HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN

BAB IV PENUTUP. Pada Bab IV ini peneliti akan menyajikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting berdampingan dengan sektor lainnya. Walaupun sektor

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Madura pada tahun 2012 mencapai ,71 km 2. Hutan tersebut

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS USAHA MODEL TUMPANGSARI PADA LAHAN PERHUTANI Studi Kasus Di RPH Cipondok BKPH Cibingbin KPH Kuningan

PELUANG PENINGKATAN PERANAN HUTAN PRODUKSI KPH RANDUBLATUNG TERHADAP PENINGKATAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik. generasi sekarang maupun yang akan datang.

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. A. Balai Pelaksana Teknis Bina Marga Wilayah Magelang

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun

PENELITIAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KEAMANAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH SEKITAR HUTAN DI JAWA TENGAH

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Responden yang diwawancarai dalam penelitian ini terdiri dari responden. petani, responden pedagang, dan industri pengolahan buah.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

LOKASI PENELITIAN. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI DI KOTA KEDIRI

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai

KELOMPOK TANI HUTAN (KTH) RIMBA MAS Tetap Hijau Dimusim Kemarau Oleh : Endang Dwi Hastuti

PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016

AN TERNAK D m. Oleh : Diana Rurp *)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan mahkluk hidup di bumi. Kekayaan alam bermanfaat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya.

PEMBAHASAN. I. Keadaan Umum Wilayah Penelitian. Secara Geografis Kabupaten Soppeng terletak antara 4 o 06 o LS dan 4 o 32 o

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.

BAB V GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

DEFINISI OPERASIONAL

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Provinsi Jawa Timur. Batas-batas wilayah Desa Banjarsari adalah: : Desa Purworejo, Kecamatan Pacitan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. bujur timur. Wilayahnya sangat strategis karena dilewati Jalur Pantai Utara yang

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Letak Geografis dan Topografi Daerah Penelitian

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

III. KEADAAN UMUM LOKASI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Pesawaran merupakan kabupaten baru yang dibentuk berdasarkan

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita

Tabel IV.C.3.1 Program, Alokasi dan Realisasi Anggaran Urusan Kehutanan Tahun No. Program Alokasi (Rp) Realisasi (Rp)

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.

BAB IV GAMBARAN UMUM

PROGRAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PHBM)

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN SLEMAN. Berdasarkan kondisi geografisnya wilayah Kabupaten Sleman terbentang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Pemerintah Daerah Kabupaten Pesawaran dibentuk berdasarkan Undang-undang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kabupaten Pati Keadaan Umum Kecamatan Pati

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan

Pengusahaan Tanaman Kedelai di Lahan Hutan Jati Wilayah Jawa Timur

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Jumat, 27 Juli Balai KPH Yogyakarta dibentuk berdasarkan Perda Nomor: 6 Tahun 2008 dan Pergub Nomor: 36 Tahun 2008.

: Yayasan Orangutan Sumatera - Orangutan Information Centre. LAPORAN TAHAPAN PELAKSANAAN STRATEGI PENYINGKIR HALANGAN Periode Juli 2009 Februari 2010

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang

BAB IV GAMBARAN UMUM

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN dengan pusat pemerintahan di Gedong Tataan. Berdasarkan

BAB II KONDISI DESA BELIK KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG. melakukan berbagai bidang termasuk bidang sosial.

I. DESKRIPSI KEGIATAN

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2013) Pringsewu merupakan Kabupaten

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. sekitar 4 Km dari Kabupaten Gunungkidul dan berjarak 43 km, dari ibu kota

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

Lampiran 1 : Pedoman Pengumpulan Data (Wawancara, FGD, dan Observasi Kajian Pengembangan Masyarakat).

PENDAHULUAN. Latar Belakang

Transkripsi:

144 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada tiga wilayah pengelolaan hutan Perum Perhutani Unit I Provinsi Jawa Tengah yaitu KPH Pekalongan Timur, KPH Kedu Selatan dan KPH Gundih. Lingkup penelitian difokuskan terhadap masyarakat sekitar hutan yang telah bekerjasama dengan Perhutani dalam program pengelolaan hutan bersama masyarakat dengan penekanan pada pemanfaatan sumberdaya hutan produksi. Kondisi Geografis dan Hutan di Provinsi Jawa Tengah Provinsi Jawa Tengah secara geografis terletak antara 108º 30-111º 30 Bujur Timur (termasuk Pulau Karimunjawa) dan antara 5º 40-8º 30 Lintang Selatan. Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah 263 Km dan dari Utara ke Selatan 226 Km (tidak termasuk Pulau Karimunjawa). Provinsi Jawa Tengah mempunyai ibu kota di Semarang, dan secara administratif terbagi menjadi 29 Kabupaten, 6 Kota, 565 Kecamatan, 7.804 desa dan 764 kelurahan. Luas wilayah Provinsi Jawa Tengah yaitu 3.254.412 ha atau sekitar 25,04 persen luas pulau Jawa dan sekitar 1,70 persen dari luas Indonesia. Berdasarkan data Stasiun Klimatologi Klas 1 Semarang, suhu udara rata-rata di Jawa Tengah berkisar antara 18 o C - 28 o C, dengan tempat-tempat dekat pantai mempunyai suhu udara rata-rata relatif lebih tinggi. Sementara itu, suhu rata-rata tanah berumput (kedalaman 5 cm), berkisar antara 17 o C - 35 o C. Rata-rata suhu air berkisar antara 21 o C sampai 28 o C. Sedangkan untuk kelembaban udara rata-rata bervariasi, dari 73 persen sampai 94 persen. Curah hujan terbanyak terdapat di Stasiun Meteorologi Pertanian khusus batas Salatiga sebanyak 3.990 mm, dengan hari hujan 195 hari (Pemda Jawa Tengah, 2009). Wilayah Provinsi Jawa Tengah berdasarkan data tahun 2006 mempunyai kawasan hutan seluas 19,62 persen dari luas daratan dan luas bukan kawasan hutan sebesar 80,38 persen (Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, 2007). Kondisi Wilayah Hutan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah

145 Perum Perhutani Unit I mempunyai wilayah hutan di Provinsi Jawa Tengah sebesar 647.504,19 ha dan wilayah hutan yang berada di Provinsi Jawa Timur sebesar 8.936,10 ha. Wilayah hutan Perum Perhutani Unit I di Provinsi Jawa Tengah meliputi hutan produksi sebesar 541.444,49 ha (83,62 persen), hutan lindung sebesar 94.397,77 (14,58 persen) dan hutan suaka alam dan hutan wisata sebesar 11.661,93 ha (1,80 persen). Komposisi luas hutan produksi pada Perum Perhutani Unit I pada sebaran kelas perusahaan berdasarkan kondisi tahun 2006 adalah sebagai berikut : Jati 297.915,53 ha (83 persen), Pinus 37.276,78 (10 persen), Damar 3.752,95 (1 persen), Mahoni 8.881,80 (2 persen), dan Payau 16.079,85 (4 persen). Berdasarkan aspek perencanaan hutan, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah terbagi ke dalam 20 wilayah Kesatuan Pemang-kuan Hutan (KPH), yaitu : KPH Pekalongan Barat, KPH Balapulang, KPH Pemalang, KPH Pekalongan Timur, KPH Kendal, KPH Semarang, KPH Telawa, KPH Gundih, KPH Purwodadi, KPH Randublatung, KPH Pati, KPH Mantingan, KPH Blora, KPH Cepu, KPH Surakarta, KPH Kedu Utara, KPH Kedu Selatan, KPH Banyumas Timur dan KPH Banyumas Barat (Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, 2007). Dalam rangka implementasi program PHBM maka proses-proses yang dilakukan untuk pelaksanaan PHBM di tingkat KPH meliputi sosialisasi program baik internal maupun eksternal, dialog multipihak, pembentukan LMDH, pembentukan forum komunikasi PHBM di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa, kemudian melakukan perjanjian kerjasama antara LMDH dengan KPH dan akhirnya menyusun rencana strategis tingkat organisasi LMDH. Luas dan Pembagian Wilayah Hutan pada Lokasi Penelitian Gambaran kondisi hutan berserta cakupan wilayah administratif dan wilayah pengelolaan hutan pada tiga lokasi penelitian ditampilkan pada Tabel 24. Dari tiga lokasi penelitian yaitu KPH Pekalongan Timur, KPH Kedu Selatan dan KPH Gundih luas hutan produksi dan hutan produksi terbatas mencakup 91 persen, sedangkan sisanya berupa hutan lindung. KPH Pekalongan Timur mempunyai luas hutan paling besar dan hampir dua kali luas hutan KPH Gundih. Berdasarkan wilayah pengelolaan hutan, KPH Gundih yang mempunyai luas hutan paling sempit dibagi ke dalam wilayah pengelolaan hutan paling banyak yaitu 10 BKPH.

