BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. layanan kesehatan, maka fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. seperti klinik harus selalu berusaha untuk memenuhinya dalam

BAB I PENDAHULUAN. di segala bidang termasuk bidang kesehatan. Peralatan kedokteran baru banyak

keselamatan penyedia jasa kesehatan serta pasien mereka (Gershon et al., 2000, Pronovost dan Sexton, 2005). Keselamatan dalam organisasi kesehatan

BAB III METODE PENELITIAN. Queen Latifa Yogyakarta, Kemudian dilakukan analisis antara Profesi, Intensitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN PENERAPAN BUDAYA KESELAMATAN DI IEBE

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja bertujuan untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi- tingginya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terkait keselamatan di RS yaitu: keselamatan pasien, keselamatan pekerja atau

KUESIONER PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Centre for Disease Control (CDC) memperkirakan setiap tahun terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya selalu menginginkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Dunia industri erat kaitannya dengan proses produksi yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. ditandai dengan semakin berkembangnya prindustrian dengan mendayagunakan

BAB I PENDAHULUAN. rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Pada November 1999, the American Hospital Asosiation (AHA) Board of

BAB 1 : PENDAHULUAN. kuat. (2) Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu bentuk upaya untuk

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI

LAMPIRAN I : PRAKTEK YANG DITERAPKAN UNTUK PENGEMBANGAN BUDAYA KESELAMATAN YANG TIDAK DISEBUTKAN DALAM INSAG 4.

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Hal tersebut yang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan masyarakat sekitar rumah sakit ingin mendapatkan perlindungan dari gangguan

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta. PSTA memiliki banyak bidang dimana terdapat beberapa sub bidang

BAB I PENDAHULUAN. yang berawal ketika Institute of Medicine menerbitkan laporan To Err Is

BAB I PENDAHULUAN. sebagian masyarakat menyatakan bahwa mutu pelayanan rumah sakit di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang sama beratnya untuk diimplementasikan (Vincent, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusianya, agar dapat menghasilkan produk yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu

BAB I. padat pakar dan padat modal. Kompleksitas ini muncul karena pelayanan di. Rumah sakit sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan para tenaga kerjanya (Siswanto, 2001). penting. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. secara paripurna, menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, ataupun. terhadap pasiennya (UU No 44 Tahun 2009).

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan global. World Health Organization. pembedahan pada tahun Di negara bagian AS yang hanya berpopulasi

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization mengidentifikasikan masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit (RS) merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang bertujuan

PENGETAHUAN DAN MOTIVASI PERAWAT DENGAN KEAMANAN PEMBERIAN TERAPI OBAT

PERSEPSI PEKERJA TERHADAP SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN PADA PROYEK KONSTRUKSI DI SURABAYA

PENELITIAN PERSEPSI PERAWAT TENTANG SAFETY HOSPITAL. Di Ruang Mawar RSUD Dr Harjono Ponorogo. Oleh : DWI HERI SUSANTO NIM :

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya mutu pelayanan dengan berbagai kosekuensinya. Hal ini juga yang harus dihadapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta. PSTA memiliki banyak bidang dimana terdapat beberapa sub bidang

BAB I PENDAHULUAN. sejak lama diterapkan di berbagai sektor industri, kecuali di sektor

mendapatkan 5,7% KTD, 50% diantaranya berhubungan dengan prosedur operasi (Zegers et al., 2009). Penelitian oleh (Wilson et al.

ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemerintah mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh tenaga kesehatan melalui program-program yang telah ditetapkan oleh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB I PENDAHULUAN. tanpa adanya peran aktif dari pegawai atau karyawan sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Bangunan gedung menurut UU RI No. 28 Tahun 2002 adalah wujud fisik hasil

BAB I PENDAHULUAN. (safety) di rumah sakit yaitu: keselamatan pasien (patient safety),

PENILAIAN BUDAYA KESELAMATAN DENGAN METODE SAFETY CULTURE ASSESSMENT REVIEW TEAM (SCART) (STUDI KASUS DI PRSG BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL)

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk memperhatikan masalah keselamatan. Kementerian Kesehatan Republik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat, maka syarat mutu makin bertambah penting. Hal tersebut mudah saja

No. Dokumen No. Revisi Halaman 1 dari 2

BAB 1 PENDAHULUAN. menyelamatkan pasien. Untuk menjalankan tujuannya ini, rumah sakit terdiri atas

KERANGKA ACUAN PROGRAM PENINGKATAN MUTU KLINIS DAN KESELAMATAN PASIEN PUSKESMAS PUJON

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan salah satu pelayanan jasa yang di dalamnya terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi perhatian adalah medication error. Medication error menimbulkan

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM MANAJEMEN FASILITAS DAN KEGIATAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

BAB I PENDAHULUAN. pengawasan K3 juga salah satu penyebab terjadinya kecelakaan.

