IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS ALASAN PENOLAKAN PRODUK PANGAN EKSPOR INDONESIA OLEH AMERIKA SERIKAT DAN EROPA SELAMA TAHUN SKRIPSI M. ANGGA SAPUTRA F

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KEAMANAN PANGAN

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi

KAJIAN PENOLAKAN EKSPOR PRODUK PERIKANAN INDONESIA KE AMERIKA SERIKAT. Rinto*

V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR KEP.61/MEN/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN WAJIB STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

AMANKAH PANGAN ANDA???

KAJIAN PENOLAKAN EKSPOR PRODUK PERIKANAN INDONESIA KE AMERIKA SERIKAT. (Studi Import refusal Report US FDA Tahun 2010) Oleh. Rinto

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu sumber protein yang mudah diperoleh dan harganya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM CEMARAN LOGAM BERAT DALAM PANGAN OLAHAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN

I. PENDAHULUAN. setiap orang. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) dalam. terbawa hingga dewasa. Kegemaran masyarakat akan jajan atau

Diet Hipertensi, Diabetesi Tetap Minum Obat Herbal Untuk Diabetes

BAB I PENDAHULUAN. teknologi pangan dan bahan kimia yang dibutuhkan agar mutunya baik.

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat adalah salah satu negara tujuan utama ekspor produk

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN Nomor : 481/Kpts/OT.210/5/98. Tentang PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) KOMODITAS HASIL PERTANIAN

MENGENAL LEBIH JAUH SKOMBROTOKSIN

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam mendapatkan energi, membantu pertumbuhan badan dan otak.

KEAMANAN PANGAN UNTUK INDONESIA SEHAT. keterkaitannya dengan penyakit akibat pangan di mana masalah keamanan pangan di suatu

SNI Standar Nasional Indonesia. Udang beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa merupakan komoditas penting bagi rakyat Indonesia dan

BAB 1 : PENDAHULUAN. sanitasi. Banyaknya lingkungan kita yang secara langsung maupun tidak lansung. merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. bagi konsumennya sehingga tercipta persaingan yang cukup ketat. Produk

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656]

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

TEKNOLOGI PENGOLAHAN CABE MERAH. Oleh: Gusti Setiavani, STP

LAMPIRAN SERTIFIKAT AKREDITASI LABORATORIUM LP-103-IDN

BAB I PENDAHULUAN. dan merata. Maksudnya bahwa dalam pembangunan kesehatan setiap orang

BAB 1 PENDAHULUAN. makanan dan kosmetik di berbagai negara. Pangan yang ditemukan

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

BAB I PENDAHULUAN. Makanan atau minuman adalah salah satu kebutuhan dasar manusia.

I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PEMBUATAN SAOS CABE MERAH Nurbaiti A. Pendahuluan Cabe merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi

Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

PENGEMBANGAN STRATEGI KEAMANAN PRODUK PERIKANAN UNTUK EKSPOR KE AMERIKA SERIKAT LELY RAHMAWATY

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam perairan baik perairan darat maupun perairan laut dengan

Agribisnis dalam Kancah Diplomasi Ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak memenuhi syarat, dan terhadap kerugian sebagai akibat produksi,

Siomay ikan SNI 7756:2013

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pelabelan Pangan Produk Rekayasa Genetik

BAB I PENDAHULUAN. akan menimbulkan penyakit bagi yang mengkonsumsinya (Fardiaz, 1993).

Udang beku Bagian 1: Spesifikasi

BAB I PENDAHULUAN. Bakso merupakan makanan jajanan yang paling populer di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. 2012). Sapi berasal dari famili Bovida, seperti halnya bison, banteng, kerbau

SAFETY FOOD (Keamanan Pangan) A. Prinsip Safety Food

BAB 1 PENDAHULUAN. kebanyakan masyarakat. Meskipun memiliki beberapa keunggulan, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi iradiasi sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi serta dampak iradiasi terhadap mutu pangan

BAB I PENDAHULUAN. bisa melaksanakan rutinitasnya setiap hari(depkesri,2004).

BAB I PENDAHULUAN. digunakan dalam makanan. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering

SNI Standar Nasional Indonesia. Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

PENERAPAN CARA BUDIDAYA IKAN YANG BAIK (CBIB) PADA UNIT USAHA BUDIDAYA

Kepiting (Scylla Serrata) kulit lunak beku Bagian 1: Spesifikasi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. kelebihan berat badan, anemia, dan sebagainya (Rahal et al., 2014). Sayuran

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2017 (dalam US$ juta)

BAB 1 PENDAHULUAN. penting. Saat ini minuman dijual dalam berbagai jenis dan bentuk, serta

Lele Bakar Manis / Pedas + Nasi + Es Teh... Lele Goreng + Nasi + Es Teh..

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2008/2009 KISI-KISI SOAL TEORI KEJURUAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sasaran pembangunan pangan adalah menyediakan pangan

Sosis ikan SNI 7755:2013

6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

Tuna dalam kemasan kaleng

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

Pengawetan Bahan Nabati dan Hewani. 1. Pengertian Pengawetan Bahan Nabati dan Hewani

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Makanan merupakan komponen penting bagi kehidupan manusia, karena

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan,

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidupnya, namun makanan merupakan masukan yang sangat

SNI Standar Nasional Indonesia. Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi

Paket LaeLae Rp ,-/PAX 1. Nasi Putih 2. Sup 3. Ayam 4. Menu Pilihan 5. Kerupuk 6. Sambal 7. Buah 8. Air Mineral

I. PENDAHULUAN. Bubur buah (puree) mangga adalah bahan setengah jadi yang digunakan sebagai

Ditargetkan ekspor rempah-rempah ini meningkat di tahun 2015 mencapai US$7.72 miliar ( 2013) Tanaman Pangan 0.66% Holtikultu

BATAS MAKSIMUM PENGGUNAAN BTP PENGERAS. Fungsi lain : Pengatur keasaman, pengemulsi, pengental, penstabil

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur

BAB I PENDAHULUAN. mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG

Ayam Bakar Pedas/Manis+Nasi+Teh+Tempe/Tahu Ayam (Masak Lombok Ijo / Saus Tiram / Asam Manis / )+Nasi+Teh+Tahu/Tempe...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Regulasi sanitasi Industri Pangan

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. mengharapkan produk pangan yang lebih mudah disiapkan, mengandung nilai

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/ INFLASI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang gencargencarnya

BAB I PENDAHULUAN. hasil laut yang berlimpah terutama hasil tangkapan ikan. Ikan merupakan sumber

