lebih renyah. c. Warna Warna merupakan salah satu atribut penting yang mempengaruhi penilaian konsumen. Pengujian warna cookies jagung dimaksudkan untuk melihat warna produk secara objektif karena pengujian warna secara subjektif dapat menghasilkan data yang sangat beragam. Pengujian warna cookies jagung dilakukan dengan menggunakan instrumen chromameter dengan metode Hunter. Hasil pengukuran warna cookies jagung adalah L sebesar 68.82, a sebesar +10.96, dan b sebesar +48.13. Nilai L menujukkan tingkat kecerahan sampel uji (Taylor et al. 2008). Semakin nilai mendekati mendekati angka 100 maka sampel uji memiliki warna yang sangat cerah (putih). Cookies jagung memiliki nilai L yang tidak terlalu tinggi, 68.82, sehingga warna tidak terlalu putih. Nilai a menunjukkan derajat kemerahan atau kehijauan (Taylor et al. 2008). Nilai a sebesar +10.96 yang bernilai positif menandakan bahwa cookies jagung cenderung berwarna merah daripada hijau. Nilai hasil pengujian yang cukup jauh dengan angka 100 menunjukkan bahwa warna merah cookies jagung yang dimiliki tidak pekat. Nilai b menunjukkan kecenderungan sampel uji berwarna kuning. Nilai b cookies jagung cukup mendekati nilai 70. Hal ini menandakan bahwa cookies jagung memiliki warna kuning yang cukup pekat. Pengujian warna ini pun menghasilkan nilai ºHue sebesar 77.20. Nilai pengujian ºHue dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik warna suatu 99

produk pangan. ºHue cookies jagung tergolong ke dalam kisaran warna 54-90. Berdasarkan kisaran warna ºHue ini, maka cookies jagung tergolong berwarna yellow-red (kuning-merah). Hasil tersebut menunjukkan bahwa cookies jagung masih memiliki karakteristik warna kuning seperti bahan baku pembuatannya yaitu tepung jagung yang juga berwarna kuning. Hal tersebut pun memperlihatkan bahwa penambahan bubuk kayu manis pada formulasi tidak mengubah warna produk cookies yang dihasilkan. d. Kerenyahan dan kekerasan cookies jagung Cookies memiliki ciri utama yaitu tekstur yang renyah. Kerenyahan bakery sangat menentukan penerimaan konsumen (Martin et al. 2006). Kerenyahan dipengaruhi oleh sejumlah air terikat oleh matriks karbohidrat yang mempengaruhi pergerakan relatif dari daerah kristalin dan amorf. Struktur amorf atau partially amorf dalam bahan pangan terbentuk karena proses, termasuk proses pemanggangan (Adawiyah 2002). Selama proses pemanggangan, kerenyahan meningkat dengan menciptakan struktur berlubang pada akhir pemanggangan. Struktur cookies dipengaruhi oleh proses pembuatan dan komposisi (Martin et al. 2006). Pengukuran hasil kerenyahan cookies jagung produk terpilih menunjukkan nilai sebesar 2239.39 gf dan kekerasan sebesar 3054.05 gf. Di lain pihak, cookies reference memiliki kerenyahan sebesar 1525.69 gf dan kekerasan sebesar 1968.14 gf. Jika dibandingkan, cookies jagung memiliki kerenyahan dan kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan cookies reference. Hal ini disebabkan substitusi tepung jagung yang besar mengurangi kerenyahan dan meningkatkan kekerasan cookies jagung. Substitusi tepung jagung yang tinggi mengurangi proporsi terigu yang banyak mengandung gluten. Kerenyahan cookies jagung merupakan kriteria mutu penting pada cookies. Salah satu faktor yang mempengaruhi kerenyahan adalah rasio amilosa dengan amilopektin. Rasio amilosa terhadap amilopektin yang tinggi dapat meningkatkan kerenyahan produk. Rasio amilosa terhadap amilopektin cookies jagung cenderung rendah dan hal ini menyebabkan cookies jagung tidak lebih renyah. 100