146 Wilayah hutan KPH Kedu Selatan tersebar pada lima wilayah Kabupaten dan terbagi menjadi tujuh wilayah pengelolaan hutan berupa BKPH. Tabel 24. Luas pembagian wilayah hutan yang dikelola Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah pada lokasi penelitian pada Tahun 2007 Lokasi Penelitian (KPH) Luas Hutan Berdasarkan Kelas Perusahaan (Ha) Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Hutan Lindung Luas Wilayah Hutan KPH (Ha) Jumlah Wilayah Administratif (Kabupaten) Jumlah Wilayah Pengelolaan Hutan (BKPH) Pekalongan 3.619,30 42.338,80 6.833,30 52.791,40 3 7 Timur Kedu Selatan 7.543,45 32.446,10 4.732,33 44.721,88 5 7 Gundih 28.602,00 1.447,50-30.049,50 1 10 Jumlah 39.764,75 76.232,40 11.565,63 127.562,78 Sumber : Diolah dari Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (2007) Perkembangan Program PHBM pada Lokasi Penelitian Perkembangan program PHBM pada lokasi penelitian ditunjukkan dengan jumlah desa pinggir hutan, jumlah desa yang sudah mengikuti program PHBM, peserta PHBM, luas petak pangkuan hutan yang dikerjasamakan, dan realisasi pembagian sharing terhadap LMDH (Tabel 25). Dari tiga lokasi penelitian, jumlah desa pinggir hutan pada KPH Kedu Selatan paling banyak yaitu 262 desa, atau tujuh kali jumlah desa pinggir hutan di KPH Gundih dan dua kali dari desa hutan di KPH Pekalongan Timur. Seluruh desa hutan di KPH Gundih telah melakukan kerjasama mengelola hutan dengan Perhutani, ditandai dengan pembentukan LMDH di tiap desa hutan. Sedangkan baru 73 persen desa hutan di KPH Kedu Selatan dan 93 persen desa hutan di KPH Pekalongan Timur yang telah melakukan kerjasama pengelolaan hutan dengan Perhutani. Bila ditinjau dari luas petak pangkuan (luas hutan yang dikerjasamakan), tiga lokasi penelitian tidak begitu mencolok perbedaannya. Namun berdasarkan jumlah peserta program PHBM, terdapat perbedaan yang besar di mana jumlah KK peserta PHBM di KPH Kedu Selatan tercatat 12 kali lebih banyak dari jumlah KK peserta PHBM di KPH Pekalongan Timur dan KPH Gundih. Apabila dilihat dari jumlah pembagian hasil (sharing) yang dibagikan kepada LMDH pada tahun 2007, KPH Gundih menerima

147 paling sedikit yaitu seperlima dari sharing KPH Kedu Selatan dan sepertiga dari sharing KPH Pekalongan Timur. Lebih besarnya sharing di KPH Kedu Selatan dan Pekalongan Timur kemungkinan karena terdapat hasil hutan berupa kayu dan non kayu (getah pinus) yang dibagi dengan LMDH, sedangkan di KPH Gundih hanya berupa kayu. Tabel 25. Perkembangan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pada lokasi penelitian sampai Desember 2007 Lokasi Penelitian (KPH) Jumlah Desa Pinggir Hutan Jumlah Desa PHBM Jumlah LMDH Jumlah Peserta PHBM (KK) Luas Petak Pangkuan (Ha) Realisasi Pembagian Sharing Tahun 2007 (Rp) Pekalongan Timur 123 114 114 66.140 34.830,53 414.793.395 Kedu Selatan 262 192 192 762.722 31.925,30 851.273.366 Gundih 37 37 37 60.545 28.847,91 168.841.542 Sumber : Diolah dari Laporan Perkembangan PHBM Perum Perhutani Unit I Jawa, 2008 Program PHBM dari Perhutani didukung oleh beberapa Pemda Kabupaten yang ditunjukkan dengan pengalokasian dana APBD sebagai penunjang program PHBM. Dari tiga lokasi penelitian, ternyata tidak semua Pemda memberikan dukungan dana untuk program PHBM. Sejak tahun 2004 sampai tahun 2007, Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Pekalongan selalu mengalokasikan dananya pada wilayahnya masing-masing. Pada tahun 2007 tersedia anggaran untuk kegiatan PHBM dari Kabupaten Pemalang sebesar Rp 50.000.000,- dan dari Kabupaten Pekalongan sebesar Rp 38.460.000,-. Perkembangan usaha produktif yang telah dilakukan oleh kelompok-kelompok LMDH di Kabupaten Pekalongan diantaranya adalah pemanfaatan lahan di bawah tegakan (porang, durian, kopi, tanaman obat dan jengkol) oleh 18 kelompok, bidang peternakan (ternak sapi dan kambing) oleh empat kelompok, perikanan (ikan nila merah) oleh dua kelompok, bidang pertanian (pupuk bokashi) oleh dua kelompok, dan kerjasama tanaman sengon dan hutan rakyat oleh tujuh kelompok (KPH Pekalongan Timur, 2008). Sementara itu dukungan dana dari pihak Pemda di lingkungan KPH Kedu Selatan terhadap program PHBM sempat muncul pada tahun 2004 (2 Kabupaten), pada tahun 2006 (1 Kabupaten). Pada tahun 2007 ada satu Kabupaten yang

148 mengalokasikan anggaran untuk kegiatan PHBM di wilayahnya dengan dana sebesar Rp. 60.000.000,-. Perkembangan usaha produktif yang telah dilakukan oleh kelompok-kelompok LMDH meliputi bidang peternakan (kambing Ettawa) sebanyak empat kelompok, bidang industri (gula semut, anyaman bambu, krupuk singkong, batik tulis) sebanyak sembilan kelompok, perkebunan (carica, salak pondoh, cengkeh, kapulogo, kopi) sebanyak lima kelompok, dan bidang pertanian (persemaian) sebanyak enam kelompok (Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, 2008). Khusus KPH Gundih sendiri sampai tahun 2007 belum ada dukungan dana dari pihak Pemda yang terkait dengan pelaksanaan program PHBM. Perkembangan usaha-usaha produktif yang telah dilakukan oleh kelompok-kelompok LMDH di lingkungan KPH Gundih yaitu dalam bidang peternakan (kambing, sapi) ada empat kelompok, bidang pertanian (tanaman jahe, jarak pagar, porang) meliputi 18 kelompok, bidang industri (pembuatan emping garut, pembuatan tikar) meliputi dua kelompok, bidang pengelolaan wisata (Sendang Coyo, makam) meliputi dua kelompok, dan bidang perdagangan (bokashi/em4, pupuk kandang) meliputi dua kelompok (Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, 2008). Kondisi Potensi Sumberdaya Individu Petani Sumberdaya individu petani yang diukur dalam penelitian ini meliputi luas lahan garapan, pengalaman bertani, umur, pendapatan keluarga petani, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan formal, pelatihan kehutanaan, motivasi berkelompok dan keinovatifan dalam berusahatani (Tabel 26). 1. Lahan garapan petani, tanaman pokok dan tanaman pertanian. Lahan garapan bagi petani sekitar hutan masih merupakan tumpuan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Lahan yang dikelola oleh keluarga petani terdiri dari tiga macam, yaitu pertama lahan hutan yang dikelola petani untuk tanaman pangan dan biasa disebut andil tumpangsari. Istilah andil juga digunakan untuk lahan hutan produksi yang ditanami Pinus dan bisa disadap untuk diambil getahnya oleh petani penyadap (dinamakan andil sadapan Pinus). Andil tumpangsari merupakan lahan tanaman pokok / tanaman kehutanan sampai

