BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Definisi iklim kerja diartikan sebagai persepsi tentang kebijakan, praktekpraktek dan prosedur-prosedur organisasional yang dirasa dan diterima oleh individu-individu dalam organisasi menurut Reichers dan Scheinder (1990) dalam Siswanto (2012). Persepsi tersebut harus berjalan selaras dengan kebutuhan individu di dalam organisasi tersebut. Selain itu iklim kerja menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan untuk dapat memenuhi kebutuhan dari organisasi dalam mencapai tujuan. Persepsi mempengaruhi praktek terhadap suatu objek. Kartono (1990) dalam Khoiri (2010) mengemukakan bahwa praktek terhadap suatu objek dipengaruhi oleh persepsi tentang suatu objek, kerentanan, faktor sosiopsikologi, faktor demografi, media masa, anjuran orang lain, serta perhitungan untung rugi dari praktek tersebut. Persepsi merupakan salah satu bagian dalam merefeksikan perilaku manusia. Azwar (2009) dalam Khoiri (2010) menyampaikan bahwa perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, minat, emosi, kehendak, berfikir, motivasi, persepsi, sikap, reaksi dan sebagainya. Seiring dengan perubahan era globalisasi, lingkungan kerja juga ikut berubah. Perubahan tersebut seperti perpindahan populasi, perubahan teknologi maupun perubahan budaya yang disebabkan oleh globalisasi itu sendiri. Hal tersebut juga diungkapkan oleh EU OSHA (2013), maka dari itu dibutuhkan cara untuk mengatasi perubahan tersebut agar pekerja merasa nyaman dalam bekerja. EU OSHA (2013) menyebutkan bahwa tujuan dari tempat kerja yang nyaman adalah memastikan pekerja yakin bahwa dirinya aman, sehat, puas dan engaged pada tempat kerjanya. 1
2 Aman merupakan bagian dari keselamatan atau safety yang berbentuk budaya dari organisasi tersebut. Budaya keselamatan atau safety culture menurut Al-Quds (2013) adalah produk yang dihasilkan dari individu, kelompok, sikap, persepsi, dan juga pola perilaku yang menentukan komitmen dan kecakapan dalam menata organisasi keselamatan. Definisi lain safety culture di lingkungan nuklir menurut IAEA (1991), budaya keselamatan adalah kumpulan karakteristik dan sikap dalam organisasi dan individu yang menetapkan hal tersebut sebagai prioritas utama, isu keselamatan instalasi nuklir sebagai perhatian dan kepentingan yang utama. Pada penelitian Morrow dkk (2014), safety culture menerima banyak perhatian di industri-industri termasuk di operasi tenaga nuklir. Bahkan beberapa contoh kecelakaan dimana safety culture diidentifikasi sebagai hal yang juga berkontribusi penyebab terjadinya kecelakaan, termasuk BP s Texas City Refinery Explosion di tahun 2005 (Chemical Safety Board, 2007), The Washington Metropolitan Area Transit Authority Rail Collision di tahun 2009 (National Transportation Safety Board, 2010), The Deepwater Horizon Oil Spill di tahun 2010 (United States Coast Guard, 2011), The Upper Big Branch Mine Explosion di tahun 2010 (Mine Safety and Health Administration, 2011), dan The Fukushima Nuclear Accident di tahun 2011 (National Diet of Japan, 2012). Terkait dengan kecelakaan Fukushima nuclear, walaupun sebuah sistem telah memiliki proteksi yang sangat canggih berdasarkan teknologi, namun tanpa adanya pemahaman dan pengertian dari nuclear security culture maka sistem yang sedemikian canggih pun tidak dapat menjaminnya. Nuclear security culture ini terdiri dari rangkaian karakteristik, sikap dan perilaku dari individu, organisasi dan institusi yang berfungsi sebagai sarana untuk mendukung dan meningkatkan keamanan nuklir (IAEA Security Series No.7, 2008). Kebanyakan insiden terkait nuklir dihasilkan dari kurangnya kesadaran nuclear security culture. Selain itu, nuclear security culture menjadi subjek yang penting saat nuclear security summit di Hague dengan 53 negara sebagai partisipannya termasuk Indonesia (European Union, 2014).