Kerenyahan juga dipengaruhi oleh kadar lemak dan kandungan air. Cookies jagung mengandung kadar lemak yang tinggi yaitu 19.76 %. Lemak yang tinggi tersebut akan teradsorpsi ke permukaan granula pati dan akibatnya akan menurunkan viskositas dan pengembangan pati. Mekanisme penghambatannya yaitu lemak akan membentuk suatu lapisan pada bagian luar granula pati dan sekaligus menghambat penetrasi air ke dalam granula. Penetrasi air yang lebih sedikit akan menghasilkan gelatinisasi yang makin rendah sehingga peningkatan jumlah lemak akan meningkatkan kerenyahan cookies. Nilai kekerasan cookies jagung lebih besar dobandingkan dengan cookies reference. Data tersebut menandakan bahwa cookies jagung memiliki sifat yang lebih keras dibandingkan dengan cookies reference. Kekerasan cookies sebagian disebabkan oleh pengembangan jaringan gluten untuk membentuk struktur cookies. Gluten harus berikatan dengan molekul air untuk mendukung pengembangan jaringan gluten, tetapi gula menghambat ikatan tersebut dengan menarik molekul air. Setelah cookies mengalami pendinginan sehabis pemanggangan, gula akan mengalami kristalisasi yang turut berperan terhadap kekerasan cookies (Taylor et al. 2008). Cookies dengan karakteristik keras menjadi ciri khas cookies wire cut akibat perbandingan gula dan lemak terhadap kandungan air yang tinggi (Fustier et al. 2009). Nilai kekerasan cookies pun dapat diakibatkan oleh proses retrogradasi pati. Retrogradasi merupakan proses terbentuknya ikatan antara amilosa yang telah terdispersi kedalam air. Semakin banyak amilosa yang terdispersi, maka proses retrogradasi pati semakin mungkin terjadi dan semakin keras produk tersebut. e. Densitas kamba Densitas adalah parameter kualitas yang penting bagi biskuit khususnya dalam pendugaan kerenyahan. Densitas menggambarkan rasio berat terhadap volume dan mengikuti kebalikan fenomena volume yang terjadi. Densitas kamba yang kecil menunjukkan bahwa dalam jumlah yang sama, produk akan lebih cepat memberikan rasa kenyang dibandingkan dengan produk yang mempunyai nilai densitas kamba yang lebih besar (Pratiwi 2008). 101

Densitas kamba cookies jagung dan cookies reference berturut-turut sebesar 1.20 g/ml dan 0.86 g/ml. Cookies jagung yang terbuat dari kombinasi tepung jagung dan terigu memiliki densitas kamba yang lebih tinggi dibandingkan dengan cookies reference yang terbuat dari 1 jenis tepung saja yaitu terigu. Hal ini sesuai dengan literatur. Sebagian besar produk cookies tipe wire-cut dan rotary yang terbuat dari kombinasi tepung menghasilkan densitas yang tinggi dibandingkan dengan tepung standar. Hal ini disebabkan oleh interaksi yang sederhana terjadi pada formula yang mengandung terigu lemah, serta lemak dan gula yang tinggi (Futsier et al. 2009). f. Aktivitas air (a w ) menggunakan a w meter Aktivitas air menggambarkan jumlah air bebas yang dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi. Aktivitas air dapat dinyatakan sebagai RH kesetimbangan dibagi dengan 100. Semakin tinggi nilai a w suatu bahan pangan, maka semakin tinggi pula kemungkinan tumbuhnya jasad renik dalam bahan pangan tersebut. Nilai a w cookies jagung adalah 0.41. Hasil pengukuran a w menunjukkan bahwa nilai a w cookies jagung masih tergolong rendah yaitu masih dibawah a w 0.65 yang merupakan a w kritis untuk produk pangan. Pangan kering memiliki a w kesetimbangan kurang dari 0.6 (Bell dan Labuza 2000). Hal ini menandakan bahwa jumlah air bebas yang digunakan dalam cookies jagung untuk pertumbuhan mikroba pun rendah. Kombinasi nilai a w dan kadar air yang rendah membuat cookies jagung ini dapat dikatakan cukup aman dari kerusakan mikrobiologis. 3 Penentuan umur simpan dengan pendekatan kadar air kritis 3.1 Karakteristik awal cookies a. Atribut dan kerusakan cookies Mutu adalah hal-hal tertentu yang membedakan produk satu dengan yang lainnya, terutama yang berhubungan dengan daya terima dan kepuasan konsumen (Hariyadi 2006). Secara umum, atribut yang dimiliki oleh produk pangan adalah rasa, aroma, tekstur, dan warna. 102

Analisis tentang karakteristik produk dapat digunakan untuk mengetahui atribut utama yang berkaitan dengan penerimaan konsumen. Gambar 26 menunjukkan atribut kerusukan produk cookies berdasarkan hasil kuisioner yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil kuisioner tersebut, atribut kerenyahan (tekstur) merupakan atribut kerusakan utama produk cookies jagung. Secara berurutan, dari atribut yang dianggap paling penting ke atribut yang dianggap tidak penting dalam menentukan kerusakan cookies adalah kerenyahan, rasa, aroma, dan warna. Pembagian kuisioner dilakukan terhadap 30 orang panelis. Panelis diminta untuk memilih salah satu atribut yang paling menentukan kerusakan produk cookies secara umum. Berikut disajikan hasil survei parameter kritis kerusakan produk biskuit. Gambar 26 Hasil kuisioner parameter kritis kerusakan produk cookies Gambar 26 menunjukkan bahwa atribut yang paling menentukan kerusakan produk cookies adalah atribut kerenyahan (tekstur). Sebesar 67% dari 30 orang panelis memilih atribut kerenyahan sebagai parameter kerusakan produk cookies, sedangkan 20% memilih atribut rasa, 7% atribut aroma, dan 6% atribut memilih atribut warna. Kriteria yang digunakan untuk produk biskuit (seperti cookies), snack, kerupuk, emping, dan sejenisnya adalah tidak melempem dan masih renyah 103