149 umur tiga tahun, dan di sela-sela tanaman kehutanan bisa dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan. Andil sadapan yaitu lahan tegakan Pinus yang sudah bisa dimanfaatkan getahnya dengan cara disadap oleh petani secara rutin. Tabel 26. Kondisi potensi sumberdaya individu petani sampel (X1) pada KPH Pekalongan Timur (A), KPH Kedu Selatan (B) dan KPH Gundih (C) Skor rataan * Rataan Kode Nama Indikator terbobot ¹ KPH A (n=136) KPH B (n=136) KPH C (n=136) (n=408) X 1.1 Luas lahan garapan total (ha) 1,53 1,25 0,92 1,25 a. Lahan andil tumpangsari / 0,80 0,50 0,53 0,52 sadapan b. Lahan di bawah tegakan 0,21 0,36 0,10 0,33 c. Lahan sendiri / sewa 0,52 0,40 0,28 0,40 X 1.2 Pengalaman berusaha tani (th) 18 a 21 a 23 b 21 a. Pengalaman berusahatani 9 a 9 a 13 b 9 pada lahan hutan (th) X 1.3 Umur (th) 38 a 43 b 44 b 43 X 1.4 Pendapatan keluarga (Rp/bulan) 1.095.071 1.052.555 1.137.868 1.061.077 a. Pendapatan dari hutan 807.166 c 245.103 a 709.215 b 313.515 (Rp/bulan) b. Rasio pendapatan dari hutan 74 c 23 a 62 b 29 terhadap pendapatan keluarga (%) X 1.5 Jumlah tanggungan keluarga 4-5 3-4 3-4 3-4 (orang) X 1.6 Pendidikan formal (%): SD SLTP >SLTA 84 15 1 73 17 10 81 13 7 79 15 6 X 1.7 Pendidikan non formal (%) ² -jarang -sedang -sering 96 4 0 X 1.8 Motivasi berkelompok ³ 70 a 76 b 72 a 75 (sedang) X 1.9 Keinovatifan ³ 51 a 69 b 47 a 66 (rendah) Keterangan : * Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (T-test) ¹ Bobot sampel : KPH A : KPH B :: KPH C = 1 : 13 : 1 ² Keterangan = 1-3 kali (jarang); 4-6 kali (sedang); 7-10 kali (sering) ³ Kategori : Rendah = 0 66,9; Sedang = 67,0 82,9; Tinggi = 83,0-100 Kadang-kadang di bawah tegakan Pinus bisa dimanfaatkan dengan tanaman di bawah naungan, misalnya kopi, rumput pakan ternak, dan lain-lain. Lahan 75 16 9 95 4 1 88 8 3

150 petani jenis kedua yaitu lahan di bawah tegakan, yang di atasnya sudah ada tanaman hutan yang tidak produktif atau sangat jarang. Lahan ini juga bisa dimanfaatkan petani untuk budidaya berbagai jenis tanaman pangan. Lahan petani jenis ketiga yaitu lahan di luar kawasan hutan, yang bisa berupa lahan sendiri atau lahan sewa. Rata-rata luas lahan yang dikelola satu keluarga petani adalah 1,25 ha di mana dua per tiganya berupa lahan hutan dan hanya sepertiganya lahan sendiri/sewa. Fakta lebih besarnya porsi lahan hutan yang dikelola oleh petani dibandingkan lahan miliknya, menunjukkan pentingnya peran lahan hutan dalam menyumbang pemenuhan kebutuhan petani. Dari tiga lokasi penelitian, terlihat bahwa lahan yang dikelola petani di KPH Gundih paling sempit, yaitu setengah lebih sedikit dari lahan yang dikelola petani KPH Pekalongan Timur (Tabel 26). Tanaman pokok (tanaman kehutanan) yang tumbuh pada lahan andil para petani di daerah penelitian yaitu KPH Pekalongan Timur adalah tanaman pinus, KPH Kedu Selatan dari yang paling dominan yaitu pinus, akasia mangium, jati dan mahoni, sedangkan untuk KPH Gundih kebanyakan jati dan sebagian kecil mahoni. Tanaman pokok pada lokasi penelitian meliputi hampir sebagian tanaman pinus, lebih dari sepertiga tanaman jati dan sisanya akasia mangium dan mahoni (Tabel 27). Tabel 27. Sebaran tanaman pokok pada lahan andil yang dikelola petani sampel Jenis Tanaman Pokok Lokasi Penelitian (KPH) Persen Total Pekalongan Kedu Gundi (%) (orang) Timur Selatan h Pinus 136 64 0 200 49 Jati 0 26 119 145 36 Mahoni 0 6 17 23 6 Akasia mangium 0 40 0 40 10 Total 136 136 136 408 100 Jenis-jenis tanaman pertanian yang dibudidayakan oleh petani hutan pada lahan andil cukup beragam dan terlihat adanya asosiasi antara jenis tanaman dengan lokasi penelitian (Tabel 28). Kondisi lapangan KPH Pekalongan Timur berupa pegunungan dengan tanaman pokok pinus, petani membudidayakan kopi dan

151 teh, rumput gajah dan ketela karet untuk pakan ternak, serta pisang dan pepaya di tepi andil dan sungai. Sebagian besar responden di KPH Pekalongan Timur adalah petani sadap (penyadap), dengan andil berupa petak tanaman Pinus yang dimanfaatkan getahnya. Tanaman lain yang tumbuh di tepi-tepi sungai atau jurang dan dimanfaatkan petani misalnya jengkol, pucung, aren, dan lain-lain. Lokasi Purworejo dengan tanaman pokok pinus di pegunungan, dan BKPH Gombong Selatan dengan tanaman pokok akasia dan jati. Para petani di KPH Purworejo menanam ketela/ubi, jagung, dan kapulogo. Petani LMDH Rimba Lestari pada wilayah KPH Purworejo juga menanam nilam untuk disuling minyaknya, serta rumput gajah untuk pakan ternak. Di wilayah BKPH Gombong Selatan, para petani menanam jagung, ketela/ubi, padi dan kacang tanah. Kondisi di KPH Gundih agak berbeda, di mana tanaman pokok yang dominan adalah jati. Petani sebagian besar menanam jagung pada lahan tumpang sari, dan sebagian kecil menanam ketela/ubi. Petani juga menanam pisang yang tumbuh baik pada tepi-tepi sungai kecil. Tabel 28. Hasil tabulasi jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan petani hutan pada lahan andil Jenis-jenis tanaman yang KPH (orang) Persen Total dibudidayakan pada lahan andil Pekalongan Kedu (%) (orang) Timur Selatan Gundih jagung 0 38 135 173 42 ketela&ubi 2 66 16 84 21 padi 0 34 1 35 9 pisang&pepaya 52 19 69 140 34 kapulogo/lengkuas 1 38 0 39 10 jahe,cabe,kacang tanah,kemukus(lada hitam) 0 25 0 25 6 kopi,teh,nilam 89 19 0 108 26 rumput gajah,ketela karet 72 11 9 92 23 jengkol, pucung, petai, salam, durian, cengkeh, aren, melinjo, sedayu 39 4 0 43 11 Total 136 136 136 408 100 2. Pengalaman berusaha tani. Pengalaman berusaha tani responden dibagi menjadi pengalaman berusaha tani pada lahan hutan dan pengalaman bertani pada lahan sendiri atau di luar lahan hutan. Hasil survei lapangan Tabel 26 menunjukkan bahwa rata-rata responden telah mempunyai pengalaman bertani