I. PENDAHULUAN. (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi]

Sarden dan makerel dalam kemasan kaleng

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 466/MPP/Kep/8/2004 TENTANG

IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KASUS PENOLAKAN PRODUK PANGAN EKSPOR INDONESIA DI AMERIKA SERIKAT OLEH US-FDA Selama tahun 2002-2010, Indonesia mengalami kasus penolakan di Amerika Serikat sebanyak 2608 kasus penolakan produk pangan selain produk obat-obatan dan jamu herbal. Setiap tahunnya terjadi lebih dari 200 kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat oleh US-FDA dengan rata-rata tiap tahun terjadi 289 kasus penolakan. Jumlah kasus penolakan produk pangan tiap tahunnya selama tahun 2002-2010 tersaji pada Gambar 1. 400 350 Jumlah Kasus 300 250 200 150 100 50 0 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Gambar 1. Perkembangan jumlah kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Perkembangan kasus penolakan produk pangan yang terjadi selama tahun 2002-2010 menunjukan perkembangan yang fluktuatif atau naik-turun. Berdasarkan Gambar 1. menunjukan bahwa jumlah kasus terbanyak terjadi pada tahun 2007 dengan 367 kasus dan terkecil pada tahun 2002 dengan jumlah 204 kasus. Pada tahun 2006-2010 menunjukan peningkatan jumlah kasus yang cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2002-2005 meskipun pada tahun 2004 jumlah kasus penolakan yang terjadi cukup tinggi. Kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Amerika Serikat melibatkan banyak jenis produk pangan. Produk pangan yang mengalami penolakan di Amerika Serikat digolongkan menjadi beberapa jenis produk pangan. Jumlah penolakan yang terjadi untuk setiap jenis produk pangan dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini :

rempah-rempah 2% bumbu-bumbuan 3% produk minuman 3% cumi-cumi 1% produk lainnya 11% kepiting 8% ikan 50% udang 22% n = 2608 kasus Gambar 2. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami kasus penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Berdasarkan Gambar 2 tersebut, jenis produk pangan yang paling banyak mengalami penolakanan adalah jenis produk seafood seperti ikan, udang dan kepiting. Jumlah kasus penolakan dari ketiga jenis produk pangan ini mencapai 80% dari total kasus yang terjadi atau sebanyak 2088 kasus selama tahun 2002-2010. Ikan merupakan jenis produk pangan yang paling banyak mengalami penolakan yaitu sebesar 1300 kasus atau hampir 50% dari total kasus yang terjadi. Selain produk seafood juga terdapat produk minuman, bumbu-bumbuan, rempah-rempah, cumi-cumi dan produk lainnya. Produk lainnya merupakan kumpulan jenis produk yang mengalami penolakan dibawah 50 kasus. Jumlah kasus penolakan dan jenis produk pangan untuk produk lainnya tersaji pada Gambar 3. 30 Jumlah Kasus 20 10 0 produk permen produk kue saos sambal dan kecap kerupuk gula agar-agar dan jelli produk instant kari (gulai) bumbu pecel atau gado-gado mie bumbu semur produk biskuit sarang burung produk sup kacang produk coklat produk dessert asinan buah buah dan sayuran produk selai tepung gelatin produk tamarind (paste produk snack produk campuran Jenis Produk Pangan Gambar 3. Jumlah kasus dan jenis produk pangan untuk produk lainnya yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 11

Berdasarkan Gambar 3 menunjukan bahwa jumlah kasus penolakan yang terjadi pada produk pangan lainnya tidak menunjukan perbedaan jumlah kasus yang terlalu besar atau signifikan antara satu produk dengan produk lainnya hanya produk permen dan kue yang menunjukan jumlah kasus sedikit lebih tinggi. Selain itu terdapat produk campuran yang merupakan gabungan beberapa produk dengan jumlah kasus satu kasus saja. Produk pangan Indonesia yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010 tidak setiap tahunnya mengalami penolakan. Produk pangan dengan jumlah kasus penolakan tertinggi seperti produk seafood mengalami penolakan setiap tahunnya, sedangkan produk pangan lainnya tidak setiap tahunnya mengalami penolakan bahkan ada beberapa produk yang hanya mengalami penolakan pada tahun-tahun tertentu saja. Produk seafood yang mengalami penolakan setiap tahunnya menunjukan kasus penolakan yang fluktuatif. Produk ikan pada tahun 2002-2004 mengalami penurunan persentase jumlah kasus dan meningkat pada tahun 2005-2010. Produk udang menunjukan penurunan persentase jumlah kasus pada tahun 2005-2010 meskipun masih mengalami perkembangan yang fluktuatif. Produk kepiting pada tahun 2004 menunjukan persentase jumlah kasus yang sangat signifikan dibandingkan tahun-tahun lainnya. Perkembangan kasus penolakan untuk produk seafood selama tahun 2002-2010 dapat dilihat pada Gambar 4. Persentase (%) 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Gambar 4. Perkembangan persentase kasus penolakan yang terjadi pada produk pangan seafood (ikan, udang, kepiting) di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Selain produk seafood, produk pangan lainnya juga mengalami perkembangan kasus penolakan yang cukup beragam. Produk minuman pada tahun 2002-2008 secara umum menunjukan perkembangan persentase jumlah kasus penolakan yang meningkat. Produk bumbu mengalami penolakan pada tahun 2004-2007 serta tahun 2009 dan pada tahun 2006 dan 2007 menunjukan persentase jumlah kasus penolakan yang sangat signifikan. Produk cumi-cumi mengalami peningkatan persentase jumlah kasus sejak tahun 2002 dan tertinggi pada tahun 2009 tetapi pada tahun 2010 tidak terjadi penolakan. Produk saos, sambal, dan kecap pada tahun 2007 menunjukan persentase jumlah kasus yang sangat tinggi dengan perkembangan yang sangat fluktuatif setiap tahunnya. Produk mie hanya mengalami penolakan pada tahun 2004-2006 dan pada tahun 2004 menunjukan persentase jumlah kasus yang sangat tinggi. Produk coklat hanya terjadi pada tahun 2002 dan tahun 2009-2010 dimana tahun 2010 menunjukan persentase jumlah ikan udang kepiting 12

kasus penolakan yang tertinggi. Gambar yang menunjukan perkembangan kasus penolakan produk lainnya yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010 terlampir pada lampiran. Berdasarkan data kasus penolakan produk pangan Indonesia, terlihat jelas bahwa produk ikan merupakan produk pangan yang paling banyak mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010. Indonesia merupakan negara kepulauan yang menghasilkan produk ikan atau olahannya yang sangat besar. Jenis ikan yang diekspor ke Amerika Serikat bermacammacam seperti tuna, snapper, grouper, mahi-mahi, swordfish, kingfish, opakapaka, tilapia, dan produk ikan lainnya. Setiap tahunnya terjadi kasus penolakan produk ikan mencapai lebih dari 50 kasus bahkan lima tahun terakhir mencapai lebih dari 100 kasus penolakan. Jumlah kasus penolakan dan jenis produk ikan yang diekspor dan mengalami penolakan Amerika Serikatdapat dilihat pada Gambar 5. produk ikan lainnya 7% ikan todak 3% kerapu 3% mahi-mahi 4% tenggiri 2% kakap putih 2% ikan kakap 17% ikan tuna 62% n = 1300 kasus Gambar 5. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang mengalami penolakan di USA oleh US- FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Jumlah kasus terbanyak terjadi pada produk ikan tuna yaitu dengan 811 kasus atau mencapai 62% dan ikan kakap dengan 17% dari jumlah produk ikan yang mengalami penolakan. Produk ikan seperti ikan mahi-mahi, todak, kerapu, tenggiri, dan kakap putih hanya mengalami penolakan dengan jumlah kasus dibawah 5%. Produk ikan lainnya merupakan produk ikan yang terdiri dari beberapa jenis ikan dan produk olahannya dengan jumlah kasus yang sedikit. Jumlah dan jenis produk ikan lainnya yang mengalami penolakan tersaji pada Gambar 6. 13