(Kusnandar et al. 2006). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kerusakan produk cookies disebabkan oleh hilangnya kerenyahan yang disebabkan oleh naiknya kadar air produk cookies. Hal ini sangat sesuai dengan hasil kuisioner yang menyatakan bahwa atribut kerenyahan merupakan parameter penyebab kerusakan produk cookies. Dengan demikian, pendugaan umur simpan cookies jagung dilakukan dengan pendekatan kadar air kritis. b. Kadar air awal cookies jagung Setelah diketahui parameter penyebab kerusakan produk cookies dari hasil kuisioner, selanjutnya dilakukan analisis kadar air awal dengan metode oven. Kadar awal awal cookies adalah sebesar 0.0426 (g H 2 O/g solid). Nilai kadar air produk sangat sesuai dengan standar untuk cookies yang berlaku di Indonesia (SII-0177-78) yaitu maksimal 5%. Nilai kadar cookies ini bergantung pada komposisi bahan pembuatnya, formulasi, dan keadaan awal bahan penyusun cookies tersebut (Fitria 2007). c. Tekstur (kerenyahan) awal cookies jagung Karakteristik awal yang juga diperlukan untuk mengetahui umur simpan cookies jagung dengan pendekatan kadar air kritis adalah kerenyahan. Karakteristik kerenyahan diuji dengan texture analyzer dan nilainya sebesar 2233.11 gf. Nilai ini diperlukan dalan tahap kadar air kritis. 4.2 Kadar air kritis cookies Penyebab utama kerusakan cookies jagung telah ditetapkan yaitu kehilangan kerenyahan. Kehilangan kerenyahan cookies jagung teridentifikasi dengan tekstur cookies jagung yang mulai lembek. Penurunan kerenyahan cookies dipengaruhi oleh bertambahnya kadar air cookies akibat penyerapan uap air dari lingkungan. Oleh karena itu, kadar air dimana kerenyahan produk cookies sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen diartikan sebagai kadar air kritis. Kondisi ini harus diwaspadai untuk menjamin kepuasan konsumen serta meminimalkan kerusakan produk (Fitria 2007). Hasil uji organoleptik berupa rata-rata skor dan 104

kadar air dapat dilihat pada Tabel 35. Hasil uji organoleptik dan kadar air dilihat di Lampiran 17 sampai dengan Lampiran 18. Tabel 35 Skor kesukaan dan kadar air cookies jagung pada berbagai kondisi penyimpanan. Penyimpanan (jam) Rata-rata skor kesukaan Kadar air (g H 2 O/g solid) 0 5.60 0.0348 2 4.87 0.0385 4 4.10 0.0420 6 3.47 0.0619 8 3.30 0.0647 10 3.23 0.0651 12 2.83 0.0678 Keterangan: nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%). Skor kesukaan panelis terhadap kerenyahan cookies jagung mengalami penurunan dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Cookies jagung yang paling disukai panelis cookies jagung yang tidak diberi perlakuan yaitu cookies jagung dalam kondisi baru dikeluarkan dari kemasan atau 0 jam penyimpanan. Skor kesukaan terendah adalah skor yang telah mengalami 12 jam penyimpanan. Cookies jagung yang telah mengalami 12 jam penyimpanan mempunyai tekstur yang lembek sehingga panelis tidak menyukai (skor 2.83) cookies jagung yang diberikan. Berdasarkan tabel di atas, dibuatlah grafik yang menunjukkan hubungan kadar air dengan rata-rata skor kesukaan konsumen. Kadar air di sumbu x grafik, sedangkan rata-rata skor kesukaan berada di sumbu y. Gambar 27 menunjukkan grafik hubungan tersebut. 105