152 selama 21 tahun dan setengah dari waktu tersebut merupakan pengalaman berusaha tani pada lahan hutan. Dengan kata lain, responden mempunyai pengalaman bertani pada lahan miliknya dahulu baru kemudian berusaha tani pada lahan hutan. Pengalaman bertani responden di KPH Gundih relatif lebih lama dan berbeda nyata dengan pengalaman bertani responden pada dua lokasi lainnya. 3. Umur. Umur responden pada tiga lokasi penelitian masih termasuk usia produktif, yaitu rata-rata 43 tahun di mana petani di KPH Pekalongan Timur relatif lebih muda dan berbeda nyata dibandingkan dua lokasi lainnya (Tabel 26). Apabila dilihat dari sebaran umur maksimal, ternyata petani hutan pada tiga lokasi penelitian ada yang berusia di atas 70 tahun, yaitu petani hutan KPH Kedu Selatan 79 tahun, KPH Pekalongan Timur 74 tahun dan KPH Gundih 70 tahun. Sedangkan umur minimal responden ternyata masih ada yang sangat muda yaitu 17 tahun (petani KPH Pekalongan Timur), umur 20 tahun (petani KPH Kedu Selatan) dan 22 tahun (petani KPH Gundih). 4. Pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga mencerminkan pemenuhan terhadap kebutuhan fisik berupa sandang, pangan dan tempat tinggal keluarga petani. Pendapatan keluarga petani dibedakan menjadi dua macam, yaitu total pendapatan rata-rata keluarga petani per bulan, dan pendapatan rata-rata per bulan yang diperoleh keluarga petani dari mengelola lahan hutan. Tabel 26 menunjukkan bahwa pendapatan keluarga petani sampel relatif sama, dengan rata-rata sebesar Rp 1.061.077,-/bulan. Sepertiga pendapatan keluarga petani berasal dari mengelola lahan hutan. Pendapatan mengelola hutan yang utama berasal dari tanaman pangan pada lahan andil tumpangsari, bagi para penyadap berasal dari pembagian hasil sadapan getah pinus, dan tanaman lain yang tumbuh pada lahan hutan seperti kopi, pisang, kayu bakar, rumput pakan ternak dan lain-lain. Bagi petani KPH Pekalongan Timur, proporsi pendapatan keluarga dari hutan mencakup hampir tiga perempat dari pendapatan total keluarga tani. Hal ini berarti bahwa sebagian besar pendapatan keluarga petani responden di KPH Pekalongan Timur berasal dari mengelola sumberdaya hutan, terutama berasal dari sadapan getah pinus. Bagi petani di KPH Gundih, pendapatan dari hutan mencakup lebih dari setengah pendapatan total keluarga

153 petani per bulan. Pendapatan sebesar itu kebanyakan berasal dari panen jagung di lahan andil tumpangsari, dan panen pisang dari tepi-tepi sungai pada lahan andil mereka. Sebaliknya pendapatan dari hutan bagi petani KPH Kedu Selatan termasuk paling sedikit, seperempat dari pendapatan total keluarga petani. Petani KPH Kedu Selatan yang berasal dari BKPH Gombong Selatan, mempunyai lahan andil tumpang sari yang sempit (hanya sekitar 0.3 ha), tandus dan berupa pegunungan berbatu kapur. Proporsi besarnya pendapatan petani dari hutan pada tiga lokasi penelitian berbeda secara nyata. Kontribusi pendapatan keluarga petani dari mengelola sumberdaya hutan dalam penelitian ini terlihat relatif lebih tinggi dibandingkan hasil kajian Kartasubrata et al. (1995) pada program Perhutanan Sosial yang dilakukan Perhutani di Jawa. Program tersebut dimaksudkan untuk membantu petani miskin dengan penyediaan lahan untuk diolah, memberikan kontribusi pendapatan sebesar kurang dari 20 persen dari pendapatan total keluarga petani. Bagi petani yang mendapat lahan andil kurang dari 0,25 ha memperoleh pendapatan jauh berkurang dari 20 persen tersebut. Lebih tingginya porsi pen-dapatan petani pada saat ini terutama diakibatkan lebih luasnya kesempatan bagi petani dalam memanfkan sumberdaya hutan, misalnya adanya kesempatan mengolah lahan di bawah tegakan selain lahan untuk tumpangsari (rata-rata per keluarga petani 0,33 ha). Selain itu adanya bermacam-macam tanaman pangan yang bisa dimanfaatkan petani dari lahan andil dan lahan di bawah tegakan. 5. Jumlah tanggungan keluarga. Jumlah tanggungan keluarga merupakan jumlah jiwa yang menjadi anggota keluarga petani, yang mencerminkan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi oleh kepala keluarga. Secara keseluruhan rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani yaitu tiga sampai empat orang, sehingga dalam satu keluarga petani berjumlah empat sampai lima orang. Jumlah tanggungan keluarga petani paling banyak di KPH Pekalongan Timur yaitu empat sampai lima orang, sehingga satu keluarga petani berjumlah lima sampai enam orang. Jumlah tanggungan keluarga petani di KPH Pekalongan Timur berbeda nyata dengan dua lokasi lainnya (Tabel 26). 6. Pendidikan formal. Pendidikan yang ditempuh melalui sekolah mencerminkan wawasan dan pengetahuan yang dimiliki petani. Pendidikan formal yang

154 ditempuh petani sampel pada tiga lokasi penelitian secara umum relatif sama di mana lebih dari tiga perempatnya berpendidikan sampai tingkat SD. Petani sampel KPH Kedu Selatan menempuh pendidikan formal relatif lebih tinggi dibandingkan dua lokasi lainnya, di mana hampir seperlimanya berpendidikan sampai SLTP dan seper-sepuluhnya berpendidikan SLTA ke atas. Petani KPH Pekalongan Timur memiliki pendidikan formal yang paling rendah dibandingkan dua lokasi lainnya (Tabel 26). 7. Pendidikan non formal. Pendidikan non formal atau pelatihan dalam bidang kehutanan yang pernah diikuti oleh petani sampel berhubungan dengan kemampuan mereka dalam mengelola sumberdaya hutan. Sebagian besar atau 88 persen petani sampel belum / tidak pernah mengikuti pelatihan dalam bidang kehutanan. Petani sampel KPH Kedu Selatan relatif lebih banyak mengikuti pelatihan dalam bidang kehutanan. Sedangkan petani di dua lokasi lainnya hampir semuanya jarang mengikuti pelatihan (Tabel 26). Temuan informasi lapangan menunjukkan bahwa kelompok tani belum mendapatkan program secara khusus untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan bidang kehutanan. Beberapa pelatihan yang pernah diikuti petani, biasanya terdapat pada kelompok tani / LMDH yang lebih maju. Para petani kadangkadang mendapatkan pelatihan persemaian atau usaha kehutanan lainnya. Petani yang terlibat dalam kegiatan tumpangsari biasanya mendapatkan pengarahan tentang pelaksanaan kegiatan kehutanan dari Mandor Perhutani sebagai petugas lapangan. 8. Motivasi berkelompok. Motivasi berkelompok adalah seberapa kuat alasan yang mendorong petani hutan untuk bergabung dalam kelompok untuk pemenuhan kebutuhan fisikal, sosial, dan ekonomi keluarganya. Tabel 26 menunjukkan bahwa motivasi petani bergabung dalam kelompok tabi hutan untuk mengelola sumberdaya hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarganya termasuk kategori sedang dengan skor 75. Motivasi berkelompok petani sampel di KPH Kedu Selatan paling tinggi dan berbeda nyata dengan motivasi berkelompok pada dua lokasi lainnya. Hasil temuan di lapangan menunjukkan motivasi untuk memenuhi kebutuhan fisik terutama mendapatkan lahan yang bisa diolah untuk tanaman pangan merupakan alasan paling