Jumlah Kasus 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Jenis Ikan Gambar 6. Jumlah kasus dan jenis produk ikan lainnya yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa jumlah kasus penolakan yang terjadi pada produk ikan tersebut kurang dari 20 kasus atau dibawah 1% dari total kasus penolakan produk ikan yang terjadi selama tahun 2002-2010. Ikan olahan merupakan produk ikan yang telah mengalami pengolahan dan tidak diketahui jenis ikannya. Ikan lainnya merupakan produk ikan dengan jumlah kasus penolakan sebanyak 1 kasus. Produk ikan tuna yang mengalami penolakan di Amerika Serikat sebagian besar dapat digolongkan menjadi beberapa jenis produk yaitu produk tuna beku, produk tuna segar, produk tuna kalengan, produk tuna mentah, dan produk tuna lainnya. Produk tuna beku merupakan produk ikan tuna dengan kasus penolakan terbesar yaitu sebesar 88% atau 713 kasus. Produk ikan tuna lainnya yang mengalami penolakan yaitu produk tuna mentah, produk tuna segar, produk tuna kalengan dan produk ikan tuna lainnya. Jumlah persentase produk ikan tuna yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 7. 14

tuna mentah 8% tuna segar 2% tuna kalengan 1% produk tuna lainnya 1% produk tuna beku 88% n = 811 kasus Gambar 7. Jumlah kasus dan jenis produk ikan tuna yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Penolakan yang terjadi pada produk pangan asal Indonesia tidak terlepas dari alasan penolakan atas produk tersebut. Alasan yang diterima oleh produk pangan tersebut beragam macamnya dan sesuai dengan sistem yang ada pada masing-masing negara. Jenis alasan dan jumlah penolakannya pada produk pangan ekspor asal Indonesia di Amerika Serikat dapat dilihat pada Gambar 8. berikut ini: chloramp 2% nutrit lbl unsafe col 2% 3% histamine 3% vetdrugres 3% poisonous 2% list lacks n/c ingre 1% 2% other 10% filhty 39% needs fce 4% salmonella 23% no process 6% n = 3382 kasus Gambar 8. Jenis alasan dan jumlah kasus yang terjadi pada produk pangan yang ditolak oleh US- FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Alasan penolakan yang terjadi pada produk pangan ekspor asal Indonesia terbanyak adalah karena alasan filthy, Salmonella, no process, needs fce, vetdrugres, dan histamine. Keenam alasan ini mencapai lebih dari 70% dari total jumlah kasus yang terjadi atau sebanyak 2673 kasus dari 3382 kasus. Jumlah kasus ini melebihi dari jumlah produk yang mengalami penolakan yaitu 2608 kasus. Hal ini karena pada beberapa produk mengalami penolakan dengan alasan yang dapat 15

mencapai lebih dari dua alasan. Alasan filthy merupakan alasan yang paling banyak terjadi yaitu sebesar 1326 kasus. Alasan ini terjadi jika dalam produk pangan tersebut mengandung sesuatu yang tidak selayaknya ada dalam bahan pangan tersebut (Hariyadi dan Andarwulan 2007). Alasan Salmonella terjadi jika pada produk pangan tersebut mengandung Salmonella, zat beracun dan merusak yang dapat membahayakan kesehatan (FDA 2011). Salmonella merupakan salah satu bakteri patogen yang berperan penting sebagai indikator keamanan dan berpengaruh sangat besar pada kesehatan manusia. Bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang paling umum menyebabkan penyakit keracunan pangan di negara sedang berkembang dan negara berkembang (Del-Portillo 2000 dalam Fredy 2010). Salmonella di dalam pangan perlu mendapat perhatian karena umumnya terdapat dalam jumlah kecil tetapi jumlah tersebut cukup untuk menimbulkan gejala penyakit (Jenie dan Fardiaz 1989). Kasus dengan alasan Salmonella terjadi sebanyak 788 kasus. No process merupakan alasan penolakan jika produsen dari produk pangan tersebut tidak mengajukan informasi tentang proses yang dijadwalkan (scheduled process) seperti yang dipersyaratkan oleh 21 CFR 108,25 (c) (2) atau 108,35 (c) (2) (FDA 2011). Kasus penolakan dengan alasan no process terjadi sebanyak 210 kasus. Needs fce terjadi jika produsen produk pangan tersebut tidak terdaftar sebagai produsen makanan kaleng berasam rendah atau makanan kaleng yang diasamkan sesuai dengan 21 CFR 108,25 (c) (1) atau 108,35 (c) (1) (FDA 2011). Kasus dengan alasan needs fce terjadi sebanyak 144 kasus. Vetdrugres merupakan alasan yang terjadi jika pada produk pangan tersebut mengandung obat untuk hewan (konversi dari produk sejenisnya) yang tidak aman seperti dalam pasal 512 tentang kandungan pangan (FDA 2011). Vetdrugres terjadi sebanyak 105 kasus. Alasan histamine terjadi jika pada produk pangan tersebut mengandung histamine, zat beracun dan merusak dengan jumlah yang dapat membahayakan kesehatan (FDA 2011). Keberadaan histamine dalam jumlah yang besar pada ikan yang mengalami pembusukan dapat menyebabkan keracunan atau kematian, khususnya untuk ikan ikan golongan Scombroidae (Taylor 1983 dalam Naibaho 2010). Histamine terjadi sebanyak 100 kasus. Selain keenam alasan tersebut terdapat juga alasan lain yang jumlah kasusnya dibawah 100 kasus. Jumlah kasus dan jenis alasan untuk alasan lainnya yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 9. 30 25 Jumlah Kasus 20 15 10 5 0 pois chlor labeling no english lacks firm transfat mfr insan nitrofuran usual name false. color lblg unsafe add juice % listeria insanitary unapproved aflatoxin not listed yellow off odor cyclamate diseased health C mfrhaccp saccharlbl other Jenis Alasan Gambar 9. Jenis alasan dan jumlah kasus penolakan yang terjadi untuk alasan lainnya pada produk pangan yang ditolak di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 16

Alasan lainnya yang terjadi pada produk pangan yang mengalami penolakan berdasarkan Gambar 9 menunjukan bahwa alasan yang terjadi memiliki kasus dibawah 30 kasus dan antara alasan satu dengan yang lain memiliki jumlah kasus penolakan yang tidak berbeda jauh atau tidak terlalu signifikan dengan alasan lainnya yang juga mengalami penolakan. Alasan lainnya (other) merupakan gabungan dari beberapa alasan yang mengalami penolakan dengan jumlah kasus penolakan yang terjadi sebanyak satu kasus. Alasan penolakan yang terjadi selama tahun 2002-2010 menunjukkan perkembangan yang fluktuatif dan cukup berbeda satu dengan yang lainnya. Alasan filthy dan salmonella menunjukan perkembangan yang fluktuatif dengan persentase jumlah kasus penolakan yang tinggi setiap tahunnya selama tahun 2002-2010. No process dan needs fce merupakan alasan pada produk yang mengalami proses sterillisasi menunjukan perkembangan kasus yang juga fluktuatif dan persentase jumlah penolakan tertinggi terjadi pada tahun 2007 dan tahun berikutnya menunjukan penurunan jumlah kasus. No process dan needs fce dikelompokan menjadi satu yaitu process thermal. Perkembangan kasus untuk alasan filthy, salmonella dan process thermal dapat dilihat pada Gambar 10. Persentase (%) 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun filhty salmonella process thermal Gambar 10. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan filthy, salmonella, process thermal di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Alasan lain yang juga menunjukan perkembangan kasus yang berbeda adalah vetdrugres yang menunjukan persentase kasus penolakan tertinggi pada tahun 2004 dan tahun berikutnya menunjukan penurunan jumlah kasus. Alasan chloramp menunjukan peningkatan persentase jumlah kasus mulai dari tahun 2008-2010. Poischlor hanya terjadi pada tahun 2004-2006 dengan persentase jumlah kasus yang cukup tinggi. Alasan transfat terjadi pada tahun 2007-2009 dengan tahun 2008 menunjukan kasus yang tertinggi. Alasan lain yang cukup berbeda adalah juice% dan listeria yang hanya terjadi pada satu tahun yaitu tahun 2008 untuk juice% dan tahun 2010 untuk listeria. Perkembangan kasus penolakan untuk alasan yang terjadi terlampir pada lampiran. Alasan yang terjadi pada produk pangan Indonesia yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010, menunjukan bahwa terdapat 4 alasan dengan jumlah kasus yang cukup besar atau berbeda signifikan dengan alasan lainnya yaitu alasan filthy, salmonella, no process dan needs fce. Alasan filthy terjadi hampir disemua produk pangan yang mengalami penolakan sedangkan untuk alasan salmonella, needs fce dan no process hanya terjadi pada 17