Gambar 27 Kurva hubungan kadar air dan skor kesukaan pada berbagai kondisi penyimpanan Gambar 27 menghasilkan persamaan y = -66.06x + 7.451 dengan nilai R 2 sebesar 0.902. Gambar 27 dengan jelas menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar air produk maka semakin rendah skor kesukaan konsumen. Berdasarkan persamaan regresi diatas maka kadar air kritis cookies jagung dapat ditentukan. Skor kesukaan cookies jagung yang sudah tidak diterima oleh konsumen bernilai 3 yaitu agak tidak suka, sehingga dengan mengonversi ke dalam persamaan diperoleh kadar air kritis cookies jagung sebesar 0.0674 gh 2 O/g solid. Cookies termasuk dalam golongan produk pangan kering dengan ciri utamanya adalah tekstur yang renyah (Navarrete et al. 2004 diacu dalam Nugroho 2007). Kerenyahan dipengaruhi sejumlah air terikat pada matriks karbohidrat yang mempengaruhi pergerakan relatif dari daerah kristalin dan amorf (Piazza dan Massi 1997). Kerenyahan cookies jagung akan menurun selama penyimpanan yang disebabkan oleh penyerapan uap air dari lingkungan sehingga kadar air cookies jagung meningkat. Selain diukur kadar air, cookies jagung yang telah diberi perlakuan waktu penyimpanan tersebut diukur pula nilai kerenyahannya. Tingkat kerenyahan cookies jagung diukur dengan alat texture analyzer. Kerenyahan mengalami penurunan ditunjukkan dengan semakin kecilnya gaya (gf) yang diperlukan untuk mendeformasi cookies (Pratiwi 2008). Tabel 36 menunjukkan data kerenyahan 106

cookies jagung selama 12 jam penyimpanan. Hasil ANOVA data kerenyahan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 19. Gambar 28 menunjukkan persentase kerenyahan cookies jagung selama 12 jam penyimpanan. Tabel 36 Data hasil pengukuran kerenyahan selama 12 jam penyimpanan Penyimpanan (jam) Penyimpanan (jam) Nilai kerenyahan (gf) 0 0 2233.1100 f 2 2 2089.9250 e 4 4 1879.9000 d 6 6 1127.5000 c 8 8 847.8250 b 10 10 730.3500 ab 12 12 658.7500 a Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa kerenyahan cookies jagung selama 12 jam penyimpanan berbeda nyata. Semakin lama cookies jagung disimpan, semakin menurun kerenyahannya. Grafik persentase kerenyahan dapat dilihat pada Gamber 29. Gambar 28 Persentase kerenyahan cookies jagung selama 12 jam penyimpanan 107

Gambar 28 menunjukkan bahwa persentase kerenyahan penyimpanan semakin menurun seiring dengan bertambahnya lama penyimpanan selama 12 jam. Kerenyahan 100% adalah pada saat cookies jam 0 jam penyimpanan. Kerenyahan menurun ditandai dengan cookies jagung yang semakin melempem. Kerenyahan merupakan kriteria mutu penting dari makanan kering. Kerenyahan produk pangan berkadar air rendah dipengaruhi oleh kandungan air dan akan hilang karena plastisasi struktur fisik oleh air dan suhu. Uap air akan menyebabkan plastisasi dan pelunakan kerenyahan cookies (Navarrete et al. 2004). Oleh karena itu, kadar air merupakan karakteristik kritis produk pangan kering karena menentukan tekstur (kerenyahan) produk yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk (Brown 2000). Kadar air kritis yang telah ditentukan sebelumnya digunakan untuk menentukan titik kritis kerenyahan cookies jagung dengan menggunakan kurva hubungan antara nilai kerenyahan (gf) dengan kadar air cookies jagung seperti yang terlihat pada Gambar 29. Gambar 29 menunjukkan bahwa terjadi penurunan kerenyahan dengan semakin meningkatnya kadar air produk. Gambar 29 Hubungan kerenyahan (gf) dengan kadar air selama 12 jam penyimpanan Titik kritis kerenyahan cookies jagung dapat diketahui secara obyektif. Titik kritis kerenyahan merupakan titik saat cookies jagung mencapai kadar air 108