155 dominan. Temuan ini menguatkan hasil penelitian TPKHR (2006), bahwa sebagian besar akses yang diperjuangkan petani untuk program PHBM sebagian besar untuk mendapatkan lahan garapan, dan hanya sedikit masyarakat yang menginginkan manfaat ekonomi dalam arti luas. Padahal program PHBM tidak hanya terbatas kerjasama atau akses terhadap lahan garapan, tetapi manfaat ekonomi secara luas dari pengelolaan hutan. 9. Keinovatifan. Keinovatifan merupakan upaya-upaya yang dilakukan petani untuk mencari dan mengembangkan hal-hal baru dalam pengelolaan usaha taninya. Keinovatifan petani diukur melalui persepsi subyektif petani mengenai apa yang telah dilakukannya untuk mencari dan mencoba hal-hal yang baru dalam berusahatani. Tabel 26 menunjukkan bahwa secara umum keinovatifan petani dalam berusahatani termasuk rendah dengan skor rataan 66. Namun demikian keinovatifan petani KPH Kedu Selatan termasuk sedang, dan berbeda secara nyata dengan keinovatifan petani pada dua lokasi penelitian lainnya. Berikut ini ilustrasi keinovatifan petani di wilayah KPH Kedu Selatan. Para petani anggota LMDH Rimba Lestari di desa Burat, kecamatan Kepil, Wonosobo yang masuk BKPH Purworejo, mereka mengem-bangkan tanaman nilam yang daunnya bisa disuling dan menghasilkan minyak nilam dengan harga tinggi. Kelompok tani wanitanya mengelola usaha pengadaan bibit tanaman berkayu seperti sengon, kemiri, dan lain-lain. Sementara itu kelompok tani wanita anggota LMDH Sedyo Rahayu di desa Sedayu, kecamatan Loano, BKPH Purworejo mengembangkan tanaman kapulogo yang tumbuh di bawah tegakan Pinus. Kapulogo merupakan salah satu jenis empon-empon yang laku dijual untuk bahan obat-obatan tradisional. Kelompok tani LMDH Simbar Aji di desa Sendang, Kecamatan Buayan, Gombong bagian selatan mengembangkan cara bertani pada daerah pegunungan yang berbatu-batu, dengan cara membuat terasering dan memasang kaleng-kaleng yang berisi air dan bagian bawahnya diberi lubang kecil untuk tiap tanaman seperti petai, mangga, nangka dan lain-lain. Para petani mengatakan tanaman itu diinfus sehingga bisa bertahan pada musim kemarau. Kondisi Ketepatan Proses Pemberdayaan

156 Ketepatan proses pemberdayaan termasuk kategori rendah dengan skor rataan 26. Fakta dari lapangan menunjukkan bahwa ketepatan proses pemberdayaan menurut persepsi petani di KPH Kedu Selatan relatif lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kondisi pada KPH Pekalongan Timur dan KPH Gundih (Tabel 29). Ketepatan proses pemberdayaan meliputi : (a) sejauhmana keterlibatan masyarakat dalam penetapan tujuan dan perencanaan program (inisiatif program); (b) bagaimana materi, penyampaian informasi, dan saluran komunikasi untuk penyadaran program; (c) proses pembentukan lembaga masyarakat; (d) proses penentuan hak dan kewajiban pihak yang bekerjasama (Perhutani dan LMDH); (e) proses penentuan pemanfaatan ruang kelola lahan dan sumberdaya hutan; dan (f) proses penentuan bagi hasil (sharing) antara Perhutani dengan LMDH. Tabel 29. Kondisi ketepatan proses pemberdayaan (X2) pada KPH Pekalongan Timur (A), KPH Kedu Selatan (B) dan KPH Gundih (C) Skor rataan Rataan Kode Nama Indikator KPH A KPH B KPH C terbobot ¹ (n=136) (n=136) (n=136) (n=408) X 2.1 Inisiatif program 21 26 21 25 (rendah) X 2.2 Penyadaran / sosialisasi 26 25 29 25 (rendah) X 2.3 Pembentukan lembaga masyarakat 25 28 21 27 (rendah) X 2.4 Penentuan hak dan kewajiban para pihak 17 25 18 24 (rendah) X 2.5 Pemanfaatan ruang kelola 37 36 29 36 (rendah) X 2.6 Penentuan bagi hasil 19 23 15 22 (rendah) Skor Rataan per KPH ² 24 a 27 b 22 a 26 (rendah) Keterangan : ¹ Kategori = Rendah (0 66,9); Sedang (67,0 82,9); Tinggi (83,0 100) Bobot sampel : KPH A : KPH B :: KPH C = 1 : 13 : 1 ² Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (Uji perbedaan nilai rataan t-test) Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan berinteraksi dengan kelompok di lapangan, kondisi rendahnya ketepatan proses pemberdayaan tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut : 1) Inisisiatif untuk memperkenalkan program PHBM kepada kelompok tani kebanyakan dimulai oleh petugas Perhutani. Demikian pula tujuan program

157 telah ditentukan oleh Perhutani. Kebanyakan kelompok tani tinggal menerima saja program yang ditawarkan tersebut. Jarang dijumpai inisiatif masyarakat untuk turut mengelola hutan negara. Salah satu kelompok yang terlihat mempunyai inisiatif untuk turut mengelola sumberdaya hutan di sekitar desanya yaitu LMDH Rimba Lestari di desa Burat, kecamatan Kepil, Wonosobo. Ketua LMDH saat itu terlihat cukup aktif, sehingga mencari upaya-upaya agar masyarakat bisa memanfaatkan sumberdaya hutan di sekitarnya secara legal dan halal atau tidak dituduh mencuri dari hutan negara. Sehingga dia mencari informasi tentang kemungkinan masyarakat bisa mendapat peluang itu. Gayung bersambut karena pak Mantri Perhutani setempat akhirnya memperkenalkan program PHBM kepada masyarakat desa Kepil, sehingga akhirnya terbentuk LMDH Rimba Lestari. 2) Proses penyadaran tentang makna program dalam bentuk sosialisasi kebanyakan berupa ceramah oleh petugas Perhutani di hadapan kelompok tani, dengan materi yang dominan seputar aspek teknis pengelolaan hutan. Sosialisasi program sering dilakukan di kantor desa setempat oleh petugas dari Perhutani. Sosialisasi yang dilakukan oleh para tokoh petani melalui kelompok tani termasuk jarang dilakukan. Sumber-sumber informasi tentang program yang disampaikan selalu berasal dari petugas / kantor Perhutani setempat dan jarang yang berasal dari kelompok tani. 3) Pembentukan lembaga masyarakat berupa LMDH kebanyakan dibentuk oleh petugas Perhutani untuk keperluan program PHBM. Jarang ditemui adanya LMDH yang dibentuk dari kelompok sosial ekonomi yang telah berada di desa. Sedangkan kelompok-kelompok tani hutan dahulunya dibentuk karena ada program tumpangsari maupun program perhutanan sosial. Pengurus LMDH pada awal pembentukannya kebanyakan ditunjuk oleh pejabat di desa dan petugas lapangan Perhutani. Beberapa LMDH telah melakukan regenerasi kepengurusan melalui proses musyawarah anggota. Dengan kondisi demikian, kebanyakan petani merasa bahwa LMDH mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari Perhutani.

158 4) Penentuan hak dan kewajiban LMDH dan Perhutani dalam perjanjian kerjasama mengelola sumberdaya hutan di dalam wilayah desa, telah dirancang oleh Perhutani. LMDH tinggal menerima saja hak dan kewajiban yang sudah disusun tersebut. Dalam kondisi seperti ini maka pihak yang dominan menentukan hak dan kewajiban dalam perjanjian kerjasama tersebut adalah Perhutani. 5) Pemanfaatan ruang kelola sumberdaya hutan yang berupa penentuan petak tanaman yang akan menjadi andil, jenis tanaman pokok yang akan ditanam pada andil, jarak tanaman pokok, dan pola penanaman tanaman pokok, serta ketentuan pemanfaatan ruang di bawah tegakan semuanya ditentukan oleh pihak Perhutani. Ada sedikit ruang bagi petani untuk menentukan budidaya tanaman pangan yang akan diusahakan dengan jenis-jenis tanaman tertentu yang diperkenankan pihak Perhutani. 6) Proporsi penentuan bagi hasil (sharing) hasil hutan kayu untuk LMDH sudah ditentukan oleh pihak Perhutani, sehingga LMDH tinggal menerima bagi hasil tersebut. Misalnya untuk porsi bagi hasil kayu pada akhir daur yang diterima LMDH sebesar 25 persen (apabila kerjasama dimulai dari penanaman tanaman pokok) dan Perhutani sebesar 75 persen. Selanjutnya pemanfaatan hasil sharing yang diterima LMDH kebanyakan ditentukan oleh para pengurus LMDH, dan kurang melibatkan para petani sebagai anggota kelompok tani hutan. Kondisi Peran SDM Pemberdaya Peran sumberdaya manusia pemberdaya secara keseluruhan termasuk dalam kategori rendah dengan skor rataan 62, dan terdapat perbedaan kondisi secara nyata di antara tiga lokasi penelitian. Peran sumberdaya manusia pemberdaya pada KPH Kedu Selatan relatif lebih tinggi disusul KPH Gundih dan paling rendah kondisi di KPH Pekalongan Timur (Tabel 30). Sumberdaya manusia (SDM) pemberdayaan dalam penelitian ini adalah petugas Mandor Perhutani yang dalam kegiatan sehariharinya mendampingi dan berinteraksi langsung dengan petani hutan dalam kegiatan pengelolaan sumbedaya hutan bersama masyarakat. Menurut persepsi