beberapa produk tertentu saja. Jenis produk yang memiliki alasan penolakan karena filthy tersaji pada Gambar 11. cumi-cumi 2% kepiting 4% gula 1% kerupuk 1% produk lainnya 4% udang 25% ikan 63% n = 1326 kasus Gambar 11. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan filthy di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Alasan filthy terjadi sebanyak 1326 kasus selama tahun 2002-2010. Produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan filthy terbanyak terjadi pada produk ikan dengan 63% dari 1326 kasus yang terjadi atau sebanyak 838 kasus. Selain produk ikan produk pangan lain yang juga mengalami penolakan karena alasan filthy adalah udang, kepiting, cumi-cumi, gula, produk kerupuk dan produk lainnya. Produk lainnya merupakan produk pangan yang ditolak dengan alasan filthy kurang dari 10 kasus. Berdasarkan Gambar 11 alasan filthy lebih banyak terjadi pada produk seafood seperti ikan, udang, kepiting, dan cumi-cumi. Seperti halnya alasan filthy, alasan salmonella juga banyak terjadi pada produk pangan seafood seperti produk ikan dan udang. Alasan salmonella pada produk pangan terjadi sebanyak 788 kasus selama tahun 2002-2010. Produk udang dan ikan merupakan produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan salmonella terbanyak yaitu sebesar 46% dari 788 kasus yang terjadi. Selain produk udang dan ikan produk pangan lain yang menerima alasan salmonella adalah rempah-rempah, cumi-cumi, dan produk lainnya, yang merupakan produk yang memiliki alasan salmonella kurang dari 10 kasus. Seperti halnya filthy, alasan salmonella juga banyak terjadi pada produk seafood seperti ikan, udang dan cumi-cumi. Jenis produk yang ditolak karena lasan salmonella tersaji pada Gambar 12. 18

rempah-rempah 4% cumi-cumi 1% produk lainnya 3% ikan 46% udang 46% n = 788 kasus Gambar 12. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan salmonella di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Needs fce dan no process merupakan alasan yang terjadi pada produk yang mengalami proses tertentu seperti proses sterillisasi. Berbeda dengan alasan filthy dan salmonella, alasan needs fce dan no process hanya terjadi pada beberapa produk saja. Alasan needs fce dan no process terjadi sebanyak 354 kasus selama tahun 2002-2010. Produk pangan yang menerima penolakan dengan alasan needs fce dan no process terbanyak adalah bumbu-bumbuan sebesar 31% atau sebanyak 111 kasus. Produk lainnya yang memiliki alasan needs fce dan no process adalah produk minuman, saus, sambal dan kecap, produk makanan instant, kari (gulai), bumbu semur, produk sup dan produk lainnya, yang merupakan produk pangan dengan alasan needs fce dan no process dibawah 10 kasus. Jenis produk pangan yang memiliki alasan needs fce dan no process tersaji pada Gambar 13. produk sup 4% bumbu semur 5% kari (gulai) 6% produk instant 6% produk lainnya 14% bumbu-bumbuan 31% minuman 24% saus sambal dan kecap 10% n = 354 kasus Gambar 13. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan needs fce dan no process di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). 19

Produk ikan yang merupakan produk pangan terbanyak mengalami penolakan oleh US- FDA selama tahun 2002-2010 memiliki alasan penolakan yang yang cukup banyak antara lain filthy, Salmonella, histamine, poisonous, lacks n/c, list ingre dan alasan lain atau other. Alasan penolakan karena filthy merupakan kasus yang banyak terjadi yaitu sebesar 57% total produk ikan yang mengalami penolakan yaitu 1300 kasus. Beberapa produk ikan ada yang memiliki alasan penolakan lebih dari satu alasan. Selain alasan filthy, produk ikan tuna juga mengalami penolakan karena alasan mengandung Salmonella, histamine, poisonous, lacks n/c, list ingre dan karena alasan lain atau other yaitu alasan dengan jumlah kasus dibawah 20 kasus. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk ikan yang mengalami penolakan di Amerika Serikat dapat dilihat pada Gambar 14. dibawah ini: lacks n/c 1% poisonous 2% histamine 6% list ingre 1% other 8% salmonella 25% filthy 57% n = 1300 kasus Gambar 14. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk ikan yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). B. KASUS PENOLAKAN PRODUK PANGAN EKSPOR INDONESIA DI EROPA OLEH EUROPA-RASFF Berbeda dengan kasus yang terjadi di Amerika Serikat, di Eropa terdapat sistem tersendiri untuk mengatasi produk pangan yang beresiko membahayakan kesehatan masyarakat di Eropa oleh Europa-RASFF. Europa-RASFF memiliki notification atau pemberitahuan bagi produk pangan yang diidentifikasi dapat membahayakan kesehatan. Notification ini terdiri dari 4 jenis yaitu alert, information, border rejection, dan news notification. Kasus produk pangan Indonesia yang bermasalah di Eropa atau yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 sebanyak 327 kasus. Kasus produk pangan bermasalah ini setiap tahunnya terjadi dengan jumlah yang berbeda-beda dengan rata-rata setiap tahun terjadi 36 kasus. Selama tahun 2002-2010 perkembangan kasus yang terjadi tidak stabil atau fluktuatif. Pada tahun 2004 terjadi kenaikan jumlah kasus yang cukup tinggi tetapi jumlah kasus menurun sampai dengan tahun 2008 dan kembali naik sampai tahun 2010. Tahun 2004 merupakan tahun dengan jumlah kasus tertinggi yaitu dengan 70 kasus dan tahun 2008 merupakan tahun dengan jumlah kasus terendah yaitu dengan 15 kasus. Perkembangan kasus yang terjadi untuk produk pangan bermasalah atau menerima notification oleh Europa-RASFF tersaji pada Gambar 15. 20

80 70 60 Jumlah Kasus 50 40 30 20 10 0 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Gambar 15. Perkembangan kasus yang terjadi pada produk pangan bermasalah di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Produk pangan Indonesia yang teridentifikasi membahayakan kesehatan di Eropa oleh Europa-RASFF menerima 3 notification yaitu alert, information dan border rejection notification. Alertnotification merupakan sebuah pemberitahuan peringatan atau peringatan akan dikirim melalui RASFF ke negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki resiko serius di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification merupakan sebuah pemberitahuan informasi menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar negara yang memberitahukan dimana resiko telah diidentifikasi dan tidak memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan notification untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum masuk ke pasar Eropa atau mengalami penolakan di Eropa. Jumlah dan jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 16. alert notification 25% information notification 64% border rejection 11% n = 327 kasus Gambar 16. Jumlah dan jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). 21