kritisnya. Gambar 29 menunjukkan persamaan regresi yaitu y=- 0.000021x+0.082302. Nilai kadar air kritis dimasukkan sehingga dapat diperoleh titik kritis kerenyahan yaitu 709.62 gf. Titik kritis kerenyahan secara obyektif dapat digunakan untuk menggantikan penentuan titik kritis kerenyahan secara subyektik. Penentuan titik kritis obyektif dapat mengurangi biaya organoleptik dan waktu analisis (Nugroho 2007). Nilai kerenyahan yang telah diperoleh digunakan untuk mengetahui persentase penurunan kerenyahan. Hasil perhitungan persentase penurunan kerenyahan cookies jagung dari jam 0 penyimpanan hingga saat terjadinya kadar air kritis adalah 68.22%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa setelah kerenyahan cookies jagung mengalami penurunan sebesar 68.22% maka cookies jagung tersebut berada pada kadar air kritisnya. 4.3 Kadar air kesetimbangan Kadar air kesetimbangan yang diperlukan untuk membuat kurva sorpsi isotermik produk diperoleh dengan mengondisikan produk dalam beberapa larutan garam jenuh dengan kelembaban relatif yang berbeda-beda. Metode tersebut termasuk ke dalam metode statis yang dilakukan dengan cara meletakkan bahan pangan kering pada tempat (chamber) dengan RH dan suhu yang terkontrol dengan penimbangan berat secara periodik hingga mencapai berat konstan (Bell dan Labuza 2000). Pada dasarnya kurva sorpsi isotermik adalah kurva hubungan antara RH udara penyimpanan dan kadar air kesetimbangan yang diperoleh jika produk selama penyimpanan telah mencapai kondisi kesetimbangan. Pada kondisi kesetimbangan, RH udara akan sebanding dengan nilai a w produk (Hariyadi 2006). Penentuan kurva sorpsi isotermik dalam penelitian ini menggunakan suhu 30ºC (suhu ruang) sesuai dengan suhu penyimpanan konsumen. RH lingkungan sekitar 80-90 %. Selain itu, kurva sorpsi isotermik ini menggunakan nilai a w terukur untuk menyesuaikan dengan kondisi penyimpanan cookies jagung selama percobaan dalam penentuan kadar air kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan yang diperoleh dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air kesetimbangannya dapat dilihat pada Tabel 37. Bobot yang konstan ditandai 109

dengan selisih antara 3 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% (Adawiyah 2006 yang diacu oleh Fitria 2007). Garam jenuh Tabel 37 Kadar air kesetimbangan (m e ) cookies jagung dan waktu tercapainya pada berbagai RH penyimpanan RH (%) RH terukur (%) Kadar air (m e ) Ratarata kadar air SD Lama (hari) ulangan 1 ulangan 2 Ulangan 1 LiCl 11.3 15.7 3.0761 3.0713 3.0737 0.0034 5 7 MgCl 2.6H 2 O 32 36.6 4.2257 4.0904 4.1580 0.0956 4 6 K 2 CO 3 43 45.9 6.0022 5.8611 5.9316 0.0997 7 9 NaBr 56 58.7 6.7736 6.8676 6.8206 0.0665 12 14 KI 69 69.2 9.0039 9.0706 9.0373 0.0472 12 12 NaCl 75 74.8 12.8653 12.9387 12.9020 0.0519 13 12 KCl 84 83.5 21.0379 20.8302 20.9341 0.1469 19 18 Ulangan 2 BaCl 2.2H2O 90 89.5 26.1664 26.0897 26.1280 0.0542 11 11 Perbedaan a w produk dengan kelembaban relatif (RH) lingkungan menyebabkan adanya interaksi molekul air dengan cookies jagung. Uap air akan berpindah dari RH tinggi ke RH yang lebih rendah. Transfer uap air dari lingkungan ke dalam produk cookies jagung atau sebaliknya terjadi selama penyimpanan hingga terjadi kondisi kesetimbangan antara cookies dengan lingkungan (Labuza 2002 diacu oleh Nugroho 2007). Selama penyimpanan, cookies jagung menunjukkan fenomena penurunan dan peningkatan bobot. Hal ini menunjukkan bahwa produk mengalami proses desorpsi dan adsorpsi uap air. Hal ini terjadi karena kondisi lingkungan penyimpanan cookies jagung memiliki RH yang di bawah maupun di atas a w cookies. Untuk RH lingkungan yang lebih tinggi daripada a w cookies jagung maka terjadi difusi uap air dari lingkungan ke dalam cookies sehingga cookies jagung mengalami peningkatan bobot dan sebaliknya. Peningkatan bobot ini akan mengakibatkan kadar air cookies jagung pun mengalami peningkatan. 110

Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan cookies jagung untuk mencapai kadar air kesetimbangannya adalah berkisar 5-19 hari tergantung dari kelembaban relatif (RH) penyimpanan. Semakin tinggi nilai RH penyimpanan maka waktu yang diperlukan oleh cookies jagung untuk mencapai titik kesetimbangannya pun semakin lama. Selain itu, semakin kecil selisih nilai a w produk dengan RH lingkungannya maka waktu yang diperlukan oleh cookies jagung untuk mencapai titik kesetimbangannya pun semakin cepat. Hal ini terjadi karena proses difusi uap air untuk mencapai kadar air kesetimbangannya berlangsung cepat. Nilai-nilai kadar air yang telah diperoleh selanjutnya diplotkan terhadap RH masing-masing tempat penyimpanan ke dalam sebuah kurva. Kurva sorpsi isotermik cookies jagung dapat dilihat pada Gambar 30. Kurva hasil percobaan mempunyai bentuk sigmoid (bentuk huruf S) meskipun tidak sigmoid sempurna. Bentuk kurva sangat beragam tergantung pada sifat alami bahan pangan, suhu, kecepatan adsorpsi, dan tingkatan air yang dipindahkan selama adsorpsi atau desorpsi (Hermanianto 2002). Gambar 30 Kurva sorpsi isotermik hasil percobaan cookies jagung 4.4 Model sorpsi isotermik dan uji ketepatan model Penggunaan model-model persamaan kurva sorpsi isotermik dari kadar air kesetimbangan dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran kecenderungan 111