3 Hubungan antara security culture dengan safety culture (IAEA Security Series No.7, 2008) adalah ketika keduanya mempertimbangkan resiko dari human error, namun nuclear security memiliki penekanan tambahan pada tindakan yang disengaja yang dimaksudkan dapat menyebabkan kerusakan. Karena keamanan membutuhkan sikap dan perilaku yang berbeda seperti kerahasiaan informasi dan upaya mencegah tindakan berbahaya. Oleh karena itu dengan cara yang sama, nuclear security culture mengacu pada dedikasi, akuntabilitas, dan pemahaman tentang semua individu yang terlibat dalam kegiatan yang memiliki pengaruh pada keamanan kegiatan nuklir. Safety culture dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penelitian ini dimulai oleh Zohar (1980) dengan 8 dimensi, diantaranya sikap manajemen terhadap keselamatan, dampak praktek-praktek keselamatan kerja terhadap promosi dan yang lainya. Flin (2000) juga meneliti faktor yang berpengaruh terhadap keselamatan di Industri Inggris. Selain itu Khoiri (2010) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi safety culture di Instalasi Radiologi adalah komitmen top manajemen, komunikasi, kompetensi, dan keterlibatan pekerja. Puspitasari (2012) menunjukkan bahwa terdapat 5 faktor yang berpengaruh positif terhadap perilaku K3 pada sebuah perusahaan peleburan yaitu, komunikasi, kompetensi pekerja, langkah kerja, level resiko, dan keterlibatan pekerja. Security culture menurut IAEA Security Series No.7 (2008) pada nuclear memiliki 4 karakteristik/dimensi yang harus diperhatikan. Empat karakteristik tersebut adalah beliefs and attitude, principal, management system, dan behaviour. Pada Yoo dan Lee (2015), karakterikstik ini dipakai pada survei yang dilakukan pada personel fasilitas nuklir di Korea Selatan pada tahun 2009 dengan sedikit perubahan dengan menyesuaikan dengan kondisi disana. Pengukuran terhadap safety culture biasanya menggunakan sebuah kuesioner. Al-Quds (2013) melakukan penelitian untuk mengukur budaya keselamatan, meneliti variasi antara unit-unit perawatan intensif neonatal (NICU), dan menilai asosiasi dengan karakteristiknya menggunakan kuesioner safety attitude. Kuesioner safety attitude juga digunakan oleh Yadlapati (2014) untuk
Jumlah Negara 4 mengukur safety culture di Endoscopy Lab. Bahkan Liao (2015) juga menggunakan kuesioner dalam melakukan penelitian safety culture pada pesawat komersial untuk melihat perbedaan perspektif Chinese dan Western pilot. Hospital Survey on Safety Culture (HSOPSC) juga digunakan untuk mengetahui safety culture di Rumah Sakit Turki mengenai persepsi suster terhadap pasien (Güneş, 2015). Selain itu, Faradilla (2015) juga melakukan evaluasi iklim keselamatan rawat inap menggunakan kuesioner KIKRS milik Hasibuan (2014), SAQ, dan HSOPSC. Penerapan survei terhadap safety culture/climate sering digunakan di bidang healthcare menurut The Health Foundation (2011) di dalam Faradilla (2015) adalah Safety Attitude Questionaire (SAQ), Patient Safety Culture in Healthcare Organisations (PSCHO), Hospital Survey on Patient Safety Culture (HSOPSC), Safety Climate Survey (SCS), dan Manchester Patient Safety Assessment (MPSA). Selain itu di Indonesia terdapat Kuesioner Iklim Keselamatan Rumah Sakit (KIKRS) yang dikembangkan oleh Hasibuan (2014). Perbandingan penggunaan kuesioner safety climate tersebut adalah seperti pada Gambar 1.1. 8 7 6 5 4 3 2 1 0 SCS HSOPSC PSCHO SAQ KIKRS Kuesioner Gambar 1. 1 Perbandingan Penggunaan Kuesioner Safety Climate di Bidang Healthcare (Faradilla, 2015)