Sebanyak 326 kasus yang terjadi 64% merupakan information notification, 25% alert notification, dan 11% border rejection notification. Hal ini berarti sebanyak 89% produk pangan diketahui memiliki masalah atau dapat membahayakan kesehatan setelah masuk ke dalam pasar di Eropa dan 11% produk pangan telah ditolak masuk ke pasar karena teridentifikasi membahayakan kesehatan. Jumlah notification yang diterima oleh produk pangan Indonesia selama tahun 2002-2010 setiap tahunnya berbeda. Jumlah notification yang diterima produk pangan Indonesia setiap tahunnya tersaji pada Gambar 17. Persentase (%) 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 alert border rejection information 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Gambar 17. Jumlah persentase notification yang terjadi setiap tahunnya pada produk pangan Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Berdasarkan Gambar 17 alert dan information notification terjadi setiap tahunnya dengan persentase jumlah kasus tiap tahunnya tidak sama. Information notification merupakan notification yang banyak terjadi selama tahun 2002-2010 pada produk pangan Indonesia. Sama halnya dengan information notification, alert notification juga terjadi setiap tahunnya selama tahun 2002-2010 meskipun dengan jumlah kasus yang terjadi lebih sedikit. Kedua notification ini menunjukan perkembangan kasus yang fluktuatif setiap tahunnya dengan kenaikan dan penurunan kasus yang tidak sama. Berbeda dengan alert dan information notification, border rejection notification hanya terjadi pada tahun 2008-2010 dengan persentase jumlah kasu yang terjadi cukup tinggi. Hal ini berarti kasus penolakan produk pangan Indonesia di Eropa selama tahun 2002-2010 hanya terjadi pada tahun 2008, 2009 dan 2010. Pada tahun 2008 border rejection notification terjadi sebanyak 11 kasus, tahun 2009 terjadi sebanyak 8 kasus dan tahun 2010 terjadi sebanyak 16 kasus. Perkembangan kasus yang terjadi juga menunjukan perkembangan yang fluktuatif setiap tahunnya. Kasus penolakan produk pangan terbanyak terjadi pada tahun 2010 dengan 16 kasus penolakan. Jenis produk pangan bermasalah atau menerima notification di Eropa ini terbagi dalam beberapa jenis produk pangan dengan jumlah kasus tertinggi. Jumlah kasus yang terjadi untuk setiap jenis produk pangan oleh Europa-RASFF dapat dilihat pada Gambar 18. dibawah ini: 22

rempah-rempah 8% daging 3% produk lainnya 9% udang 24% ikan 56% n = 327 kasus Gambar 18. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Produk yang mengalami kasus terbanyak adalah ikan yaitu sebanyak 184 kasus, diikuti udang sebanyak 77 kasus, rempah-rempah sebanyak 27 kasus, produk daging sebanyak 10 kasus dan produk lainnya sebanyak 29 kasus. Produk lainnya merupakan produk pangan yang memiliki kasus atau menerima notification dibawah 10 kasus. Berdasarkan Gambar 18, terlihat produk ikan memiliki jumlah kasus yang sangat signifikan perbedaannya dengan produk lainnya. produk ikan yang bermasalah atau menerima notification mencapai lebih dari dua kali lipat produk lainnya. Jumlah dan jenis produk lainnya yang teridentifikasi berbahaya tersaji pada Gambar 19. 6 Jumlah Kasus 4 2 0 Gambar 19. Jenis Produk Jumlah kasus dan jenis produk pangan lainnya yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Gambar 19 menunjukan jumlah kasus yang terjadi pada produk pangan lainnya yang bermasalah atau menerima notification selama tahun 2002-2010. Jumlah kasus pada produk 23

pangan tersebut kurang dari 10 kasus dan setiap produk pangan memiliki jumlah kasus yang tidak terlalu berbeda jauh. Produk ikan dan udang merupakan produk dengan jumlah kasus tertinggi atau mencapai 80% dari total jumlah kasus yang terjadi dengan ikan sebanyak 56% dan 24% untuk udang. Produk ikan terbagi menjadi 5 produk yaitu ikan beku, ikan utuh, ikan segar, chilled fish, dan produk ikan lainnya. Jumlah kasus dan jenis produk ikan dapat dilihat pada Gambar 20. produk ikan lainnya 11% chilled fish 7% ikan segar 17% ikan beku 43% ikan utuh 22% n = 184 kasus Gambar 20. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Produk ikan beku merupakan produk dengan jumlah kasus yang terbanyak yaitu 43% dari 184 kasus atau dua kali lipat dari jumlah kasus yang terjadi pada produk ikan yang lain seperti produk ikan utuh, ikan segar, chilled fish, dan produk ikan lainnya dengan jumlah kasus di bawah 40 kasus. Produk pangan Indonesia menerima notification yang berbeda jenis notification dan jumlahnya untuk setiap jenis produk pangan. Jumlah kasus pada tiap jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 21. 24

Jumlah Kasus 120 100 80 60 40 alert border rejection information 20 0 produk udang produk ikan rempah-rempah produk lainnya Jenis Produk Gambar 21. Jumlah kasus dan jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Information notification terlihat mendominasi pada setiap jenis produk pangan. Pengecualian terjadi pada produk pangan herb and spices dimana alert notification lebih banyak terjadi. Banyaknya information notification yang terjadi pada produk pangan mengindikasikan bahwa produk pangan asal Indonesia yang telah beredar dipasar telah teridentifikasi masalahnya. Border rejection notification juga terjadi hampir disemua jenis produk pangan tetapi dengan jumlah kasus yang lebih sedikit. Perkembangan kasus produk pangan Indonesia yang bermasalah atau menerima notification di Eropa oleh Europa-RASFF menunjukan perkembangan yang fluktuatif selama tahun 2002-2010. Beberapa produk menerima notification atau menunjukan jumlah kasus yang tinggi hanya pada tahun-tahun tertentu dan tahun berikutnya atau sebelumnya tidak menunjukan jumlah kasus yang tinggi atau tidak menerima notification sama sekali. Produk ikan menunjukan perkembangan kasus produk bermasalah atau menerima notification yang naik-turun selama tahun 2002-2010. Produk ikan menerima notification setiap tahunnya dengan angka jumlah kasus yang cukup tinggi dibandingkan produk pangan lainnya. Pada tahun 2004-2006 jumlah kasus pada produk ikan menunjukan angka yang tetinggi dan tahun berikutnya mengalami penurunan jumlah kasus yang cukup signifikan. Selain produk ikan, produk udang juga menerima notification yang cukup tinggi setiap tahunnya meskipun menunjukan penurunan jumlah kasus setiap tahunnya seperti pada tahun 2009 dimana tidak menerima notification sama sekali. Produk rempah-rempah menunjukan kasus yang secara umum meningkat setiap tahunnya dan tahun 2010 menunjukan jumlah kasus yang tertinggi. Produk daging menunjukan perkembangan kasus yang relaitf sama setiap tahunnya kecuali pada tahun 2009 dimana jumlah angka kasus tertinggi untuk produk daging. Berbeda dengan produk ikan, udang, rempah-rempah, dan daging, produk kacang hanya menerima notification pada tiga tahun yang berbeda yaitu tahun 2005,2008, dan 2010 dengan jumlah kasus yang hanya berbeda satu kasus. Produk lainnya menunjukan kasus yang juga berbeda setiap tahunnya dan hanya terjadi pada tahun-tahun tertentu saja. Hal ini karena jumlah produk pangan lainnya menunjukan angka kasus yang rendah dibandingkan produk ikan, udang, rempah-rempah, daging dan kacang. Perkembangan kasus untuk produk lainnya yang bermasalah atau menerima notification terlampir pada lampiran. 25