BAB I PENDAHULUAN. berdampak terhadap pelayanan kesehatan, dimana dimasa lalu pelayanan. diharapkan terjadi penekanan / penurunan insiden.

BAB I PENDAHULUAN. yang dipakai, produk yang dipakai sifatnya tidak berwujud (Intangible)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan investasi esensial bangsa yang secara signifikan

BATAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL,

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Pada era globalisasi, pelayanan prima merupakan. elemen utama di rumah sakit dan unit kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai institusi yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan, rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan masyarakat. Rumah Sakit merupakan tempat yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dalam strategi World Trade Organization (WTO) pada tahun 2010 Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. isu yang terkait dengan keselamatan di rumah sakit, yaitu: keselamatan pasien,

KEGIATAN BUDAYA KESELAMATAN NUKLIR FNCA. Ir. Alfahari Mardi, MSc. dan Ir. Johnny Situmorang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Manajemen Bahan Kimia Melalui Responsible Care dari Penerapan Praktik Manajemen Kode Keamanan

- 5 - INDIKATOR KINERJA UTAMA BAPETEN

BAB I PENDAHULUAN. kecelakaan disebabkan oleh perbuatan yang tidak selamat (unsafe act), dan hanya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan

KESELAMATAN, KEAMANAN, & KESEHATAN KERJA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pada dekade terakhir, organisasi (perusahaan) yang sebelumnya lebih

Peranan Keselamatan Kerja di Tempat Kerja Sebagai Wujud Keberhasilan Perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kualitas pelayanan yang ditawarkan kepada konsumen dalam. merasakan kepuasan terhadap kualitas yang ditawarkan.

BAB I PENDAHULUAN. dan dikendalikan. Salah satu pelayanan kesehatan yang ada di rumah sakit

PENINGKATAN PELAYANAN KESELAMATAN KERJA DI PUSAT TEKNOLOGI NUKLIR BAHAN DAN RADIOMETRI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pondasi penting bagi produktifitas suatu perusahaan terletak pada kinerja para

BAB 1 : PENDAHULUAN. memperhatikan manusia sebagai human center dari berbagai aspek. Kemajuan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Dunia perindustrian di era globalisasi mengalami perkembangan yang semakin pesat. Hal

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan fungsi yang luas sehingga harus memiliki sumberdaya, baik modal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah sakit merupakan salah satu institusi pelayanan kesehatan di

BAB I PENDAHULUAN. sebaliknya yang lemah akan menghambat dan bertentangan dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi perdagangan bebas yang kini dihadapi Indonesia,

PENDAHULUAN. Sebagai institusi yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan, rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. merupakan faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan yang banyak mengandung unsur bahaya. Hal tersebut menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. melindungi pekerja dari mesin, dan peralatan kerja yang akan menyebabkan traumatic injury.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan, pemulihan serta pemeliharaan kesehatan. Sebagai layanan masyarakat,

A. Latar Belakang Masalah

PENINGKATAN MUTU HASIL UJI KOMPETENSI PERSONIL PPR SEBAGAI STRATEGI PENGAWASAN TENAGA NUKLIR

PROGRAM KERJA BIDANG KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT TINGKAT III BALADHIKA HUSADA TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. memenuhinya serta meminimalkan kesalahan yang membuat pasien kecewa.