159 petani, Mandor adalah petugas Perhutani yang paling dekat dengan petani dalam mendampingi berbagai kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan. Tabel 30. Kondisi peran sumberdaya manusia pemberdaya (X3) pada KPH Pekalongan Timur (A), KPH Kedu Selatan (B) dan KPH Gundih (C) Skor rataan Rataan Kode Nama Indikator KPH A KPH B KPH C terbobot ¹ (n=136) (n=136) (n=136) (n=408) X 3.1 Mengembangkan partisipasi petani 36 78 52 73 (sedang) X 3.2 Pemecahan masalah dan pembelajaran petani 36 68 47 64 (rendah) X 3.3 Mengorganisasikan petani 54 78 70 76 (sedang) X 3.4 Membangun jaringan 27 48 16 44 (rendah) X 3.5 Mencari peluang pasar 17 43 16 39 (rendah) X 3.6 Membangun komunikasi 43 68 56 66 (rendah) X 3.7 Kesetaraan status sosial dengan petani 48 71 61 69 (sedang) Skor Rataan per KPH ² 37 a 65 c 47 b 62 (rendah) Keterangan : ¹ Kategori = Rendah (0 66,9); Sedang (67,0 82,9); Tinggi (83,0 100) Bobot sampel : KPH A : KPH B :: KPH C = 1 : 13 : 1 ² Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (Uji perbedaan nilai rataan t-test) Peran Mandor sebagai pendamping kelompok meliputi sejauhmana kemampuan Mandor dalam : (a) mengembangkan partisipasi petani; (b) memecahkan permasalahan petani dan mendorong pembelajaran petani; (c) mengorganisasikan petani; (d) membangun jaringan yang terkait dengan program PHBM dan mendorong kelompok untuk menjalin hubungan dengan berbagai pihak terkait itu; (e) mencari peluang pasar hasil usahatani kelompok; (f) membangun komunikasi dengan petani dan kelompok tani; dan (g) menjaga kesetaraan status sosialnya dengan petani. Beberapa peran Mandor berada pada kondisi yang relatif lebih baik atau termasuk kategori sedang yaitu mengembangkan partisipasi petani, mengorganisasikan petani dan kesetaraan status sosialnya dengan petani (Tabel 30). Peran Mandor dalam mengembangkan partisipasi petani termasuk sedang terutama pada KPH Kedu Selatan. Hal ini berarti bahwa Mandor sering mendorong petani mengikuti sosialisasi program, sering membantu kelompok dalam berbagai

160 kegiatan, sering bermusyawarah tentang kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki petani. Mandor juga mampu membuat petani bersemangat ikut kegiatan program. Kemampuan Mandor dalam mengorganisasikan petani juga berada dalam kategori sedang, terutama pada KPH Kedu Selatan dan KPH Gundih. Kemampuan mengorganisasikan petani pada kategori sedang berarti bahwa Mandor mampu bergaul dengan baik dengan para petani dan tokoh kelompok tani. Mandor juga sering membantu pengembangan berbagai kegiatan kelompok tani. Kesetaraan status sosial mandor dengan petani berada pada kategori sedang, terutama pada KPH Kedu Selatan. Kondisi demikian berarti dalam pandangan petani, kedudukan Mandor sejajar dengan petani sebagai anggota kelompok. Dengan kata lain jarak status sosial Mandor dengan petani dirasakan tidak terlalu jauh atau di atas. Sehingga Mandor bisa diterima dengan baik bila berada di antara petani. Selanjutnya sumberdaya manusia pemberdaya atau Mandor ini disebut juga sebagai tenaga pendamping kelompok tani hutan. Dari seluruh indikator yang diukur, secara umum peran Mandor sebagai pendamping kelompok tani hutan termasuk kategori rendah. Rendahnya kondisi peran Mandor sebagai tenaga pendamping kelompok tani hutan tersebut, berdasarkan hasil analisis data dan keterlibatan peneliti berinteraksi dengan kelompok di lapangan dijelaskan sebagai berikut : 1) Kemampuan pendamping dalam mengembangkan partisipasi petani terutama di KPH Pekalongan Timur dan KPH Gundih umumnya masih termasuk rendah. Dalam sosialisasi program, pendamping sudah mengajak petani melalui kelompok untuk berperan serta. Namun pendamping jarang berdiskusi dengan petani tentang kebutuhan yang dirasakan petani dan kemampuan yang dimiliki petani untuk mengoptimalkan manfaat sumberdaya hutan. Sehingga pendamping belum mampu membuat petani bersemangat melakukan kegiatan pengembangan program. Sebagai ilustrasi kemampuan pendamping yang lebih baik dari KPH Kedu Selatan, terutama pendamping pada LMDH Sedyo Rahayu di desa Sedayu, kecamatan Loano, Purworejo mampu membangkitkan partisipasi wanita tani sehingga terbentuk kelompok tani wanita dengan aktivitas antara lain budidaya dan pemanfaatan tanaman empon-empon di

161 bawah tegakan Pinus yaitu kapulogo yang bisa menambah penghasilan keluarga. 2) Pendamping dari KPH Pekalongan Timur dan KPH Gundih juga termasuk rendah kemampuannya dalam mengenali kebutuhan dan masalah petani dan mendorong pembelajaran petani. Pendamping masih sebatas memberi informasi umum tentang manfaat hutan dari sisi perlindungan alam. Namun pendamping kurang menyadarkan petani tentang potensi pengembangan tanaman bernilai tinggi di bawah tegakan hutan yang bisa menambah penghasilan petani. Pendamping dari KPH Kedu Selatan misalnya dari KRPH Gebang yang mendampingi LMDH Rimba Lestari memberikan informasi tentang tanaman nilam yang bisa disuling menghasilkan minyak nilam. Sehingga petani menyadari adanya peluang usahatani untuk menambah penghasilannya. 3) Kemampuan pendamping dalam mengembangkan kelompok tani secara umum termasuk kategori sedang. Pendamping mampu bergaul dengan baik di antara para petani maupun para tokoh kelompok tani di desa hutan. Pendamping juga turut membantu mengembangkan berbagai kegiatan kelompok atau LMDH. Pengamatan lapangan menunjukkan kedekatan hubungan emosional antara petani dengan Mandor. Sebagian Mandor di KPH Gundih dibuatkan rumah sederhana untuk bertempat tinggal di tepi-tepi hutan dekat dengan perkampungan masyarakat desa hutan. 4) Kemampuan pendamping dalam membangun jaringan masih rendah. Pendamping jarang membina hubungan dengan berbagai pihak secara intensif. Pendamping jarang memberitahu kelompok tentang informasi berbagai pihak yang terkait dengan program PHBM, misalnya adanya forum komunikasi PHBM di kelurahan / kecamatan dan balai informasi tentang penyuluhan. Pendamping hampir tidak pernah mendorong kelompok untuk aktif menjalin hubungan kerja dengan pihak luar yang bisa membantu mengembangkan program. Kemampuan pendamping di KPH Kedu Selatan relatif lebih baik, misalnya Mandor PHBM di BKPH Gombong Selatan turut mengembangkan jaringan kerja dengan perusahaan swasta yang akan menampung produksi buah jarak pagar dari kelompok di LMDH Simbar Aji, Kec. Buayan, Kebumen.