Produk pangan yang teridentifikasi berbahaya dan menerima notification oleh Europa- RASFF disebabkan oleh alasan yang diterima oleh produk pangan tersebut. Alasan terjadinya notification pada produk pangan asal Indonesia dapat dilihat pada Gambar 22. 80 Jumlah 60 40 20 0 Gambar 22. Jenis Alasan Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi berdasarkan notification yang diterima produk pangan ekspor Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Alasan terjadinya notification pada produk pangan tersebut yang terbesar adalah karena produk pangan tersebut mengandung logam berat seperti mercury dan cadmium; mengandung mikroorganisme seperti aflatoxin, Salmonella spp., vibrio spp.; mengandung zat yang berbahaya bagi tubuh serta perlakuan pada proses produksi yang tidak sesuai. Perkembangan kasus produk pangan bermasalah yang terjadi karena alasan yang diterima menunjukan perkembangan yang fluktuatif setiap tahunnya selama 2002-2010. Alasan mercury terjadi setiap tahunnya dengan jumlah kasus yang cukup tinggi, hal ini karena alasan mercury banyak terjadi pada produk seafood yang juga memiliki kasus dengan jumlah yang tinggi setiap tahunnya. Histamine menunjukan jumlah kasus yang tinggi pada tahun 2004 dam menurun pada tahun-tahun berikutnya dan pada tahun 2010 tidak terjadi kasus produk pangan bermasalah yang mengandung histamine. Sama halnya dengan histamine, carbon monoxide treatment juga menunjukan penurunan jumlah kasus pada tahun-tahun berikutnya setelah tahun 2005 menunjukan kasus yang tertinggi. Aflatoxin menunjukan perkembangan yang menaik pada tahuntahun berikutnya setelah pada tahun 2003-2004 tidak terjadi kasus produk bermasalah karena alasan ini. Cadmium menunjukan perkembangan yang menurun jumlah kasus yang terjadi setelah pada tahun 2004 menunjukan jumlah kasus tertinggi. Prohibited substance chloramphenicol dan nitrofuran (metabolite) furazolidone, nitrofurazone secara umum menunjukan perkembangan kasus yang menurun pada tahun-tahun berikutnya setelah pada tahun 2002 menunjukan kasus yang tertinggi. Perkembangan alasan yang terjadi pada produk pangan yang bermasalah di Eropa selama tahun 2002-2010 terlampir pada lampiran. Alasan yang terjadi pada tiga jenis produk pangan dengan jumlah terbanyak yaitu produk produk ikan, udang, dan rempah-rempah memiliki alasan yang cukup berbeda. Produk ikan meiliki alasan mengandung mercury sebanyak 34%, mengandung histamine sebanyak 19%, mengandung cadmium sebanyak 10%, alasan proses yaitu carbon monoxide treatment sebanyak 20%, dan alasan lain atau other sebanyak 17% dari jumlah kasus yaitu 184 kasus. Terlihat pada 26

produk ikan alasan yang terjadi lebih banyak dikarenakan pada produk tersebut mengandung logam berat dan zat berbahaya. Produk udang dengan jumlah 77 kasus memiliki alasan yaitu prohibited substance chloramphenicol sebanyak 29%, prohibited substance nitrofuran (metabolite) furazolidone sebanyak 26%, mengandung Vibrio spp. sebanyak 18% dan alasan lain atau other sebanyak 27%. Berbeda dengan produk ikan, produk udang ini lebih banyak mengalami penolakan dengan alasan yaitu menggunakan zat yang dilarang seperti chloramphenicol dan nitrofuran serta alasan karena mengandung Vibrio spp.. Produk rempahrempah memiliki alasan yaitu mengandung aflatoxin sebanyak 78%, mengandung Salmonella spp. sebanyak 8%, organoleptic characteristic sebanyak 7% dan alasan lain atau other sebanyak 7% dari 27 kasus yang terjadi. Produk rempah-rempah ini lebih banyak didominasi oleh alasan mengandung aflatoxin. Aflatoxin merupakan jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus paraciticus. Bagi manusia, konsumsi terus menerus meskipun dalam dosis kecil dapat menyebabkan kanker hati (Paramawati, Arief dan Triwahyudi 2006). Kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Eropa merupakan kasus produk pangan yang menerima border rejection notification oleh Europa-RASFF. Jumlah produk pangan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF atau produk pangan yang mengalami border rejection selama tahun 2002-2010 terjadi sebanyak 35 kasus. Sebanyak 9 jenis produk pangan tercatat mengalami border rejection yaitu produk ikan, produk udang, rempah-rempah, buahbuahan dan sayuran, produk daging, produk permen, produk kacang-kacangan, produk cumi-cumi dan produk campuran lainnya. Jumlah dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 23. cumi-cumi 9% buah-buahan dan sayuran 3% produk permen 3% produk campuran lainnya 3% daging 9% produk ikan 34% udang 8% kacang-kacangan 11% rempah-rempah 20% n = 35 kasus Gambar 23. Jumlah dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa- RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Berdasarkan Gambar 23 terlihat bahwa produk ikan merupakan produk pangan yang terbanyak mengalami kasus penolakan dengan 34% atau sebanyak 12 kasus kemudian diikuti rempah-rempah sebesar 20%, produk kacang-kacangan, produk daging, cumi-cumi, udang, dan buah-buahan dan sayuran, produk permen, serta produk campuran lainnya dengan jumlah kasus dibawah 10%. Produk pangan yang mengalami penolakan memiliki alasan yang berbeda-beda. Jumlah dan jenis alasan yang terjadi pada produk pangan yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 24. 27

Jumlah Kasus 15 10 5 0 Jenis Alasan Gambar 24. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk pangan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Gambar 24 menunjukan bahwa alasan yang banyak terjadi pada produk pangan yang ditolak di Eropa adalah karena produk pangan mengandung sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan seperti mengandung aflatoxin dan mengandung logam berat seperti mercury dan cadmium. Aflatoxin lebih banyak terjadi pada produk rempah-rempah sedangkan alasan mercury dan cadmium terjadi pada produk seafood seperti ikan, udang dan cumi-cumi. Berdasarkan kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Eropa oleh Europa-RASFF, produk ikan merupakan produk dengan jumlah kasus penolakan yang terbesar yaitu dengan jumlah kasus sebanyak 12 kasus. Jenis produk ikan yang mengalami penolakan hanya terdiri dari 6 jenis ikan yaitu tuna, snapper, bichique, marlin, oilfish, dan barramundi. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang mengalami penolakan oleh Europa-RASFF tersaji pada Gambar 23. dibawah ini: oilfish fish 8% snapper fish 8% baramundi fish 8% bichique fish 9% marlin fish 8% tuna fish 59% n = 12 kasus Gambar 25. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). 28