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap organisasi memiliki tujuan yang berbeda-beda dan diperlukan

Relationship Knowledge, Motivation And Supervision With Performance In Applying Patient Safety At RSUD Haji

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Definisi iklim kerja diartikan sebagai persepsi tentang kebijakan, praktekpraktek dan prosedur-prosedur organisasional yang dirasa dan diterima oleh individu-individu dalam organisasi menurut Reichers dan Scheinder (1990) dalam Siswanto (2012). Persepsi tersebut harus berjalan selaras dengan kebutuhan individu di dalam organisasi tersebut. Selain itu iklim kerja menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan untuk dapat memenuhi kebutuhan dari organisasi dalam mencapai tujuan. Persepsi mempengaruhi praktek terhadap suatu objek. Kartono (1990) dalam Khoiri (2010) mengemukakan bahwa praktek terhadap suatu objek dipengaruhi oleh persepsi tentang suatu objek, kerentanan, faktor sosiopsikologi, faktor demografi, media masa, anjuran orang lain, serta perhitungan untung rugi dari praktek tersebut. Persepsi merupakan salah satu bagian dalam merefeksikan perilaku manusia. Azwar (2009) dalam Khoiri (2010) menyampaikan bahwa perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, minat, emosi, kehendak, berfikir, motivasi, persepsi, sikap, reaksi dan sebagainya. Seiring dengan perubahan era globalisasi, lingkungan kerja juga ikut berubah. Perubahan tersebut seperti perpindahan populasi, perubahan teknologi maupun perubahan budaya yang disebabkan oleh globalisasi itu sendiri. Hal tersebut juga diungkapkan oleh EU OSHA (2013), maka dari itu dibutuhkan cara untuk mengatasi perubahan tersebut agar pekerja merasa nyaman dalam bekerja. EU OSHA (2013) menyebutkan bahwa tujuan dari tempat kerja yang nyaman adalah memastikan pekerja yakin bahwa dirinya aman, sehat, puas dan engaged pada tempat kerjanya. 1

2 Aman merupakan bagian dari keselamatan atau safety yang berbentuk budaya dari organisasi tersebut. Budaya keselamatan atau safety culture menurut Al-Quds (2013) adalah produk yang dihasilkan dari individu, kelompok, sikap, persepsi, dan juga pola perilaku yang menentukan komitmen dan kecakapan dalam menata organisasi keselamatan. Definisi lain safety culture di lingkungan nuklir menurut IAEA (1991), budaya keselamatan adalah kumpulan karakteristik dan sikap dalam organisasi dan individu yang menetapkan hal tersebut sebagai prioritas utama, isu keselamatan instalasi nuklir sebagai perhatian dan kepentingan yang utama. Pada penelitian Morrow dkk (2014), safety culture menerima banyak perhatian di industri-industri termasuk di operasi tenaga nuklir. Bahkan beberapa contoh kecelakaan dimana safety culture diidentifikasi sebagai hal yang juga berkontribusi penyebab terjadinya kecelakaan, termasuk BP s Texas City Refinery Explosion di tahun 2005 (Chemical Safety Board, 2007), The Washington Metropolitan Area Transit Authority Rail Collision di tahun 2009 (National Transportation Safety Board, 2010), The Deepwater Horizon Oil Spill di tahun 2010 (United States Coast Guard, 2011), The Upper Big Branch Mine Explosion di tahun 2010 (Mine Safety and Health Administration, 2011), dan The Fukushima Nuclear Accident di tahun 2011 (National Diet of Japan, 2012). Terkait dengan kecelakaan Fukushima nuclear, walaupun sebuah sistem telah memiliki proteksi yang sangat canggih berdasarkan teknologi, namun tanpa adanya pemahaman dan pengertian dari nuclear security culture maka sistem yang sedemikian canggih pun tidak dapat menjaminnya. Nuclear security culture ini terdiri dari rangkaian karakteristik, sikap dan perilaku dari individu, organisasi dan institusi yang berfungsi sebagai sarana untuk mendukung dan meningkatkan keamanan nuklir (IAEA Security Series No.7, 2008). Kebanyakan insiden terkait nuklir dihasilkan dari kurangnya kesadaran nuclear security culture. Selain itu, nuclear security culture menjadi subjek yang penting saat nuclear security summit di Hague dengan 53 negara sebagai partisipannya termasuk Indonesia (European Union, 2014).