hubungan antara aktivitas air dan kadar air kesetimbangan yang lebih reliable. Saat ini, model-model persamaan matematis telah banyak dikembangkan untuk menjelaskan fenomena sorpsi isotermik secara teoritis (Setiawan 2005). Semakin banyak model yang tersedia, semakin bagus untuk pendugaan. Enam persamaan yang digunakan dalam penelitian ini karena mampu menggambarkan kurva sorpsi isotermik pada jangkauan nilai aktivitas yang luas dan mempunyai parameter kurang atau sama dengan tiga. Labuza (1968) yang diacu oleh Setiawan (2005), menyatakan bahwa jika tujuan penggunaan kurva sorpsi isotermik adalah untuk mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka model-model persamaan yang sederhana dan lebih sedikit jumlah parameternya lebih cocok digunakan. Modifikasi model-model sorpsi isotermik dari persamaan non linear menjadi linear dapat dilihat pada Lampiran 20 sampai dengan Lampiran 21, sedangkan contoh perhitungan konstanta model persamaan sorpsi isotermik produk dapat dilihat pada Lampiran 22 dan Lampiran 24. Model model persamaan kurva sorpsi isotermik yang dipilih menghasilkan persamaaan kurva sorpsi isotermik yang dapat dilihat pada Tabel 38. Tabel 38 Persamaan kurva sorpsi isotermik cookies jagung Model Persamaan Hasley log (ln (1/a w )) = 0.7976-1.2187Me Chen-Clayton ln ( ln 1/a w ) =0.3601-10.4372 Me Henderson log (ln 1/(1-a w )) =1.0467 + 1.0527 log Me Caurie ln Me =0.4485 + 2.8958 a w Oswin ln Me =1.8946 + 0.5952 ln (a w /(1-a w )) GAB Me = 0.9042a w /(1-1.0058a w )(1+ 28.2895a w ) Persamaan-persamaan yang telah diperoleh digunakan untuk menghitung kadar air sampel pada masing-masing a w garam yang digunakan. Tabel 39 menunjukkan kadar air kesetimbangan cookies jagung dari model-model persamaan. Gambar 31 sampai dengan Gambar 36 menunjukkan kurva sorpsi isotermik cookies dengan menggunakan 6 model persamaan. Semakin berhimpit antara kurva sorpsi isotermik hasil percobaan dengan kurva sorpsi isotermik model-model persamaan, maka model tersebut semakin tepat menggambarkan fenomena sorpsi isotermik. 112

Tabel 39 Kadar air kesetimbangan cookies jagung dari model-model persamaan Aw Kadar air kesetimbangan percobaan Kadar air kesetimbangan model persamaan (g H 2 O/g solid) Hasley Chen- Clayton Henderson Caurie Oswin GAB 0.157 0.0307 0.0272-0.0245 0.0189 0.0247 2.4455 0.0309 0.366 0.0416 0.0449 0.0340 0.0480 0.0452 4.7951 0.0460 0.459 0.0593 0.0554 0.0585 0.0638 0.0592 6.0301 0.0550 0.587 0.0682 0.0757 0.0948 0.0902 0.0857 8.1977 0.0735 0.692 0.0904 0.1025 0.1302 0.1183 0.1162 10.7661 0.0998 0.748 0.1290 0.1245 0.1530 0.1374 0.1366 12.7071 0.1230 0.835 0.2093 0.1840 0.1986 0.1773 0.1758 17.4564 0.1911 0.895 0.2613 0.2742 24.5175 0.2193 0.2091 23.8083 0.3075 Gambar 31 Kurva sorpsi isotermik cookies jagung model Hasley 113

Gambar 32 Kurva sorpsi isotermik cookies jagung Chen-Clayton Gambar 33 Kurva sorpsi isotermik cookies jagung Henderson 114

Gambar 34 Kurva sorpsi isotermik cookies jagung Caurie Gambar 35 Kurva sorpsi isotermik cookies jagung Oswin 115