Berdasarkan Gambar 25 produk ikan tuna merupakan produk ikan yang mengalami kasus penolakan terbanyak yaitu sebesar 59% dari 12 kasus yang terjadi. Produk ikan lain seperti bichique, snapper, barramundi, oilfish, dan marlin hanya mengalami satu kasus saja. Penolakan produk ikan tersebut tidak terlepas dari alasan penolakan yang diterima oleh produk-produk tersebut. Alasan yang terjadi pada produk ikan yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 26. mercury 50% bad hygienic state 25% cadmium 8% histamine 17% n = 12 kasus Gambar 26. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk ikan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011). Secara umum produk ikan mengalami penolakan dikarenakan mengandung sesuatu yang berbahaya sperti logam berat dan histamine. Produk ikan yang mengalami penolakan memiliki 4 alasan penolakan yang terjadi yaitu bad hygienic state, cadmium, histamine, dan mercury. Alasan yang paling banyak terjadi adalah alasan karena mengandung mercury yaitu sebesar 50% dari jumlah kasus sebanyak 12 kasus. Bad hygienic state terjadi sebanyak 3 kasus atau sebesar 25%, mengandung histamine sebesar 17% dan tercenar cadmium sebesar 8%. C. ANALISIS PENYEBAB TERJADINYA KASUS PENOLAKAN PRODUK PANGAN DI AMERIKA SERIKAT DAN EROPA SELAMA TAHUN 2002-2010 Sepanjang tahun 2002-2010 kasus penolakan produk pangan ekspor asal Indonesia cukup tinggi. Penolakan yang terjadi di Amerika Serikat oleh US-FDA sebanyak 2608 kasus dan di Eropa oleh Europa-RASFF sebanyak 35 kasus. Setiap tahunnya selama 2002-2010 jumlah kasus yang terjadi berbeda dengan rata-rata kasus per tahun di Amerika Serikat sebanyak 289 kasus dan di Eropa terjadi 4 kasus per tahunnya. Perbedaan jumlah kasus penolakan produk pangan yang terjadi disebabkan oleh sistem yang diberlakukan di negara tujuan yaitu Amerika Serikat dan Eropa. Di Amerika Serikat pengawasan produk pangan dilakukan oleh FDA yang berada di bawah naungan Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat. Peraturan yang ditetapkan oleh FDA seperti yang tercantum dalam Federal Food, Drugs, and Cosmetic Act yang didalamnya berisi peraturan berikut yang penting dalam ekspor produk pangan mengenani bahan 29

yang rusak, label yang tidak sesuai dengan bahan yang terkandung, batas bahan makanan tambahan, batas maksimal residu kimia, sistem ekspor-ekspor, dan cara pendaftaran unit pengolahan. Selain itu adanya penahanan otomatis, yitu penahanan tanpa pengujian sampel secara fisik (detention without physical examination) membuat banyak produk pangan langsung menerima penolakan tanpa ada pengujian terhadap produk pangan tersebut terlebih dahulu. Peraturan lain yaitu The Bioterorism ACT (TBA) juga berpengaruh terhadap perdagangan produk pangan karena Amerika Serikat menentapkan peraturan baru tentang registrasi pengolahan pangan, pemberitahuan sebelum ekspor, dan pembuatan rekaman proses pengolahan (Cahya 2010). Ketatnya peraturan yang diberlakukan oleh FDA membuat banyaknya produk pangan Indonesia yang mengalami penolakan di Amerika Serikat. Berbeda dengan di Amerika Serikat yang hanya satu negara, Uni Eropa merupakan gabungan dari beberapa negara di Eropa dan setiap negara memiliki lembaga tersendiri yang mengawasi produk pangan. Setiap negara juga memiliki standar mutu masing-masing untuk produk pangan sehingga kasus penolakan yang terjadi di Eropa lebih sedikit dibandingkan di Amerika Serikat. Produk pangan yang akan masuk ke salah satu negara di Eropa mungkin akan ditolak masuk tetapi belum tentu akan ditolak juga dinegara yang lain di Eropa. Hal ini yang membuat lebih banyak kasus produk pangan Indonesia bermasalah setelah masuk ke pasar di Eropa dibandingkan dengan yang mengalami penolakan langsung diperbatasan. Selain itu di Eropa, produk pangan yang bermasalah atau mengalami penolakan melalui RASFF akan diberitahukan kepada negara asal produk pangan tersebut sehingga negara asal dapat segera menangani masalah tersebut. Perbedaan sistem inilah yang membuat kasus penolakan produk pangan Indonesia di Eropa lebih sedikit terjadi. Setiap tahun terjadi kenaikan atau penurunan jumlah kasus atau terjadi fluktuatif setiap tahunnya. Untuk kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Amerika Serikat, menunjukan bahwa pada tahun 2002-2004 mengalami kenaikan jumlah kasus tetapi menurun pada tahun 2005. Tahun 2005-2007 jumlah kasus meningkat kembali dan menurun jumlahnya pada tahun 2008-2009, lalu kembali naik pada tahun 2010. Jumlah kenaikan atau penurunan jumlah kasus setiap tahunnya cukup berbeda. Pada tahun 2004 mengalami peningkatan jumlah kasus dan pada tahun 2005 mengalami penurunan jumlah kasus yang hampir sama. Setelah tahun 2005 terjadi kenaikan jumlah kasus sampai tahun 2007 dan menurun kembali pada tahun 2008 tetapi jumlah kasus yang terjadi masih di atas jumlah kasus pada tahun 2005 hingga naik kembali pada tahun 2010. Sama seperti yang terjadi di Amerika Serikat, di Eropa juga mengalami perkembangan kasus yang fluktuatif setiap tahunnya. Penolakan produk pangan Indonesia atau produk pangan yang mengalami border rejection di Eropa oleh Europa-RASFF menunjukan perkembangan yang berbeda. Penolakan produk pangan Indonesia di Eropa selama tahun 2002-2010 tidak terjadi setiap tahunnya tetapi hanya terjadi pada tahun 2008-2010. Kasus penolakan baru terjadi pada tahun 2008 dengan 11 kasus yang menurun pada tahun 2009 menjadi 8 kasus. Pada tahun 2010 mengalami kenaikan jumlah kasus yang cukup besar yaitu sebesar 100% dari tahun 2009 menjadi 16 kasus. Jumlah kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Amerika Serikat dan di Eropa sangat berbeda jauh. Selama tahun 2002-2010, di Amerika Serikat terjadi 2608 kasus penolakan produk pangan, sedangkan di Eropa terjadi sebanyak 35 kasus penolakan produk pangan. Perkembangan kasus yang terjadi setiap tahunnya oleh di Amerika Serikat maupun Eropa menunjukan bahwa kasus yang terjadi sulit untuk diketahui alasan penaikan atau penurunan kasus sehingga menunjukan perkembangan kasus yang fluktuatif. Penaikan atau penurunan yang terjadi setiap tahunnya terlihat tidak sama bahkan ada beberapa yang menunjukan penaikan atau penurunan yang sangat besar. Pengecualian terjadi pada kasus di Eropa oleh Europa-RASFF yaitu 30