5 Begitu pula dengan security nuclear, Yoo dan Lee (2015) juga menggunakan kuesioner untuk surveinya terhadap personel di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Hal ini dikarenakan survei berupa kuesioner merupakan cara yang efektif untuk menguji tingkat kesadaran dari security nuclear. Kuesioner yang digunakan harus mencakup segala aspek pada security nuclear. Yoo dan Lee (2015) menjelaskan bahwa WINS (World Institute of Nuclear Security) mempublikasi sebuah kuesioner yang sederhana. Namun kuesioner tersebut tidak cukup untuk menganalisis semua elemen dari security nuclear. Dan beberapa negara telah berusaha mengembangkan kuesioner yang mencerminkan unsur-unsur dari security culture mereka sendiri. Yoo dan Lee (2015) menyatakan bahwa bahwa ROK (nuclear power di Korea Selatan) memprakarsai studi untuk mengembangkan kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaan security nuclear culture di tahun 2009. Namun selain Korea Selatan, jumlah penggunaan kuesioner security culture belum diketahui secara pasti. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) merupakan instansi milik pemeritah yang memperhatikan perkembangan pendayagunaan dan pemanfaatan tenaga atom bagi kesejahteraan masyarakat. Badan pemerintah ini tentunya berkaitan erat dengan aktivitas berbahaya yang kaitannya dengan nuklir dan radiasi. BATAN telah memiliki kuesioner sendiri yang terdapat pada Peraturan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional Nomor: 200/KA/X/2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Budaya Keselamatan. Kuesioner tersebut terakhir disebarkan pada tahun 2014 oleh BATAN Yogyakarta. Hasil dari kuesioner tersebut karyawan Pusat Sains dan Teknologi Akserator (PSTA) BATAN Yogyakarta memiliki skor 660 dari total skor 1000 dan skor tersebut masuk pada peringkat C. Namun kuesioner ini belum mencakup mengenai security culture. Menurut hasil wawancara langsung dengan Kepala Bidang Keselamatan dan Kesehatan (BK2) PSTA BATAN Yogyakarta, banyak karyawan yang kurang memahami maksud dari pertanyaan pada kuesioner tersebut. Hal ini dikarenakan bahasa yang dicantumkan pada kuesioner memiliki bahasa yang kurang mudah dipahami. Permasalahan lain yaitu karyawan yang berusia muda dirasa masih
score 6 kurang memahami safety culture. Pada penelitian dari Yoo dan Lee (2015) dilihat dari kategori operating system, maka hasil yang ditampilkan jika dikategorikan berdasarkan usia adalah seperti pada Gambar 1.2. Gambar tersebut tidak menunjukkan tren yang jelas seperti semakin tua usia maka akan semakin baik kinerja pada kategori tersebut. 90 85 80 75 70 65 20s 30s 40s 50s 60s age Roles and responbilities Working conditions Information security Report & feedback Establishing a goal Education & training Evaluation of trustworthiness Emergency response exercise Gambar 1.2 Operating System Category by Age (Yoo dan Lee, 2015) Selain kuesioner mengenai safety culture yang dimiliki BATAN, Indonesia belum memiliki kuesioner sendiri di bidang nuklir terutama mengenai security culture. Oleh karena itu melihat dari kuesioner yang ada di BATAN masih memerlukan pengembangan, serta penelitian mengenai kuesioner dibidang nuklir yang masih kurang maka penelitian ini mencoba mengembangkan instrumen penelitian mengenai persepsi karyawan terhadap safety culture dan security culture pada bidang nuklir khususnya di Indonesia. Pengembangan ini diharapkan dapat menghasilkan kuesioner yang mudah dipahami serta mencakup safety dan security secara keseluruhan.
7 1.2 Rumuan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penilaian safety culture dan security culture pada bidang nuklir dengan mengambil studi kasus di PSTA BATAN Yogyakarta dengan mengembangkan sebuah instrumen pengukuran untuk memperoleh indikator yang berperan dalam penerapan safety dan security culture. 1.3 Asumsi dan Batasan Masalah Permasalahan yang akan diteliti memiliki asumsi bahwa kuesioner yang dihasilkan dapat digunakan untuk seluruh bidang nuklir di Indonesia. Selain itu, permasalahan yang akan diteliti memiliki batasan-batasan sebagai berikut: 1. Karyawan yang diteliti adalah karyawan yang sudah mengikuti diklat Proteksi Radiasi bagi Karyawan Baru. 2. Validasi yang dilakukan adalah validasi internal untuk kuesioner yang dihasilkan. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengembangkan instrumen pengukuran terhadap safety dan security culture menurut persepsi karyawan di bidang nuklir. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini adalah: 1. Memiliki alat ukur yang sesuai dengan safety culture maupun security culture yang dapat diterapkan pada bidang nuklir Indonesia. 2. Membantu pihak-pihak terkait dalam menerapkan safety culture maupun security culture yang ada di bidang nuklir.