Gambar 36 Kurva sorpsi isotermik cookies jagung GAB Perbandingan kurva sorpsi isotermik percobaan dengan model-model persamaan sorpsi isotermik memperlihatkan bahwa beberapa model sorpsi isotermik dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermik dengan tepat, agak tepat, dan tidak tepat. Perhitungan MRD (Mean Relative Determination) digunakan untuk memperkuat pernyataan di atas. MRD merupakan ukuran ketepatan antara kadar air kesetimbangan hasil perhitungan berdasarkan model dengan kadar air kesetimbangan hasil percobaan. Tabel 40 menunjukkan nilai MRD masing-masing model persamaan sorpsi isotermik cookies jagung. Tabel 40 Nilai MRD model-model persamaan sorpsi isotermik Model MRD Hasley 1.1085 Chen-Clayton 4.8815 Henderson 2.5403 Caurie 1.9495 Oswin 1.6210 GAB (Guggenhein-Anderson-de Boer) 1.0593 116

Nilai MRD menggambarkan kedekatan kurva sorpsi isotermik hasil percobaan dengan kurva sorpsi isotermik berdasarkan model matematik. Semakin berhimpit antara kurva sorpsi isotermik hasil percobaan dengan kurva sorpsi isotermik model-model persamaan, maka model tersebut semakin tepat menggambarkan fenomena sorpsi isotermik. Oleh karena itu, persamaan yang dipilih adalah yang memiliki nilai MRD terkecil diantara model persamaan lainnya. Nilai MRD tidak merupakan tolak ukur pemilihan sorpsi isotermik lokal. Nilai MRD hanya sebagai petunjuk kelayakan persamaan untuk dipilih atau tidak (Iskandar et al. 1997). Seluruh model yang digunakan dapat menggambarkan kurva sorpsi isotermik cookies jagung secara tepat dengan nilai MRD<5. Model yang dipilih adalah model GAB dengan nilai MRD terkecil yaitu 1.0593. Model GAB dipilih untuk menggambarkan keadaan sebenarnya fenomena sorpsi isotermik cookies jagung dengan rumus Me= 0.9042a w / (1-1.0058a w ) (1+28.2895a w ). Beberapa kelebihan dari model GAB adalah dapat mendeskripsikan sifat sorpsi isotermik pada hampir semua bahan pangan pada kisaran 0.1<a w <0.9, mempunyai bentuk persamaan matematik sederhana dengan tiga parameter sehingga dapat menentukan nilai konstanta C dan K yang berhubungan dengan enegi interkasi antara bahan dengan air serta nilai Mo yang menunjukkan kadar air saat terjadi satu lapis molekul air (Rizvi 1995). 4.5 Nilai kemiringan (b) kurva isotermik Berdasarkan kurva persamaan GAB, dibuatlah persamaan garis lurus untuk memperoleh kemiringan kurva yang dibutuhkan sehingga dapat memenuhi persamaan penentuan umur simpan Labuza. Nilai kemiringan kurva sorpsi isotermik (b) ditentukan pada daerah linear (Arpah 2001). Daerah linear untuk menentukan kemiringan kurva sorpsi isotermik diambil antara daerah kadar air awal (a w = 0.3189) dan kadar air kritis (a w = 0.5448). Penentuan kemiringan kurva sorpsi isotermik berdasarkan model GAB dapat dilihat pada Gambar 37. 117

Keterangan : Mi = kadar air awal Mc = kadar air kritis Gambar 37 Penentuan kemiringan kurva sorpsi isotermik cookies berdasarkan model GAB Kemiringan kurva sorpsi isotermik sebesar 0.1094 dengan R 2 sama dengan 0.9830. Nilai kemiringan kurva selanjutnya digunakan dalam perhitungan umur simpan. Hasil kurva sesuai dengan pernyataan bahwa pendekatan regresi linear untuk isotermik makanan biasanya berhasil baik pada kisaran a w antara 0.2 sampai 0.6 (Hermanianto et al. 2002). 4.6 Variabel pendukung Variabel pendukung yang sangat penting untuk ditentukan adalah permeabilitas kemasan cookies jagung (k/x), luas kemasan (A), berat solid cookies jagung per kemasan (Ws), dan tekanan uap murni pada suhu 30⁰C (P o ). Variabelvariabel tersebut digunakan untuk menentukan umur simpan cookies jagung dengan pendekatan kadar air kritis. Nilai permeabilitas kemasan (k/x) digunakan untuk mengetahui pengaruh kemasan terhadap umur simpan produk pangan (Labuza 2002 diacu dalam Nugroho 2007). Permeabilitas uap air kemasan adalah kecepatan atau laju tranmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan 118

