BAB V KESIMPULAN Perkembangan pendidikan rendah di Yogyakarta pada kurun waktu 1907-1939 dipengaruhi oleh berbagai kebijakan, terutama kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Kebijakan pemerintah kolonial yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan bumiputera adalah Politik Etis yang secara resmi diterapkan di Hindia Belanda pada tahun 1901. Salah satu kebijakan politik etis yang mulai diterapkan oleh pemerintah kolonial pada 1901 adalah perbaikan pendidikan bagi kalangan bumiputera. Lahirnya kebijakan perbaikan pendidikan melalui Politik Etis kemudian mempengaruhi munculnya sekolah-sekolah jenis baru. Di antaranya ELS, HIS, Sekolah Kelas Satu dan Sekolah Kelas Dua. Kebijakan pendidikan yang diterapkan pada kurun waktu 1907-1939, di antaranya juga dipengaruhi oleh kebijakan desentralisasi pendidikan. Kebijakan desentralisasi pendidikan dapat dikatakan merupakan kebijakan turunan dari desentralisasi pemerintahan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1903. Pada tahun 1903, pemerintah kolonial menerbitkan Undang-Undang Desentralisasi (decentralisatie-wet) yang mengatur mengenai sistem
desentralisasi di bidang pemerintahan. Munculnya UU ini, kemudian menjadi salah satu pendorong kebijakan desentralisasi dalam bidang pendidikan. Desentralisasi pendidikan di Hindia Belanda yang bermula dari gagasan Gubernur Jenderal Van Heutz untuk mendirikan sekolah sederhana bagi kalangan bumiputera, kemudian ditandai dengan didirikannya volksschool atau sekolah desa. Sekolah ini memiliki kedudukan sebagai lembaga desa. Kebijakan pendidikan yang kedua adalah subsidi pendidikan untuk sekolah-sekolah partikelir, yakni subsidi yang diberikan kepada sekolah-sekolah yang didirikan oleh pihak swasta. Kebijakan ini dibuat pemerintah kolonial untuk mengapresiasi lembaga pendidikan swasta yang mendirikan sekolahsekolah demi memenuhi kebutuhan pendidikan pada masa tersebut. Namun kebijakan subsidi untuk sekolah partikelir ini sejatinya mengandung tujuan lain, yakni untuk menghemat anggaran pendidikan. Pemerintah kolonial beranggapan bahwa memberikan subsidi kepada sekolah partikelir lebih efisien daripada membangun sekolah yang baru. Sistem desentralisasi pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial pada abad XX sendiri terasa semu. Hal ini dikarenakan tidak seluruh kebijakan pendidikan didesentralisasikan secara penuh. Pemerintah kolonial tetap memberikan beberapa 160
aturan dan batasan yang berkaitan dengan pendirian volksschool. Diantaranya aturan mengenai kurikulum, syarat penerimaan siswa, serta uang sekolah. Pasca pemerintah kolonial menerapkan subsidi bagi sekolah partikelir, jumlah sekolah partikelir meningkat tajam. Namun sejumlah sekolah partikelir tersebut dianggap menyebarkan paham yang berpotensi mengancam eksistensi pemerintah kolonial di Hindia-Belanda. Sekolah partikelir yang semula dianggap sebagai penolong pemerintah kolonial untuk memenuhi kebutuhan pendidikan kemudian berubah menjadi ancaman bagi eksistensi pemerintahan kolonial di Hindia-Belanda. Hal ini yang kemudian mendasari pemerintah kolonial untuk melakukan pengawasan terhadap sejumlah sekolah partikelir. Sebagai bagian dari wilayah Hindia-Belanda, kebijakan pendidikan yang diterapkan di Yogyakarta turut mengikuti kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Perkembangan pendidikan di Yogyakarta pada kurun waktu tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari peranan Kadipaten Pakualaman dan Kasultanan Yogyakarta yang berstatus sebagai daerah swapraja. Kadipaten Pakualaman dan Kasultanan Yogyakarta juga turut 161