3 Hubungan antara security culture dengan safety culture (IAEA Security Series No.7, 2008) adalah ketika keduanya mempertimbangkan resiko dari human error, namun nuclear security memiliki penekanan tambahan pada tindakan yang disengaja yang dimaksudkan dapat menyebabkan kerusakan. Karena keamanan membutuhkan sikap dan perilaku yang berbeda seperti kerahasiaan informasi dan upaya mencegah tindakan berbahaya. Oleh karena itu dengan cara yang sama, nuclear security culture mengacu pada dedikasi, akuntabilitas, dan pemahaman tentang semua individu yang terlibat dalam kegiatan yang memiliki pengaruh pada keamanan kegiatan nuklir. Safety culture dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penelitian ini dimulai oleh Zohar (1980) dengan 8 dimensi, diantaranya sikap manajemen terhadap keselamatan, dampak praktek-praktek keselamatan kerja terhadap promosi dan yang lainya. Flin (2000) juga meneliti faktor yang berpengaruh terhadap keselamatan di Industri Inggris. Selain itu Khoiri (2010) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi safety culture di Instalasi Radiologi adalah komitmen top manajemen, komunikasi, kompetensi, dan keterlibatan pekerja. Puspitasari (2012) menunjukkan bahwa terdapat 5 faktor yang berpengaruh positif terhadap perilaku K3 pada sebuah perusahaan peleburan yaitu, komunikasi, kompetensi pekerja, langkah kerja, level resiko, dan keterlibatan pekerja. Security culture menurut IAEA Security Series No.7 (2008) pada nuclear memiliki 4 karakteristik/dimensi yang harus diperhatikan. Empat karakteristik tersebut adalah beliefs and attitude, principal, management system, dan behaviour. Pada Yoo dan Lee (2015), karakterikstik ini dipakai pada survei yang dilakukan pada personel fasilitas nuklir di Korea Selatan pada tahun 2009 dengan sedikit perubahan dengan menyesuaikan dengan kondisi disana. Pengukuran terhadap safety culture biasanya menggunakan sebuah kuesioner. Al-Quds (2013) melakukan penelitian untuk mengukur budaya keselamatan, meneliti variasi antara unit-unit perawatan intensif neonatal (NICU), dan menilai asosiasi dengan karakteristiknya menggunakan kuesioner safety attitude. Kuesioner safety attitude juga digunakan oleh Yadlapati (2014) untuk

Jumlah Negara 4 mengukur safety culture di Endoscopy Lab. Bahkan Liao (2015) juga menggunakan kuesioner dalam melakukan penelitian safety culture pada pesawat komersial untuk melihat perbedaan perspektif Chinese dan Western pilot. Hospital Survey on Safety Culture (HSOPSC) juga digunakan untuk mengetahui safety culture di Rumah Sakit Turki mengenai persepsi suster terhadap pasien (Güneş, 2015). Selain itu, Faradilla (2015) juga melakukan evaluasi iklim keselamatan rawat inap menggunakan kuesioner KIKRS milik Hasibuan (2014), SAQ, dan HSOPSC. Penerapan survei terhadap safety culture/climate sering digunakan di bidang healthcare menurut The Health Foundation (2011) di dalam Faradilla (2015) adalah Safety Attitude Questionaire (SAQ), Patient Safety Culture in Healthcare Organisations (PSCHO), Hospital Survey on Patient Safety Culture (HSOPSC), Safety Climate Survey (SCS), dan Manchester Patient Safety Assessment (MPSA). Selain itu di Indonesia terdapat Kuesioner Iklim Keselamatan Rumah Sakit (KIKRS) yang dikembangkan oleh Hasibuan (2014). Perbandingan penggunaan kuesioner safety climate tersebut adalah seperti pada Gambar 1.1. 8 7 6 5 4 3 2 1 0 SCS HSOPSC PSCHO SAQ KIKRS Kuesioner Gambar 1. 1 Perbandingan Penggunaan Kuesioner Safety Climate di Bidang Healthcare (Faradilla, 2015)