162 Sehingga petani anggota kelompok banyak menanam jarak pagar pada lahan andilnya. 5) Kemampuan pendamping dalam mencari peluang pasar dari hasil-hasil budidaya kelompok secara umum termasuk rendah. Pendamping hampir tidak pernah menyampaikan informasi kemungkinan pemasaran hasil usahatani kelompok. Hampir tidak pernah ada upaya pendamping mempertemukan kelompok dengan calon pembeli hasil usahatani petani anggota kelompok. Para petani langsung berhubungan dengan pembeli hasil usahataninya, misalnya kopi dari bawah tegakan Pinus di LMDH Wono Bulu Bekti, Kecamatan Lebakbarang, Pekalongan; jagung dan pisang dari andil tumpang sari di KPH Gundih. Salah satu jenis tanaman di bawah tegakan juga ditemukan tokoh kelompok tani LMDH Wana Lestari, BKPH Juoro yaitu tumbuhan porang. Sang tokoh kelompok sendiri yang menjalin hubungan dengan salah satu LMDH di Nganjuk untuk menampung hasil budidaya porang yang baru mau uji coba penanaman musim hujan tahun 2008. Tanaman porang mempunyai nilai jual sampai diekspor. 6) Dalam menjalankan perannya membangun komunikasi, kemampuan pendamping secara umum masih rendah. Pendamping jarang yang menyediakan informasi secara memadai tentang berbagai aspek program PHBM yang diperlukan kelompok tani. Namun para pendamping kadang-kadang mampu menjelaskan berbagai informasi program kepada petani dan kelompok tani. Kondisi Keefektifan Kepemimpinan Kelompok Keefektifan kepemimpinan kelompok termasuk dalam kategori rendah dengan skor rataan 62. Rendahnya keefektifan kepemimpinan kelompok ini disebabkan oleh kurang optimalnya peran kepemimpinan kelompok tani hutan, kurang optimalnya perilaku kepemimpinan dan lemahnya gaya kepemimpinan dalam kelompok. Terdapat perbedaan yang nyata kondisi keefektifan kepemimpinan kelompok pada tiga lokasi penelitian, di mana KPH Kedu Selatan termasuk relatif paling tinggi, disusul KPH Gundih dan paling rendah KPH Pekalongan Timur (Tabel 31).

163 Tabel 31. Kondisi keefektifan kepemimpinan kelompok (X4) pada KPH Pekalongan Timur (A), KPH Kedu Selatan (B) dan KPH Gundih (C) Kode Nama Indikator KPH A (n=136) Skor rataan KPH B (n=136) KPH C (n=136) Rataan terbobot ¹ (n=408) X 4.1 Peran pemimpin kelompok 37 62 36 59 (rendah) X 4.2 Perilaku kepemimpinan 55 66 62 65 (rendah) X 4.3 Gaya kepemimpinan 54 65 59 64 (rendah) Skor Rataan per KPH ² 49 a 64 c 52 b 62 (rendah) Keterangan : ¹ Kategori = Rendah (0 66,9); Sedang (67,0 82,9); Tinggi (83,0 100) Bobot sampel : KPH A : KPH B :: KPH C = 1 : 13 : 1 ² Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (Uji perbedaan nilai rataan t-test) Menurut persepsi petani, kepemimpinan kelompok yang paling berpengaruh terhadap kehidupan mereka adalah pemimpin kelompok pada tingkat Kelompok Tani Hutan (KTH). Ada pemimpin kelompok pada tingkat LMDH di desa, namun kebanyakan petani kurang merasakan kepemimpinan pada tingkat LMDH. Oleh karena itu dalam penelitian ini keefektifan kepemimpinan kelompok merupakan kondisi kepemimpinan pada tingkat KTH. Mendasarkan pada Sukanto (1982), kelompok tani hutan sendiri merupakan suatu bentuk kelompok informal (informal group), karena tidak mempunyai struktur dan peraturan-peraturan yang tegas dan pasti. Kelompok tani hutan juga terbentuk karena pertemuan-pertemuan untuk memenuhi kepentingan bersama, utamanya melakukan budidaya tanaman pangan pada lahan hutan. Kepemimpinan pada kelompok tani hutan dengan demikian juga merupakan pimpinan informal, karena dalam mengendalikan para anggota mendasarkan kepada kekuatan pribadinya. Mengacu pada Etzioni (1985) kepemimpinan kelompok tani hutan dalam melakukan pengendalian kepada para anggotanya lebih mengandalkan kekuatan simbol sosial yang berupa penerimaan pemimpin kelompok oleh para anggotanya. Pemimpin kelompok tani sangat jarang menggunakan sarana pengendalian fisik (coercive power) untuk memaksa anggotanya. Pemimpin kelompok juga jarang menggunakan kekuatan material

164 (utilitarian power) untuk mengendalikan para anggotanya, karena umumnya kelompok tani hutan belum berkembang material atau aset yang dikembangkannya. Dari hasil analisis data dan pengalaman berinteraksi dengan kelompok tani di lapangan, rendahnya keefektifan kelompok tani bisa dijelaskan sebagai berikut: 1) Peran pemimpin kelompok mempunyai skor yang paling rendah dari tiga indikator yang digunakan. Pemimpin kelompok kadang-kadang menjelaskan tujuan kelompok secara umum kepada para anggotanya. Pemimpin kelompok hampir tidak pernah mengupayakan tersedianya sarana berupa alat-alat kerja untuk kegiatan kelompok. Pemimpin kelompok juga kurang memberikan semangat kepada para petani untuk memajukan usahataninya. Kondisi peran pemimpin kelompok yang lebih baik yaitu masih sering mendengarkan berbagai keluhan yang terkait kegiatan anggotanya. 2) Dalam hal perilaku kepemimpinan kelompok, pemimpin kelompok selalu mengenal dengan baik setiap anggotanya karena tempat tinggalnya berdekatan / bertetangga. Pemimpin kelompok umumnya sering menjaga kelompok tetap kompak dan membuat suasana yang menyenangkan dalam kelompok. Namun, pemimpin kelompok kadang-kadang belum bisa membagi tugas kepada anggotanya secara merata. Pemimpin kelompok juga belum bisa mengarahkan berbagai kegiatan kelompok secara terpadu. 3) Pemimpin kelompok belum secara efektif memerankan gaya kepemimpinan kelompok yang sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi anggotanya. Pemimpin kelompok sering mendengarkan keluhan para anggotanya, dan bergaul baik dengan mereka. Namun pemimpin kelompok belum mampu membuat keputusan kelompok secara efektif dengan mendengarkan pendapat para anggo-tanya. Pemimpim kelompok kadang-kadang mampu membagi tugas kepada anggota sesuai kemampuannya, tetapi belum melakukan cek terhadap kemajuan hasil pelaksanaan tugas anggotanya. Pemimpin kelompok kadangkadang memberikan arahan kepada anggota untuk mematuhi aturan kelompok, tetapi anggota yang melanggar jarang diberikan teguran.

165 Kondisi Dukungan Lingkungan Dukungan lingkungan terhadap kehidupan petani secara keseluruhan termasuk dalam kategori rendah dengan skor rataan 62, dan terdapat perbedaan yang nyata tentang kondisi dukungan lingkungan pada tiga lokasi penelitian. Kondisi dukungan lingkungan di KPH Kedu Selatan relatif paling tinggi, disusul kondisi di KPH Pekalongan Timur dan paling rendah di KPH Gundih (Tabel 32). Kondisi dukungan lingkungan diukur melalui persepsi petani responden terhadap kondisi lahan andilnya, potensi sumberdaya hutan yang dapat dimanfaatkan, dan penilaian petani responden terhadap lingkungannya. Kondisi dukungan lingkungan meliputi : (a) akses terhadap lahan andil; (b) potensi sumberdaya hutan yang bisa dimanfaatkan; (c) ketersediaan sarana produksi pertanian terutama bibit dan pupuk; (d) kemudahan petani dalam pemasaran hasil budidaya tanaman; (e) potensi modal sosial terutama aturan, norma dan kepercayaan; (f) potensi pengembangan usaha tani; (g) tersedianya alternatif usaha; (h) ketergantungan pada sumberdaya hutan; dan (i) intervensi lingkungan sosial. Indikator dukungan lingkungan terhadap kehidupan petani yang kualitasnya termasuk dalam kategori sedang yaitu potensi modal sosial dengan skor 79 dan intervensi lingkungan sosial dengan skor 71. Potensi modal sosial pada tiga lokasi penelitian berada dalam kategori sedang. Hal ini berarti para petani masih sering mentaati berbagai aturan yang ditetapkan kelompok. Mereka juga masih sering membantu bergotong royong bila ada tetangganya yang memerlukan. Kepercayaan para petani terhadap sesama anggota kelompok, para pengurus kelompok, dan aparat desa juga masih terpelihara. Misalnya kepemimpinan ketua LMDH Rimba Lestari dan LMDH Sedyo Rahayu terlihat sangat aktif untuk kemajuan organisasi LMDH dan kemajuan anggotanya. Namun pada beberapa tempat, masih dijumpai kepercayaan petani terhadap Mandor dan Mantri Perhutani berada pada kategori yang rendah. Misalnya kepercayaan sebagian petani di LMDH Sumber Rejeki di Kayu Puring, KPH Pekalongan Timur terhadap Mandor termasuk rendah. Hasil penelusuran dengan wawancara terhadap petani diketahui bahwa tenaga mandor tersebut kurang mampu melakukan pendekatan yang bisa diterima para petani, dan tidak bergaul dengan baik terhadap para petani.