ketebalan tertentu sebagai akibat dari perbedaan unit tekanan uap air antara permukaan produk pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Kemasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metalized plastic dan polipropilena (PP). Metalized plastic merupakan kemasan yang dikombinasikan dari berbagai jenis plastik atau kombinasi plastik dengan aluminium (Robertson 1993). Kemasan metalized plastic cocok untuk produk yang membutuhkan barier tinggi terhadap uap air dan gas. Penggunaan kemasan ini sangat sesuai untuk mengemas kopi, makanan kering, keju, dan roti panggang. PP (polipropilena) biasa digunakan sebagai kemasan cookies. Nilai k/x metalized plastic dan PP berturutturut yaitu 0.0136 gh 2 O/hari/m 2.mmHg dan 0.19 gh 2 O/hari/m 2.mmHg (Fitria 2007; Lopulalan 2008). Nilai k/x tersebut diperoleh dari data sekunder. Luas kemasan yang dianalisis adalah 0.0132 m 2 dengan ukuran ukuran (11 6 2) cm 2. Menurut Kusnandar (2006), semakin besar luas kemasan maka uap air yang masuk tersebar lebih meluas dalam kemasan dan memperlambat terjadinya kadar air kritis sehingga umur simpan produk menjadi semakin panjang. Berat solid per kemasan merupakan berat awal yang telah dikoreksi dengan kadar air awal cookies jagung. Berat solid per kemasan adalah 98 gram. Proses difusi yang terjadi antara cookies jagung dengan lingkungan adalah proses adsorpsi karena a w cookies jagung lebih rendah dari RH tempat penyimpanan yaitu 85%. Mobilasi uap air berlangsung dari lingkungan ke cookies jagung. Nilai a w cookies jagung sebesar 0.41. Tekanan uap murni pada suhu 30⁰C berdasarkan tabel uap air jenuh (Lampiran 25) yaitu sebesar 31.82 mmhg (Bell dan Labuza 2000). 4.7 Umur simpan Umur simpan merupakan selang waktu antara bahan pangan dari mulai diproduksi hingga tidak dapat diterima oleh konsumen akibat telah terjadi penyimpangan mutu. Hubungan antara umur simpan dan kadar air kritis adalah untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air kritis. Kenaikan RH akan diikuti oleh peningkatan kadar air yang mempengaruhi mutu produk dengan demikian perlu diketahui pola penyerapan air dan menetapkan nilai kadar air kritis maka umur simpan dapat ditetapkan. 119

Untuk menentukan umur simpan maka terlebih dahulu dibuat kurva model persamaan GAB berdasarkan kadar air kesetimbangan (g H 2 O/g solid) dan kelembaban relatif yang digunakan. Kurva sorpsi isotermik dibuat untuk memperoleh nilai kemiringan. Persamaan kurva GAB adalah Me = 0.9042a w /(1-1.0058a w ) (1+28.2895a w ). Berdasarkan persamaan tersebut, maka nilai kadar air kesetimbangan pada RH distribusi (85%) dapat diketahui yaitu 0.2115 g H 2 O/g solid. Nilai kadar air kesetimbangan tersebut tidak jauh berbeda dengan kadar air kesetimbangan KCl (ka= 0.2093 g H 2 O/g solid) percobaan yang memiki RH 83.5% (RH literatur 84%). RH yang digunakan adalah 85% karena sesuai dengan data hasil pengamatan selama 5 hari pada RH lingkungan tampat cookies jagung disimpan. Hasil pengamatan RH dapat dilihat pada Lampiran 26. Kadar air awal produk cookies jagung adalah 0.0426 (g H 2 O/g solid). Kadar air kritis produk cookies diperoleh dengan cara mengamati perubahan fisik produk selama penyimpanan. Produk disimpan dalam ruang terbuka dengan RH 80-90%. Produk diamati setiap 2 jam hingga mengalami perubahan fisik dimana produk menjadi melempem setelah itu diukur kadar airnya. Kadar air kritis cookies jagung yaitu 0.0674 (g H 2 O/g solid). Secara umum, umur simpan produk cookies jagung ditetapkan pada saat kadar air cookies jagung sama dengan kadar air kritisnya. Saat cookies jagung mencapai kadar air kritisnya, kerenyahan cookies jagung sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Cookies menyerap uap air dari lingkungannya hingga mencapai batas kritis ini (Pratiwi 2008). Penyerapan uap air berlangsung hingga mencapai keadaan setimbang antara cookies jagung dengan lingkungannya. Pergerakan kadar air cookies jagung dapat dilihat pada Gambar 38. 120

Keterangan: Mi = kadar air awal Mc = kadar air kritis Me = kadar air kesetimbangan Gambar 38. Kurva pergerakan kadar air cookies dari kadar air awal hingga kadar air kesetimbangan Data-data tentang kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan, kemiringan kurva, dan variabel pendukung kemudian dimasukan ke dalam persamaan Labuza. Persamaan Labuza mengacu pada persamaan (3) pada halaman 56. Hasil perhitungan menunjukkan umur simpan cookies jagung berdasarkan model GAB yang terpilih. Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 41. 121