5 Begitu pula dengan security nuclear, Yoo dan Lee (2015) juga menggunakan kuesioner untuk surveinya terhadap personel di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Hal ini dikarenakan survei berupa kuesioner merupakan cara yang efektif untuk menguji tingkat kesadaran dari security nuclear. Kuesioner yang digunakan harus mencakup segala aspek pada security nuclear. Yoo dan Lee (2015) menjelaskan bahwa WINS (World Institute of Nuclear Security) mempublikasi sebuah kuesioner yang sederhana. Namun kuesioner tersebut tidak cukup untuk menganalisis semua elemen dari security nuclear. Dan beberapa negara telah berusaha mengembangkan kuesioner yang mencerminkan unsur-unsur dari security culture mereka sendiri. Yoo dan Lee (2015) menyatakan bahwa bahwa ROK (nuclear power di Korea Selatan) memprakarsai studi untuk mengembangkan kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaan security nuclear culture di tahun 2009. Namun selain Korea Selatan, jumlah penggunaan kuesioner security culture belum diketahui secara pasti. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) merupakan instansi milik pemeritah yang memperhatikan perkembangan pendayagunaan dan pemanfaatan tenaga atom bagi kesejahteraan masyarakat. Badan pemerintah ini tentunya berkaitan erat dengan aktivitas berbahaya yang kaitannya dengan nuklir dan radiasi. BATAN telah memiliki kuesioner sendiri yang terdapat pada Peraturan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional Nomor: 200/KA/X/2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Budaya Keselamatan. Kuesioner tersebut terakhir disebarkan pada tahun 2014 oleh BATAN Yogyakarta. Hasil dari kuesioner tersebut karyawan Pusat Sains dan Teknologi Akserator (PSTA) BATAN Yogyakarta memiliki skor 660 dari total skor 1000 dan skor tersebut masuk pada peringkat C. Namun kuesioner ini belum mencakup mengenai security culture. Menurut hasil wawancara langsung dengan Kepala Bidang Keselamatan dan Kesehatan (BK2) PSTA BATAN Yogyakarta, banyak karyawan yang kurang memahami maksud dari pertanyaan pada kuesioner tersebut. Hal ini dikarenakan bahasa yang dicantumkan pada kuesioner memiliki bahasa yang kurang mudah dipahami. Permasalahan lain yaitu karyawan yang berusia muda dirasa masih

score 6 kurang memahami safety culture. Pada penelitian dari Yoo dan Lee (2015) dilihat dari kategori operating system, maka hasil yang ditampilkan jika dikategorikan berdasarkan usia adalah seperti pada Gambar 1.2. Gambar tersebut tidak menunjukkan tren yang jelas seperti semakin tua usia maka akan semakin baik kinerja pada kategori tersebut. 90 85 80 75 70 65 20s 30s 40s 50s 60s age Roles and responbilities Working conditions Information security Report & feedback Establishing a goal Education & training Evaluation of trustworthiness Emergency response exercise Gambar 1.2 Operating System Category by Age (Yoo dan Lee, 2015) Selain kuesioner mengenai safety culture yang dimiliki BATAN, Indonesia belum memiliki kuesioner sendiri di bidang nuklir terutama mengenai security culture. Oleh karena itu melihat dari kuesioner yang ada di BATAN masih memerlukan pengembangan, serta penelitian mengenai kuesioner dibidang nuklir yang masih kurang maka penelitian ini mencoba mengembangkan instrumen penelitian mengenai persepsi karyawan terhadap safety culture dan security culture pada bidang nuklir khususnya di Indonesia. Pengembangan ini diharapkan dapat menghasilkan kuesioner yang mudah dipahami serta mencakup safety dan security secara keseluruhan.

7 1.2 Rumuan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penilaian safety culture dan security culture pada bidang nuklir dengan mengambil studi kasus di PSTA BATAN Yogyakarta dengan mengembangkan sebuah instrumen pengukuran untuk memperoleh indikator yang berperan dalam penerapan safety dan security culture. 1.3 Asumsi dan Batasan Masalah Permasalahan yang akan diteliti memiliki asumsi bahwa kuesioner yang dihasilkan dapat digunakan untuk seluruh bidang nuklir di Indonesia. Selain itu, permasalahan yang akan diteliti memiliki batasan-batasan sebagai berikut: 1. Karyawan yang diteliti adalah karyawan yang sudah mengikuti diklat Proteksi Radiasi bagi Karyawan Baru. 2. Validasi yang dilakukan adalah validasi internal untuk kuesioner yang dihasilkan. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengembangkan instrumen pengukuran terhadap safety dan security culture menurut persepsi karyawan di bidang nuklir. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini adalah: 1. Memiliki alat ukur yang sesuai dengan safety culture maupun security culture yang dapat diterapkan pada bidang nuklir Indonesia. 2. Membantu pihak-pihak terkait dalam menerapkan safety culture maupun security culture yang ada di bidang nuklir.