1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut, merupakan suatu penyakit infeksi akut susunan syaraf pusat yang dapat menyerang mamalia termasuk manusia. Kejadian rabies pertama kali di Indonesia ditemukan oleh Schoorl tahun 1884 pada seekor kuda, disusul oleh Esser tahun 1889 pada seekor kerbau di Bekasi dan tahun 1890 oleh Penning pada anjing di Jakarta. Kemudian tahun 1909, Lier menemukan 2 kasus rabies pada kucing di daerah Bondowoso dan Jember, tetapi pada manusia pertama kali dilaporkan pada tahun 1907. Kasus rabies pada manusia di Indonesia 95% ditularkan oleh anjing dan sisanya (5%) oleh kucing, kera dan sebagainya (Naipospos, 2004). Setiap tahunnya ribuan orang meninggal disebabkan oleh rabies dan jutaan orang telah mendapatkan vaksinasi anti rabies pasca gigitan anjing di seluruh dunia. Kegagalan dalam mengendalikan rabies di berbagai negara, terutama di negara berkembang, salah satunya disebabkan oleh cakupan vaksinasi rabies tidak mencapai jumlah yang cukup (70%), sehingga siklus penyakit rabies tidak dapat diputus (Dalem et al., 2012). Kematian manusia akibat gigitan anjing di daerah endemik rabies diperkirakan mencapai 55.000 kematian per tahun. Biaya penanganan rabies di Afrika dan Asia diperkirakan mencapai US$ 583.500.000 per tahunnya, yang sebagian besar merupakan biaya profilaksis pasca paparan (Post Exposure
2 Prophylaxis (PEP)) (Knobel et al., 2005). Disamping itu, kerugian akibat pembatalan kunjungan wisatawan, terutama di daerah yang menjadi tujuan wisata penting di dunia, seperti Bali, mungkin terjadi jika tingkat kejadian rabies sangat tinggi. Provinsi Bali secara historis dikenal sebagai kawasan yang bebas rabies. Bali merupakan provinsi terbaru tertular rabies di Indonesia dan Bali dinyatakan tertular secara resmi berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.:1637.1/2008 tertanggal 1 Desember 2008. Secara laboratorium, rabies pada anjing di Bali didiagnosis pertama kali pada tanggal 27 Nopember 2008 yaitu pada satu ekor anjing asal Kelurahan Kedonganan. Dengan mengkaji kasus pada tiga manusia dan hewan serta masa inkubasi, maka rabies diduga masuk ke Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung, Provinsi Bali sekitar bulan April 2008 (Putra et al., 2009). Selanjutnya dalam beberapa bulan rabies terus menyebar ke kabupaten lain, sampai akhirnya pada bulan Juni 2010 semua kabupaten/kota di Provinsi Bali sudah dinyatakan tertular rabies. Upaya untuk mengendalikan rabies dengan vaksinasi dan eliminasi anjing yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil. Di daerah-daerah tertentu, kasus rabies bahkan semakin meningkat (Adjid et al., 2005). Demikian juga halnya yang terjadi di Bali. Telah terbukti dengan semakin luasnya wilayah yang terkena rabies. Data epidemiologi selama tahun 2014 menunjukkan bahwa dari 1.286 sampel otak hewan penular rabies (HPR) yang diuji di Balai Besar Veteriner Denpasar, 130 diantaranya positif rabies. Dari bulan Januari sampai dengan Desember 2014,
3 kasus rabies ditemukan di 101 desa dari 723 desa di Bali dengan korban meninggal terkait gigitan anjing dan diduga kuat akibat rabies adalah dua orang. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran rabies sangat luas dan siklus penularan rabies terus terjadi, sehingga faktor-faktor risiko yang berasosiasi terhadap kejadian rabies di Bali perlu diteliti. Banyak penelitian atau kajian tentang rabies di Indonesia yang telah dilakukan (Putra, 2009a,b). Beberapa studi yang telah dilakukan misalnya perkembangan sebaran rabies, serosurveilans pasca vaksinasi, sensitivitas diagnosa lapangan, studi awal demografi anjing dan studi lainnya yang masih sedang berlangsung. Namun demikian, analisa faktor risiko, pola penyebaran dan kerentanan wilayah terhadap kejadian rabies belum banyak diungkapkan di Indonesia. Analisis spasial menggunakan Geographic Information System (GIS) telah banyak dimanfaatkan di bidang kesehatan dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi distribusi dan clustering kasus penyakit, daerah yang kerentanannya tinggi, serta mengidentifikasi faktor risiko yang mempengaruhinya, sehingga dapat membantu upaya pengendalian penyakit. Hingga saat ini, pengolahan data rabies di Provinsi Bali masih terbatas dalam bentuk analisis tabular dan grafik. Analisis sebaran kasus masih berupa agregasi di tingkat desa atau kecamatan, tetapi bukan dalam bentuk pemetaan per kasus. Agar dapat mengidentifikasi rantai penularan rabies, sistem surveilans seharusnya dapat mengidentifikasi sebaran kasus rabies hingga tingkat individual. Identifikasi lokasi kasus rabies sampai tingkat lokasi individual sangat dimungkinkan karena
4 dalam data kasus rabies terdapat titik lokasi (koordinat) yang dapat dipetakan menggunakan pendekatan GIS. Sampai saat ini belum diketahui pola spasial distribusi titik kasus rabies (berbasis koordinat) di Provinsi Bali. Gambaran spasial kasus rabies diharapkan juga dapat mengidentifikasi faktor-faktor risiko penyebaran rabies. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah terdapat hubungan antara faktor-faktor risiko yang diduga dengan kejadian rabies di Provinsi Bali? 2. Apakah dapat diketahui pola penyebaran kasus rabies secara spasial di Provinsi Bali? 3. Apakah pemodelan spasial dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap siklus penularan rabies di Provinsi Bali? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Menganalisa faktor-faktor risiko infeksi dan pola penyebaran kasus rabies di Provinsi Bali.
5 1.3.2 Tujuan Khusus a. Menganalisa faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kasus rabies di Provinsi Bali. b. Menganalisa secara spasial sebaran kasus rabies di Provinsi Bali. c. Menganalisa tingkat kerentanan wilayah terhadap rabies secara spasial di Provinsi Bali. 1.4 Manfaat Penelitian 1. 4.1 Bagi Peneliti a. Dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas dalam kepedulian terhadap penanggulangan rabies, khususnya di Bali. b. Dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan penelitian lebih lanjut tentang analisis spasial dan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan rabies maupun penyakit-penyakit lain dengan lebih mendalam. 1.4.2 Bagi Masyarakat Sebagai dasar dan masukan kepada masyarakat dalam upaya kewaspadaan dini terhadap penyebaran penyakit rabies sehingga masyarakat dapat berperan aktif dalam penanggulangan penyakit ini.
6 1.4.3 Bagi Balai Besar Veteriner Denpasar Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam pemetaan penyakit hewan dan dapat meningkatkan efektifitas kegiatan surveilans untuk pengendalian sebaran kasus penyakit hewan, khususnya rabies di Bali. 1.4.4 Bagi Program Magister Kedokteran Hewan Universitas Udayana Dapat dijadikan sebagai tambahan pustaka untuk memperkaya kajian ilmu kedokteran hewan, khususnya mengenai kajian spasial sebaran kasus penyakit hewan dan faktor-faktor risiko yang berhubungan, khususnya penyakit rabies.