166 Tabel 32. Kondisi dukungan lingkungan (X5) petani sekitar hutan pada KPH Pekalongan Timur (A), KPH Kedu Selatan (B) dan KPH Gundih (C) Kode Nama Indikator KPH A (n=136) Skor rataan KPH B (n=136) KPH C (n=136) Rataan terbobot ¹ (n=408) X 5.1 Akses lahan 55 65 62 64 (rendah) X 5.2 Potensi sumberdaya hutan 60 50 46 50 (rendah) X 5.3 Ketersediaan saprodi 55 63 52 62 (rendah) X 5.4 Kemudahan memasarkan hasil 54 59 57 59 (rendah) X 5.5 Potensi modal sosial 69 81 70 79 (sedang) X 5.6 Potensi pengembangan usaha 56 68 40 65 (rendah) X 5.7 Tersedianya alternatif usaha 38 55 33 52 (rendah) X 5.8 Ketergantungan pada hutan 60 52 57 53 (rendah) X 5.9 Intervensi lingkungan sosial 48 74 52 71 (sedang) Skor Rataan per KPH ² 55 b 63 c 52 a 62 (rendah) Keterangan : ¹ Kategori = Rendah (0 66,9); Sedang (67,0 82,9); Tinggi (83,0 100) Bobot sampel : KPH A : KPH B :: KPH C = 1 : 13 : 1 ² Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (Uji perbedaan nilai rataan t-test) Intervensi lingkungan sosial terhadap petani, terutama pada KPH Kedu Selatan, juga termasuk dalam kategori sedang. Para petani masih sering saling mengingatkan terhadap sesamanya untuk aktif dalam melakukan berbagai kegiatan kelompok tani. Para petani juga saling memberikan informasi tentang kondisi usahataninya terhadap sesama anggota kelompok. Sehingga para petani banyak belajar dari teman sesama petani dalam kelompoknya untuk kemajuan usahataninya. Rendahnya dukungan lingkungan terhadap pemenuhan kebutuhan hidup keluarga petani, berdasarkan hasil analisis data dan pengalaman mengamati lingkungan kelompok tani pada lokasi penelitian, bisa dijelaskan sebagai berikut : 1) Akses lahan meliputi kesuburan andil bila ditanamai tanaman pangan, luasan andil dibandingkan kebutuhan dan kemudahan untuk mendapatkannya. Andil tumpangsari untuk ditanami jagung di KPH Gundih termasuk subur. Kesuburan

167 andil yang tinggi juga dirasakan petani di BKPH Purworejo yang termasuk daerah pegunungan. Namun kesuburan andil di KPH Gombong Selatan termasuk rendah (tandus), karena pegunungan berbatu-batu. Luasan andil terutama untuk tumpangsari yang diperoleh petani dirasakan rendah dibandingkan pemenuhan kebutuhan keluarga petani. 2) Sumberdaya hutan di sekitar tempat tinggal petani mempunyai potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan keluarga petani. Misalnya kayu bakar, daun-daun, rumput pakan ternak, empon-empon tumbuhan bawah tegakan, serangga (ulat, kepompong, belalang), mata air, dan lain-lain. Potensi sumberdaya hutan yang dapat dimanfaatkan masih terbatas sesuai karakteristik wilayah. Misalnya petani di KPH Pekalongan Timur dan KPH Kedu Selatan memanfaatkan rumput pakan ternak dan kayu bakar. Potensi sumberdaya hutan yang mereka manfaatkan sangat membantu, namun dirasakan masih kurang mencukupi kebutuhan keluarga petani. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa petani umumnya belum menyadari potensi yang besar dari pengembangan usahatani di bawah tegakan hutan, misalnya budidaya tanaman porang di KPH Gundih. 3) Kelompok belum mampu menyediakan bibit tanaman pangan dan mengadakan pupuk untuk petani. Sehingga petani mencari dari pedagang pertanian dengan tidak melalui kelompok. Misalnya bibit jagung yang unggul diperoleh petani dari pedagang setempat. 4) Dalam hal pemasaran hasil-hasil usahatani, petani menjual sebagian hasil panennya dan sisanya untuk dikonsumsi sendiri. Para petani di KPH Gundih menjual hasil panen jagung kepada pedagang. Demikian pula hasil panen pisang. Namun demikian belum tersedia informasi harga-harga di pasaran tentang berbagai hasil usahatani kelompok, sehingga pedagang yang menentukan harga hasil usahatani misalnya jagung di KPH Gundih. 5) Petani masih belum melihat bahwa potensi pengembangan usaha yang bisa dilakukan pada lahan andil dan lahan di bawah tegakan sebenarnya banyak yang menguntungkan. Petani belum mempunyai inisiatif mengembangkan jenis-jenis tanaman yang menguntungkan pada lahan andilnya. Petani juga

168 belum berupaya mengolah hasil tanaman pangan agar memunyai nilai jual yang lebih besar. Kondisi potensi pengembangan usaha di KPH Kedu Selatan termasuk kategori sedang dan lebih baik dibandingkan dua lokasi lainnya. Sebagai contoh, kelompok tani yang tergabung dalam LMDH Rimba Lestari, desa Kepil sudah mengembangkan jenis tanaman nilam. Kelompok tani wanita LMDH Sedyo Rahayu, mengembangkan jenis kapulogo di bawah tegakan Pinus. Kelompok LMDH Simbar Aji di kecamatan Buayan menanam tanaman buah seperti mangga, petai, jarak pagar, kapulogo pada lahan andil yang berbatu-batu. LMDH Simbar Aji juga mengelola obyek wisata gua di pegunungan kapur yang didatangi wisatawan domestik. Potensi pengembangan usaha di KPH Gundih termasuk paling rendah dengan skor 40. Petani umumnya belum menyadari potensi usahatani di bawah tegakan yang bisa dikembangkan. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa ada peluang mengembangkan tanaman porang di bawah tegakan, misalnya di LMDH Wana Lestari, BKPH Juoro. Banyak dijumpai tanaman porang tumbuh alami di bawah tegakan sono. Pengembangan tanaman porang untuk ditanaman pada tegakan lain masih sangat potensial. 6) Ketersediaan alternatif usaha untuk menambah penghasilan keluarga petani mempunyai skor 33 dan termasuk skor paling rendah. Hal ini mempunyai makna bahwa petani mempunyai pilihan alternatif yang terbatas untuk menambah penghasilan keluarga sesuai kondisi setempat. Petani di KPH Kedu Selatan mempunyai ketersediaan alternatif usaha yang relatif lebih baik dibandingkan dua lokasi lainnya. Misalnya para petani di BKPH Gombong Selatan yang tergabung dalam LMDH Renggo Wonojoyo di Kecamatan Ayah membuat gula kelapa dengan cara menderes tangkai bunga kelapa. Para petani di LMDH Renggo Wonojoyo kecamatan Buayan, termasuk ibi-ibu rumah tangga, banyak yang mencari tambahan penghasilan dengan memecah batubatu gunung dengan martil untuk dijual sebagai bahan bangunan. Banyak pula yang membuat kolam-kolam di sekitar rumah untuk memelihara ikan. 7) Intervensi lingkungan sosial bagi petani secara umum termasuk rendah, namun kondisi petani KPH Kedu Selatan termasuk kategori sedang sehingga relatif lebih baik dari dua lokasi penelitannya lainnya. Dalam melakukan kegiatan