tidak terjadi kasus penolakan selama tahun 2002-2007 dan baru terjadi pada tahun 2008. Hal ini mungkin dikarenakan produk pangan Indonesia baru teridentifikasi berbahaya setelah masuk ke pasar di Eropa atau setelah beredar di pasar Eropa produk pangan tersebut teridentifikasi berbahaya oleh salah satu negara anggota Europa-RASFF dan melaporkan melalui RASFF sehingga menerima notification oleh Europa-RASFF. Produk pangan yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama 2002-2010 menunjukan perkembangan yang berbeda antar produk pangan. Produk pangan yang mengalami penolakan ini digolongkan menjadi beberapa jenis produk pangan. Produk ikan menunjukan perkembangan kasus yang sangat fluktuatif setiap tahunnya. Secara umum kasus penolakan terhadap produk ikan ini meningkat selama tahun 2002-2010 meskipun masih terjadi penurunan pada tahun-tahun tertentu. Alasan penolakan terhadap produk ikan setiap tahunnya selama 2002-2010 hampir 50% adalah karena alasan filthy. Ini berarti penanganan dan pengolahan terhadap produk ikan masih kurang baik. Produk udang menunjukan perkembangan yang kecenderungan menurun setiap tahunnya meskipun pada tahun 2010 terjadi peningkatan jumlah kasus penolakan. Udang merupakan salah satu komoditas ekspor yang yang menjanjikan setelah ikan. Penolakan terhadap produk ikan banyak terjadi karena alasan filthy dan salmonella. Kedua alasan ini mendominasi setiap tahunnya dengan persentase yang cukup tinggi meskipun kasus penolakan menurun jumlahnya dari tahun 2004 sampai tahun 2009. Penolakan yang terjadi pada produk udang ini lebih banyak dikarenakan mengandung bakteri yang berbahaya bagi kesehatan seperti Salmonella. Produk kepiting juga menunjukan perkembangan kasus penolakan yang naik turun dan kecenderungan meningkat meskipun dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Penolakan pada produk kepiting lebih banyak dikarenakan produk kepiting tersebut mengandung zat yang berbahaya seperti chloramp dan vetdrugres. Produk seafood lain yang juga menunjukan perkembangan kasus penolakan yang naik turun adalah produk cumi-cumi. Secara umum selama tahun 2002-2010 produk cumi mengalami kenaikan jumlah kasus sampai tahun 2009 dan tidak terjadi penolakan pada tahun 2010. Alasan pada produk cumi sama seperti pada produk ikan yaitu karena alasan filthy sehingga megalami penolakan. Terlihat bahwa penolakan terhadap produk seafood (ikan, udang, kepiting dan cumi-cumi) lebih banyak disebabkan oleh alasan filthy dan mengandung sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan. Alasan filthy yang terjadi menunjukan bahwa penanganan dan pengolahan terhadap produk seafood masih kurang dan perlu diperbaiki serta diawasi dengan baik. Alasan mengandung sesuatu yang berbahaya secara umum menurun selama tahun 2002-2010. Menurut KKP (2008) Departemen Kelautan dan Perikanan telah dan terus melakukan beberapa upaya untuk penanganan Food Safety produk perikanan, antara lain: pengembangan sistem rantai dingin (cold chain system) di 5 lokasi sentra pengolahan, 6 lokasi sentra produksi dan 3 lokasi Pasar Ikan Higienis; sosialisasi larangan penggunaan bahan kimia berbahaya, penambahan dan penyempurnaan jabatan fungsional pengawas mutu hasil perikanan, sosialisasi ketentuan internasional standar produk dan sistem jaminan mutu serta keamanan hasil perikanan, penguatan kompentensi laboratorium penguji, dan pelatihan program manajemen mutu terpadu/haccp. Hal ini berarti pengawasan terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya serta pengujian terhadap produk seafood telah diberlakukan. Produk lain yang juga menunjukan perkembangan kasus penolakan yang hampir sama adalah produk minuman, produk saos sambal dan kecap, produk bumbu-bumbuan, produk instant, produk sup, kari, dan semur. Ketiga produk ini memiliki alasan penolakan yang sebagian besar sama yaitu no process dan needs fce. No process dan needs fce adalah alasan yang banyak terjadi pada produk pangan berasam rendah dan mengalami proses sterillisasi. Produk minuman selama tahun 2002-2010 menunjukan peningkatan jumlah kasus penolakan sampai dengan tahun 2008 31

dan menurun secara drastis pada tahun 2009 dan tahun 2010 tidak terjadi kasus penolakan terhadap produk ini. Alasan yang banyak terjadi pada produk minuman adalah juice%, yaitu persentase kandungan jus buah atau sayuran dalam produk minuman tidak sesuai dengan yang tertera pada label kemasan, dan needs process and no process. Produk saos sambal dan kecap menunjukan kasus tertinggi pada tahun 2007 dan menurun pada tahun 2008-2010 dengan alasan terbanyak yang diterima adalah no process dan need fce. Produk bumbu-bumbuan menunjukan kasus tertinggi pada tahun 2007 dan menurun pada tahun 2008-2010 dengan tahun 2010 tidak terjadi penolakan. Alasan pada produk bumbu-bumbuan ini juga didominasi oleh no process dan needs fce. Produk instant, sup, semur dan kari juga menunjukan perkembangan kasus tertinggi pada tahun 2007 dengan alasan yang sama yaitu no process dan needs fce, sedangkan pada tahun berikutnya tidak terjadi kasus penolakan kembali pada produk tersebut. Penurunan jumlah kasus penolakan pada produk-produk ini menunjukan bahwa produsen penghasil produk tersebut telah melakukan perbaikan terhadap produk yang diproduksinya seperti memberikan jumlah persentase kandungan jus seperti yang tertera pada label untuk produk minuman serta telah mengirimkan scheduled process dan terdaftar sebagai produsen penghasil makanan kaleng berasam rendah seperti yang diminta dan ditentukan oleh FDA. Hal ini dibuktikan dengan tahun 2008-2010 yang tidak terjadi lagi penolakan pada produk-produk tersebut dengan alasan no process dan needs fce. Produk rempah-rempah menunjukan perkembangan yang cenderung sama setiap tahunnya meskipun terjadi kenaikan jumlah kasus tetapi tidak terlalu signifikan selama tahun 2002-2010. Alasan yang banyak terjadi pada produk rempah-rempah ini adalah karena mengandung salmonella. Menurut Lukiawan dan Kristiningrum (2011), Di United State, produk rempahrempah Indonesia pernah mengalami penolakan. karena tidak memenuhi "Food and Drug Administration" (FDA) Amerika Serikat. Dapat disimpulkan bahwa komoditi ekspor yang terdiri dari biji pala, hida, fuli, kayu manis, cabe kering dan bebijian seringkali tiba di Amerika dalam keadaan tidak memenuhi persyaratan mutu. Persyaratan mutu yang tidak dipenuhi terutama mengenai cemaran kapang, serangga dan benda asing misalnya debu, potongan kayu dan bagian tumbuhan lain. Hal ini terjadi karena standar mutu untuk kandungan salmonella pada rempahrempah di Indonesia berbeda dengan di Amerika sehingga terjadi penolakan. Sampai saat ini, SNI (Standar Nasional Indonesia) yang tersedia untuk produk rempah-rempah ini berjumlah 9 standar, namun sangat disayangkan, hampir semua standar tersebut telah berusia lebih dari 5 tahun dan sudah waktunya untuk dilakukan evaluasi. Mengingat standar nantinya menjadi salah satu barrier dalam perdagangan, maka dengan harapan untuk memperlancar kegiatan ekspor, standar nasional harus diharmonisasikan dengan standar internasional atau dengan peraturan teknis negara tujuan ekspor agar tidak terjadi penolakan (Lukiawan dan Kristiningrum 2011). Produk permen dan biskuit menunjukan perkembangan yang fluktuatif tetapi tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Produk permen hampir mengalami penolakan setiap tahunnya selama tahun 2002-2010 kecuali pada tahun 2009. Produk biskuit selama tahun 2002-2010 tidak mengalami penolakan hanya pada tahun 2002 dan 2008. Alasan penolakan terbanyak pada kedua produk ini adalah karena nutrit lbl dan unsafe col. Nutrit lbl adalah alasan karena terjadi kesalahan pada label nutrisi atau tidak menyampaikan tentang informasi nutrisi yang diperlukan sedangkan alasan unsafe col adalah karena mengandung pewarna tambahan yang tidak aman. Hal ini berarti belum dilakukannya perbaikan dalam masalah label nutrisi dan penggunaan pewarna tambahan yang tidak sesuai atau dianggap tidak aman untuk dikonsumsi di Amerika oleh FDA. Produk lain yang juga banyak mengalami penolakan karena alasan unsafe col adalah produk kue. Produk kue mengalami kasus tertinggi pada tahun 2009 dan menurun pada tahun 2010. Ini berarti penggunaan pewarna tambahan pada tahun 2009 sudah dikurangi atau tidak 32