bertanggungjawab dalam mengampu pendidikan di Yogyakarta, sehingga kebutuhan pendidikan di Yogyakarta tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah kolonial semata. Peran dan tanggung jawab Kadipaten Pakualaman dan Kasultanan Yogyakarta ditandai dengan didirikannya beberapa lembaga pendidikan bumiputera. Jika ditinjau dari konsep kehidupan bernegara, pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyatnya, salah satunya dengan memberikan pendidikan layak. Pemerintah Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang masuk dalam wilayah Hindia-Belanda juga turut melaksanakan tanggung jawab menyediakan pendidikan bagi rakyat Yogyakarta dengan menerapkan kebijakan-kebijakan pendidikan, sesuai dengan kebijakan pemerintah kolonial yang berlaku saat itu. Di antaranya ditunjukkan dengan mendirikan volksschool atau sekolah desa. Volksschool di Yogyakarta dikenal dengan Sekolah Kasultanan dan Sekolah Pakualaman. Berdirinya kedua sekolah tersebut merupakan wujud tanggung jawab Kadipaten Pakualaman dan Kasultanan Yogyakarta terhadap perkembangan pendidikan masyarakat bumiputera di Yogyakarta. Kontribusi lain pihak Kasultanan dan Pakualaman terhadap perkembangan pendidikan di Yogyakarta adalah dengan memberikan semacam beasiswa (bondha 162
pasinaon) kepada putra-putra abdi dalem Keraton. Pihak Kasultanan juga meminjamkan tanah-tanah Kasultanan untuk didirikan sekolah atau dikenal dengan istilah gebruik (hak pakai). Di Yogyakarta, ordonansi pengawasan sekolah partikelir yang diterapkan oleh pemerintah kolonial pada 1920an tidak hanya berfungsi untuk mengawasi sekolah-sekolah yang dicurigai menyebarkan doktrin yang mengancam eksistensi pemerintahan kolonial di Hindia-Belanda, namun juga berperan untuk mengawasi penyaluran subsidi agar tepat pada sasaran. Kebijakan-kebijakan yang telah terurai di atas saling berkaitan satu dengan lain. Dimulai dari kebijakan perbaikan pendidikan bumiputera melalui politik etis yang berawal dari kritik Van Deventer terhadap pemerintah kolonial yang kurang memperhatikan kesejahteraan masyarakat bumiputera. Kebijakan desentralisasi pendidikan pada tahun 1907 kemudian membuka kesempatan perluasan pendidikan bagi bumiputera, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi pendidikan bagi sekolah-sekolah partikelir juga menjadi salah satu pemicu menjamurnya sekolah-sekolah swasta, terutama sekolah-sekolah yang dimotori oleh organisasi pergerakan nasional. Keberadaan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang 163
menggunakan status swapraja-nya untuk mendirikan sekolahsekolah, terutama bagi kalangan bumiputera, turut mendorong desentralisasi pendidikan di wilayah Yogyakarta pada kurun waktu 1907-1939. Kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan di atas sedikitbanyak berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan di Yogyakarta. Diantaranya adalah meningkatnya kesadaran masyarakat Yogyakarta akan arti pentingnya pendidikan. Kesadaran masyarakat Yogyakarta mengenai arti pentingnya pendidikan ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah penduduk Yogyakarta yang melek aksara. Jumlah sekolah partikelir juga semakin meningkat, hal ini merupakan konsekuensi dari meningkatnya kebutuhan pendidikan. Kebijakan-kebijakan pendidikan tersebut juga saling berkorelasi dan berkaitan satu dengan yang lainnya. Begitu pula dengan dampak yang timbul dari kebijakan-kebijakan tersebut yang turut mempengaruhi perkembangan pendidikan rendah di Yogyakarta. 164